Opini Terbaru

Between Facts and Norms, Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (2): Pengantar dari Jürgen Habermas

Gambar
PENGANTAR Jürgen Habermas  | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse

Desa Soropaten Klaten, Tugu Waseso Saksi Kemerdekaan NKRI

Tugu Waseso berdiri menatap awan di Desa Soropaten, Karanganom, Klaten, Jawa Tengah. Warga Desa menyebut tugu ini sebagai simbol perjuangan kemerdekaan. Sepuluh tahun sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945 Presiden Soekarno pernah singgah dan meminta restu kepada Kyai Karsorejo sebelum lanjut bergerak memperjuangkan kemerdekaan. Hening sebelum bertindak.

Kyai Karsorejo adalah sesepuh di Desa ini yang diminta restu oleh Soekarno atas amanat dari Sri Susuhunan Pakubuwana X sebelum beliau wafat.

Tak heran, bendera merah putih berkibar di puncak tugu setinggi 12,5 meter ini. Simbol tonggak perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Anda bisa berkunjung ke tugu bersejarah ini tepatnya di hamparan persawahan Dukuh Pandanan, Desa Soropaten. Satu kompleks dengan makam Kyai Karsorejo yang juga diakui sebagai sesepuh Dukuh Pandanan.

Amanat Pakubuwana X kepada Soekarno pergi ke Desa nampak sebagai strategi pergerakan nasional. Media Tirto.id menguatkan strategi ini: "Zaman Pakubuwana X berkuasa adalah masa-masa tenang. Pergolakan fisik terhadap Belanda mulai berkurang, berganti perlawanan dengan cara lain, yakni melalui berorganisasi, daya pikir, atau bertarung pena lewat surat kabar. Saat itu abad sudah berganti dan periode pergerakan nasional telah dimulai."

Menara Baskoro di Desa Soropaten setidaknya merupakan menara tempat beribadah Sri Susuhunan Pakubuwana X. Dari sejarah lisan yang diperoleh dari warga Desa, menara ini pada tahun 1960-an hancur karena konflik antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan kekuatan sosial anti-PKI. Dan versi lain menyatakan hancur dimakan usia. Hanya tinggal pondasi bangunan saja.

Warga bergerak secara swadaya untuk memperbaiki Menara yang juga merupakan simbol kegotongroyongan ini. Akhirnya Dana Desa digunakan untuk renovasi Menara setinggi 11 (sebelas) meter dan 5 (lima) tangga. Menara yang kaya simbol: "lima berarti Pancasila, Rukun Islam, atau kiblat papat kalima pancer", sedangkan 11 (sebelas) bisa dimaknai kesatuan manusia dengan Tuhan dan kesatuan organik antara rakyat dan pemimpinnya (manunggaling kawula-gusti). 

Wayang Kulit Haul Kyai Karsorejo

Pemerintah Desa dan masyarakat Desa tetap mengembangkan hak asal usulnya. Pementasan seni wayang kulit berlangsung setiap malam Jum'at Legi. Lakon wayangnya adalah Bharatayuda Jayabinangun, kisah perang saudara antara Pandawa dan Kurawa berebut Astina.

Seni pertunjukan wayang ini bermula dari lelaku Kyai Karsorejo untuk mengatasi bencana wabah penyakit (pagebluk) yang menimpa Dukuh Pandanan di Desa ini sekitar tahun 1926. Puluhan warga dikabarkan sakit pada sore hari dan keesokan pagi warga tersebut meninggal dunia. Setelah pertunjukan wayang selesai, wabah berangsur menghilang.

Warga Desa menggelar kirab budaya pada bulan Suro dan wayang kulit secara sederhana tapi pengunjung tumpah ruah di jalanan. Desa Soropaten memberikan pembelajaran bagi kita semua bahwa "masa lalu Desa" diwarnai dengan cara Desa mengatasi peristiwa wabah (pagebluk) dengan solidaritas. 

Sutoro Eko menyatakan dalam buku Desa Baru, Negara Lama, "Desa inklusif, atau kolektivisme pluralistik, merupakan cita-cita UU Desa". Desa Soropaten sedang meniti langkahnya sebagai Desa inklusif, berorientasi keluar untuk mengenalkan tradisi. Kisah Kyai Karsorejo pun memberi pesan simbolis bahwa sejak dulu Desa memiliki otonomi yang kuat berhadapan dengan negara, terutama negara-kolonial. Kepala Desa hadir sebagai pemimpin rakyat. Desa berorientasi keluar membangun kolaborasi dengan para pihak, dan kemakmuran tumbuh dengan baik.

Prakarsa yang telah dilakukan oleh warga Desa, berlanjut dengan advokasi Pemerintah Desa, setidaknya membuka rintisan bagi Desa untuk membuka aksi bersama sebagai Desa Budaya yang mengusung wisata tradisi.*

Kontributor: Ayu Nuridha A,SE, Pendamping Desa Pemberdayaan, Karanganom, Klaten, Jawa Tengah.

Editor: Anom Surya Putra. 

Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

Konstitusionalisme Deliberatif dan Judicial Review

Day 10 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 6 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 16 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 7 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 4 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 8 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (2): Pengantar Buku Sosiologi Hukum

Day 17 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)