Opini Terbaru
OPINI Berdesa: Buku Anotasi UU Desa Karya PATTIRO
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Suatu hal yang tak-terbayangkan ketika UU Desa begitu dahsyatnya menebarkan asas rekognisi-subsidiaritas, tetapi pada tahap implementasi harus menghadapi jejaring yuridis-formal berupa tata aturan main village project. Kewenangan lokal berskala Desa nyaris tidak menjadi diskursus, obrolan dan perbincangan yang sistematis dan massif di beberapa daerah --kecuali Kabupaten Kebumen yang berinisiatif menerbitkan Perbup Kewenangan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa atau Desa Pemasar, kecamatan Maronge, Kabupaten Sumbawa yang menerbitkan Perdes No. 12 Tahun 2015 tentang kewenangan lokal.
Anotasi biasa digunakan ahli hukum untuk mencari jawaban historis atas peliknya implementasi kebijakan. PATTIRO berinisiatif untuk melakukan epistemic project ini agar publik mengetahui cara mengurai perdebatan atas delay of implementation UU Desa. Buku anotasi ini didorong oleh Menteri Desa agar disebarluaskan secara cepat dan sekaligus mengatasi berbagai keraguan di Desa. Dorongan politik ini wajar kiranya jika melihat pekerjaan berat dari PATTIRO yang sudah mengurai satu persatu perdebatan di parlemen tentang UU Desa. Bagi analis kebijakan hukum (legal policy analyst) buku Anotasi sangat membantu untuk memberi kilas balik agar keluaran analitiknya mendapatkan konteks yang tidak merugikan Desa dalam jangka panjang.
Catatan historis menarik yang diungkap dalam Buku Anotasi UU Desa antara lain tentang pembangunan kawasan perdesaan (rural development driven). Pihak swasta yang selama ini diunggulkan melakukan investasi berhasil dikonstruksikan berdasar asas rekognisi dan subsidiaritas, Desa-desa di suatu kawasan itu harus dilibatkan melalui kemitraan dan shareholding. Saya teringat diskusi dengan Sutoro Eko (saya juluki: bapak shareholding Desa) bahwa shareholding merupakan terobosan agar Desa tidak diposisikan sebagai pihak yang menerima "sisa"/residu dari perjanjian antara Perusahaan dan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota. Warga Desa berhak menjadi pemilik saham atas project di Kawasan Perdesaan.
Identitas Kawasan Perdesaan pun menjadi jelas bahwa prakarsa Desa-desa menjadi tumpuan atas pembentukan kawasan sebagai basis penghidupan ekonomi, sumber daya alam dan modal sosial untuk Desa-desa. Tantangannya adalah PP No. 47 Tahun 2015 yang mengubah beberapa ketentuan Kawasan Perdesaan dalam PP No. 43 Tahun 2014 yang membuka peluang (opportunity) bagi Kementerian/Lembaga untuk "masuk ke Kawasan Perdesaan" secara teknokratik (RPJMN, RPJMD Provinsi dan seterusnya). Kita semua sudah mafhum bahwa mekanisme teknokratik melalui Musrenbangdes dan sejenis sudah diambang kebangkuratan. Usulan dari Desa-desa nyaris tak terdengar aspirasinya, bahkan terhenti ditengah jalan tanpa ada kejelasan alasan kecuali ada sikap keberpihakan dari pemimpin politik daerah atas prakarsa Desa-desa. UU Desa mengadaptasi pengalaman Musyawarah Antar Desa yang diisi dengan spirit asas hukum rekognisi-subsidiaritas guna pembentukan Kawasan Perdesaan. Disinilah peran BKAD (Badan Kerjasama Antar Desa) mengalami perubahan mindset agar menjadi kekuatan lintas-Desa dan bukan pelaksana village project semata.
Buku Anotasi UU Desa yang dibagikan bebas secara online menjadi inspirasi bagi aktor kebijakan hukum bahwa komunitas epistemik harus dibentuk di kanal-kanal aktivis, birokrasi dan lembaga donor. Siasat implementasi UU Desa mesti berhadapan dengan penumpang gelap dimana para penumpang gelap ini sejak semula tidak ikut peduli dengan UU Desa tetapi kini merasa paling berhak untuk panen atas implementasinya. Kisah para penumpang gelap UU Desa hanya bisa diatasi oleh 47 Ronin yang memihak visi Tradisi Berdesa dan tidak mengabdi kepada para elit shogun yang hegemonik.
Dalam kesejarahan Nusantara sudah terajarkan, kitab Desawarnana (Negarakretagama) maupun Sotasoma (tenar dengan Bhinneka Tunggal Ika) menandaskan bahwa "Negara menata Desa" tapi jangan pernah melanggar cara/tradisi Desa (Negara mawa tata, Desa mawa cara). Langkah implementasi yang lepas dari kesejarahan/anotasi niscaya membuat linglung orientasi kebijakan yang cenderung beranjak dari the will to improve (kehendak untuk memperbaiki) tapi sayangnya jatuh ke kubangan governmentality (serba administrasi, serba mengatur, serba kendali atas tubuh).
Hemat saya, perdebatan di parlemen atas UU Desa dalam Buku Anotasi PATTIRO ini secara implisit menyuguhkan suatu kesungguhan untuk sintesis Desa Membangun dan Membangun Desa dalam gelombang panjang 1 (satu) abad NKRI kedepan: tahun 2045 Desa menjadi kekuatan politik, ekonomi dan pertahanan semesta.*
Penulis: Anom Surya Putra (tulisan terbit pertama kali pada tahun 2016)
Unduh buku anotasi UU Desa dari Pattiro, klik BUKU ini.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar