Opini Terbaru
Negara Hukum Deliberatif, Desa dan Metode Pembentukan Hukum (ROCCIPI, EBP, RIA)
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Kebijakan Dana Desa dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan hak dan kewenangan Desa. Pada tahun 2015-2016 terdapat perintah penggunaan Dana Desa untuk infrastruktur. Berlanjut pada 4 (empat) prioritas Dana Desa untuk embung desa, BUM Desa dan lainnya (2016-2017). Selanjutnya, kebijakan padat karya tunai pada tahun 2018. Bagaimana menurut Anda terhadap kebijakan tersebut yang diatur melalui perintah presiden dan menteri?
- Setelah Anda membaca konsep kunci ini tentang kekuasaan komunikatif, apakah kebijakan itu hasil proses deliberasi? Bagaimana kontestasi yang terjadi di Desa selama pelaksanaan program? Bagaimana cara Desa mengupayakan konsensus?
- Setelah anda membaca konsep kunci di bawah ini tentang kekuasaan administratif, apakah program berjalan sukses, efisien, dan presisi di Desa? Bagaimana tanggapan warga Desa terhadap program itu di Desa? Apakah terdapat penolakan yang disebabkan dokumen administratif keuangan Desa? Jika terdapat masalah dalam pelaksanaan, bagaimana aspirasi dari Pemerintah Desa dan BPD direspons oleh kecamatan, dinas (Pemerintah Daerah) dan Pemerintah Pusat?
- Begitupula setelah Anda memahami konsep kunci di bawah ini tentang kekuasaan yudisial, bagaimana menurut Anda terhadap alasan yang diajukan oleh aparat hukum tentang dugaan korupsi Alokasi Dana Desa dan/atau Dana Desa? Sejauhmana organisasi yudisial menyelesaikan masalah korupsi Alokasi Dana Desa dan Dana Desa? Bagaimana pendapat Anda tentang putusan hakim terhadap kejahatan korupsi Alokasi Dana Desa dan Dana Desa?
A. Negara Hukum Deliberatif dan Desa
Pembahasan tentang negara hukum (rechtsstaat) di Indonesia sudah lama menjadi diskursus normatif bersamaan dengan diskursus negara-bangsa (nation-state). Negara dimaknai sebagai tatanan hukum (legal order) untuk mewujudkan tatanan sosial (social order) yang sejahtera.
Negara hukum (rechtsstaat) di Indonesia merupakan hasil transplantasi hukum Eropa Barat pada masa kolonial.[1] Diskursus negara hukum (rechtsstaat) masa kolonial mengalami diskontinuitas. Diskontinuitas diskursus negara hukum (rechtsstaat) yang awalnya dijiwai oleh revolusi Perancis, berubah gerak sejarahnya menjadi kolonialisme Perancis (Napoleon Bonaparte), dan berlanjut pada kolonisasi Perancis ke Belanda (Daendels). Seterusnya praktik kekuasaan Daendels hingga Raffless (Inggris) melakukan reduksi negara hukum (rechtsstaat) menjadi negara administrasi (Beamtenstaat) dalam wilayah Indonesia (Hindia Belanda).
Diskursus negara administrasi kolonial tidak diiringi dengan diskursus negara-bangsa (nation-state), tapi memproduksi pemerintahan administrasi (Binnenlands Bestuur) yang mempunyai mandat kekuasaan besar untuk mengatur dunia kehidupan masyarakat (Lebenswelt) yang pluralistik. Negara hukum (rechtsstaat) menjadi bagian dari Sistem yang terdiri dari kekuasaan dan uang sebagai non-symbolic power). Sistem (kekuasaan dan uang) tersebut menekan dunia-kehidupan masyarakat (Lebenswelt).
Sistem negara hukum (rechtsstaat) mempunyai bentuk konkret regulasi hukum (rechtsreglement) positivisme-legal. Berbagai regulasi hukum diproduksi untuk memenuhi kebutuhan unifikasi (penyatuan seluruh aturan hukum) hukum publik, desentralisasi administrasi pemerintahan (dari Belanda kepada Gubernur Jendral di Hindia Belanda), serta pengakuan kesatuan masyarakat hukum (rechtsgemenschappen) Desa kedalam regulasi hukum.
