Opini Terbaru

[NOVEL HUKUM] IUS COMMUNICATIVA Karya Anom Surya Putra

Gambar
 IUS COMMUNICATIVA Karya: Anom Surya Putra Bab 1: Kejahatan yang Bernama Diam Gemericik air pancuran kecil mengisi sunyi pagi, bercampur aroma kopi dan teh yang mengepul di meja kayu lapuk. Dua cangkir keramik retak berdampingan—saksi bisu malam panjang yang kuhabiskan menatap layar komputer. Ribuan kata menari-nari, mencoba menjelma gagasan, tapi yang tersisa hanyalah kelelahan yang menusuk pelipis. Jemariku mengetuk meja, mengikuti irama Echo Band di pergelangan tangan: gelang perak yang merekam setiap desah, setiap jeda. Di dunia ini, diam lebih dari tiga detik adalah pelanggaran. "Hukum pertama Ius Communicativa: Kebenaran lahir dari kata-kata yang tak terputus," begitu Magister Orin mengajariku dulu. Tapi pagi ini, asam lambungku memberontak, seolah memperingatkan: ada yang salah dengan hukum yang kupercaya. Di mall, keramaian menyergapku dengan hiruk-pikuk obrolan. Seorang wanita menjerit ke pasangannya di depan Echo Chamber: "Kau bohong! Aku bisa dengar jeda 0,5 d...

Between Facts and Norms, Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (1): Pengantar dari William Rehg



Jürgen Habermas menulis buku tebal mengenai filsafat hukum, sosiologi hukum dan demokrasi deliberatif. Buku Habermas yang paling lengkap membahas tentang hukum ini masih jarang dibaca dan belum menjadi kerangka kerja teoritis di kalangan ilmuwan hukum. Awalnya, buku Habermas itu berjudul "Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy" (Antara Fakta dan Keabsahan Normatif: Kontribusi untuk Teori Diskursus Hukum dan Demokrasi), diterbitkan Massachusetts Institute of Technology (1996). Buku berbahasa Inggris ini merupakan penerjemahan dari Faktizität und Geltung: Beiträge zur Diskurstheorie des Rechts und des demokratischen Rechtsstaats, Frankfurt a.M. 1992. 

Anom Surya Putra

Serial artikel sebelumnya di blog ini membahas sekilas pengantar dari William Rehg tentang buku yang ditulis oleh Habermas, Between Facts and Norms. Kali ini penerjemahan lengkap akan disajikan untuk pembaca. Selamat merenungkan filsafat hukum dan sosiologi hukum. Mahasiswa, praktisi hukum, ilmuwan sosial hukum dan politisi partai politik perlu membaca dan menimbang-nimbang buku ini dalam praksis berhukum kontemporer.

------------------

Pengantar Penerjemah

William Rehg

Teori hukum (legal theory) dan teori demokrasi saat ini berada di persimpangan jalan. Dalam perjalanan panjang rezim demokrasi pasca-industri Barat, masalah kompleksitas sosial, pluralisme, dan negara kesejahteraan telah menempatkan kerangka kerja konstitusi-lama berada di bawah kondisi tekanan yang luar biasa. Beberapa tantangan hanya terjumpai secara intensif melalui penyebaran impuls-impuls demokratik yang melintasi dunia, menuju wilayah yang mana kondisi-kondisi kultur dan infrastruktur untuk demokrasi dan negara hukum (rule of law) masih harus dibangun dengan sadar. Dalam konteks ini, perkembangan teoritis hukum yang lebih subur dan optimistik telah dihubungkan dengan idea-idea "demokrasi deliberatif". Idea-idea ini merefleksikan suatu keprihatinan bahwa partisipasi warga negara dalam proses demokratis mempunyai karakter rasional ---pemungutan suara (voting), misalnya, seharusnya tidak disederhanakan sebagai agregat dari preferensi-preferensi yang telah diberikan tetapi lebih mengikuti proses "interaksi antar-pemikiran dan pembentukan opini" sehingga warga negara terinformasi mengenai argumen-argumen terbaik dan kepentingan yang lebih umum.[1] Karya Jurgen Habermas berjudul Between Facts and Norms, dengan menekankan peran diskursus publik dalam demokrasi, telah memberikan kontribusi secara khusus pada kecenderungan intelektual tersebut. Namun keliru bila melihat kontribusi itu secara sederhana hanya sebagai argumen tambahan untuk demokrasi deliberatif. Dengan memberikan penghormatan atas upaya puncak Habermas dalam karya sebelumnya pada tahun 1962 berjudul Strukturwandel der Öffentlichkeit,[2] buku Between Facts and Norms ini berupaya menyisir, konseptualisasi hukum dan hak-hak dasar yang terinformasikan secara sosiologis, pandangan-pandangan normatif tentang negara hukum (rule of law) dan negara konstitusional, upaya untuk menjembatani pendekatan normatif dan empiris terhadap demokrasi, dan pandangan-pandangan konteks sosial yang dibutuhkan untuk demokrasi. Akhirnya, upaya Habermas tersebut membingkai dan menutup argumen-argumen ini dengan suatu usulan penting mengenai paradigma baru tentang hukum yang melampaui dikotomi-dikotomi yang telah menimpa teori politik modern sejak awal kemunculannya dan masih mengundang kontroversi antara teori liberal dan teori republikan (civic republican).

Upaya Habermas dalam lingkup seperti itu, yang menyatukan secara bersamaan tiga dekade refleksi dan penelitian interdisipliner, yang larut dalam perdebatan di Jerman dan Amerika, dan yang bergerak pada sejumlah tingkatan yang berbeda, menempatkan banyak tuntutan pada pembacanya. Tujuan utama dari pengantar ini adalah untuk meringankan beban itu. Jika orang ingin memahami pendekatan khusus Habermas terhadap hukum, maka orang itu harus memiliki pemahaman tentang ciri-ciri dasar kerangka konseptualnya. Setelah menjelaskan hal ini pada bagian 1, saya secara singkat membuat sketsa argumen-argumen kunci dari buku ini pada bagian 2. Bagian 3 mencatat poin-poin terminologis tertentu.

1.

Risalah filsafat Anglo-Amerika tentang hukum seringkali dimulai dengan definisi tentang konsep hukum itu sendiri. Dalam Between Facts and Norms (Antara Fakta dan Keabsahan Normatif), konsep dasar mengenai hukum sebagai sistem hak-hak (system of rights) tidak nampak diulas sepenuhnya sampai dengan Bab 3. Ini menunjukkan skala ambisius usaha Habermas ketika menjelaskan konsep dasar hukum. Upaya Habermas tampak membutuhkan persiapan yang cukup matang. Sehingga dua bab pertama dalam buku Between Facts and Norms menyajikan kerangka konseptual Habermas dan lanskap perdebatan hukum sebagai sistem hak. Kerangka konseptual Habermas tentang hukum sepenuhnya telah dibahas dalam buku sebelumnya, dua volume dari Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif),[3] dan karya Between Facts and Norms ini cenderung membahas implikasi-implikasi hukum, politik dan kelembagaan dari karya sebelumnya. Saya memulai dengan kerangka konseptual hukum dari Habermas dan memotivasi kita untuk meluaskan cara menganalisis Hukum Modern dan Demokrasi. Kita akan menelusuri teka-teki yang dibuat Habermas yaitu dualitas paradoks hukum modern. Selanjutnya barulah kita akan bisa memahami Teori Tindakan Komunikatif secara partikular untuk memahami ketegangan dalam hukum dan melakukan pembahasan secara konstruktif.

Dualitas Hukum Modern

Untuk melakukan pendekatan analisis hukum modern dalam ketegangan "antara fakta-fakta dan norma-norma (between facts and norms)" ---atau antara faktisitas dan keabsahan normatif (facticity and validity)," untuk menerjemahkan judul berbahasa Jerman dari buku ini secara harfiah--- bukanlah hal yang mengejutkan. Ruang/ranah hukum (legal sphere) sudah sejak lama dikarakterisasikan oleh teoritisi pada konteks dualitas itu. Lazim kita saksikan, ketegangan tersebut berada pada beberapa level, tetapi pada masing-masing level kita menemukan realitas sosial di satu sisi dan klaim nalar (yang terkadang ditolak realitas) di sisi lain. Pertimbangkan, misalnya, aturan hukum yang bersifat memaksa (compulsory laws) yang didukung dengan sanksi-sanksi. Di satu sisi, hukum merupakan kehendak dari pembentuk-aturan-hukum yang berkuasa untuk menghukum siapapun yang tidak patuh; sejauh aturan hukum itu benar-benar ditegakkan dan diikuti, maka aturan hukum itu memiliki keberadaan yang mirip dengan fakta sosial. Di sisi lain, aturan hukum yang bersifat memaksa (compulsory laws) bukan hanya perintah yang didukung dengan ancaman tetapi mewujudkan klaim legitimasi. Desakan Oliver Wendell Holmes bahwa kita harus memahami hukum seperti yang dilakukan oleh "orang jahat" (bad man) ---yaitu, melihat hukum hanya dalam pandangan tentang konsekuensi negatif yang mungkin terjadi karena tertangkap basah melanggar hukum--- tidak bisa menjadi keseluruhan narasi. Senyatanya, banyak warga negara yang tidak secara konsisten "jahat" dalam pengertian ini, dan diragukan apakah suatu sistem hukum dapat bertahan lama apabila setiap orang mengambil pendekatan eksternal ini sepanjang waktu. Setidak-tidaknya sebagian penduduk, bahkan mayoritas, harus memandang aturan hukum sebagai standar yang harus diikuti setiap orang, entah karena mencerminkan cara leluhur, struktur kosmos, atau kehendak Tuhan, atau karena mereka telah disetujui secara demokratis atau hanya diundangkan menurut prosedur yang telah ditetapkan. Apa yang oleh H.L.A. Hart sebut sebagai "aspek internal" hukum (internal aspect of law) adalah fungsi legitimasi atau pengakuan sosial hukum.[4] Tentu saja bagaimana legitimasi tersebut harus ditafsirkan, jelas merupakan pertanyaan lebih lanjut. Poin pentingnya adalah ini: hukum adalah sistem aturan yang dipaksakan dan prosedur impersonal yang juga melibatkan suatu seruan untuk alasan yang harus diterima oleh semua warga negara, setidaknya secara ideal.

Habermas sangat berutang budi pada konsep legitimasi Immanuel Kant, yang memunculkan ketegangan hukum dengan sangat baik. Pertimbangkan, misalnya, hak dasar yang setara dari kebebasan individu, seperti properti dan hak kontrak. Kant membumikan legitimasi hukum dalam prinsip hukum universal (Rechtsprinzip, sering diterjemahkan sebagai "prinsip hak" atau principle of right), yang dapat ditafsirkan sebagai kondisi yang mana dimungkinkan bagi subjek yang berorientasi moral, untuk memaknai dan menguniversalisasi batas-batas pada perilaku eksternal individu yang berorientasi strategis. Dengan mengikuti pendapat dari Immanuel Kant, "konsepsi moral (moral conception)" hukum adalah "jumlah dari kondisi kehendak bebas (Willkür) seseorang yang dapat digabung dengan kehendak bebas orang lain, sesuai dengan hukum kebebasan universal." Analisis hak ini memunculkan ketegangan internal antara faktisitas dan validitas yang menghuni hukum secara umum: sebagai sesuatu yang ditindaklanjuti dan ditegakkan, hak-hak tersebut (dan norma hukum secara umum) mewakili fakta sosial yang mendemarkasi area yang mana individu yang berorientasi keberhasilan dapat memilih dan bertindak sesuai keinginan mereka; terhubung dengan kebebasan yang universal, hak yang layak untuk dihormati sebagai subjek moral, dan dengan demikian membawa klaim legitimasi.

Bagaimanapun juga, pendapat Immanuel Kant tentang legitimasi, sebagaimana Habermas membacanya, pada akhirnya menundukkan (subordinates) hukum pada moralitas. Kant juga mengandalkan kerangka metafisis yang tidak lagi masuk akal: pada beberapa pendapat Kant, suatu kemungkinan mengenai aksesibilitas rasionalitas yang universal tergantung pada harmoni rasionalitas yang telah ditetapkan sebelumnya melampaui dunia empiris. Sementara mensubordinasikan hukum pada moralitas terlalu menyederhanakan dasar-dasar legitimasi yang rasional, maka menerapkan rasionalitas yang disatukan secara transendental mengandaikan konsensus sebelum diskursus publik yang sebenarnya. Meskipun demikian, seruan Kant pada konsensus rasional sebagai cita-cita regulatif telah menangkap bagian penting dari ketegangan dalam hukum. Jika hukum pada dasarnya dibentuk oleh ketegangan antara faktisitas dan validitas ---antara generasi faktual, administrasi, dan penegakan institusi sosialnya di satu sisi dan klaimnya untuk mendapatkan pengakuan umum di sisi lain--- selanjutnya suatu teori yang menempatkan karakter idealisasi klaim validitas dalam konteks sosial yang konkret merekomendasikan dirinya untuk analisis hukum. Inilah yang dimungkinkan oleh Teori Tindakan Komunikatif, tanpa pretensi metafisis dan penyederhanaan moralistis yang kita temukan dalam pemikiran filsafat Immanuel Kant.

