Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jürgen Habermas, Antara Fakta dan Keabsahan Normatif: Kontribusi untuk Teori Diskursus Hukum dan Demokrasi

Jürgen Habermas menulis buku tebal mengenai filsafat hukum, sosiologi hukum dan demokrasi deliberatif. Buku Habermas yang paling lengkap membahas tentang hukum ini masih jarang dibaca dan belum menjadi kerangka kerja teoritis di kalangan ilmuwan hukum, praktisi hukum, dan analis kebijakan publik. 

Awalnya, buku Habermas itu berjudul "Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy" (Antara Fakta dan Keabsahan Normatif: Kontribusi untuk Teori Diskursus Hukum dan Demokrasi), diterbitkan Massachusetts Institute of Technology (1996). Buku berbahasa Inggris ini merupakan penerjemahan dari Faktizität und Geltung: Beiträge zur Diskurstheorie des Rechts und des demokratischen Rechtsstaats, Frankfurt a.M. 1992.

Silahkan membaca dan mengutip resmi terjemahan bertahap dari saya ini, tetapi dilarang menjualnya dalam berbagai bentuk.

Anom Surya Putra

Bab 1. 

"Hukum sebagai Kategori Mediasi Sosial antara Fakta dan Norma"

Konsep rasio praktis sebagai kapasitas subjektif merupakan produk era modern. Pengalihan kerangka konseptual Aristotelian ke premis-premis filsafat subjek memiliki kerugian berupa terlepasnya rasio praktis dari jangkar-jangkarnya dalam bentuk-bentuk kehidupan budaya dan tatanan sosiopolitik. Namun, hal ini memiliki keuntungan karena menghubungkan rasio praktis dengan kebahagiaan "privat" dan otonomi "moral" individu. Artinya, sejak saat itu rasio praktis dikaitkan dengan kebebasan manusia sebagai subjek privat yang juga dapat mengasumsikan peran sebagai anggota masyarakat sipil dan warga negara, baik nasional maupun global. Dalam peran sebagai warga dunia, individu melebur dengan manusia secara umum, menjadi sebuah "Aku" yang bersifat unik sekaligus universal. Terhadap repertoar konseptual abad ke-18 ini, abad ke-19 menambahkan dimensi sejarah. Subjek individual terlibat dalam sejarah hidupnya sendiri dengan cara yang serupa dengan bagaimana negara, sebagai subjek hukum internasional, terjebak dalam sejarah bangsa-bangsa. G.W.F. Hegel mengungkapkan poin ini dalam konsepnya tentang roh objektif (objective spirit). Tentu saja, Hegel tetap yakin, sama seperti Aristoteles, bahwa masyarakat menemukan kesatuannya dalam kehidupan politik dan organisasi negara. Filsafat praktis modernitas terus berasumsi bahwa individu-individu adalah bagian dari suatu masyarakat seperti anggota dalam sebuah kolektivitas atau bagian-bagian dalam suatu keseluruhan—bahkan jika keseluruhan tersebut dianggap hanya terbentuk melalui hubungan antar bagian-bagiannya.

Namun, masyarakat modern sejak saat itu menjadi begitu kompleks sehingga kedua motif konseptual ini—yaitu masyarakat yang terkonsentrasi di dalam negara dan masyarakat yang terdiri dari individu-individu—tidak dapat lagi diterapkan tanpa masalah. Keadaan ini menyebabkan teori sosial Marxis mengabaikan teori normatif tentang negara. Memang benar, jejak-jejak rasio praktis masih dapat dilihat, sebagai sebuah filsafat sejarah, dalam konsep Marxis tentang masyarakat yang memerintah diri sendiri secara demokratis yang mana baik negara birokratis maupun ekonomi kapitalis seharusnya menghilang. Teori sistem bahkan menghapus jejak-jejak terakhir ini, melepaskan hubungan apa pun dengan konten normatif rasio praktis. Negara hanyalah membentuk satu subsistem di samping subsistem sosial lain yang ditentukan secara fungsional; hal ini berada dalam hubungan sistem-lingkungan satu sama lain, mirip dengan hubungan antara individu dan masyarakatnya. Berangkat dari konsepsi naturalistik Thomas Hobbes tentang perjuangan untuk pemertahanan diri di antara individu-individu, eliminasi rasio praktis yang ketat telah menempuh jalur yang mengarah pada konsepsi autopoietik Niklas Luhmann tentang sistem swa-referensial. Tampaknya, baik pendekatan empiris yang dilemahkan maupun upaya rehabilitasi tidak mampu memulihkan kekuatan penjelas yang pernah dimiliki rasio praktis dalam konteks etika dan politik, hukum kodrat modern dan teori moral, filsafat sejarah, dan teori sosial.