Desa baik dalam artian kesatuan masyarakat hukum (gemeinschaft) yang bersifat teritorial, genealogis, dan teritorial-genealogis diakui sebagai badan hukum (rechtspersoon). Regulasi hukum Regeringsreglement 1854, Inlandsche Gementeen Ordonantie (IGO) 1906 untuk Jawa-Madura dan IGOB 1908 merupakan salah satu produk negara administrasi kolonial yang disatu sisi mengakui Desa sebagai badan hukum (rechtspersoon), sekaligus membiarkan (gelaten) Desa secara otonom mengatur dirinya sendiri, tetapi Desa dibatasi untuk tidak mempunyai orientasi negara-bangsa (nation-state) yang sarat dengan prinsip kedaulatan rakyat.
Kritik berbasis realisme hukum dilancarkan oleh Cornelis van Vollenhoven,[2] Ter Haar,[3] Korn dan penulis Republik Desa (dorpsrepubliek) lain yang konsisten meneliti Adat untuk menjadi Hukum Adat (Adatrecht).[4] Pengetahuan teknis-realisme hukum yang bersumber dari Hukum Adat (Adatrecht) tersebut menjadi kritik terhadap positivisme-legal yang diagendakan oleh negara administrasi (Beamtenstaat). Melalui kritik tersebut Sistem negara hukum (rechtsstaat) generasi awal di Indonesia menjadi instrumen kekuasaan pemerintahan administrasi kolonial untuk mengendalikan pemerintahan, Desa dan organisasi ekonomi secara efisien ditengah krisis ekonomi.
Puncak diskursus praktis negara administrasi kolonial mengalami retakan (rupture) ketika memasuki masa Jepang. Pemerintahan militer mengubah Desa (Ku; istilah Jepang) dan struktur supra-Desa menjadi bawahan dari pimpinan komando perang. Desa dan keragaman teritorial-genealogisnya tetap diakui melaui Osamu Seirei No. 7 Tahun 1944. Desa hanya menjadi basis logistik perang Asia Timur Raya. Diskursus negara hukum (rechtsstaat) tidak muncul dalam periode kolonialisme Jepang. Baru kemudian muncul kontestasi diskursus menjelang kemerdekaan 17 Agustus 1945, antara negara-bangsa (nation-state), negara hukum (rechsstaat) demokratis dan transisi pemerintahan berbasis asas konkordansi.
Konstitusi Indonesia (UUD NRI Tahun 1945) menegaskan Negara Hukum (rechtsstaat) demokratis sebagai Sistem yang menjamin perlindungan terhadap penduduk, masyarakat dan warga negara, serta tidak memihak kepada kekuasaan semata (machtsstaat). Disamping itu terdapat pengakuan (recognition) atas pluralitas kultural dalam dunia-kehidupan masyarakat (Lebenswelt) terutama pada daerah istimewa (zelfsbestuurende) dan Desa (volksgemenschappen) di Indonesia.[5]
Amandemen UUD NRI Tahun 1945 melanjutkan diskursus Negara Hukum demokratis dengan jaminan hak individu sekaligus hak warga negara. Desa diletakkan pada dua norma dasar yakni bagian dari pemerintahan daerah (Pasal 18 ayat 7 UUD’45) dan kesatuan masyarakat hukum adat (Pasal 18B ayat 2 UUD’45). Kedua norma dasar yang sempat diperdebatkan selama Amandemen UUD’45 ini kelak akan menjadi dasar bagi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, sebagai pengganti regulasi hukum Desa yang legitim.[6]
Negara Hukum Deliberatif dirumuskan oleh Jurgen Habermas dalam Faktizität und Geltung atau Between Facts and Norms.[7] Penelitian Negara Hukum dilakukan oleh Habermas dengan menggunakan rekonstruksi filsafat hukum, teori hukum, teori komunikasi dan teori politik demokrasi deliberatif, yang selanjutnya disebut Teori Diskursus Hukum (Legal Discourse Theory).
Beberapa konsep kunci untuk memahami Negara Hukum Deliberatif berkaitan dengan spesifik tema Desa, antara lain sebagai berikut:
- Kekuasaan Komunikatif, Kekuasaan Administratif, dan Kekuasaan Yudisial
- Peraturan Perundang-undangan dalam Dualitas Kekuasaan Komunikatif dan Kekuasaan Administratif
- Legitimasi kemandirian Desa melalui perundang-undangan.
B. Kekuasaan Komunikatif, Kekuasaan Administratif, dan Kekuasaan Yudisial
Teori Diskursus Hukum (Legal Discourse Theory) menawarkan cara pandang baru terhadap ide Negara Hukum (Rechtsstaatidee). Pertanyaan dasar yang diajukan adalah bagaimana Desa dipahami dalam ide klasik tentang pembagian kekuasaan (Locke) atau distribusi kekuasaan (Montesquieu)?
Ide klasik tentang pembagian kekuasaan dan distribusi kekuasaan telah ditolak oleh pendiri negara-bangsa (nation-state) Indonesia. Perdebatan ide klasik yang populer disebut Trias Politica itu sudah bergeser menjadi check and balances pada Amandemen UUD NRI 1945. Hal ini terjadi karena ide klasik Trias Politica tidak bisa konkret menunjukkan suatu organisasi kekuasaan pemerintahan yang langsung relevan dengan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudisial.
Misalnya, Menteri Dalam Negeri dapat membatalkan peraturan daerah provinsi atau kabupaten/kota, sebelum kekuasaan Menteri Dalam Negeri ini dibatalkan oleh kewenangan yudisial dari Mahkamah Konstitusi. Apakah kekuasaan hukum (wewenang; bevoegheid) Menteri Dalam Negeri tersebut terkategori kekuasaan yudisial? Bupati/Walikota dapat mengevaluasi Peraturan Desa. Apakah Bupati/Walikota punya kekuasaan eksekutif, legislatif dan sekaligus yudisial?
Pada skala Desa terdapat Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Pemerintah Desa masih memungkinkan dikategorikan kekuasaan eksekutif karena ia melaksanakan urusan administratif, tapi ketika Kepala Desa (misalnya, kepala kampung di papua) melakukan mediasi konflik dan menetapkan hasil perdamaian itu, apakah terkategori kekuasaan yudisial pula?
BPD melaksanakan musyawarah Desa, pengawasan kinerja Kepala Desa dan mengusulkan rancangan Peraturan Desa. Tipe kekuasaannya mendekati kekuasaan legislatif, tapi ia tidak dibentuk atas dasar prosedur pemilihan langsung seperti DPR/D dan DPD. Apakah BPD masih utuh dikategorikan sebagai lembaga legislatif?
Beberapa contoh diatas menunjukkan bahwa ide klasik Trias Politica hanya fiksi-kekuasaan. Trias Politica lebih tepat disebut sebagai tipe-tipe penalaran (Begründungstypen) yang dilihat sebagai hubungan timbal-balik antar kekuasaan. Sehingga tipe-tipe penalaran itu tidak mungkin diterapkan pada bentuk konkret suatu organisasi kekuasaan di Indonesia, dari pusat sampai Desa.
Teori Diskursus digunakan untuk memberikan perspektif baru tentang Negara Hukum Deliberatif melalui perluasan pembagian atau distribusi kekuasaan dalam masyarakat Indonesia yang kompleks. Kekuasaan selalu bersifat politis, tidak ada karakter non-politis kecuali kekuasaan sosial yang bercampur dengan hukum sakral dan tumbuh pada masa pramodern (kerajaan Sriwijaya, Majapahit, sampai dengan Mataram abad XVII). Kekuasaan politis pada masyarakat (gesellschaft) modern adalah kekuasaan komunikatif, kekuasaan administratif dan kekuasaan yudisial. Melalui tiga bentuk kekuasaan yang saling sirkuler-diskursif maka tipe-tipe penalaran Trias Politica sebelumnya ditransformasi menjadi bentuk-bentuk komunikasi yang melibatkan masyarakat secara total untuk mencapai konsensus.[8] Konsensus ditujukan untuk memenuhi kepentingan (Interesse) dan kebutuhan (Bedürfnis) demi kebaikan bersama atau kehidupan bersama.
Tiga kekuasaan itu tidak hanya berada pada negara tapi juga masyarakat. Masyarakat punya otonomi di hadapan negara seperti diwariskan oleh negara hukum (rechtsstaat). Bedanya terletak pada jenis diskursus yang dihasilkan masing-masing kekuasaan itu. Misalnya, kekuasaan komunikatif tampak pada organisasi legislasi pada BPD bersama dengan Pemerintah Desa, ketika menghasilkan diskursus pendasaran berupa RPJMDesa, RKP Desa, APBDesa dan hasil permusyawaratan (deliberasi) lainnya. Kekuasaan komunikatif itu belum tentu sama dengan diskursus pendasaran yang dilakukan organisasi legislasi DPR-RI ketika menghasilkan diskursus pendasaran berupa UU Desa, UU Pemda, dan UU BPJS. Artinya, BPD tidak identik dengan DPR-RI sebagai legislative yang selama ini kita kenal dalam Trias Politica. Formasi opini publik dari masyarakat Desa ke BPD dan Pemerintah Desa, bisa saja melaju kencang menjadi aspirasi politik formal dalam sistem politik legislasi DPR-RI.
Negara Hukum Deliberatif lebih berpandangan optimistis terhadap Desa agar mengalami praksis komunikasi total dengan Sistem (kekuasaan dan uang) pada level organisasi supra Desa (kementerian/lembaga, badan administrasi, dan badan politis lainnya). Organisasi kekuasaan menjadi terbuka dengan kritik yang rasional dan komunikatif. Ruang publik menjadi tempat bagi dihasilkannya opini publik dari dunia- kehidupan masyarakat (Lebenswelt), untuk ditujukan kepada Sistem (kekuasaan dan uang). Ketiadaan Ruang Publik dalam relasi Sistem dan Dunia-Kehidupan (Lebenswelt) berarti mendorong kondisi negara dan masyarakat mengalami anarki.
C. Diskursus Pragmatis Politik Hukum Perundang-undangan
Penjelasan ringkas dalam perspektif baru ini menegaskan tipe kekuasaan sebagai praksis komunikasi. Tanpa memahami hal ini maka kita akan mengalami kesulitan masuk kepada tema-tema metodologis politik hukum perundang-undangan seperti Evidence Based-Policymaking dan Regulatory Impact Assessment sebagai diskursus-diskursus pragmatis (pragmatische Diskurse). Berikut adalah uraian ringkasnya.
Pertama, Kekuasaan Komunikatif. Hukum menjamin pembentukan kekuasaan komunikatif secara legal. Warga negara tidak merasa takut untuk menyatakan pendapat, kepentingan dan kebutuhannya. Jika syarat ini terpenuhi maka deliberasi menghasilkan hukum yang legitim. Proses deliberasi bukan monopoli badan-badan politis seperti DPR/DPRD tetapi meluas hingga organisasi masyarakat di Desa.
- Elemen warga negara telah memberikan argumentasi terhadap kemandirian Desa kepada parlemen. Parlemen sebagai organisasi legislasi memberikan alasan-alasan normatif hasil deliberasi sebagai hukum. Contoh, UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah hukum hasil deliberasi.
- BPD bersama Pemerintah Desa memberikan alasan-alasan normatif hasil deliberasi masyarakat Desa (berstatus penduduk lokal sekaligus warga negara) sebagai hukum. Contoh, Perdes tentang Kewenangan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa sebagai hukum hasil deliberasi. Disinilah baru nampak bahwa BPD bukanlah organisasi legislatif (parlemen), tapi BPD merupakan organisasi dengan perspektif kekuasaan komunikatif yang memutuskan kebutuhan dan kepentingan warga Desa secara kolektif (bersama Pemerintah Desa dan masyarakat Desa) untuk kehidupan bersama. Kontestasi antar elit Desa pasti terjadi. Kekuasaan komunikatif mengupayakan self-organize masyarakat Desa agar terjadi konsensus.
- Dalam karyanya tentang teori tindakan komunikatif, sebelum Faktizität und Geltung, Habermas menyatakan bahwa ketika kemampuan memproduksi hukum didelegasikan melalui pola-pola pertukaran jaring-jaring sistem sosial tertentu yang beroperasi secara independen maka reproduksi hukum akan jatuh di bawah kekuasaan bayang-bayang kekuasaan dualitas ambigu yang memisahkan negara dari unit-unit sosial masyarakat.[9] Masyarakat menjadi otonom di hadapan negara. Model demokrasi perwakilan tidak menempatkan konstituen dalam proses penempatan hukum secara menyeluruh. Konstituen hanya memiliki hak-hak politik untuk memilih calon anggota parlemen, lalu setelah itu selesailah perannya secara konstitusional. Negara Hukum Deliberatif membuka ruang publik yang tumbuh dari dunia-kehidupan masyarakat (Lebenswelt). Ruang publik ini pluralistik semisal ruang publik legislasi yang tumbuh dari proses Musyawarah Desa. Ruang publik mediasi yang tumbuh dari penjagaan perdamaian di Desa. Pluralitas ruang publik ini sejak masa kolonial dikenal dengan Republik Desa (dorpsrepubliek), terutama Republik Desa di Desa Tnganan Pagrisingan, Karangasem, Bali.
- Kementerian Desa, Kementerian Dalam Negeri, Bappenas, Kementerian Keuangan, LKPP, BPKP, BPK dan sampai dengan Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa melaksanakan kebijakan padat karya tunai. Kebijakan padat karya tunai berorientasi pada efisiensi dan presisi untuk mengatasi kemiskinan di Desa. Bentuk konkretnya adalah regulasi hukum. Regulasi hukum tentang padat karya tunai harus bersesuaian dengan hukum yang legitim dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, sehingga praktik kekuasaan administratif seperti padat karya tunai dapat dianggap legitim.
- Tindakan strategis padat karya tunai terbatas pada pelaksanaan kekuasaan komunikatif. Oleh karena itu tindakan strategis Pemerintah berorientasi pada kesuksesan mengatasi kemiskinan melalui Dana Desa (sebagai hak/kewenangan Desa, bukan proyek Dana Desa). Pemerintah Desa, BPD dan masyarakat Desa berhak memberikan alasan-alasan programatis atas kebijakan padat karya tunai sesuai kondisi lokal, inklusif-partisipatif dan tujuan kolektif.
- Dalam Negara Hukum Deliberatif, Desa memandang organisasi pemerintah sebagai partner inter-subjektif. Organisasi pemerintah bukan roh objektif (Hegel) yang mutlak harus diikuti, ditaati, karena belum tentu alasan-alasan dari pemerintah rasional-komunikatif bagi Desa.
- Undang-undang, yang dilegitimasikan dalam demokrasi deliberatif, merupakan suatu dialog antara mekanisme legislasi dan diskursus-diskursus pendasaran. Baik formal maupun informal, melalui ruang publik yang idealnya bebas dari dominasi Sistem. Demokrasi deliberatif menyediakan ruang publik sebagai ruang-antara selain partisipasi warga negara dalam Pemilu dan terbitnya kebijakan publik lainnya. Tak selamanya ruang publik selalu bebas dominasi. Ruang publik yang tumbuh dari dunia-kehidupan masyarakat (Lebenswelt) rawan dikolonisasi oleh Sistem. Misalnya, pembentukan BUM Desa dan koperasi yang idealnya tumbuh dari solidaritas masyarakat, rawan dikolonisasi oleh perintah penguasa atau imperatif pasar yang anonim.