Teori Pascametafisis tentang Nalar

Teori tindakan komunikatif secara utama merupakan teori rasionalitas, upaya untuk menyelamatkan klaim nalar yang pernah dikemukakan dalam pencakupan sistem metafisika (seperti Thomas Aquinas), filsafat sejarah (seperti GWF Hegel), atau filsafat kesadaran (seperti Kant). Menurut Habermas, pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris, pluralisasi pandangan dunia, dan perkembangan lainnya telah membuat pendekatan filosofis besar seperti itu umumnya tidak masuk akal ---dan dalam prosesnya memunculkan kemiskinan pandangan nalar hanya sebagai instrumental. Oleh karena itu, jika seseorang ingin menyelamatkan konsep nalar yang komprehensif saat ini, ia harus mengambil pendekatan "pascametafisis". Seperti yang digunakan Habermas, istilah "pascametafisis," yang tidak boleh dikacaukan dengan "pascamodern," mencakup sejumlah teori filosofis yang berbeda. Sebagai contoh spesifik, orang mungkin menunjuk pada teori keadilan "politik bukan metafisik" John Rawls dan teori Ronald Dworkin tentang "hukum sebagai integritas."[6] Dalam berbagai hal, bagi Habermas pembenaran nalar pasca-metafisis hanya mungkin sejauh filsafat ---dalam kerja sama interdisipliner dengan berbagai macam pertanyaan empiris--- dapat menunjukkan bagaimana penggunaan bahasa dan interaksi sosial secara umum harus bergantung pada gagasan validitas, seperti kebenaran, kebenaran normatif, ketulusan, dan keaslian.[7] Ini tidak hanya memerlukan analisis filosofis komunikasi tetapi juga perhatian pada perdebatan dalam berbagai disiplin ilmu.

Filsafat pascametafisis dengan demikian tidak perlu menyerahkan semua ambisinya sendiri. Ini sudah terbukti dalam fokus pada validitas. Pada pandangan Habermas, klaim validitas melibatkan momen idealisasi tanpa syarat yang membawa klaim-klaim itu melampaui konteks langsung yang mana klaim-klaim itu dimunculkan. Ini paling jelas dengan jenis klaim kebenaran tertentu, seperti yang umumnya dipahami. Misalnya, ketika kita menegaskan hari ini bahwa bumi adalah ruang-bulat (kira-kira), kita tidak hanya bermaksud bahwa itu "benar bagi kita" bahwa bumi itu ruang-bulat. Sebaliknya, kita juga menyatakan bahwa siapa pun, dari generasi atau budaya apa pun, yang percaya sebaliknya adalah salah. Yang pasti, pemahaman universalis tentang kebenaran telah berada di bawah bahkan dalam filsafat ilmu-ilmu alam, dan dengan demikian seharusnya tidak mengherankan bahwa seorang filsuf yang membela konsep universalis validitas normatif dalam domain praktis ---domain moralitas, politik, dan hukum--- menghadapi rintangan yang agak mengesankan. Inti dari tantangan ini adalah secara konstruktif untuk mempertahankan ketegangan antara klaim nalar yang sangat idealisasi dan melampaui konteks dan konteks yang selalu terbatas yang mana rasionalitas manusia harus melakukan perdagangannya. Dengan demikian cukup dimengerti bahwa ketegangan "antara fakta dan norma" harus berdiri di pusat upaya Habermas untuk membawa teorinya tentang tindakan komunikatif untuk menanggung institusi hukum dan demokrasi yang ada. Teori hukum-politik yang didasarkan pada teori tindakan komunikatif tidak dapat menghindari ketegangan ini, yang sebenarnya muncul di setiap tingkat analisis, seperti yang ditunjukkan Habermas dengan susah payah di bab pertama: dalam penggunaan bahasa itu sendiri, dalam hukum modern, dan antara hukum dan realitas sosial. Sekarang saya beralih ke penerapan teori tindakan komunikatif Habermas, pertama-tama ke koordinasi sosial secara umum dan selanjutnya ke hukum modern.

Struktur Komunikatif Koordinasi Sosial

Bab pertama dapat dibaca sebagai rekonstruksi Habermas sendiri yang sangat teoritis tentang karakter paradoks hukum dan peran khusus hukum dalam masyarakat modern. Rekonstruksi ini memiliki sejumlah untaian yang terjalin erat: bukan hanya teori validitas abstrak tetapi juga teori modernitas yang ambisius, ia mencoba untuk melakukan rekonstruksi kebangkitan hukum modern dengan struktur gandanya. Daripada menelusuri seluk-beluknya langkah demi langkah, berikut ini saya akan mengilustrasikan kategori dasar yang diperlukan untuk mengikuti catatan Habermas.

Pertama-tama kita harus menyadari bahwa teori tindakan komunikatif melibatkan pandangan tertentu tentang bagaimana koordinasi sosial dipengaruhi melalui bahasa. Dengan menggambarkan pandangan-pandangan yang bermula dari pragmatisme Amerika dan teori tindak tutur J. L. Austin dan John Searle, Habermas menganggap pendekatan "formal-pragmatis" terhadap bahasa merupakan pandangan yang paling memadai untuk teori sosial. Pendekatan ini melampaui analisis semantik dan sintaksis makna dan tata bahasa untuk memeriksa struktur umum yang memungkinkan pembicara yang kompeten benar-benar terlibat dalam interaksi yang sukses, yang melibatkan lebih dari sekadar mengetahui bagaimana membentuk kalimat gramatikal.[8] Secara khusus, pembicara yang kompeten tahu bagaimana mendasarkan interaksi mereka pada klaim validitas yang akan diterima oleh pendengar mereka atau yang dapat, jika perlu, ditebus dengan alasan yang baik. Seperti yang telah disebutkan, ini melibatkan ketegangan antara faktisitas dan validitas sejauh klaim validitas yang diajukan di sini dan sekarang, dan mungkin dibenarkan menurut standar lokal, pada akhirnya menunjuk di luar komunitas tertentu. Setidaknya inilah yang terjadi dengan klaim kebenaran dan klaim moral. Seperti yang dipahami oleh partisipan yang terlibat dalam interaksi dan diskursus, klaim kebenaran adalah klaim tentang dunia objektif yang dimiliki semua manusia, dan klaim moral berkaitan dengan norma-norma untuk hubungan interpersonal yang harus diterima secara rasional oleh setiap orang dewasa otonom dari sudut pandang keadilan dan penghormatan terhadap orang. Jika klaim tersebut valid, maka setiap pembicara yang kompeten harus, dalam kondisi yang sesuai, dapat menerima klaim berdasarkan alasan yang baik. Ketika suatu klaim diperebutkan, sebenarnya membawa penerimaan rasional seperti itu, yang mengharuskan aktor untuk beralih ke diskursus, yang mana, tekanan tindakan yang kurang lebih dinetralkan, dapat mengisolasi dan menguji klaim yang disengketakan semata-mata berdasarkan argumen.[9]

Yang pasti, tidak semua jenis klaim mengantisipasi kesepakatan audiens universal. Perbedaan antara jenis diskursus bisa sangat penting dalam hal ini. Misalnya, klaim tentang apa yang baik untuk kelompok tertentu (atau orang), atau tentang pemahaman-diri otentik kelompok tertentu, dapat ditujukan hanya kepada individu yang bersangkutan dan mereka yang mengenal dirinya dengan baik. Diskursus semacam itu, yang Habermas beri label "etis," berbeda dalam tema dan ruang lingkup audiens dari diskursus "moral" yang berkaitan dengan norma-norma keadilan universal.[10] Tetapi bahkan klaim etis yang lebih terbatas ini mengandaikan orientasi pada saling-pengertian, yang bagi Habermas merupakan konstitutif dari tindakan komunikatif. Orientasi untuk mencapai pemahaman tentang klaim validitas berfungsi sebagai mekanisme untuk integrasi sosial karena mendasari harapan bersama, cara menafsirkan situasi, dan sebagainya.

Untuk menggambarkan pendekatan Habermas lebih lanjut, bayangkan bahwa perselisihan muncul dalam suatu kelompok dan bahwa anggotanya ingin menyelesaikannya secara konsensual berdasarkan klaim validitas. Menurut Habermas, resolusi konflik berdasarkan kesepakatan yang beralasan dengan melibatkan setidaknya tiga asumsi idealisasi: anggota harus menganggap mereka memiliki arti yang sama dengan kata-kata dan ungkapan yang sama; mereka harus menganggap diri mereka bertanggung jawab secara rasional; dan mereka harus menganggap bahwa, ketika mereka sampai pada resolusi yang dapat diterima bersama, argumen pendukung cukup membenarkan keyakinan (yang tidak layak) bahwa setiap klaim kebenaran, keadilan, dan sebagainya yang mendasari konsensus mereka tidak akan terbukti salah atau salah. Tidak ada konsensus lokal yang terbatas secara spasial-temporal yang dapat sepenuhnya mewujudkan idealisasi ini; namun jika mereka kemudian terbukti salah ---jika anggota menemukan bahwa istilah penting dipahami dalam dua cara yang berbeda atau bahwa mereka benar-benar menipu diri sendiri atau bahwa mereka keliru tentang fakta atau norma tertentu--- maka ada alasan untuk mempertanyakan perjanjian awal dan membuka kembali diskusi. Artinya, idealisasi ini menyiratkan ketegangan antara penerimaan sosial de facto (soziale Geltung) dari konsensus kelompok dan validitas ideal (Gültigkeit) bahwa konsensus semacam itu harus mengklaim untuk dirinya sendiri bila anggota menerimanya sebagai yang-masuk-akal. Kesepakatan yang dicapai secara komunikatif pada prinsipnya selalu terbuka untuk tantangan, dan dengan demikian paling baik merupakan sumber integrasi sosial yang genting. Jika sebuah komunitas ingin menjadi komunitas yang stabil, maka, ia membutuhkan lebih dari sekadar kesepakatan eksplisit sebagai dasar untuk kerja sama sosial. 

Resolusi konflik akan menjadi lebih mudah bila semakin banyak anggota kelompok dapat membatasi upaya diskursif mereka terhadap beberapa klaim validitas yang bermasalah. Misalnya, jika mereka berselisih tentang cara terbaik untuk mengelola ancaman lingkungan tertentu ---orang mungkin membayangkan dewan kota memperdebatkan cara menangani banjir yang akan segera terjadi--- mereka memiliki peluang lebih baik untuk mencapai kesepakatan apabila mereka hanya harus menyelesaikan pertanyaan empiris tentang efektivitas dua strategi yang bersaing, dan tidak juga harus berdebat tentang kriteria keadilan, atau apa yang akan dihitung sebagai hasil yang sukses. Singkatnya, mencapai kesepakatan secara komunikatif membutuhkan konsensus latar belakang yang besar tentang hal-hal yang tidak bermasalah bagi anggota kelompok.

Kesepakatan implisit yang diwakili oleh latar belakang dunia-kehidupan (lifeworld) seperti itu menstabilkan kelompok yang terintegrasi secara komunikatif sejauh ia menghilangkan sejumlah besar asumsi dari tantangan ---seolah-olah, memadukan validitas dengan faktisitas latar belakang budaya tertentu. Ini karena latar belakang tidak hanya menyediakan sumber daya bersama bagi anggotanya untuk mengelola konflik; sebagai sumber identitas bersama, ini juga mengurangi jumlah masalah yang kemungkinan akan diperebutkan pada waktu tertentu, sehingga area interaksi sosial yang luas bersandar pada basis konsensus yang tidak perlu dipertanyakan secara stabil.[11]

Jika anggota tidak dapat menyetujui bagaimana menyelesaikan konflik tertentu, katakanlah pada pertanyaan yang disebutkan sebelumnya tentang bagaimana menangani banjir yang akan datang, mereka dapat mencoba untuk tawar-menawar. Seperti yang dipahami Habermas tentang mode resolusi konflik ini, hal ini melibatkan pergeseran perspektif tertentu dari pihak-pihak yang bertikai dari tindakan komunikatif ke strategis. Alih-alih mencoba meyakinkan satu sama lain tentang klaim yang valid mengenai strategi yang secara intrinsik lebih baik, masing-masing pihak mulai tawar-menawar dengan ancaman dan janji dengan harapan mendorong yang lain untuk bekerjasama dengannya dalam mengejar kebijakan penanganan banjir tertentu. Dalam istilah yang lebih umum, seorang aktor yang mengadopsi sikap strategis terutama berkaitan dengan mendapatkan jalannya dalam lingkungan sosial yang mencakup aktor lain. Dalam banyak konteks dipahami oleh mereka yang terlibat bahwa sikap seperti itu tepat adanya. Bahkan, kebutuhan akan hukum modern sebagian muncul karena, dengan pertumbuhan ekonomi pasar kapitalis, konteks yang didominasi oleh tindakan strategis menjadi semakin penting untuk koordinasi sosial.