Filsafat sejarah hanya dapat memetik dari proses-proses historis alasan atau rasio yang sebelumnya telah dimasukkannya sendiri ke dalam proses tersebut dengan bantuan konsep-konsep teleologis. Dengan nada yang sama, norma-norma bagi perilaku hidup yang bernalar tidak dapat ditarik dari konstitusi kodrati spesies manusia, sebagaimana norma tersebut juga tidak dapat ditarik dari sejarah. Tidak jauh berbeda dengan filsafat sejarah, antropologi filosofis model Max Scheler atau Arnold Gehlen pun menyerah pada kritik yang datang dari sains itu sendiri—sains yang justru coba mereka gunakan secara tidak efektif demi tujuan-tujuan filosofis; kedua pendekatan ini menunjukkan kelemahan yang serupa. Tidak jauh lebih meyakinkan adalah penolakan kontekstualis terhadap segala bentuk pembenaran (justification). Meskipun ini merupakan tanggapan yang dapat dimaklumi atas kegagalan filsafat sejarah dan antropologi filosofis, pendekatan ini tidak pernah melampaui seruan menantang terhadap kekuatan normatif dari hal-hal faktual. Perkembangan demokrasi konstitusional melalui jalur "Atlantik Utara" yang termasyhur memang telah memberikan kita hasil-hasil yang layak dipertahankan, namun begitu mereka yang tidak beruntung menjadi pewaris dari para Bapak Pendiri (Founding Fathers) berpaling ke tradisi mereka sendiri, mereka tidak dapat menemukan kriteria dan alasan yang memungkinkan mereka untuk membedakan mana yang layak dipertahankan dari apa yang seharusnya ditolak.

Jejak-jejak normativisme hukum kodrat modern akhirnya tersesat dalam sebuah trilema: baik di dalam teleologi sejarah maupun dalam konstitusi spesies manusia, kita tidak dapat lagi menemukan konten dari rasio praktis setelah fondasi filosofisnya pada subjek yang mengetahui telah hancur; kita juga tidak dapat membenarkan konten tersebut hanya berdasarkan sumber daya kebetulan dari sejarah dan tradisi yang sukses. Hal ini menjelaskan daya tarik dari satu-satunya pilihan yang tampak masih terbuka: penolakan mentah-mentah terhadap rasio secara keseluruhan, baik dalam bentuk dramatis kritik pasca-Nietzschean terhadap rasio, maupun dalam varian fungsionalisme sistem yang lebih tenang yang menetralkan segala sesuatu yang, dari sudut pandang partisipan, tampak wajib atau bermakna sama sekali. Siapa pun dalam ilmu-ilmu humaniora yang tidak berkomitmen penuh pada pendekatan yang berlawanan dengan intuisi (counterintuitive) akan mendapati solusi ini pun agak tidak menarik. Karena alasan inilah, saya mengambil pendekatan yang berbeda melalui teori tindakan komunikatif, dengan mengganti rasio praktis dengan rasio komunikatif. Hal ini melibatkan lebih dari sekadar perubahan terminologi.

Dalam tradisi pemikiran modern klasik, hubungan antara rasio praktis dan praktik sosial dipahami secara terlalu langsung. Hal ini berarti ranah praktik sosial didekati sepenuhnya dari sudut pandang isu-isu normatif atau—setelah disaring melalui filsafat sejarah—isu-isu kriptonormatif. Sebagaimana rasio praktis seharusnya mengorientasikan tindakan individu, begitu pula hukum kodrat hingga masa Hegel ingin menetapkan secara normatif satu-satunya tatanan sosial dan politik yang masuk akal. Namun, sebuah konsep rasio yang dipindahkan ke dalam medium linguistik (kebahasaan) dan dibebaskan dari hubungan eksklusif dengan isu-isu moral memainkan peran yang berbeda dalam konstruksi teori; konsep ini dapat melayani tujuan deskriptif bagi rekonstruksi rasional atas kompetensi-kompetensi dan struktur-struktur kesadaran yang selama ini beroperasi dalam sejarah. Karya rekonstruksi tersebut kemudian dapat dihubungkan dengan pendekatan-pendekatan fungsional dan penjelasan-penjelasan empiris.[1]

Rasio komunikatif berbeda dari rasio praktis terutama karena ia tidak lagi dinisbatkan kepada aktor individual atau kepada subjek-makro di level negara atau masyarakat secara keseluruhan. Sebaliknya, apa yang memungkinkan adanya rasio komunikatif adalah medium linguistik (kebahasaan) yang melaluinya interaksi-interaksi dijalin bersama dan bentuk-bentuk kehidupan distrukturkan. Rasionalitas ini termaktub di dalam telos linguistik berupa saling pengertian dan membentuk sekumpulan kondisi yang memampukan sekaligus membatasi. Siapa pun yang menggunakan bahasa alami untuk mencapai kesepahaman dengan lawan bicara mengenai sesuatu di dunia ini, diwajibkan untuk mengambil sikap performatif dan mengikatkan dirinya pada prandaian-praandaian tertentu. Dalam upaya mencapai pemahaman, pengguna bahasa alami harus mengasumsikan, antara lain, para partisipan mengejar tujuan ilokusinya tanpa keraguan, mereka menautkan persetujuannya pada pengakuan intersubjektif atas klaim validitas yang dapat dikritik, dan mereka siap memikul kewajiban yang dihasilkan dari konsensus tersebut dan yang relevan bagi interaksi selanjutnya. Aspek-aspek validitas yang mendasari ujaran ini juga disampaikan pada bentuk-bentuk kehidupan yang diproduksi ulang melalui tindakan komunikatif. Rasionalitas komunikatif diekspresikan dalam sebuah kompleks kondisi struktural yang terdesentralisasi, meresap, dan memampukan secara transendental, namun ia bukanlah sebuah kapasitas subjektif yang akan mendikte para aktor tentang apa yang seharusnya mereka lakukan.

Berbeda dengan bentuk klasik rasio praktis, rasio komunikatif bukanlah sumber langsung dari preskripsi (perintah). Ia memiliki konten normatif hanya sejauh individu yang bertindak secara komunikatif harus mengikatkan diri mereka pada praandaian pragmatis yang bersifat kontrafaktual. Artinya, mereka harus melakukan idealisasi tertentu—misalnya, menghubungkan makna yang identik pada ekspresi-ekspresi, menautkan ucapan dengan klaim validitas yang melampaui konteks, dan mengasumsikan bahwa lawan bicara dapat dimintai pertanggungjawaban, yaitu otonom dan tulus baik terhadap diri mereka sendiri maupun orang lain. Individu yang bertindak secara komunikatif dengan demikian tunduk pada "keharusan" dari keniscayaan transendental yang lemah, namun hal ini tidak berarti mereka sudah menghadapi "keharusan" preskriptif dari suatu aturan tindakan—apakah "keharusan" yang terakhir ini dapat dirunut kembali secara deontologis ke validitas normatif hukum moral, secara aksiologis ke konstelasi nilai-nilai yang dipilih, atau secara empiris ke efektivitas aturan teknis. Seperangkat idealisasi yang tidak terelakkan membentuk basis kontrafaktual dari praktik nyata dalam mencapai pemahaman, sebuah praktik yang dapat secara kritis berbalik melawan hasilnya sendiri dan dengan demikian melampaui (transcend) dirinya sendiri. Dengan demikian, ketegangan antara ide dan realitas merasuk ke dalam faktisitas dari bentuk-bentuk kehidupan yang terstruktur secara linguistik. Praktik komunikatif sehari-hari membebani dirinya sendiri secara berlebihan dengan praandaian idealisasinya, namun hanya dalam cahaya transendensi duniawi (innerworldly transcendence) inilah proses pembelajaran dapat terjadi.

Rasio komunikatif dengan demikian memungkinkan adanya orientasi pada klaim-klaim validitas, namun ia sendiri tidak menyediakan orientasi substantif apa pun untuk mengelola tugas-tugas praktis—ia tidak bersifat informatif maupun praktis secara langsung. Di satu sisi, ia membentang di seluruh spektrum klaim validitas: klaim atas kebenaran proposisional, ketulusan pribadi, dan kebenaran normatif; dalam hal ini, ia menjangkau melampaui ranah pertanyaan-pertanyaan moral-praktis. Di sisi lain, ia hanya berkaitan dengan wawasan (insights)—yakni ujaran-ujaran yang dapat dikritik yang pada prinsipnya dapat diakses melalui klarifikasi argumentatif—dan dengan demikian tidak mencapai kapasitas rasio praktis yang ditujukan pada motivasi, atau pada pembimbingan kehendak. Normativitas dalam pengertian orientasi tindakan yang bersifat wajib tidaklah bertepatan (identik) dengan rasionalitas komunikatif. Normativitas dan rasionalitas komunikatif saling beririsan (intersect) ketika menyangkut pembenaran atas wawasan moral. Wawasan semacam itu dicapai dalam sikap hipotetis dan hanya membawa kekuatan motivasi rasional yang lemah. Dalam hal apa pun, wawasan itu sendiri tidak dapat menjamin bahwa pemahaman tersebut akan membuahkan tindakan yang termotivasi.[2]