- Teori Diskursus Hukum melanjutkan kedaulatan rakyat dalam Negara Hukum Deliberatif sebagai rasio proseduralistis. Artinya, seluruh proses pembuatan hukum tidak memperdebatkan bahasa hukum yang teknis-normatif, tetapi mempertimbangkan peraturan perundang-undangan disusun dengan rasio ‘dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat’. Habermas memberi istilah ini bergantian seperti demokrasi radikal atau pemerintahan dari yang diperintah.
- Inilah titik persimpangan antara Negara Hukum (rechsstaat) dan Negara Hukum Deliberatif. Kedaulatan rakyat diperlakukan sebagai demokrasi normatif pada Negara Hukum (rechsstaat), tapi diposisikan sebagai rasio proseduralistis/komunikatif pada Negara Hukum Deliberatif. Seluruh regulasi hukum (termasuk peraturan perundang-undangan dan diskursus pragmatisnya) diuji dengan rasio proseduralistis/komunikatif ‘dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat’.
- Negara Hukum Deliberatif dikritik karena mengandalkan kesadaran individu yang dituntut semakin rasional dan rasio komunitarian yang dituntut imparsial. Ini membutuhkan proses panjang bagi pembentukan peraturan perundang-undangan. Pemerintah, DPR dan organisasi pelaku kekuasaan administratif harus semakin rasional melakukan analisis (baik menggunakan metode dan seni drafting dalam EBP, ROCCIPI dan RIA), serta di sisi lain masyarakat Desa dituntut semakin rasional untuk menjelaskan gotong royong dan lainnya secara imparsial. Fenomena kebijakan padat karya tunai merupakan medan penelitian menarik untuk lebih jauh dibicarakan dalam diskursus pragmatis demikian.
Ketiga, Kekuasaan Yudisial. Sementara kekuasaan komunikatif pada organisasi legislasi melegitimasikan alasan-alasan normatif melalui diskursus-diskursus pendasaran (Begründungsdiskurse), maka organisasi yudisial merapkan alasan-alasan normatif itu dalam kasus-kasus konkret. Ini kita kenali sebagai teori interpretasi hukum yang dilakukan oleh Hakim dan aparatus peradilan lainnya, yang menerapkan diskursus-diskursus penerapan (Anwendungsdiskurse). Hukum yang legitim hasil kekuasaan komunikatif menjadi acuan bagi fungsi pengawasan yang dilakukan organisasi/lembaga peradilan. Organisasi ini mengawasi praktik kekuasaan administratif serta berupaya mengatasi konflik yang terjadi pada badan-badan kekuasaan politis lainnya. Berikut ini ilustrasi singkatnya.
- Kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi menjadikan Asas Hukum Rekognisi-Subsidiaritas, musyawarah dan asas pengaturan UU Desa lainnya yang legitim itu, sebagai sumber legitimasi kekuasaan dan sarana organisasi untuk menerapkan hukum.
- Semua institusi yudisial menghormati dan mengakui Desa, sesuai konstitusi dan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Institusi yudisial selanjutnya menyusun alasan rasional tentang pelanggaran hukum dan kejahatan yang dilakukan subjek hukum tertentu. Contoh: Putusan Putusan No. 47/Pid.Sus-TPK/2017/PIN Plk terhadap perbuatan korupsi Alokasi Dana Desa (ADD; bukan Dana Desa) yang dilakukan Kepala Desa pada tahun 2012 di Palangkaraya.
- Diskursus penerapan hukum tidak boleh dilakukan oleh institusi yudisial semata-mata hanya bersumber dari kekuasaan organisasinya sendiri, tapi harus timbal-balik dengan kekuasaan komunikatif yang bersumber dari hak dan kewenangan Desa (self-governing community dan local self-government) yang legitim. Dengan demikian penerapan hukum (dugaan korupsi) tidak serta merta diterapkan institusi yudisial kepada Desa atas dasar laporan kekuasaan administratif, tapi legitim tidak berdasar kekuasaan komunikatif yang berlangsung di Desa (misal: BPD mengawasi kinerja kepala Desa; kepala kampung di Papua menetapkan hak ulayat setelah proses deliberasi dan konsensus damai dengan warga; Peradilan Adat Nagari menetapkan reaksi-adat terhadap pelanggar Adat).
- Simpulan dari Negara Hukum Deliberatif adalah negara hukum memperoleh sumber legitimasi kekuasaannya dari kekuasaan komunikatif, kekuasaan administratif dan kekuasaan yudisial secara diskursif. Organisasi pemerintahan pusat sampai daerah (provinsi dan kabupaten/kota) berkedudukan di dalam Sistem (kekuasaan dan uang), sedangkan Desa (rechtsgemeinschaft) berkedudukan di dalam dunia-kehidupan masyarakat (Lebenswelten) yang pluralistik. Hukum berfungsi sebagai poros komunikasi antara Sistem dan dunia-kehidupan masyarakat.
D. Politik Hukum Perundang-undangan dan Legitimasi Kemandirian Desa
Peraturan perundang-undangan mempunyai peran penting sebagai produk kekuasaan komunikatif dan kekuasaan administratif dalam penyelenggaraaan Negara Hukum Deliberatif. Uraian singkatnya dijelaskan sebagai berikut dengan contoh sederhana (UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa), dengan tetap mempertahankan dan mengembangkan prinsip-prinsip klasik tentang negara hukum yakni kedaulatan rakyat.
Pertama, UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan hukum yang mengikat bersama. Hasil kesepakatan timbal-balik para warga negara. Norma hasil konsensus ini mengubah kehidupan bersama para warga negara menjadi tatanan sosial-politis yang lebih adil.
- Definisi yuridis tentang Desa telah menegaskan Desa dan Desa Adat sebagai kesatuan masyarakat hukum (rechtsgemeinschaft) atau komunitas lokal (gemeinschaft) yang konstitusional. Rumusan definisi yuridis ini merupakan konsensus bahwa Desa dan Desa Adat diakui oleh peraturan perundang-undangan sebagai fakta sejarah sejak masa pemerintah kolonial Belanda, berlanjut pada politik hukum unifikasi (1945) hingga masa perubahan UUD NRI 1945. Definisi yuridis ini diterima secara pragmatis dan dipahami secara rasional untuk mewujudkan tatanan sosial-politis Desa yang lebih adil.
- Istilah Desa dimaknai sebagai local self-government berdasar pemahaman konstitusional Pasal 18 ayat (7) UUD NRI 1945, sedangkan Desa Adat didasarkan pada pemahaman konstitusional Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945. Uraian konsensus dasar (Grundkonsenz) tentang Desa ini dapat kita ikuti pada sejarah amandemen UUD NRI 1945. Istilah hukum ini kita terima secara pragmatis dan diuji terbuka dalam fakta sosial yang pluralistik (contoh: rumah tangga, lembaga kemasyarakatan berbasis Desa, Desa bentukan pemerintah seperti desa transmigrasi, lembaga adat yang melampaui batasan wilayah administratif pemerintahan Desa, pemerintah desa adat, dan lainnya).
Kedua, UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan hukum yang menjembatani (sebagai medium) antara Dunia-Kehidupan masyarakat dan Sistem. Hukum menjamin sirkulasi opini informal di dalam ruang publik dan aspirasi secara formal di dalam sistem politis. Sebagai contoh, salah satu tujuan UU Desa adalah menanggulangi kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar dan seterusnya. Untuk itu, UU Desa menggunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu ‘Desa Membangun’ dan ‘Membangun Desa’ yang diintegrasikan dalam perencanaan Pembangunan Desa (Penjelasan UU Desa Bagian Ke-10). Ada 2 (dua) hal ketika hukum sebagai medium melakukan mediasi antara opini publik dan aspirasi masyarakat dengan Sistem, yakni:
- Opini informal di dalam ruang publik: masyarakat Desa berhak mendapatkan informasi dan melakukan pemantauan mengenai rencana dan pelaksanaan Pembangunan Desa. Ini berarti masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan Desa menghimpun opini-opininya untuk ditujukan kepada Pemerintah Desa dan BPD. Kemiskinan didefinisikan oleh masyarakat Desa secara otonom dan pluralistik, lalu ditujukan kepada Pemerintah Desa dan BPD untuk segera diputuskan cara mengatasi kemiskinan melalui sumber daya lokal (common pool resources).