Kebutuhan untuk Hukum Positif

Untuk memahami hukum dalam kerangka kerja yang disediakan oleh teori tindakan komunikatif Habermas, kita perlu memperkenalkan beberapa komplikasi yang sementara dikesampingkan oleh ilustrasi sebelumnya demi kejelasan. Pertama, karena masyarakat modern bersifat pluralistik, resolusi konflik harus terjadi di sejumlah subkelompok, yang masing-masing memiliki pemahaman-diri yang agak berbeda dan serangkaian asumsi latar belakang bersama. Kedua, pluralisasi modern telah melahirkan proses yang disebut Max Weber sebagai "kekecewaan dunia." Untuk tujuan kita, ini mengacu pada hilangnya "kanopi suci," fakta bahwa pluralisasi telah merusak, atau setidaknya terfragmentasi, otoritas agama umum dan pandangan dunia.[12] Ketiga, masyarakat modern telah mengembangkan diferensiasi kompleks bidang fungsional yang didefinisikan oleh tugas-tugas spesifik reproduksi sosial (ekonomi, sistem pendidikan, politik, dan sebagainya). 

Pluralisasi dan kekecewaan merusak cara-cara yang mana masyarakat dapat menstabilkan diri terhadap latar belakang dan otoritas bersama yang menghilangkan masalah dan asumsi tertentu dari tantangan. Masyarakat modern menyaksikan peningkatan variasi kelompok dan subkultur, masing-masing memiliki tradisi, nilai, dan pandangan dunia yang berbeda. Akibatnya, semakin banyak konflik harus diselesaikan dengan mencapai kesepakatan eksplisit mengenai berbagai hal yang dapat diperebutkan, dalam kondisi yang mana dasar bersama untuk mencapai kesepakatan tersebut semakin berkurang. Bidang-bidang kehidupan yang mana faktisitas dan validitas pernah menyatu berada di bawah pengawasan kritis yang meningkat, faktisitas dan validitas semakin terpecah, sebagaimana adanya ---menggerakkan proses rasionalisasi masyarakat. Artinya, anggota semakin dipaksa untuk memisahkan bidang validitas yang berbeda, misalnya, untuk membedakan pertanyaan ilmiah dari pertanyaan keimanan, pertanyaan keadilan dan moralitas dari penilaian estetika, dan sebagainya, suatu perkembangan yang Weber coba tangkap dengan konsepnya tentang diferensiasi "ranah nilai."

Penggunaan nalar komunikatif yang semakin terdiferensiasi pada tingkat dunia kehidupan (lifeworld) dikaitkan dengan ketiga aspek modernitas tersebut, diferensiasi fungsional subsistem semi-independen yang mana tindakan strategis memperoleh kepentingan yang lebih besar untuk koordinasi sosial.[13] Ekonomi kapitalis mungkin adalah contoh paling jelas dari hal ini. Pembeli dan penjual bertindak "strategis" daripada komunikatif karena mereka membuat keputusan sesuai dengan kepentingan mereka sendiri dan kondisi pasar eksternal. Koordinasi sosial yang muncul atas dasar ini dicapai bukan dengan mencapai kesepakatan tentang klaim validitas tetapi "di belakang punggung para aktor," melalui mekanisme pasar anonim yang diciptakan oleh penjalinan (intermeshing) konsekuensi tindakan yang sebagian besar tidak diinginkan. Dalam bahasa fungsionalis, ekonomi mewakili tingkat integrasi sosial yang terjadi melalui medium uang ("medium pengarah nonlinguistik"). Medium ini membebaskan pelaku pasar dari kebutuhan untuk mencapai konsensus substantif, sehingga ---secara teori, setidaknya--- mereka dapat dengan mudah mengejar keuntungan pribadi mereka sendiri dan percaya pada efek agregat keseluruhan pasar untuk mendistribusikan barang dan jasa secara merata dan efisien.[14]

Selain uang dan reproduksi ekonomi yang diarahkannya, "integrasi sistem" juga dilakukan melalui medium kekuasaan dalam organisasi yang terstruktur secara formal. Dalam administrasi birokrasi, misalnya, kekuatan hierarkis atasan terhadap bawahan memengaruhi realisasi tujuan kolektif yang terkoordinasi. Otoritas untuk mengeluarkan perintah yang mengikat berarti bahwa atasan tidak harus meyakinkan bawahan tentang kelayakan setiap tugas yang diberikan kepada mereka, sehingga mengurangi kebutuhan akan konsensus eksplisit. Meskipun ini sama sekali bukan keseluruhan cerita tentang bagaimana organisasi birokrasi sebenarnya berfungsi,[15] ini menunjukkan bagaimana organisasi hierarkis setidaknya mengurangi beberapa beban yang terlibat dalam mencapai kesepakatan eksplisit.

Hukum modern dimaksudkan untuk memecahkan masalah koordinasi sosial yang muncul di bawah kondisi tersebut, yaitu, yang mana, di satu sisi, pluralisasi masyarakat telah memecah-belah identitas bersama dan mengikis sumber daya dunia-kehidupan substantif untuk konsensus dan, di sisi lain, tuntutan fungsional reproduksi material menyerukan peningkatan jumlah area yang mana individu dibiarkan bebas untuk mengejar tujuan mereka sendiri sesuai dengan perintah rasionalitas-bertujuan. Solusinya adalah membatasi kebutuhan akan kesepakatan dengan norma-norma umum yang membatasi dan mengatur area pilihan bebas. Oleh karena itu karakter ganda hukum: di satu sisi, hak-hak hukum dan undang-undang harus menyediakan sesuatu seperti lingkungan sosial yang stabil yang mana orang dapat membentuk identitas mereka sendiri sebagai anggota tradisi yang berbeda dan secara strategis dapat mengejar kepentingan mereka sendiri sebagai individu; di sisi lain, undang-undang ini harus dikeluarkan dari proses diskursif yang membuatnya dapat diterima secara rasional bagi orang-orang yang berorientasi pada pencapaian pemahaman berdasarkan klaim validitas.

Kita sekarang memiliki unsur-unsur dasar dalam konsep hukum modern Habermas: (a) penjelasan tentang fitur-fitur tertentu dari masyarakat modern; (b) perbedaan antara tindakan komunikatif dan strategis; dan (c) catatan tindakan komunikatif dalam hal klaim validitas yang harus dibenarkan dalam diskursus dari berbagai jenis. Perhatikan bagaimana fitur terakhir ini melampaui catatan Immanuel Kant, yang pada akhirnya menundukkan hukum pada moralitas. Sementara Immanuel Kant mengambil validitas moral yang dapat diuniversalkan sebagai model untuk hukum yang absah, Habermas mengusulkan serangkaian diskursus yang lebih kompleks yang mendasari pembuatan hukum yang absah. Bahkan, pendekatan diskursus ini adalah kunci argumennya bahwa demokrasi dan negara hukum terkait secara internal.

Namun, sebelum membahas argumen ini di bagian 2, kita harus mencatat bahwa ada juga ketegangan eksternal (external tension) antara faktisitas dan validitas, khususnya ketegangan antara klaim tatanan hukum konstitusional-demokratis dan cara-cara yang mana bentuk-bentuk kekuasaan sosial benar-benar mengganggu dan merusak kondisi untuk pembuatan hukum yang absah (the conditions for legitimate lawmaking). Bagi para ahli teori dengan kesadaran sosiologis Habermas, tidak ada konsep hukum modern yang masuk akal yang dapat mengabaikan ketegangan eksternal antara fakta dan norma ini, dan justru kegagalan untuk menghargai ketegangan inilah yang mengarah pada satu sisi tertentu dalam banyak teori politik kontemporer. Bab kedua memberi kita gambaran tentang arah Habermas dengan memetakan beting (baca: timbunan pasir yang meruncing) yang mana beberapa alternatif utama telah kandas. Untuk menutup bagian pertama ini, maka, saya secara singkat menunjukkan jalan Habermas di antara dua alternatif utama.

Antara Rawls and Luhmann

Banyak pembaca Anglo-Amerika sudah akrab dengan salah satu alternatif ini, teori keadilan John Rawls.[16] Meskipun ia setuju dengan Rawls, Habermas menemukan bahwa teori keadilan yang sangat normatif tidak cukup menghargai faktisitas sosial yang dihadapi cita-cita konstitusional. Yang pasti, perhatian Rawls dengan konsensus yang tumpang tindih dan stabilitas sosial dari konsepsinya tentang keadilan memang berusaha untuk menunjukkan bagaimana konsepsi ini dapat diterima dalam konteks budaya tertentu. Teori Rawls masuk akal dapat menarik fakta bahwa demokrasi konstitusional telah berkembang dalam masyarakat yang mana tradisi politik tertentu dan ide-ide keadilan secara luas dibagikan. Tetapi ini masih mengabaikan masalah bagaimana institusi hukum dapat mewujudkan cita-cita tersebut dalam konteks yang dibentuk oleh kepentingan yang kuat dan persyaratan fungsional yang kompleks. Dan, untuk menilai dari pesimisme banyak pengamat sosiologis demokrasi, seruan terhadap cita-cita kultural saja tidak akan menjawab masalah yang ditimbulkan oleh kesejahteraanisme, birokratisasi, kepentingan korporasi yang kuat, warga negara yang apatis, dan sebagainya.

Alternatif utama lainnya, teori sistem Niklas Luhmann, mungkin akan kurang akrab bagi pembaca berbahasa Inggris. Faktanya, Luhmann adalah salah satu ahli teori sosial paling berpengaruh di Jerman saat ini (bersama dengan Habermas sendiri) dan, dilihat dari terjemahan karyanya, ia tidak sepenuhnya tidak dikenal oleh khalayak berbahasa Inggris.[17] Meskipun demikian diperlukan pengantar yang lebih panjang untuk pendekatannya yang dimulai dengan beberapa latar belakang sejarah. 

Dalam tradisi kontrak sosial yang kembali ke Thomas Hobbes, yang juga dirujuk Habermas di bawah payung hukum alam "rasional" atau "modern",[18] konstitusi hukum masyarakat berdasarkan hak-hak individu muncul sebagai perpanjangan-yang-masuk-akal dari hubungan kontrak yang mengatur ekonomi borjuis. Institusi-institusi ekonomi kontrak dan kepemilikan sudah mensyaratkan pandangan orang hukum sebagai kebebasan dan kesetaraan, dan dengan demikian sebagai pembawa hak yang sama. Kritik Karl Marx terhadap kapitalisme mengubah intuisi normatif ini dari dalam ke luar. Marx memandang ekonomi sebagai sistem hubungan anonim yang berorientasi bukan pada kebebasan dan kesetaraan yang diproklamirkan pada tahun 1789 tetapi ke arah reproduksi modal yang mengasingkan diri secara manusiawi. Hukum ---dan secara lebih umum, norma dan cita-cita yang diterima secara sadar di balik hukum--- tidak lagi dilihat sebagai elemen kunci dalam koordinasi sosial; titik fokus analisis sosial bergeser ke sistem ekonomi depersonalisasi yang mengintegrasikan pencapaian berlangsung di belakang punggung partisipan. Dengan keluar dari tradisi ekonomi politik (Adam Smith, David Ricardo, James Mill, dan lainnya), pendekatan teoritis ini mengharuskan seseorang untuk mengadopsi perspektif pengamat eksternal, atau apa yang disebut Habermas sebagai "perspektif objektivasi" pada hubungan sosial. "Perspektif performatif" dari para partisipan itu sendiri cenderung dipandang dengan beberapa kecurigaan, sebagai subjek ilusi, dan bahkan dapat dianggap tidak relevan. Bagi Marx, perspektif partisipan masih mempertahankan relevansi teoretis karena kesadaran akan mekanisme sistemik integrasi kapitalis memiliki kekuatan revolusioner yang kritis: bahkan ketika ia mengandalkan perspektif pengamat, ia menyampaikan analisis teoretisnya kepada partisipan yang menganggap serius norma-norma kebebasan dan kesetaraan borjuis. Teori sistem kontemporer, bagaimanapun, menjatuhkan keterlibatan normatif ini sama sekali untuk pendekatan teknokratis yang sepenuhnya objektif terhadap masyarakat. Dengan pembatasan ketat terhadap perspektif pengamat, teori sistem mengambil pendekatan yang sangat berlawanan dari Rawls, dengan komitmennya terhadap pemahaman diri normatif demokrasi konstitusional.

Secara umum, teori sistem memiliki daya tarik tertentu karena kemampuannya untuk mengkonseptualisasikan bentuk-bentuk organisasi sosial yang kompleks yang lebih dipengaruhi pada tingkat makro anonim daripada melalui niat langsung dari masing-masing partisipan. Saya telah menjelaskan secara singkat dua bentuk organisasi seperti itu, ekonomi pasar dan organisasi birokrasi. Sebagai "sistem," masyarakat (atau subsistemnya, seperti sistem politik atau ekonomi) bukan hanya jumlah keyakinan dan keputusan individu tetapi seperangkat elemen yang saling bergantung secara fungsional yang operasi terkoordinasinya itu mempertahankan seluruh sistem atau subsistem. Unsur-unsur mana yang dipilih dan bagaimana fungsinya dipahami bervariasi dengan versi tertentu dari teori sistem, tetapi model kesetimbangan mekanistik dan model homeostasis biologis telah memberikan dua metafora yang lebih berpengaruh untuk teori sistem awal.[19] Meskipun sangat berhutang budi kepada Talcott Parsons, Luhmann telah meradikalisasi teori sistem dengan menggambar pada konsep "autopoiesis" yang awalnya ditujukan untuk organisme hidup.[20] Sistem bersifat "autopoietik" dalam arti bahwa "keadaan sistem ditentukan secara eksklusif oleh operasinya sendiri. Lingkungan pada akhirnya dapat menghancurkan sistem, tetapi tidak berkontribusi pada operasi maupun struktur. Struktur sistem mengembun dan dikonfirmasi sebagai hasil dari operasi sistem itu sendiri, dan operasi pada gilirannya direproduksi secara rekursif dengan mediasi struktural.[21]

Ini menyiratkan bahwa sistem "ditutup secara operasional." Seseorang seharusnya tidak mengacaukan ini dengan independensi kausal dari dunia luar. Sistem hukum, misalnya, tidak bisa ada tanpa sistem psikologis hakim, advokat, klien, dan sebagainya. Sebaliknya, sistem secara operasional tertutup dalam arti bahwa komunikasi makna dalam sistem didefinisikan semata-mata dalam hal bahasa sistem itu sendiri. Akibatnya, suatu sistem dapat mendaftarkan peristiwa di luar dirinya sendiri hanya sejauh mereka dapat "diterjemahkan" ke dalam bahasanya sendiri. Pertukaran properti, misalnya, dapat "diamati" oleh sistem hukum hanya sejauh dimediasi oleh mekanisme hukum yang tepat, seperti akta atau surat wasiat yang sahih. Sebaliknya, tindakan hukum, seperti gugatan atas kerusakan properti, memiliki makna dalam sistem ekonomi hanya sejauh mereka menimpa transaksi moneter. Sejauh bahasa sistem, atau "kode dan pemrograman," menentukan apa, dan bagaimana, peristiwa eksternal diamati, suatu sistem mereproduksi tidak hanya dirinya sendiri tetapi juga lingkungannya. Sebaliknya, tidak ada perspektif sentral dan menyeluruh tentang masyarakat secara keseluruhan tetapi hanya keragaman perspektif yang sesuai dengan subsistem yang berbeda. Pada pendekatan sistem Luhmann, masyarakat adalah "polisentris."

Jika kita memeriksa struktur bahasa hukum sistemik, bagaimanapun, kita dapat melihat bahwa penutupan tersebut kompatibel dengan jenis "keterbukaan kognitif" tertentu. Program dan kode adalah sarana yang mana sistem memecahkan masalah dasarnya, yaitu memilih kemungkinan dalam lingkungan yang kompleks dan kontingen.[22] Berdasarkan kode biner legal versus ilegal (yang mana "ilegal" memiliki arti luas yang mencakup "tidak mengikat secara hukum"), hukum memilih tindakan dan kelalaian tertentu yang diharapkan dalam komunitas hukum. Dengan demikian aktor dapat berharap bahwa orang lain akan mengharapkan mereka untuk melakukan tindakan A dalam situasi tipe X, atau tidak melakukan B dalam situasi tipe Y dan sebagainya.[23] Untuk menangani kekecewaan terhadap harapan ini, undang-undang memberikan sanksi atas pelanggaran mereka. Harapan normatif dengan demikian memiliki sifat bahwa kekecewaan harapan tidak mengarah pada "pembelajaran"; artinya, seseorang tidak menyesuaikan harapan seseorang seperti yang dilakukannya dalam kasus harapan kognitif yang kecewa, katakanlah, tentang bagaimana alam akan berperilaku. Sebaliknya, seseorang menghukum pelanggar untuk memperkuat harapan awal. Pembelajaran, atau pengembangan dalam hukum, terjadi berdasarkan "pemrogramannya," yang memungkinkan sistem hukum untuk beradaptasi dengan situasi baru dengan mengembangkan "program" baru, yaitu, dengan menciptakan norma-norma baru. Dengan cara ini, hukum "terbuka secara kognitif" terhadap lingkungannya. 

Karena lingkungan itu sendiri merupakan konstruksi internal sistem, bagaimanapun, keterbukaan kognitif tidak memecah subsistem sosial dari penutupan-diri (self-enclosure) operasional mereka. Peralihan ke autopoiesis telah memaksa ahli teori sistem untuk mencari cara untuk menjelaskan efek intersistemik.[24] Masalah ini juga muncul dalam modifikasi teori sistem Gunther Teubner, modifikasi yang dalam pandangan Habermas secara empiris tidak dapat dipertahankan atau diam-diam mengandaikan jenis tindakan komunikatif yang harus dikecualikan oleh teori sistem. Habermas berpendapat bahwa masalah seperti itu tidak dapat diselesaikan jika teori tertutup bagi perspektif partisipan yang mengatur penggunaan bahasa sehari-hari. Dari perspektif yang diambil dalam tindakan komunikatif, dan dengan demikian melalui fleksibilitas yang disediakan oleh bahasa biasa, "komunikasi" hukum dapat menengahi antara subsistem fungsional dan dunia-kehidupan.

Pelajaran dari pembacaan Habermas tentang Rawls dan Luhmann adalah ini: jika sebuah catatan tentang hukum modern tidak kosong secara sosiologis atau buta secara normatif, maka ia harus memasukkan perspektif ganda. Ahli teori hukum tidak dapat mengabaikan pemahaman normatif partisipan sendiri tentang sistem hukum mereka maupun mekanisme dan proses eksternal yang dapat diakses oleh pengamat sosiologis. Kebutuhan akan perspektif ganda ini menjelaskan rasa hormat Habermas yang berkelanjutan terhadap para pemikir seperti Weber dan Parsons, yang berusaha menggabungkan perspektif internal dan eksternal dalam analisis mereka. Yang pasti, tidak ada pemikir yang berhasil secara konsisten mempertahankan kedua perspektif tersebut. Tetapi kegagalan mereka setidaknya instruktif, dan pada kenyataannya terletak di balik kompleksitas dan karakter multi perspektif dari analisis Habermas sendiri. Lebih khusus lagi, untuk melakukan keadilan terhadap karakter ganda hukum, Habermas mengusulkan untuk memeriksanya dari perspektif normatif dan empiris, baik sebagai "sistem pengetahuan" (atau seperangkat norma publik) dan sebagai "sistem tindakan" (atau seperangkat institusi) yang tertanam dalam konteks sosial. Dengan demikian ia mencurahkan bab 3 sampai 6 untuk pemahaman diri normatif demokrasi konstitusional, sedangkan bab 7 dan 8 mengambil isu-isu yang berhubungan dengan sosiologi empiris: bagaimana model normatif berhubungan dengan penyelidikan empiris demokrasi dan bagaimana hal itu harus ditempatkan dalam hal proses kekuasaan sosial. Bab 9 kemudian mengakhiri penyelidikan dengan mengusulkan paradigma baru untuk mendekati supremasi hukum dan demokrasi.

2.

Setelah menetapkan parameter dasar hukum modern dalam Bab 1 Between Facts and Norms dan memetakan berbagai perangkap teoretis dalam Bab 2 Between Facts and Norms, Habermas siap untuk merekonstruksi pemahaman normatif tentang negara hukum modern ---bagaimana hukum yang absah dimungkinkan --- dalam Bab 3 dan Bab 4 Between Facts and Norms.

Dalam menganalisis hukum modern sebagai sistem hak, Bab 3 Between Facts and Norms memberikan dasar bagi tesis sentral buku ini: negara hukum, atau negara konstitusional, secara internal terkait dengan demokrasi deliberatif.[25] Karena beberapa perdebatan paling penting dalam teori politik dan hukum muncul di antara dua kutub konseptual ini, menunjukkan bagaimana keduanya saling terkait secara internal menjanjikan untuk mewakili kemajuan teoretis yang cukup besar. Untuk melihat apa yang Habermas lakukan, ada baiknya untuk memposisikan tesisnya di antara dua pandangan yang berlawanan, yang diakui agak bergaya untuk tujuan presentasi.

Di satu sisi ada pandangan "liberal" klasik. Berasal dari pemikir seperti John Locke, pendekatan ini menekankan aturan hukum yang impersonal dan perlindungan kebebasan individu; proses demokrasi dibatasi oleh, dan dalam pelayanan, hak-hak pribadi yang menjamin kebebasan individu untuk mengejar tujuan dan kebahagiaan mereka sendiri.[26] Di sisi lain, orang menemukan tradisi "republikanisme kewarganegaraan (civic republicanism)" yang berasal dari Plato dan Aristoteles dan kemudian dibentuk kembali oleh, antara lain, ]ean Jacques Rousseau. Pendekatan ini memberikan tempat kebanggaan bagi proses demokrasi sebagai deliberasi kolektif yang, setidaknya idealnya, membawa warga negara untuk mencapai kesepakatan tentang kebaikan bersama. Pada pandangan ini, kebebasan manusia memiliki puncaknya bukan dalam mengejar preferensi pribadi tetapi dalam pemerintahan sendiri melalui partisipasi politik.[27] Akibatnya, pandangan republik cenderung mendasarkan legitimasi hukum dan kebijakan dalam pengertian "kedaulatan rakyat," sedangkan pandangan liberal cenderung mendefinisikan pemerintahan yang absah dalam kaitannya dengan perlindungan kebebasan individu, sering ditentukan dalam hak asasi manusia.

Perpecahan ini tidak sepenuhnya mengejutkan bila kita mengingat ciri-ciri hukum modern yang disebutkan dalam Bagian 1 pengantar ini. Norma-norma hukum modern hanya menuntut kepatuhan lahiriah terlepas dari motivasi individu, tetapi norma-norma itu harus, pada saat yang sama, memiliki dasar rasional yang juga memungkinkan orang-orang untuk menerimanya sebagai hal yang absah dan dengan demikian layak untuk dipatuhi. Kebutuhan akan legitimasi/keabsahan sangat mendesak, karena norma-norma semacam itu harus diberlakukan secara positif tanpa menarik sumber pembenaran yang lebih tinggi, seperti pandangan-dunia keagamaan bersama (shared religious worldview). Dalam pandangan dualitas ini, orang dapat melihat bahwa hukum yang memaksa dapat diterima sebagai keabsahan sejauh ia menjamin dua hal sekaligus. Di satu sisi, sebagai area yang membatasi yang mana individu-individu pribadi dapat menggunakan pilihan bebas mereka seperti yang mereka inginkan, hukum harus menjamin otonomi privat individu yang mengejar kesuksesan dan kebahagiaan pribadi mereka. Di sisi lain, karena pemberlakuannya harus sedemikian rupa sehingga individu-individu yang rasional selalu dapat menyetujui batasan-batasannya secara rasional, hukum yang legitim juga harus mengamankan otonomi publik dari mereka yang tunduk padanya, sehingga tatanan hukum dapat dilihat seolah-olah keluar dari swa-legislasi rasional warga negara (the citizens' rational self-legislation). Dua pendekatan yang ditafsirkan secara luas, liberal dan republik, cenderung menekankan salah satu sisi otonomi atau yang lain sebagai dasar legitimasi.

Dalam memperdebatkan "hubungan internal" antara otonomi privat dan publik, Habermas ingin melakukan keadilan bagi kedua belah pihak, yaitu, memberikan penjelasan hukum yang absah yang mana hak asasi manusia dan kedaulatan rakyat memainkan peran yang berbeda dan tidak dapat direduksi. Sebelum memberikan penjelasan ini, ada baiknya untuk mencatat perangkap kembar yang ingin dihindari Habermas: seseorang harus berhati-hati untuk menempatkan legitimasi hukum pada tingkat yang tepat, tidak mensubordinasikan hukum pada moralitas atau menggabungkannya dengan penegasan komunitas tentang nilai-nilai dan tradisi bersama tentang kehidupan yang baik. Ini bukan untuk menyangkal bahwa pertimbangan moral dan refleksi "etis" pada nilai-nilai substantif berkaitan dengan hukum: hukum mengatur hubungan antarpribadi dengan cara yang mirip dengan norma moral, tetapi mereka melakukannya hanya dalam komunitas konkret yang memiliki sejarah tertentu dan, meskipun pluralisasi, mungkin setidaknya beberapa pemahaman bersama tentang kebaikan bersama. Terlebih lagi, baik masalah keadilan maupun penentuan kebijakan dan tujuan bersama merupakan bagian penting dari hukum dan politik. Maka, tidak mengherankan bahwa upaya untuk menjelaskan legitimasi sering kali beralih ke satu jenis diskursus atau yang lain, tergantung pada apakah otonomi privat atau publik mendapat penekanan yang lebih besar.

Habermas melihat kecenderungan umum dalam teori hukum alam modern, termasuk Kant, untuk memahami kebebasan dasar dalam istilah yang terlalu moralistik, hanya sebagai ekspresi hukum dari saling menghormati bahwa orang harus menunjukkan satu sama lain sebagai agen yang otonom secara moral. Sebaliknya, catatan republikan-kewarganegaraan Rousseauian (Rousseauian civic republican) dengan menekankan pentingnya tradisi bersama, kebajikan kewarganegaraan, dan kesepakatan tentang kebaikan bersama, berisiko mengurangi demokrasi deliberatif menjadi diskursus etis yang mana komunitas konkret mencerminkan nilai-nilai dan tradisi substantifnya untuk menentukan tindakan apa yang baik untuk itu dalam situasi sosial tertentu. Baik penghormatan moral maupun refleksi etis, bagaimanapun, tidak dapat dengan sendirinya menjelaskan legitimasi hukum dalam masyarakat majemuk yang kompleks.

Untuk mengatasi masalah ini, Habermas memusatkan penjelasannya tentang legitimasi pada prinsip diskursus (D) yang terletak pada tingkat yang berbeda dari perbedaan antara diskursus moral dan etika. Sebagai prinsip untuk pembenaran norma yang tidak memihak secara umum, (D) juga mendasari moralitas dan hukum: "Hanya norma-norma yang valid/sahih yang dapat disetujui oleh semua orang yang terkena dampak sebagai partisipan dalam diskursus rasional."[28] Dengan menambatkan legitimasi hukum dalam prinsip diskursus yang secara konseptual mendahului pembedaan antara hukum dan moralitas, Habermas berharap dapat menghindari interpretasi hukum yang moralistik dan konsekuen yang berpihak pada otonomi privat dalam bentuk hak asasi manusia. Pada saat yang sama, prinsip diskrusus menunjuk pada model legitimasi yang melemahkan perpecahan liberal-republik. Hukum yang legitim harus lulus ujian diskursif yang berpotensi melibatkan seluruh rentang jenis diskursus yang berbeda. Ini mencakup tidak hanya diskursus moral dan etika tetapi juga diskursus "pragmatis" yang mana strategi alternatif untuk mencapai tujuan tertentu dinilai; selain itu, sejauh suatu masalah melibatkan kepentingan dan nilai-nilai tertentu yang bertentangan yang tidak memungkinkan konsensus, aturan hukum yang absah/legitim dari masalah tersebut harus melibatkan kompromi yang adil.

Dengan adanya kerangka ini, Habermas dapat berargumen bahwa hubungan internal antara otonomi privat dan publik memerlukan seperangkat hak abstrak yang harus diakui warga negara bila mereka ingin mengatur kehidupan mereka bersama melalui hukum positif yang absah. "Sistem hak" ini, yang harus dijabarkan dan dirinci dengan tepat oleh setiap rezim demokrasi konkret, menggambarkan kondisi umum yang diperlukan untuk melembagakan proses diskursus demokrasi dalam hukum dan politik. Untuk meringkas, hak-hak ini jatuh ke dalam lima kategori besar. Tiga yang pertama adalah kebebasan negatif dasar, hak keanggotaan, dan hak proses hukum yang bersama-sama menjamin kebebasan individu untuk memilih, dan dengan demikian otonomi privat. Keempat, hak partisipasi politik, menjamin otonomi publik. Habermas berpendapat bahwa masing-masing pihak sangat diperlukan dan tidak bisa begitu saja direduksi menjadi yang lain: tanpa tiga perangkat hak yang pertama, tidak ada otonomi privat (dan dengan demikian tidak ada subjek hukum yang bebas dan setara), tetapi tanpa perangkat keempat, hukum dan hak yang menjamin otonomi pribadi hanyalah pemaksaan paternalistik daripada ekspresi tata kelola pemerintahan yang memerintah dirinya sendiri (self-governance)Hak partisipasi politik, yaitu, memungkinkan warga negara itu sendiri untuk membentuk dan mendefinisikan lebih lanjut hak-hak yang mereka nikmati sebagai "otonom secara pribadi" dan dengan demikian menjadi "penulis undang-undang yang mana mereka tunduk sebagai penerima". Akhirnya, kategori kelima dari hak-hak kesejahteraan sosial menjadi perlu sejauh pelaksanaan hak-hak sipil dan politik yang efektif bergantung pada kondisi-kondisi sosial dan material tertentu, misalnya, warga negara dapat memenuhi kebutuhan material dasarnya.

Sebagaimana dipahami sejauh ini, sistem hak hanya mengatur interaksi di antara warga negara yang setara; hanya dalam Bab 4 Between Facts and Norms Habermas memperkenalkan peran otoritas negara, yang kekuasaan kepolisiannya diperlukan untuk menegakkan dan dengan demikian menstabilkan sistem hak. Ini memperkenalkan langkah lebih lanjut dalam pelembagaan diskursus dan, dengan itu, dimensi lebih lanjut dari ketegangan antara faktisitas dan validitas yang bersifat internal negara hukum, yaitu ketegangan antara kekuasaan negara dan hukum yang legitim. Untuk menangkap ketegangan ini, seseorang harus memperhatikan dua hal sekaligus. Di satu sisi, hukum dan kekuasaan politik memenuhi fungsi sistemik tertentu satu sama lain: hukum mengizinkan beberapa pelaksanaan kekuasaan dan melarang yang lain dan, di samping itu, menyediakan prosedur dan bentuk yang mendefinisikan berbagai kekuasaan dan kompetensi pemerintah untuk memulainya; kekuasaan pemerintah, sementara itu, memberikan ancaman sanksi yang membuat hukum efektif secara sosial. Di sisi lain, hukum yang digunakan oleh negara dalam berbagai jabatan dan aktivitasnya sendiri harus dilegitimasi melalui diskursus yang lebih luas dari warga negara dan perwakilannya. Oleh karena itu, kiprah Luhmann, seorang analisis fungsionalis tentang kekuasaan birokrasi dan prosedur hukum tidak dapat berdiri sendiri tetapi harus dikaitkan dengan pertimbangan nalar publik. Bagi Habermas, penjelasan terakhir ini pada akhirnya harus mengacu pada proses demokrasi dari "pembentukan-opini-dan-kehendak" di ruang publik. Sebagai pembentukan opini dan kehendak, diskursus publik bukan sekedar latihan kognitif tetapi memobilisasi alasan dan argumen yang mengacu pada kepentingan, nilai, dan identitas warga negara. Diskursus politik dengan demikian membawa warga sumber motivasi dan kehendak yang sebenarnya. Dengan demikian, ia menghasilkan "kekuatan komunikatif" yang memiliki dampak nyata pada pengambilan keputusan dan tindakan formal yang mewakili ekspresi institusional terakhir dari "kehendak" politik.

Dalam langkah lebih lanjut dalam analisis hukumnya ini, Habermas berkepentingan untuk menghubungkan sumber-sumber demokrasi diskursif informal dengan institusi-institusi pengambilan keputusan formal yang diperlukan untuk aturan hukum yang efektif dalam masyarakat yang kompleks. Negara konstitusional mewakili seperangkat institusi dan mekanisme hukum yang penting yang mengatur konversi kekuatan komunikatif warga negara menjadi aktivitas administratif yang efektif dan absah: hukum "mewakili ... medium untuk mengubah kekuatan komunikatif menjadi kekuatan administratif."[29] Dari perspektif inilah seseorang harus mempertanggungjawabkan berbagai prinsip, tugas, dan institusi negara hukum, seperti pemisahan kekuasaan, kekuasaan mayoritas, kontrol hukum atas administrasi, dan sebagainya.

Setelah membuat sketsa filsafat hukum dalam Bab 3 dan Bab 4 Between Facts and Norms, Habermas beralih ke Bab 5 dan Bab 6 Between Facts and Norms untuk membahas ilmu hukum (jurisrudence) yang layak, atau teori hukum. Oleh karena itu bab-bab ini harus menjadi perhatian khusus bagi para sarjana hukum dan konstitusi. Di sana Habermas menguji analisis filosofis dari dua bab sebelumnya terhadap teori-teori hukum tertentu yang (atau telah) berpengaruh dalam dua sistem hukum tertentu, yaitu Amerika Serikat dan Jerman. Dengan demikian, argumen tersebut mewakili langkah lebih lanjut menuju praktik hukum yang sebenarnya, karena saat ini pemahaman-diri dari dua tatanan hukum yang ada sedang dipermasalahkan. Sekali lagi, dimensi lebih lanjut dari ketegangan internal antara faktisitas dan validitas mengatur presentasi, yang sekarang difokuskan terutama pada pengambilan keputusan yudisial dan peran Mahkamah Agung (di Jerman, Mahkamah Konstitusi Federal). Dalam bab 5, perhatian utama adalah ketegangan yurisprudensial antara, di satu sisi, kebutuhan keputusan pengadilan untuk menyesuaikan diri dengan undang-undang dan preseden yang ada dan, di sisi lain, tuntutan bahwa keputusan itu benar atau adil dalam standar moral, kesejahteraan sosial, dan lain sebagainya. Ketegangan ini telah lama dirasakan dalam ilmu hukum (jurisprudence) Amerika, seperti yang ditunjukkan oleh kritik awal "ilmu hukum mekanis" oleh ahli teori seperti Roscoe Pound, dan itu mendefinisikan konteks pengaruh Hart dalam karyanya berjudul Concept of Law.[30] Dalam mengembangkan posisinya sendiri dalam masalah ini, Habermas tidak hanya mensurvei realisme hukum, hermeneutika hukum, dan positivisme, tetapi juga memberikan perhatian yang cukup besar pada teori pengambilan keputusan peradilan Ronald Dworkin.

Bab 6 membahas isu-isu yang terkait dengan pemisahan kekuasaan dan peran mahkamah konstitusi. Secara khusus, Habermas meneliti persaingan nyata antara legislatif dan yudisial di negara kesejahteraan; "ilmu hukum nilai" pengadilan tinggi Jerman (yang cenderung menghilangkan perbedaan antara barang kolektif dan hak konstitusional); dan perdebatan Amerika tentang sifat tinjauan konstitusional. Dalam diskusi yang disebutkan terakhir ini, ia membahas proseduralisme John Hart Ely, usulan republikan-kewarganegaraan Frank Michelman dan Cass Sunstein, dan perbedaan Bruce Ackerman antara "politik normal" dan pembuatan konstitusional yang "lebih tinggi". [31] Dalam pembahasannya tentang isu-isu ini dalam Bab 5 dan 6, berbagai fitur dari jenis baru pemahaman proseduralis tentang hukum dan demokrasi mulai muncul. Ciri-ciri tersebut, antara lain, aspek intersubjektif, aspek dialogis argumentasi hukum yudisial; karakter deontologis hak-hak dasar berbeda dengan nilai-nilai lain; dan pemahaman nonpaternalistik tentang peran Mahkamah Agung dalam menjaga kualitas diskursif pengambilan keputusan legislatif. Hasilnya adalah konsepsi proseduralis yang menggabungkan wawasan para teoretikus tersebut di atas tetapi juga mengkritik dan mencoba untuk melampaui mereka.

Sebelum menguraikan pemahaman proseduralis tentang hukum ini secara lebih lengkap, Habermas menggeser perspektifnya dalam dua bab berikutnya. Penjelasan tentang demokrasi dan hukum selama ini bersifat normatif. Akan tetapi secara empiris masuk akal, hanya jika ia menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh kekuatan sosial dan kompleksitas masyarakat. Dengan demikian, setelah membahas dalam bab 3 sampai 6 dengan ketegangan antara validitas dan faktisitas yang bersifat internal bagi demokrasi konstitusional, dalam bab 7 dan 8 Habermas mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan ketegangan eksternal antara fakta sosial dan hukum. Pertanyaan utamanya adalah apakah seseorang masih dapat berbicara secara bermakna tentang demokrasi konstitusional dalam terang studi empiris tentang kekuasaan dan kompleksitas yang agak mengecewakan. Teori-teori sosiologi hukum dan politik menarik perhatian pada berbagai cara yang mana berbagai kepentingan sosial dan organisasi-organisasi yang kuat berusaha untuk menggunakan proses politik untuk tujuan-tujuan strategis; atau jika tidak, mereka menunjukkan bagaimana kompleksitas fungsional masyarakat kontemporer tidak lagi mengizinkan kontrol demokrasi langsung, melainkan membutuhkan tindakan administratif tidak langsung yang dipandu oleh pengetahuan ahli. Dalam kedua kasus tersebut, cita-cita normatif dari masyarakat yang mengatur diri sendiri, dengan hukum dan politik sebagai tempat integrasi sosial yang menyeluruh, dapat muncul tanpa harapan di luar jangkauan. 

Seperti yang mungkin diantisipasi dari Bab 2, tanggapan Habermas menggunakan perspektif teoretis ganda. Secara khusus, "konsep demokrasi proseduralis" barunya mengakui bagaimana negara konstitusional tunduk pada kekuatan sosial dan tuntutan fungsional yang paling jelas bagi pengamat sosiologis. Pada saat yang sama, ia menekankan relevansi empiris cita-cita demokrasi deliberatif yang diterima oleh warga negara sendiri sebagai partisipan yang terlibat. Perspektif ganda ini dengan demikian memungkinkan seseorang untuk melihat kekurangan dalam konsepsi empiris yang berat sebelah. Selain itu, ia memberikan sudut pandang untuk mengkritik interpretasi yang terlalu sempit tentang partisipasi demokratis (seperti yang ditemukan, misalnya, dalam teori pilihan rasional).

Pandangan proseduralis Habermas juga didasarkan pada penolakan terhadap dua konsepsi yang berlawanan yang dapat distilisasi, sekali lagi, sebagai "liberal" dan "republikan-kewarganegaraan". Dalam konteks ini, pertanyaan penting adalah bagaimana seseorang harus memahami peran negara dan masyarakat dalam tindakan politik. Di satu sisi, politik harus melibatkan lebih dari sekadar pemerintahan minimal liberalisme, suatu pemerintahan yang dibatasi untuk melestarikan ekonomi pasar yang tidak terbebani di bawah supremasi hukum. Di sisi lain, ia harus lebih kecil dari aksi kolektif masyarakat politik homogen—komunitas yang dibayangkan oleh republikanisme klasik. Sedangkan pandangan liberal mengabaikan publik, sisi deliberatif institusi demokrasi, pandangan republik menunjukkan "kehendak populer" yang terlalu menyatu yang melekat pada warga negara sebagai subjek tertulis besar. Pada pandangan proseduralis, hanya negara, sebagai sistem politik yang diinvestasikan dengan kekuatan pengambilan keputusan, yang dapat "bertindak". Tetapi tindakannya absah hanya jika prosedur pengambilan keputusan formal dalam negara konstitusional memiliki karakter diskursif yang menjaga, dalam kondisi kompleksitas, sumber legitimasi demokratis di masyarakat luas.

Dalam Bab 7 Habermas menggunakan dan mengkritik teori sosiologis yang berbeda tentang demokrasi untuk menguraikan, secara luas, pendekatan proseduralis yang dapat menangani kompleksitas masyarakat. Dalam bab 8 ia kemudian melanjutkan untuk memeriksa tantangan utama dari kekuatan sosial dan kompleksitas sistemik. Upaya yang gagal untuk menjelaskan politik demokrasi semata-mata dalam hal kepentingan rasional atau sistem fungsional menunjukkan bahwa teori demokrasi yang layak secara empiris tidak dapat membuang sumber legitimasi komunikatif. Dengan demikian, penjelasan proseduralis Habermas harus menunjukkan bagaimana sistem politik, meskipun satu subsistem fungsional di antara banyak subsistem lainnya, tetap dapat dikaitkan dengan proses komunikatif masyarakat yang lebih luas yang memiliki kualitas legitimasi yang demokratis.

Lebih khusus lagi, dalam pandangan "dua jalur" tentang pembuatan undang-undang demokratis ini, musyawarah dan keputusan yang dilembagakan secara formal harus terbuka untuk masukan dari ruang publik informal. Artinya, sistem politik (dan pemerintahan pada khususnya) tidak boleh menjadi sistem independen, beroperasi semata-mata sesuai dengan kriteria efisiensinya sendiri dan tidak responsif terhadap kekhawatiran warga negara; juga tidak boleh terlalu tunduk pada kepentingan tertentu yang memiliki akses ke kekuasaan administratif melalui jalur pengaruh tidak resmi yang melewati proses demokrasi. Sebaliknya, ruang publik itu sendiri tidak boleh "digerogoti oleh kekuasaan", baik organisasi besar maupun media massa. Model Habermas menempatkan tanggung jawab normatif yang cukup besar untuk proses demokrasi di forum publik, asosiasi informal, dan gerakan sosial yang mana warga dapat secara efektif menyuarakan keprihatinan mereka. Bab 8 ditutup dengan analisis terhadap berbagai kondisi yang mana ruang publik dapat memenuhi fungsi demokrasinya. Kondisi ini termasuk saluran komunikasi yang menghubungkan ruang publik dengan masyarakat sipil yang kuat yang mana warga negara pertama kali memahami dan mengidentifikasi isu-isu sosial; berbagai asosiasi informal; media massa yang bertanggung jawab; dan jalan penetapan agenda yang memungkinkan keprihatinan sosial yang lebih luas untuk menerima pertimbangan formal dalam sistem politik.

Dalam bab terakhir, Habermas mendasari penyelidikannya dengan penjelasan yang lebih lengkap tentang dimensi paradigmatik pendekatan proseduralis. Argumennya dengan demikian bergerak ke tingkat yang lebih dalam, yaitu "paradigma hukum dan demokrasi" yang bersaing. Di sini "paradigma" mengacu pada asumsi dasar tentang masyarakat yang menginformasikan upaya untuk mewujudkan cita-cita demokrasi-konstitusional. Justru karena upaya semacam itu harus mengatasi konteks sosial yang nyata, mereka mengandaikan beberapa gagasan, bahkan jika itu diam-diam, tentang fakta sosial yang spesifik secara historis. Tidak hanya hakim, advokat, dan pembuat undang-undang, tetapi warga negara pada umumnya cenderung memiliki asumsi latar belakang yang luas tentang masyarakat mereka, tantangan dan kemungkinannya, dan bagaimana hukum harus menanggapinya. Asumsi semacam itu dapat diatur secara longgar di sekitar paradigma hukum yang berbeda. Dalam bab 9, kemudian, Habermas berpendapat untuk keunggulan "paradigma proseduralis" terhadap dua paradigma warisan yang secara oposisi telah buntu pada diskusi saat ini. Paradigma liberal "hukum formal borjuis," yang mendominasi abad ke-19, mengistimewakan kebebasan individu di bawah panji pemerintahan minimalis, persamaan formal di depan hukum, dan kepastian hukum. Sementara itu, ketidaksetaraan sosial dan masalah lain yang terkait dengan kompleksitas dan kapitalisme yang tidak terkendali, terutama di abad ke-20, telah memotivasi upaya untuk menggunakan hukum untuk tujuan substantif dari utilitas sosial. Di balik upaya semacam itu, kita dapat melihat paradigma kesejahteraan sosial dari hukum "dimaterialkan", disebut demikian karena penekanannya pada realisasi tujuan dan nilai-nilai sosial yang substantif (seperti ketentuan kesejahteraan, jaminan sosial, dan regulasi perdagangan). Masalah-masalah yang muncul dari paradigma ini, seperti diskresi administratif yang tidak terkendali dan birokrasi kesejahteraan yang mengganggu, juga sudah cukup familiar sekarang.[32]

Perjuangan perempuan untuk kesetaraan menggambarkan isu-isu paradigmatik ini dengan cukup baik. Seruan untuk hak suara yang sama, tuntutan untuk akses yang sama ke pendidikan, dan sebagainya, bertumpu pada gagasan kesetaraan formal yang ditekankan oleh paradigma liberal. Sebaliknya, upaya untuk memberikan manfaat khusus bagi perempuan, seperti ketentuan cuti melahirkan, bantuan khusus untuk perempuan dengan anak, layanan penitipan anak, dan sejenisnya, merupakan perwujudan dari paradigma kesejahteraan sosial. Seperti yang telah dicatat oleh para kritikus feminis, perhatian hanya pada kesetaraan hukum formal mengabaikan ketidaksetaraan nyata yang dapat muncul dari kondisi sosial yang tidak menentu dan perbedaan gender, sedangkan program bantuan pemerintah sering mendefinisikan perbedaan tersebut secara tidak tepat, selain mendorong ketergantungan pada kesejahteraan dan birokrasi yang terlalu mengganggu. Dalam pendekatan proseduralis, regulasi yang legitim tentang isu-isu tersebut mengharuskan perempuan sendiri mengambil bagian dalam diskusi publik yang menentukan perbedaan gender mana yang relevan dengan definisi kesetaraan.

Paradigma proseduralis dengan demikian memberikan kualitas dinamis pada gagasan persamaan hak. Pendekatan proseduralis Habermas menunjukkan kegunaannya untuk masalah lain juga, seperti mengatur tempat kerja dan politik perburuhan. Pelajaran umum, bagaimanapun, adalah ini: paradigma proseduralis memungkinkan seseorang untuk melihat implikasi lebih lanjut dari hubungan internal antara otonomi privat dan publik --- juga antara kebebasan individu yang setara dan penentuan nasib-sendiri secara politik --- yang pertama kali diusulkan dalam Bab 3 Between Facts and Norms. Dengan demikian, seseorang memperoleh pegangan yang lebih baik pada gagasan sulit tentang perlakuan yang sama. Selain itu, dapat dilihat bagaimana administrasi dapat memenuhi tuntutan kompleksitas dan kesejahteraan sosial tanpa merusak demokrasi konstitusional. Di sini, Habermas melampaui kritiknya sebelumnya terhadap negara kesejahteraan, menyarankan bahwa pendekatan proseduralis menuntut cara berpikir baru tentang pemisahan kekuasaan; yang memerlukan, misalnya, lebih demokratis, bentuk partisipatoris dari administrasi.[33]

Argumen buku Between Facts and Norms (Antara Fakta dan Norma) panjang dan kompleks. Ini juga bernada pada tingkat yang sangat abstrak. Pembaca harus, bagaimanapun, menemukan beberapa bantuan tambahan dari postscript dan dua lampiran. Naskah lampiran dalam buku Between Facts and Norms memberikan pernyataan yang lebih ringkas tentang perkembangan konseptual utama yang mendahului buku ini; dalam postcript tersebut pembaca menemukan ringkasan, yang ditulis dengan keuntungan dari tinjauan ke belakang dan reaksi kritik, dari argumen konseptual utama.[34] Dalam banyak hal, kompleksitas dan abstraksi inilah yang menjanjikan untuk menjadikan buku ini sumber wawasan yang kaya dan sugestif untuk refleksi terhadap masalah yang dihadapi demokrasi konstitusional kontemporer. 

3.

Sebagai penutup, beberapa komentar singkat tentang terjemahan itu sendiri sudah tersedia. Selain kesulitan penerjemahan yang biasa, ada juga tantangan berasal dari fakta bahwa Between Facts and Norms berurusan dengan dua tatanan hukum yang berbeda. Dalam sistem hukum Amerika, yang dipengaruhi oleh tradisi common-law Inggris, hukum kasus (case law) selalu menempati posisi sentral. Akibatnya, hukum cenderung dianggap sebagai semak belukar yang lebat dan rumit—atau, meminjam istilah Karl Llewellyn, "semak duri"—yang tumbuh preseden demi preseden, seringkali dengan cara yang kurang teratur. Sebaliknya, pemikiran hukum Jerman sangat dipengaruhi oleh hukum perdata Romawi, dengan penekanannya pada kodifikasi sistematis. Selain itu, hukum perdata Jerman saat ini muncul dengan satu undang-undang, ketika Reichstag secara resmi mengadopsi Kitab Hukum Perdata (Civil Code) --Burgerliches Gesetzbuch atau BGB-yang telah disusun oleh para ahli pada akhir tahun abad ke-19. Fokus pada kesatuan dan koherensi ini sejalan dengan martabat yang dicadangkan oleh tradisi hukum perdata untuk komentar dan analisis ilmiah --Rechtsdogmatik atau "doktrin hukum"-- sebagai lawan dari pendapat dan preseden yudisial.[35] Namun, orang tidak boleh terlalu menekankan perbedaan tersebut. Sejak adopsi KUH Perdata Jerman, interpretasi dan adaptasi yudisial telah menjadi bagian penting dari kode itu sendiri, sehingga perbedaan antara sistem Jerman dan Amerika telah berkurang. Meskipun demikian, perbedaan yang tetap ada, meski hanya di latar belakang, terkadang menimbulkan masalah penerjemahan. Sebagian besar masalah ini terletak pada tingkat istilah dan teknis khusus yang paling baik ditangani dalam catatan penerjemah atau hanya dengan memberikan tanda kurung bahasa Jerman. Tetapi seseorang kadang-kadang memperhatikan perbedaan yang lebih luas dalam semangat. Istilah sentral Rechtsstaat itu sendiri adalah contohnya. Jika dikontraskan dengan padanan bahasa Inggrisnya, “rule of law”, Rechtsstaat—yang secara harfiah berarti “negara hukum”—mengungkapkan penekanan yang lebih besar yang ditempatkan oleh tradisi hukum Jerman pada negara. Bergantung pada konteksnya, saya menerjemahkan Rechtsstaat sebagai "negara hukum (rule of law)" atau "negara konstitusional". Saya juga menggunakan "pemerintahan berdasarkan hukum" (government by law), sebagai cara untuk membagi perbedaan. Penerjemahan berbagai jenis hak juga kadang-kadang dapat menimbulkan kesulitan yang berasal dari perbedaan antara tatanan hukum Jerman dan Amerika. Pertama-tama, teori hukum Jerman menarik perbedaan yang kuat antara "hak subyektif" karena hukum individual dan  hukum "objektif", sedangkan penggunaan Anglo-Amerika berbicara hanya tentang "hak" dan "hukum".[36] Saya biasanya mengikuti penggunaan yang terakhir, kecuali konteksnya meminta penekanan pada distingsi subjektif-objektif. Mengenai jenis-jenis hak tertentu, saya biasanya mengambil pendekatan yang cukup literal demi ketepatan. Privatrechte, misalnya, saya terjemahkan sebagai "hak pribadi", sedangkan Freiheitsrechte adalah "hak kebebasan (rights of liberty)" atau "hak kebebasan (liberty rights)", atau bahkan sekadar "kebebasan" (liberties). Abwehrrechte saya terjemahkan sebagai "hak melawan negara," atau dengan kata-kata yang serupa, meskipun "hak negatif" kadang-kadang sesuai sebagai bentuk yang lebih pendek. Grundrechte memasukkan “hak dasar” atau “hak dasar” yang dilindungi oleh Konstitusi, sehingga dapat juga diterjemahkan sebagai “hak konstitusional”. 

Istilah "hak-hak sipil" (civil rights) menimbulkan lebih banyak masalah. Di beberapa tempat, Habermas menggunakan "hak-hak sipil" (dalam bahasa Inggris) dalam arti sempit T. H. Marshall, sebagaimana merujuk pada "hak-hak yang diperlukan untuk kebebasan individu --kebebasan pribadi, kebebasan berbicara, berpikir dan berkeyakinan, hak untuk memiliki properti dan menyimpulkan kontrak yang sahih, dan hak atas keadilan."[37] Dalam pengertian ini, hak sipil berbeda dari hak partisipasi politik dan hak kesejahteraan. Di beberapa tempat yang mana "hak-hak sipil" memiliki arti yang lebih sempit, konteksnya harus cukup jelas bahwa makna dari Marshall yang dimaksudkan. Kalau tidak, "hak sipil" membuat istilah seperti StaatsbürgerrechteStaatsbürgerliche Rechte, dan Bürgerrechteyang mencakup seluruh hak kewarganegaraan. Untuk banyak istilah lain, kesetiaan pada gaya Habermas menuntut fleksibilitas yang lebih besar. Istilah yang menandai perbedaan penting dalam konteks tertentu --seperti perbedaan antara Geltung (penerimaan faktual) dan Gültigkeit (validitas ideal)-- dapat digunakan kurang lebih secara bergantian di tempat lain, sehingga kata bahasa Inggris yang sama cukup untuk keduanya. Dalam kasus lain, bahasa Jerman cukup kaya dan cair untuk membuat kepatuhan yang kaku pada korelasi satu-ke-satu (one-to-one correlations) menjadi tidak mungkin dan tidak diinginkan. Ini adalah kasus, misalnya, untuk berbagai kata Jerman yang berkaitan dengan kekuasaan dan otoritas. Dalam kasus seperti itu, tuntutan konteks dan keterbacaan merupakan penentu. Ketika distingsi tertentu penting untuk argumen Habermas, saya mengandalkan konteks itu sendiri dan pilihan istilah bahasa Inggris untuk menjelaskannya; jika perlu, istilah Jerman yang berbeda dicatat dalam tanda kurung. Tapi ketika perbedaan yang tepat kurang penting, asosiasi yang luas sudah cukup.

Akhirnya, demi idiom yang lebih Amerika, saya menggunakan keduanya "negara bagian" dan "pemerintah" untuk menerjemahkan StaatRegierung, sebaliknya, cenderung memiliki arti yang lebih sempit, merujuk pada pimpinan atau partai di kantor resmi (di Jerman, Bundesregierung merujuk pada Kanselir dan Kabinet; di Amerika Serikat, biasanya mengacu pada "Administrasi", misalnya, Administrasi Roosevelt). Namun, saya menggunakan "administrasi" untuk menerjemahkan Verwaltung, yang menunjukkan aspek fungsional atau cabang negara sebagai kekuatan pelaksana yang diatur secara birokratis. Jadi, untuk membedakan Regierung dari istilah-istilah lain ini, saya menerjemahkannya dengan huruf yang dibesarkan, seperti "Administrasi petahana" (incumbent Administration), "Pemimpin pemerintahan" (Government leaders), dan "Pemerintah di dalam kantor resmi" (Government in office). 

Pembaca harus menyadari bahwa Habermas sendiri memiliki andil besar dalam penerjemahan, dalam beberapa kasus mengadaptasi dan menulis ulang teks untuk audiens Anglo-Amerika. Akibatnya, Bahasa Inggris kadang-kadang menyimpang dari bahasa Jerman yang asli, misalnya dengan menambahkan frase klarifikasi, menghilangkan sisipan yang tidak praktis dan tidak perlu, atau hanya dengan menemukan cara lain untuk menyusun kata-kata. 

Untuk menghindari bahasa seksis, saya (dengan persetujuan Habermas) mengganti penggunaan kata ganti feminin dan maskulin dari bab ke bab. 

Penerjemahan ini tidak akan mungkin terjadi tanpa bantuan sejumlah orang. Beberapa orang telah menyumbangkan banyak waktu dan tenaga. Saya ingin berterima kasih secara khusus kepada Thomas McCarthy dan James Bohman karena telah membaca dan mengomentari beberapa draf; Jurgen Habermas atas saran-sarannya yang ekstensif dan sangat membantu pada draf terakhir; dan Larry May serta David Ingram atas pembacaan cermat mereka atas terjemahan versi awal. Terima kasih juga kepada Gunter Frankenberg, Klaus Gunther, Jed Donelan, Vic Peterson, Paul Shupack, Joseph Heath, R. Randall Rainey, Richard Dees, G.O. Mazur, Joel Anderson, Robert Stalder, Steve Snyder, Matthew Carr, David Fleming, Thomas Schwarz, dan Ian Boyd. Saya berterima kasih kepada Thomas McCarthy, James Bohman, Jurgen Habermas, Larry May, Michel Rosenfeld, R. Randall Rainey, John Griesbach, Pauline Kleingeld, William O'Neill, Mark Burke, dan Timothy Clancy yang telah memberikan masukan untuk pengantar saya. Akhirnya, saya berterima kasih kepada karyawan Universitas Copiers, dan lainnya atas konsistensi mereka memberikan layanan fotokopi yang ramah dan berkualitas tinggi.

Catatan Kaki:

[1] James S. Fishkin, Democracy and Deliberation: New Directions for Democratic Reform (New Haven, Conn.: Yale University Press, 1991), p. 4; see also Joshua Cohen, "Deliberation and Democratic Legitimacy," in Alan Hamlin and Philip Pettit, eds., The Good Polity (Oxford: Blackwell, 1989), pp. 17-34; Cass R. Sunstein, "Interest Groups in American Public Law," Stanford Law Review 38 (1985): 29-87; John S. Dryzek, Discursive Democracy: Politics, Policy, and Political Science (Cambridge: Cam bridge University Press, 1990); Benjamin Barber, Strong Democracy: Participatory Politics for a New Age (Berkeley: University of California Press, 1984).

[2]  Jiirgen Habermas, Strukturwandel der Öffentlichkeit: Untersuchungen zu einer Kategorie derburgerlichen Gesellschaft (Darmstadt: Luch terhand, 1962); the English translation appeared only recently: The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, trans. Thomas Burger with the assistance of Frederick Lawrence (Cambridge: MIT Press, 1989). 

[3] The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy, 2 vols. (Boston: Beacon, 1984, 1987); hereafter cited as TCA. The German edition first appeared in 1981. For important qualifications, see his "A Reply," in Axel Honneth and HansJoas, eds., Communicative Action: Essays on]urgen Habermas's "The Theory of Communicative Action," trans. Jeremy Gaines and Doris L. Jones (Cambridge, Mass.: MIT Press, 1991), pp. 214-64. For an introduction, see Maeve Cooke, Language and Reason: A Study of Habermas 's Pragmatics (Cambridge: MIT Press, 1994).

[4]  H. L. A. Hart provides a good twentieth-century statement of the duality of law in The Concept of Law (Oxford: Clarendon, 1961). The well-known image of the "bad man's" view of law is from Oliver Wendell Holmes, "The Path of the Law," in Holmes, Collected Legal Papers (New York: P. Smith, 1952), pp. 1 67-202, here p. 171.

[5] Immanuel Kant, The Metaphysical Elements of Justice, trans. John Ladd (New York: Macmillan, 1965), p. 34; also p. 35 (translation slightly altered); see also his "On the Proverb: That May Be True in Theory, but Is of No Practical Use," in Kant, Perpetual Peace and Other Essays, trans. Ted Humphrey (Indianapolis: Hackett, 1983), esp. pp. 7lff. The exact relation between Kant's principle of law and his moral principle is not entirely clear; see the discussion in Kenneth Baynes, The Normative Grounds of Social Criticism: Kant, Rawls, and Habermas (Albany: SUNY Press, 1992), chap. 1. 

[6]. See John Rawls, 'Justice as Fairness: Political not Metaphysical," Philosophy and Public Affairs 14  (1985) :  223-51, and his more recent Political Liberalism  (New York: Columbia University Press, 1993) ; Ronald Dworkin, Law's Empire (Cam­ bridge: Harvard University Press, 1986). There have been some recent attempts to revive a metaphysical approach in legal philosophy, but whether they can have the same scale and confidence as did ancient and medieval systems is a further question; cf. John Finnis, Natural Law and Natural Rights  (New York: Oxford University Press, 1980); for a critical assessment, see Raymond A. Belliotti, justifying Law: The Debate over Foundations, Goals, and Methods  (Philadelphia: Temple University Press, 1992), chap. 1. 

[7]. For Habermas's elaboration on this, see his Postmetaphysical Thinking, trans. William Mark Hohengarten (Cambridge: MIT Press, 1992), and Moral Conscious­ ness and CommunicativeAction, trans. Christian Lenhardt and ShierryW. Nicholsen (Cambridge: MIT Press, 1990) , esp. the firsttwo essays and the title essay. Aprime example ofsuch interdisciplinary cooperation is the currentwork being done in the psychology of moral development.

[8]. See Jurgen Habermas, "What Is Universal Pragmatics?" in Habermas, Commu­ nication and the Evolution of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon, 1979) , pp. 1-68; also TCA 1 :273-337; and the Christian Gauss Lectures, "Vorlesungen zu einer sprachtheoretischen Grundlegung der Soziologie," in Habermas, Vorstudien undErgiinzungen zur Theorie des kommunikatives Handelns, 2d ed. (Frankfurt: Suhrkamp, 1986) , pp. 11-126; English translation forthcoming, MIT Press.

[9] For a fuller accountofHabermas's concept ofdiscourse, see Thomas McCarthy, The Critical Theory ofjurgen Habermas (Cambridge: MIT Press, 1978) , chap. 4.

[10]. For the most important distinctions, see Jiirgen Habermas, "On the Prag­ matic,  the  Ethical,  and  the  Moral  Employments  of  Practical  Reason,"  in his justification and Application: Remarks on Discourse Ethics,  trans.  Ciaran P. Cronin (Cambridge: MIT Press, 1993), pp. 1-18; also in Between Facts and Norms, chap. 3, excursus, and chap. 4, sect. 2.

[11]. On Habermas's concept of lifeworld, see TCA 2: 119-52. For the members themselves the background remains largely unthematized, but the theorist can differentiate its resources into three broad components: the stock of taken-for­ granted certitudes and ideas ("culture"); the  norms,  loyalties, institutions, and so forth, that secure group cohesion or solidarity ("society") ; and the competences and skills that members have internalized ("personality"). A viable lifeworld is reproduced, then, through the cultural transmission of ideas, through forms of social integration, and through the socialization of its members.

[12]. See Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion (Garden City, N.Y.: Anchor-Doubleday, 1969).

[13]. On the development of subsystems, see Habermas, TCA 2:153-97. For helpful summaries of Habermas's account of societal rationalization, see Jane Braaten, Habermas 's Critical Theory ofSociety (Albany: SUNYPress, 1 991 ), chap. 5, and Stephen K. White, The Recent Work ofJiirgen Habermas: Reason, Justice, and Modernity (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), chap. 5. 

[14]. Habermas develops his concept of media by way of a  critical  appropriation of Talcott Parsons; see TCA 2:199-299; here esp. 256-70. For Parsons's account, see "On the Concept of Political Power," in Parsons, Sociological Theory and Modern Society (New York: Free Press, 1967) , pp. 297-354. One should note here that Habermas does not simply accept the development ofsuch systems ofmoney and power uncritically, as is shown by his concern with the intrusion of systemic imperatives into the lifeworld; see TCA 2:332-73 on the notion of"colonization." But he is also dubious of utopias that suggest one can dispense with the contribution of systemic integration in complex societies.

[15.] For the complications, see Thomas McCarthy, "Complexity and Democracy: The Seducements of Systems Theory," in McCarthy, Ideals and Illusions: On Reconstruction and Deconstruction in Contemporary Critical Theory (Cambridge: MIT Press, 1991 ), pp. 152-80; see also Habermas's qualifications in "Reply," pp. 250- 63.

[16]. See John Rawls, A Theory ofjustice (Cambridge: Harvard University Press, 1971) , and PoliticalLiberalism. See alsothe exchange between Rawls and Habermas in journal ofPhilosophy 92, no. 3 (March 1995): 109-80.

[17]. For example, see Niklas Luhmann, The Difef rentiation ofSociety, trans. Stephen Holmes and Charles Larmore (New York: Columbia University Press, 1982) ; Martin Albrow, ed., A Sociological Theory ofLaw, trans. Elizabeth King and Martin Albrow (London: Routledge, 1 985) ; Essays on Self-Reference (New York: Columbia University Press, 1990) ; Political Theory in the Welfare State, trans. John Bednarz (NewYork: de Gruyter, 1990) . For a recent overview of Luhmann's approach, see his Ecological Communication, trans. John Bednarz (Chicago: University of Chi­ cago Press, 1989). 

[18]. On the association between "modern natural law" and social-contract theory, see A. P. d'Entreves, Natural Law: An Historical Survey (New York: Harper, 1965) , chap. 3.

[19]. For a helpful introduction, see Walter Buckley, Sociology and Modern Systems Theory  (Englewood  Cliffs,  NJ.:  Prentice-Hall,  1967) ;  Buckley  distinguishes  a "process" model as well, which avoids the static implications associated with equilibrium and homeostasis.

[20]. Humberto R. Maturana and others contributed the seminal ideas in the theory of self-organization or "autopoiesis"; see Milan Zeleny, ed., Autopoiesis: A Theory ofLiving Organization (New York:  North  Holland,  1981). For applications to law, see Gunther Teubner, ed., Autopoietic Law: A New Approach to Law and Society (Berlin: de Gruyter, 1988) .

[21]. Niklas Luhmann, "Operational Closure and Structural Coupling: The Differ­ entiation of the Legal System," Cardozo Law Review 13 (1992): 141 9-41; here p. 1 424.

[22]. See Luhmann, Sociological Theory ofLaw, for a fuller explication.

[23]. More specifically, Luhmann points out that law stabilizes behavioral expec­ tations across three dimensions: temporally, by holding them constant across time; socially, in that all members of the group hold the same expectations; and substantively, in that the abstract meanings contained in legal norms (role definitions, situational features, etc.) hold across sufficiently similar situations; see Sociological Theory ofLaw, pp. 41-82.

[24]. This is the point of Luhmann's concept of "structural coupling." The difficulties that autopoiesis creates for a systems analysis of regulatory law, for example, are discussed by Gunther Teubner, in Z. Bankowski, ed., Law as an Autopoietic System, trans. A. Bankowska and Ruth Adler (Oxford: Blackwell, 1993), chap. 5. For Habermas's earlier critique of systems theory, see his On the Logic of the Social Sciences, trans. Shierry W. Nicholsen and jerry A. Stark (Cam­ bridge: MIT Press, 1988) , chap. 5, and Legitimation Crisis, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon, 1975), chap. 1. 

[25]. For a summary of the central arguments of the book, see the postscript; here  I also draw on his "On the Internal Relation between the Rule of Law and Democracy," EuropeanJournal ofPhilosophy 3 ( 1995): 12-20.

[26]. For a brief introduction, see john Gray, Liberalism (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1986) ; for the classic statement of twentieth-century liberal­ ism, see F. A. Hayek, The Constitution ofLiberty (Chicago: University of Chicago Press, 1960); for an overview of approaches to the concept of the "rule oflaw," see Geoffrey de Q. Walker, The Rule ofLaw: Foundation ofConstitutional Democracy (Carlton: Melbourne University Press, 1988) , chap. 1; for an influential formu­ lation of the liberal view of the rule of law, see F. A. Hayek, The Road to Serfdom (Chicago: University of Chicago Press, 1944) , chap. 6; see alsojoseph Raz, "The Rule of Law and Its Virtue," in Raz, The Authority of Law (Oxford: Clarendon, 1979) , pp. 21 0-29.

[27]. See, for example, Frank I. Michelman, "The Supreme Court 1985 Term, Foreword: Traces of Self-Government," Harvard Law Review 100 (1986) : 4-77; also his "Political Truth and the Rule of Law," Tel Aviv  University  Studies  in Law 8 (1988) : 281-91; and Sunstein, "Interest Groups."

[28]. Between Facts and Norms, p. 1 07; Habermas' s interpretation of (D) corrects his earlier view, which identified (D) simply as a principle of morality; see his "Discourse Ethics: Notes on a Program of Philosophical justification," in Moral Consciousness, pp. 43-1 15, esp. pp. 66, 93.

[29]. Between Facts and Norms, p. 1 69.

[30]. See Roscoe Pound, "The Need of a Sociological jurisprudence," The Green Bag 19 (1907) : 607-15, and his "Mechanical Jurisprudence," Columbia Law Review 8 (1908): 605-10. Subsequent to Pound and prior to Hart, this issue received considerable attention in the Legal Realist movement; for a historical overview, see William Twining, Karl Llewellyn and the Realist Movement (London: Weidenfeld and Nicolson, 1973). Since Hart, it has been the focus of debates involving the Critical Legal Studies movement; see Andrew Altman, Critical Legal Studies: A Liberal Critique (Princeton: Princeton University Press, 1990). 

[31]. See the references to Michelman in note 27 above and his "Law's Republic," Yale Law]oumal 97  (1988) :  1 493-1 537;  Cass Sunstein,  "Interest Groups" and After the Rights Revolution (Cambridge: Harvard University  Press, 1990) ; John Hart Ely, Democracy and Distrust: A Theory ofjudicial Review (Cambridge: Harvard University Press, 1980); and Bruce Ackerman, We the People, vol. 1 (Cambridge: Harvard University Press, 1991 ). 

[32]. In the American jurisprudential tradition, one finds a parallel to the European development of "materialized law" in the call for "sociological j uris­ prudence"; see note 30 above. The classic liberal argument against the welfare state is Hayek's Road to Serfdom; for a response, see Harry W.Jones, "The Rule of Law and the Welfare State," in Essays onJurisprudencefrom the Columbia Law Review · (New York: Columbia University Press, 1963) , pp. 400-413. 

[33]. His earlier critique relied more heavily on the lifeworld as the source of resistance against bureaucratic intrusion or "colonization"; see TCA, vol. 2, chap. 8; cf. Dryzek, Discursive Democracy, p. 20; also Amy Bartholomew, "Democratic Citizenship, Social Rights and the 'Reflexive Continuation' ofthe Welfare State," Studies in Political Economy 42 (1993) : 141-56.

[34]. Habermas's lengthy reply to the participants in a symposium on the book provides still further elaboration of his central arguments and assumptions; see the Cardozo Law Review 1 7/2-3 (fall 1995) . For further succinct overviews of the book, see David M. Rasmussen, "How Is Valid Law Possible?" Philosophy and Social Criticism 20 (1994) : 21-44; Kenneth Baynes, "Democracy and the Rechtsstaat. Remarks on Habermas's Faktizitiit und Geltung," in Stephen White, ed., The Cambridge Companion to Habermas (NewYork: Cambridge University Press, 1995) , pp. 201-32; andjames Bohman, "Complexity, Pluralism, and the Constitutional State: On Habermas's Faktizitiit und Geltung," Law and Society Review 28 (1994) : 897-930.

[35]. For a comparative overview, see Konrad Zweigert and Hein Kotz, Introduction to Comparative Law, 2d ed., trans. Tony Weir (Oxford: Clarendon, 1987) , vol. 1, chaps.  11-12,  1 6-21;  for  a  concise  introduction  to the  civil-law  tradition  in general, seejohn Henry Merryman, The CivilLaw Tradition: An Introduction to the Legal Systems of Western Europe and Latin America, 2d ed. (Stanford: Stanford University Press, 1985); also helpful are Norbert Horn, Hein Kotz, and Hans G. Leser, German Private and Commercial Law: An Introduction, trans. Tony Weir (Oxford: Clarendon, 1982), and B. S. Markesinis, A Comparative Introduction to the German Law of Torts, 2d ed. (Oxford: Clarendon, 1 990). On German constitu­tional law, see Donald P. Kommers, The Constitutionaljurisprudence of the Federal Republic of Germany (Durham, N.C.: Duke University Press, 1989), and David P. Currie, The Constitution ofthe Federal Republic of Germany (Chicago: University of Chicago Press, 1994).

[36]. "Objective law is the rule to which the individual must make his conduct conform; subjective right is the power of the individual that is derived from the norm." Merryman, Civil Law Tradition, p. 70, quoting from an unidentified civil­ law textbook.

[37]. T. H. Marshall, "Citizenship and Social Class," in Marshall, Class, Citizenship, and Social Development (Garden City, N.Y.: Doubleday, 1964) , p. 71. 


Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

Novel Kerumunan adalah Neraka Karya Anom Surya Putra

Day 4 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 13 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 21 (The End) 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 3 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Api Menyala dari Mata Air Kembar (1): Pengantar Praksis CSR di Desa Sumber Kembar Probolinggo

Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (1): Isi Buku Sosiologi Hukum

Day 17 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

[NOVEL HUKUM] IUS COMMUNICATIVA Karya Anom Surya Putra