Seseorang harus terus mengingat perbedaan-perbedaan ini ketika saya terus menggunakan konsep rasio komunikatif dalam kaitannya dengan teori sosial rekonstruktif. Dalam konteks baru ini, konsep rasio praktis yang kita terima juga memperoleh status yang berbeda, yang kurang lebih bersifat heuristik. Ia tidak lagi menyediakan cetak biru langsung bagi teori normatif tentang hukum dan moralitas. Sebaliknya, ia menawarkan panduan untuk merekonstruksi jaringan diskursus yang—ditujukan untuk membentuk opini dan mempersiapkan keputusan—menyediakan matriks tempat otoritas demokratis muncul. Dari perspektif ini, bentuk-bentuk komunikasi yang memberikan legitimasi pada pembentukan kehendak politik, legislasi, dan administrasi peradilan tampak sebagai bagian dari proses yang lebih luas yang mana dunia-kehidupan (lifeworlds) masyarakat modern dirasionalisasi di bawah tekanan imperatif sistemik. Pada saat yang sama, rekonstruksi semacam itu akan memberikan standar kritis yang melaluinya praktik-praktik nyata—yaitu realitas negara konstitusional yang buram dan membingungkan—dapat dievaluasi.

Terlepas dari jaraknya dengan konsep-konsep tradisional rasio praktis, bukanlah hal yang sepele bahwa teori hukum dan demokrasi kontemporer masih berupaya menghubungkan diri dengan formasi konsep klasik sama sekali. Teori ini dimulai dengan kekuatan pengintegrasi sosial dari proses mencapai kesepahaman yang memotivasi secara rasional, dan karena itu bersifat non-koersif (tanpa paksaan). Proses-proses ini menyediakan ruang bagi jarak dan perbedaan yang diakui di dalam kesamaan keyakinan yang berkelanjutan. Para filsuf moral dan filsuf hukum mengadopsi perspektif ini dalam diskursus normatif yang masih mereka jalankan, bahkan dengan semangat yang lebih besar dari sebelumnya. Karena mereka mengkhususkan diri dalam menangani pertanyaan-pertanyaan tentang validitas normatif dalam sikap performatif sebagai partisipan, mereka biasanya tetap berada di dalam cakrawala dunia-kehidupan (lifeworlds) yang terbatas, yang mantranya sebenarnya telah dipatahkan oleh observasi-observasi objektif para ilmuwan sosial sejak beberapa waktu lalu. Teori-teori normatif terbuka terhadap kecurigaan bahwa mereka kurang memperhatikan fakta-fakta keras yang telah lama bertentangan dengan pemahaman diri kontraktarian dari negara konstitusional modern. Dari sudut pandang objektif ilmu-ilmu sosial, pendekatan filosofis yang masih beroperasi dengan alternatif antara tatanan yang distabilkan secara paksa (forcibly) versus tatanan yang dilegitimasi secara rasional (rationally) dianggap termasuk dalam semantik transisional dari era modernitas awal. Terminologi semacam itu tampaknya menjadi usang setelah transisi dari masyarakat yang terstratifikasi menuju masyarakat yang terdiferensiasi secara fungsional telah selesai. Bahkan ketika kita mengadopsi pendekatan teoretis yang memberikan peran sentral pada konsep komunikatif tentang "rasio praktis", kita harus—tampaknya—memilih bentuk komunikasi yang khusus dan sangat menuntut yang hanya mencakup sebagian kecil dari spektrum luas bentuk-bentuk komunikasi yang dapat diamati: "dengan menggunakan saluran yang sempit seperti itu, seseorang sulit untuk berhasil, dalam paradigma baru mengenai pencapaian kesepahaman ini, untuk sekali lagi mengisi teori masyarakat yang cukup kompleks".[3]

....(Berlanjut pada "Tossed to and fro between facticity and validity....)


























Posting Komentar untuk "Jürgen Habermas, Antara Fakta dan Keabsahan Normatif: Kontribusi untuk Teori Diskursus Hukum dan Demokrasi"