- Aspirasi secara formal di dalam sistem politik: Pemerintah Desa bersama BPD mengelola aspirasi masyarakat Desa terkait upaya mengatasi kemiskinannya melalui dokumen perencanaan pembangunan Desa. Dokumen perencanaan itu disusun atas opini yang disampaikan oleh masyarakat Desa melalui musyawarah. Musyawarah menghasilkan peraturan perundang-undangan yang melegitimasikan deliberasi masyarakat Desa. Peraturan perundang-undangan itu antara lain adalah Peraturan Desa mengenai dokumen perencanaan RPJM Desa, RKP Desa dan APB Desa. Keseluruhan peraturan itu menjelaskan hukum sebagai legitimasi kekuasaan Pemerintah Desa dan BPD.
Ketiga, hukum Indonesia mengatur jenis dan hirarki regulasi hukum melalui UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Disisi lain UU Desa mengatur secara atributif tentang Peraturan Desa dan lainnya, dan berlaku asas hukum lex specialis derogat legi generali terhadap ketentuan dalam UU No. 12 Tahun 2011 a quo berkaitan dengan peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Desa atau sederajat. Posisi peraturan perundang-undangan dalam Negara Hukum Deliberatif berfungsi dualistis, yakni berada secara fungsional pada kekuasaan komunikatif dan kekuasaan administratif. Konsekuensinya:
- Peraturan perundang-undangan berfungsi sebagai norma hukum yang mengikat bersama dan mengubah kehidupan bersama para warga negara menjadi lebih adil. Mulai UU Desa sampai dengan Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa, Keputusan Kepala Desa dan Peraturan Bersama Kepala Desa melegitimasikan alasan-alasan normatif yang bersumber langsung dari Pemerintah Desa, BPD dan masyarakat Desa. Misalnya, apakah Peraturan Menteri tentang Pembangunan Desa sudah disusun melalui alasan-alasan normatif yang menjamin partisipasi perempuan, kaum miskin, dan representasi warga lainnya?
- Peraturan perundang-undangan berfungsi sebagai medium demokrasi, antara opini masyarakat Desa di ruang publik dan aspirasi Pemerintah Desa dan BPD dalam sistem politik perencanaan pembangunan Desa. Mulai UU Desa sampai peraturan di Desa legitimitasinya tidak terletak pada komunikasi politik, melainkan pada prosesnya. Semakin diskursif dan terbuka dengan konsultasi publik, maka peraturan itu semakin legitim. Meskipun aturan hukum itu koheren, sistematis, dan terbuka atas revisi, apabila tidak diuji lebih dahulu dalam proses konsultasi publik maka aturan hukum itu tidak mendapat legitimasi. Dampaknya adalah aturan hukum gagal sebagai medium antara Sistem dan Dunia-Kehidupan masyarakat. Hukum berisiko mendorong hubungan-hubungan kekuasaan (baik elit pusat dan elit Desa) yang memblokade akses warga Desa (sebagai individu dan warga negara). Ketidakpatuhan warga atas hukum akhirnya menjadi pilihan politis, lalu menjurus anarki.
Diolah dari keterlibatan penulis sebelumnya dalam penyusunan "Modul Pelatihan Legislative Drafting Berbasis Evidence-Based Policymaking dan Regulatory Impact Assessment", Cetakan Pertama, April 2018, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar