Opini Terbaru

Between Facts and Norms, Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (2): Pengantar dari Jürgen Habermas

Gambar
PENGANTAR Jürgen Habermas  | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse

Antropologi Kuntilanak

Setiap perjalanan ke Desa, perdesaan, atau kampung pinggiran perkotaan, beberapa kali saya membuka obrolan dengan beberapa teman tentang makhluk halus, terutama yang termasuk kategori kuntilanak. Makhluk perempuan berjubah putih, jarang ganti baju, rambut terurai jarang dirawat ke salon, wajah tidak pernah dirawat dengan suntikan kecantikan, dan yang pasti jarang mandi. Tulisan ini menarik. Membahas kuntilanak dalam perspektif Teori Kritis. Aliran pemikiran filsafat yang memang diusung di dalam blog ini. Kuntilanak awalnya merupakan diskursus roh yang berdampingan hidup di alam mistis bersama dengan manusia. Diskursus pencerahan dan bahkan keagamaan monoteis telah menempatkan kuntilanak dalam posisi yang terpojok. Kuntilanak adalah lawan dari ilmu pengetahuan dan juga lawan dari makhluk suci. Semacam setan dan monster. Semacam aib dari rasionalitas Pencerahan. 

Persepsi mistis atas kuntilanak kemudian direproduksi oleh sinematografi. Bermunculan film kuntilanak dengan tampilan menyeramkan. Wajahnya selalu ditambah bedak yang tebal. Mata diberi sapuan kosmetik hitam di sekelilingnya. Identik dengan perempuan yang rentan dekat dengan kematian seusai melahirkan bayi. 

Apakah kuntilanak itu sebenarnya relasional dengan suatu wilayah yang relatif tinggi angka kematian ibu hamil dan kematian ibu yang melahirkan bayi? Bila demikian halnya, mengapa sebagian dari Anda tidak tergerak untuk melakukan kampanye kesehatan ibu hamil dan ibu melahirkan di skala lokal Desa atau perkampungan di kota pinggiran? Masih banyak pertanyaan lain setelah Anda membaca artikel ini.

Beragam pertanyaan tentang kuntilanak silahkan direnungkan sambil berimajinasi bahwa kuntilanak yang mungkin berada di dimensi lain itu sedang menertawakan manusia. Ia tetap berada di alam roh. Manusia modern membentuk imajinasi tentang kuntilanak melalui reproduksi budaya pop yang ditopang dengan diskursus rasa-ketakutan, cerita omong kosong yang dipercaya, buku cerita picisan, aksi sinematografi, dan kekecewaan diam-diam terhadap alam sekitar yang tak kunjung membuatnya makmur-sejahtera. "Kuntilanak, mistismu terjatuh kembali ke alam industri budaya. Manusia dan roh dipisahkan oleh film horor. Eh, Jangan lupa pergi ke salon, rawatlah rambutmu." Selamat membaca.

Judul: Ghost Narratives and Malay Modernity in Pontianak, Indonesia

Sumber: Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia

Penulis: Timo Duile

Online Publication Date: 11 Jun 2020

Penerjemah: Anom Surya Putra

Abstrak

Kuntilanak merupakan ikon budaya pop yang cukup dikenal di beberapa negara di Asia Tenggara. Sementara vampir perempuan menjadi subjek film dan novel horor, orang-orang di Pontianak, Kalimantan Barat, mengklaim bahwa kota itu didirikan dengan menggusur Kuntilanak, yang mendiami pertemuan sungai Kapuas dan Landak sebelum kota itu dibangun. Artikel ini mengkaji narasi tentang Kuntilanak, membandingkannya dengan persepsi roh lain yang ditemukan di kalangan suku Dayak di Kalimantan Barat. Ini menunjukkan bahwa kengerian atas hantu yang menakutkan itu adalah harga yang harus dibayar oleh orang-orang untuk mengkonseptualisasikan alam sesuai dengan modernitas Islam Melayu. Merujuk pada pendekatan Teori Kritis, permusuhan dan kengerian Kuntilanak adalah ekspresi dari modus pencerahan tertentu dalam arti seluas-luasnya, yaitu upaya mengkonseptualisasikan alam untuk menguasainya. Dengan demikian, alam kuntilanak muncul sebagai lawan dari masyarakat muslim yang beradab di kota-kota pesisir Melayu.

Kata kunci: Kalimantan; Pontianak; animism; Kuntilanak; Malay; Dayak

1. Pengantar

Dalam perjalanan apa yang dikenal sebagai pergantian ontologis dalam antropologi budaya, hubungan manusia-alam sehubungan dengan roh telah menjadi topik yang banyak dibahas dalam antropologi sosial dalam beberapa tahun terakhir (Holbraad dan Pederson 2017). Dalam studi baru animisme, hubungan manusia-roh tidak dianggap sebagai sisa-sisa masa lalu, seperti yang terjadi dalam antropologi evolusionis, tetapi sebagai ekspresi epistemologi lain (Bird-David 1999) atau bahkan ontologi yang berbeda atau bertentangan (misalnya, Blaser 2013; Vivieros de Castro 2012; Descola 2013). Tidak mengherankan, hubungan manusia-roh juga menjadi isu bagi para antropolog yang melakukan penelitian di Asia Tenggara (misalnya, Århem dan Sprenger 2016; Sprenger dan Großmann 2018). Karya-karya terbaru tentang animisme dan roh di Asia Tenggara terutama berfokus di Desa. Akan tetapi, roh dan hantu merupakan fenomena umum juga di lingkungan perkotaan di Asia Tenggara (misalnya, Johnson 2014; Hüwelmeier 2018). Untuk sebagian besar penduduk perkotaan di negara-negara seperti Malaysia atau Indonesia, roh benar-benar ada dan cerita tentang roh adalah bagian dari pengetahuan sosial yang umum.

Artikel ini membahas hantu Kuntilanak/Pontianak, sejenis vampir yang tidak hanya menghantui ingatan kolektif orang-orang di ranah Melayu, tetapi juga berperan penting bagi kota Pontianak (ibu kota provinsi Kalimantan Barat di Indonesia) sebagai roh pengusir yang menghantui, menakutkan, dan tidak ada. Seperti yang akan saya kemukakan, narasi tentang Kuntilanak adalah mitos dan modus 'pencerahan dalam arti luas', yaitu, sebagai 'kemajuan pemikiran' yang bertujuan 'membebaskan manusia dan menempatkan mereka sebagai penguasa' (Horkheimer dan Adorno 2002: 1). Narasi Kuntilanak merupakan hal yang bersifat konstitutif bagi konsepsi diri kemelayuan modern sebagai identitas Islam yang beradab, sebagai civil society (dalam hal ini, lihat Alatas 2010:173). Dengan demikian, konsep ini kontras dengan alam pedalaman Kalimantan yang liar dan menakutkan. Bukan hanya konsep diri kemelayuan di Pontianak, tetapi juga masyarakat modern dan maju di negara Indonesia, Malaysia, dan Singapura pada umumnya. Namun, saya tunjukkan berikut ini bahwa persepsi diri ini ada harganya, karena Kuntilanak mewujudkan dan mempertahankan dimensi traumatis dari masyarakat lain. Dengan mengacu pada Teori Kritis, saya menyarankan sebuah pendekatan yang agak berbeda dari pendekatan 'ontologis' yang disebutkan di atas dan bersifat umum untuk memberikan kontribusi terbaru pada hubungan manusia-roh. Ketika berhadapan dengan masyarakat modern dan narasi modern, faktor-faktor seperti agama dan animisme tidak boleh dianggap sebagai kebalikan dari modernitas atau ontologi modern/Barat. Sebaliknya, mereka adalah bagian dari bentuk spesifik modernitas yang mencakup pesona dan kekecewaan: alih-alih kekecewaan, seperti yang diajukan untuk modernitas Barat (Cascardi 1992:16–40), modernitas dan pencerahan Melayu (sekali lagi, dalam arti luas dari istilah tersebut) menghilangkan dan menjauhkan 'diri atau the self' (kaum urban; masyarakat madani yang lebih maju) dari kengerian dengan mempesona dan menciptakan keberbedaan (hutan, alam, dan Kuntilanak sebagai yang lain dalam wujud manusia).

Sebelum memberikan gambaran singkat tentang narasi Kuntilanak, artikel ini membahas konsep pencerahan yang dikembangkan oleh Teori Kritis awal sebagai kerangka teori untuk analisis. Berikut ini, saya akan menyajikan tiga jenis narasi: narasi Kuntilanak dalam budaya populer, seperti yang digambarkan dalam novel dan film horor; cerita rakyat Melayu; dan mitos pendiri kota. Argumen utama artikel ini terutama didasarkan pada narasi yang terakhir, tetapi semua narasi ini saling terkait, karena didasarkan pada unit konstitutif yang serupa (misalnya, motif alam sebagai sumber horor dan alien). Narasinya agak berbeda karena cerita hantu dalam budaya populer di Indonesia sering dipengaruhi oleh narasi hantu dan monster Barat. Dalam kasus Kuntilanak, jelas bahwa persepsi Barat tentang vampir memainkan peran tertentu di sini. Namun, persepsi Kuntilanak sebagai hantu peminum darah bukan hanya persepsi orang Barat. Sebaliknya, itu membuat narasi lokal dapat dikaitkan dengan narasi global. Di sisi lain, artikel tersebut berpendapat bahwa narasi lokal tertentu tentang Kuntilanak, terutama yang berkaitan dengan alam, juga telah masuk ke dalam budaya populer.

Narasi Kuntilanak yang disebutkan di bawah ini sebagian besar didasarkan pada cerita yang dikumpulkan selama kunjungan kerja lapangan selama enam bulan pada tahun 2014. Selama kunjungan yang sering ke Pontianak pada tahun-tahun berikutnya, saya dapat memperoleh wawasan yang lebih dalam tentang narasi hantu yang ada di kota ini. Pekerjaan lapangan awal saya berkaitan dengan narasi animisme dari aktivis Dayak dan orang Dayak yang tinggal di desa-desa di Kalimantan Barat. Meskipun aktivis Dayak dan kebanyakan orang di desa Dayak secara resmi beragama Katolik, banyak juga yang mempertahankan pandangan dunia animisme dan tidak menganggap Katolik dan animisme saling bertentangan. Lain halnya dengan Dayak Protestan yang cenderung meninggalkan ritual animisme. Karena para aktivis Dayak bermarkas di lingkungan perkotaan Pontianak, saya pun jadi akrab dengan narasi Melayu tentang makhluk halus, terutama Kuntilanak. Ketika berhadapan dengan teman-teman Melayu dengan narasi roh dari aktivis Dayak dan orang-orang di desa Dayak, mereka sering menceritakan cerita Melayu mereka tentang roh. Selain itu, saya berbicara dengan orang-orang Melayu di pemukiman tradisional Melayu di dekat Sungai Kapuas (Kampung Bangka, arah selatan dari wilayah tengah, dan kawasan istana sultan, Istana Kadriyah, dan Masjid Jami, masjid pertama di kota itu berada). Ini adalah daerah yang sebagian besar dihuni oleh orang-orang dari kelas menengah ke bawah. Orang sering tinggal di sana selama beberapa generasi dan biasanya memiliki ikatan yang kuat dengan keluarga sultan sebagai sumber utama identitas Melayu Pontianak mereka. Mereka biasanya mengetahui dengan baik cerita rakyat dan narasi kota mereka. Saya juga berkesempatan untuk bertemu dengan para ahli budaya (budayawan) lokal dari latar belakang Melayu dan Dayak, yang banyak bercerita tentang roh-roh di Kalimantan Barat. Kuntilanak sering disebutkan dan informan Melayu saya juga menunjukkan beberapa kesamaan antara narasi Dayak tentang roh dan padanan Melayu mereka. Artikel ini menguraikan narasi-narasi ini dan menyelidiki beberapa kesamaan, menunjukkan bahwa narasi Dayak dan Melayu menyampaikan konsep roh yang terikat tempat dan hubungan manusia-roh.

Selain itu, saya mengumpulkan materi lain tentang hantu tersebut, seperti penggambarannya di buku dan film. Saya juga membahas film horor tentang Kuntilanak dengan banyak teman Indonesia saya. Tujuan saya adalah untuk mengidentifikasi motif serupa dalam tipe naratif yang berbeda. Sementara narasi lokal terdiri dari mitos pendirian kota serta cerita rakyat lokal tentang Kuntilanak, narasi dalam budaya populer di Indonesia sering juga dipengaruhi oleh persepsi Barat tentang hantu dan monster (pada proses ini, lihat juga Bubandt 2012:10). Namun, narasi lokal juga memainkan peran penting dalam narasi yang dipopulerkan ini. Tulisan ini berfokus terutama pada analisis mitos Kuntilanak yang dikisahkan di Pontianak, dalam konteks dikotomi-dikotomi yang menjadi asal narasi tersebut dan dalam kaitannya dengan konsepsi spirit lain di Kalimantan Barat, yaitu komunitas Dayak. Selain itu, saya merujuk pada narasi yang saya temui dalam budaya populer untuk menggambarkan bahwa motif tertentu dalam narasi Kuntilanak tersebar luas. Namun, motif-motif tersebut berasal dari narasi lokal dan menggambarkan konstruksi alam sebagai 'yang lain' dari alam yang aman dan beradab. Tujuan saya adalah melakukan analisis wacana, menganalisis berbagai bentuk diskursif tentang Kuntilanak dan mengidentifikasi unit-unit konstitutif yang serupa di dalam narasi-narasi yang berbeda. Terakhir, artikel ini memberikan analisis berdasarkan argumen yang diambil dari Dialectics of enlightenment (Horkheimer dan Adorno 2002), suatu teks kunci dari Teori Kritis.

2 'Pencerahan dalam Arti Istilah Terluas' dan Modernitas

Teori Kritis, seperti yang dikembangkan oleh Aliran/Mazhab Frankfurt awal, berasal dari kritik nalar dalam arti ganda: nalar adalah mode kritik sekaligus alat untuk proyek emansipasi, cara mengatasi kondisi yang berlaku yang didominasi oleh alam. Di sisi lain, nalar adalah objek kritik sejauh nalar, dalam arti rasionalitas, kemajuan, sains, kekecewaan, dan teknologi, muncul sebagai tujuannya sendiri. Dengan mengingat sejarah Eropa, Teori Kritis menghilangkan optimisme kemajuan sementara bertujuan untuk mempertahankan kemungkinan masyarakat lain yang berdamai —meskipun tujuan itu tertunda untuk waktu yang tidak terbatas. Alih-alih menggunakannya untuk menciptakan masyarakat yang adil, kemajuan telah digunakan untuk menjalankan dominasi. Fasisme, industri budaya, dan Stalinisme telah berkontribusi pada pendekatan yang jauh lebih pesimis namun kritis terhadap kemajuan manusia dalam sejarah. Nalar, seperti yang dikatakan Horkheimer dan Adorno, adalah alat terbaru umat manusia untuk mengonseptualisasikan dunia dengan cara yang memungkinkan manusia untuk mengatasi rasa takut yang dipaksakan alam pada mereka: 'pikiran, menaklukkan takhayul, adalah untuk menguasai alam yang mengecewakan' (Horkheimer dan Adorno 2002:2). Dalam pandangan mereka, mitos adalah bentuk awal pencerahan karena memberikan penjelasan tentang alam agar manusia dapat berinteraksi dengan alam sedemikian rupa sehingga meminimalkan bahayanya: alam dapat dikendalikan melalui mitos, atau setidaknya orang percaya bahwa alam dapat dipengaruhi melalui ritual.

Dalam kasus sejarah Barat, memajukan rasionalitas telah menghancurkan apa yang disebut Adorno sebagai 'bentuk awal pencerahan', seperti animisme dan mitos (Lijster 2015:158–9). Di sisi lain, rasionalitas sebagai tujuan itu sendiri mengandung dimensi mistik, karena ia memfitnah kemajuan. Namun, dalam kasus masyarakat non-Barat, rasionalitas, agama, dan bentuk-bentuk awal pencerahan lainnya masih terjalin hingga tingkat yang jauh lebih tinggi saat ini. Ini berarti bahwa sekularisasi dan kekecewaan bukanlah proses yang melekat dalam masyarakat modern. Kontrol yang meningkat atas, dan dominasi, alam, kerja upahan, pembagian kerja, kapitalisme pada umumnya, dan fitur lain dari masyarakat modern tidak bergantung pada kekecewaan dunia. Seperti Eisenstadt (1973) berpendapat dalam karya awalnya, modernitas adalah proses yang mana tradisi (dan, dengan itu, 'bentuk-bentuk awal pencerahan') tidak hanya memudar tetapi terus-menerus ditafsirkan kembali dalam konteks berubah.

Namun, ciri-ciri umum 'pencerahan dalam arti kata yang paling luas' dapat dielaborasi dan diterapkan pada analisis modernitas yang berbeda, misalnya, gagasan tentang proses dialektis antara mitos dan rasionalitas: ada rasionalitas dalam animisme, diungkapkan dalam penggandaan alam menjadi objek (materi) dan subjek (roh), sehingga memungkinkan manusia untuk menguasai alam melalui interaksi dengan dimensi roh. Argumen bahwa animisme adalah cara menguasai alam tampaknya bertentangan dengan interpretasi saat ini yang lazim dalam teori Animisme Baru, yang sebaliknya mengkonseptualisasikan animisme sebagai cara yang lebih horizontal untuk berhubungan dengan lingkungan non-manusia. Apa yang saya sebut 'Animisme Baru' mewakili paradigma terkini dalam studi animisme, yang membahas animisme sebagai epistemologi atau ontologi yang berbeda.[1] Terlepas dari perbedaannya, definisi Animisme Baru memiliki kesamaan, yaitu pandangan bahwa animisme pada dasarnya berbeda dari gagasan modern, Barat, atau naturalis tentang memahami dunia. Horkheimer dan Adorno, sebaliknya, berangkat dari perspektif Marxis yang menekankan perlunya mengatur hubungan metabolisme dengan alam. Manusia, dengan demikian, bertujuan untuk mencapai kendali atas lingkungan non-manusia, karena mereka bertujuan untuk memastikan kebutuhan biologis mereka dan mengurangi ketakutan yang ditimbulkan oleh alam pada mereka. Animisme, dalam pandangan ini, memberikan sarana kognitif untuk mencapai sejumlah kendali atas alam: dengan mempertahankan hubungan dengan roh, orang dapat mengendalikannya sampai tingkat tertentu. Kaum animis telah menetapkan bentuk-bentuk pemerintahan atas alam. Sifat animasi dengan demikian mengungkapkan suatu bentuk perbedaan subjek-objek yang berasal dari apa yang disebut Horkheimer dan Adorno sebagai dominasi alam atas manusia. Dalam kata-kata mereka (Horkheimer dan Adorno 2002:10–1), animisme bukanlah sebuah 'proyeksi tetapi gema dari dominasi nyata alam [...]. Perpecahan antara makhluk hidup dan benda mati, penempatan setan dan dewa ke tempat tertentu, muncul dari praanimisme ini. Dengan menetapkan intensionalitas dan sosialitas pada entitas tertentu di alam, keunggulan lingkungan alam dapat diatasi. Namun, Horkheimer dan Adorno menyatakan bahwa animisme bukanlah alat yang efektif untuk mengatasi ketakutan dan kengerian perjuangan dengan lingkungan alam, karena roh-roh ini merupakan ekspresi dari ketidakpastian alam itu sendiri. Alih-alih menyarankan bahwa animisme menggambarkan hubungan yang harmonis antara manusia dan alam, Dialektika pencerahan berpendapat bahwa ketakutan memiliki tempat di dalam dunia animasi. Sebaliknya, Horkheimer dan Adorno menekankan bahwa animisme tidak menundukkan alam melalui prinsip identifikasi antara konsep/gagasan dan objek. Sebaliknya, animisme mengacu pada gagasan mimesis: dukun dan roh menjadi serupa agar dukun terlibat dengan roh (Horkheimer dan Adorno 2002:6). Animisme memiliki tujuan yang sama dengan rasionalitas, tetapi yang pertama tidak memaksakan perbedaan antara subjek (manusia) dan objek (alam): 'Sihir seperti sains berkaitan dengan tujuan, tetapi [sihir] mengejarnya melalui mimesis, bukan melalui bertambahnya jarak dari objek' (Horkheimer dan Adorno 2002:7).

Di sisi lain spektrum, terungkapnya rasionalitas jatuh kembali ke dalam mitos, baik dalam bentuk fasisme, industri budaya, atau, seperti dikemukakan di akhir artikel, ideologi pembangunan (pembangunan) Indonesia. Ideologi pembangunan ini mau tidak mau terkait dengan modernitas, karena menyarankan untuk memandang alam sebagai bahan mentah. Karena bertumpu pada rasionalitas, modernitas pembangunan tidak menjadikan pembangunan sebagai sarana untuk tujuan manusia, melainkan sebagai tujuan itu sendiri. Kegagalan rasionalitas semacam itu menjadi dasar bagi mitos-mitos yang secara rasional menjelaskan irasionalitas dalam masyarakat, apakah irasionalitas itu berupa anti-Semitisme atau hantu yang menghantui. Ciri umum lain dari pencerahan dalam arti luas dari istilah ini adalah bahwa pencerahan dan rasionalitas membutuhkan jarak antara subjek dan objek. Dalam kasus animisme, Horkheimer dan Adorno berpendapat bahwa konsep roh adalah gaung dari keunggulan objektif dan aktual alam atas manusia. Dengan kata lain, 'horor secara permanen terkait dengan kekudusan' (Horkheimer dan Adorno 2002:10) dalam animisme, dengan 'horor' di sini berarti ketakutan orang akan berjuang untuk kelangsungan hidup mereka, sedangkan kekudusan adalah sandi untuk semua jenis konsep magis atau religius, termasuk animisme.

Animisme membagi alam menjadi hidup dan mati, yaitu 'menggandakan alam' (Horkheimer dan Adorno 2002:11). Pembagian antara subjek dan objek berasal dari sini, tetapi dalam animisme hubungan antara alam dan manusia bersifat intim karena alam itu sendiri mengandung dimensi subjek. Namun, jarak dalam hubungan ini tumbuh dalam rasionalitas sains Barat, karena efek penggandaan diciptakan kembali dengan mengkonseptualisasikan alam dalam istilah abstrak. Dikonseptualisasikan dalam istilah abstrak, alam muncul sebagai materi belaka, dapat dimanipulasi melalui pengetahuan abstrak seperti formula. Sama seperti alam dimanipulasi melalui interaksi dengan roh dalam animisme, alam juga dimanipulasi dalam sains dengan mereduksinya menjadi seperangkat konsep abstrak. Namun, cara modern berurusan dengan alam tidak berarti bahwa roh harus menghilang. Sebaliknya, kekuatan modernisasi seperti sains atau agama memberikan cara baru untuk mengkonfigurasi ulang peran roh. Seperti yang saya perdebatkan berikut ini, horor tidak serta merta hilang ketika alam didominasi pada tingkat yang lebih tinggi. Fokus kekudusan mungkin bergeser dari animisme ke agama, tetapi horor dapat tetap menjadi bagian penting dari kekudusan ketika kekudusan yang baru gagal mendamaikan alam dan masyarakat, tetapi malah memisahkan mereka melalui horor.

3 Menarasikan Kuntilanak

Hantu Kuntilanak terkenal di seluruh alam Melayu. Ranah itu mencakup wilayah yang secara historis dihuni oleh kelompok Muslim berbahasa Melayu dan terdiri dari negara-negara kontemporer Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Brunei, serta bagian selatan Filipina dan Thailand (Salleh 2010:xvi). Di negara-negara tersebut, Kuntilanak (di Malaysia dan Singapura disebut Pontianak) dikenal sebagai hantu perempuan dengan ciri-ciri seperti vampir: tertarik dengan darah, yang juga digunakan sebagai makanannya, berbahaya bagi wanita yang melahirkan. Sebagai mayat hidup, dia mengancam yang hidup karena dia tidak dapat menemukan kedamaian. Dia memakai pakaian putih dan konon dia biasanya tinggal di bawah pohon atau di hutan.

Saya menyarankan bahwa ada tiga jenis narasi tentang Kuntilanak: yang ada di budaya populer; narasi Melayu lokal tentang Kuntilanak sebagai hantu yang mengancam yang menghantui orang; dan mitos pendirian kota Pontianak, yang mana konsep hantu Kuntilanak memainkan peran penting. Meskipun narasi ini berbeda dan bergantung pada pengertian hantu yang berbeda—narasi dalam budaya populer, misalnya, sangat dipengaruhi oleh konsep Barat tentang vampir (Grady 1996)—narasi ini juga menggunakan motif serupa, yang penting untuk analisis dalam kontribusi ini. Berikut ini saya uraikan beberapa motif tersebut, mengacu pada representasi Kuntilanak dalam budaya populer dan cerita rakyat Melayu. Namun, untuk argumen utama, mitos berdirinya Pontianak adalah yang paling krusial. Seperti yang akan saya tunjukkan, motif penting dalam narasi lain berasal dari mitos lokal ini.

Novel (misalnya, Handoyo 2006; Wisanggenti 2017; Lovanisa 2014) dan hampir semua film (misalnya, trilogi Kuntilanak oleh Rizal Mantovani diputar di bioskop-bioskop Indonesia pada tahun 2006, 2007 dan 2008; Paku Kuntilanak [2009] film oleh Findu Purnowo; dan Voodoo Nightmare: Return to Pontinanak [2001] oleh sutradara Singapura Ong Lay Jinn) telah berkontribusi pada popularitas Kuntilanak dan menjadikannya salah satu hantu Nusantara yang paling menonjol. Hantu itu sekarang juga terkenal di daerah pinggiran Indonesia, yang mana film horor Indonesia atau program bergaya dokumenter di televisi Indonesia, seperti Silet, menjangkau banyak penonton (Bubandt 2012:11). Kuntilanak bahkan menemukan jalannya ke iklan. Industri film di Malaysia (sebelumnya British Malaya) mulai membuat film horor tentang Kuntilanak sejak tahun lima puluhan dan enam puluhan dan seterusnya. Baru-baru ini, penyensoran bermotivasi agama memainkan peran lebih besar dalam film-film Kuntilanak (Odell dan Le Blanc 2008:81). Meskipun film dan novel ini memiliki plotnya masing-masing, mereka biasanya mengandalkan narasi utama yang biasa dibagikan oleh orang-orang di ranah Melayu melalui cerita rakyat.

Cerita rakyat semacam itu telah dianalisis terutama dalam kaitannya dengan ideologi gender (Nicholas dan Kline 2010). Memang Kuntilanak/Pontianak selalu perempuan. Dalam beberapa riwayat dikatakan bahwa dia adalah korban pemerkosaan yang hamil dan akhirnya dibunuh oleh pemerkosanya. Kuntilanak muncul di sini sebagai hantu trauma yang membalas dendam terhadap laki-laki.[2] Dia adalah kematian yang bersembunyi dalam keindahan dan godaan, yang membuat kematian semakin menakutkan (bandingkan Bubandt 2012:10). Narasi utama lainnya adalah bahwa dia menemukan kematian yang tidak bahagia saat melahirkan. Kedua narasi menunjukkan bahwa Kuntilanak adalah roh jahat, karena dia mengalami 'kematian yang buruk', suatu konsep yang juga dikenal di bagian lain Asia Tenggara (lihat, misalnya, Fox 1973). Memang, kata anak dalam Kuntilanak/Pontianak berarti 'anak' dalam bahasa Melayu. Karena dia adalah mayat hidup, Kuntilanak/Pontianak dapat menjadi vampir yang mengerikan dan berbahaya, dengan pakaian putih dan rambut hitam panjang, tetapi juga seorang perempuan yang tunduk pada peran tradisional perempuan. Dia menjadi yang terakhir saat tertangkap dan paku atau paku ditancapkan ke kepalanya atau tengkuknya. Dalam analisisnya terhadap narasi Pontianak di Malaysia, Nicholas dan Kline (2010:202) menunjukkan simbolisme lingga di balik lonjakan. Saat menjadi manusia, Kuntilanak adalah wanita yang cantik dan rendah hati. Namun, saat paku atau paku dicabut dia berubah menjadi hantu lagi. Dia kemudian tidak terkendali dan secara simbolis menggambarkan aspek perilaku wanita yang tidak pantas. Dia merayu pria dan berbahaya bagi perempuan hamil; ketika berada di dekatnya, terdengar tawanya yang keras dan melengking, yang juga dianggap sebagai perilaku yang tidak pantas bagi perempuan Melayu. Cohen (1996:16) menekankan hubungan antara ciri-ciri monster yang berbahaya, kebutuhan untuk menghilangkan ciri-ciri ini, dan potensi laten dari kembalinya mereka: 'Monster itu transgresif, sangat erotis, seorang pelanggar hukum; dan monster itu dan semua yang terkandung di dalamnya harus diasingkan atau dihancurkan. Namun, yang tertindas, seperti Freud sendiri, sepertinya selalu kembali.' Hal ini berlaku untuk aspek mengerikan Kuntilanak sebagai hantu perempuan yang dapat merayu tetapi mandiri (dan karena itu berbahaya) jika tidak dikendalikan oleh duri di kepalanya.

Banyak orang Melayu percaya Kuntilanak/Pontianak adalah hantu yang tinggal jauh dari kota. Tempatnya adalah hutan atau, setidaknya, pohon besar. Lampu buatan dan suara listrik membuatnya takut. Persepsi umum Kuntilanak/Pontianak sebagai hantu alam juga sering ditampilkan dalam film-film horor. Dalam film Kuntilanak pertama (2006) karya Rizal Mantovani, misalnya, Kuntilanak tinggal di pohon ara yang menangis di depan rumah yang dihantuinya. Dalam Return to Pontianak (2001), pemuda urban kosmopolitan dari Singapura menjadi korban kuntilanak di hutan Kalimantan. Seperti yang ditekankan oleh Tan (2010:158), alam memiliki konotasi perempuan yang jelas dalam film itu, karena 'secara luar biasa mengingat rahim ibu: gelap, basah, subur, organik, menelan', tetapi juga merupakan tempat bahaya dan sebaliknya. urbanisasi Singapura. Dalam Kuntilanak-Kuntilanak (2012), untuk mengambil contoh lain, seorang ibu tunggal dan kedua putrinya bertemu hantu di sebuah rumah terpencil yang dikelilingi hutan. Di sini sekali lagi, perjalanan ke tempat terpencil yang jauh dari peradaban adalah perjalanan ke dunia yang didiami Kuntilanak dan trauma masyarakat modern perkotaan.

4 Narasi Lokal di Pontianak: Asal Usul Kuntilanak

Narasi yang kurang dikenal juga pernah dibuat film pada tahun 2016 oleh Agung Trihatmodjo. Judul filmnya adalah Pontien: Pontianak untold story, dan film tersebut antara lain membahas tentang mitos berdirinya kota Pontianak. Seperti disebutkan di atas, hantu Kuntilanak disebut Pontianak di Malaysia dan Singapura, yang mengacu pada asal hantu, ibu kota provinsi Kalimantan Barat Indonesia. Juga, nama Mandarin untuk kota Pontianak, Kūn diàn (坤甸), memberikan indikasi hubungan antara Kuntilanak dan kota (Asma 2013:xxxiv). Padahal mitos pendirian kota dan peran Kuntilanak di dalamnya hanya diketahui secara umum di Kalimantan Barat, kota ini secara luas dianggap sebagai kota Kuntilanak di seluruh Indonesia. Fakta tersebut memicu perdebatan pada tahun 2017, ketika Kepala Dinas kepemudaan, olah raga dan parawisata (Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata) di Pontianak membuat pernyataan mendukung pembangunan patung Kuntilanak setinggi seratus meter di samping Sungai Kapuas. Sungai untuk menarik wisatawan. Karena patung itu tampak terlalu besar, gagasan itu tidak mendapat banyak dukungan dari masyarakat setempat. Apalagi teman-teman di kota bercerita bahwa mereka menganggap ide mendirikan patung kuntilanak di kota cukup menakutkan.

Terlepas dari perhatian masyarakat, Kuntilanak cukup dikenal di kota Pontianak, karena ia memainkan peran penting dalam mitos pendirian kota (Devanastya et al. 2011:23). Cerita yang diceritakan masyarakat Pontianak tentang Kuntilanak berbeda dengan cerita rakyat yang disebutkan di atas, karena di Pontianak hantu sering disebut sebagai tokoh penting dalam mitos berdirinya kota. Selain itu, ada cerita rakyat yang menggunakan narasi serupa yang terkenal di seluruh alam Melayu. Narasi yang diceritakan di Pontianak adalah narasi alternatif dalam arti memberikan cerita tambahan yang tidak bertentangan dengan narasi tersebut di atas. Sebaliknya, ada kesamaan yang jelas antara narasi Kuntilanak di tempat lain dan mitos pendirian kota, seperti isu gender yang diangkat dalam narasi tersebut. Dalam narasi cerita di Pontianak, hantu tersebut tampak sebagai penghuni asli daerah yang sekarang dikenal sebagai kota Pontianak. Namun, berikut ini saya akan berargumen bahwa cerita tersebut juga dapat dibaca sebagai narasi yang mana roh tidak menghilang tetapi justru menghasilkan dikotomi baru, seperti pembedaan alam-budaya. Mitos pendirian kota tersebut merupakan bagian dari pengetahuan budaya Melayu yang umum dimiliki di Kalimantan Barat dan juga disebutkan dalam banyak buku tentang kota tersebut. Sultan pertama Pontianak sekaligus pendiri kota itu, Syarif Abdurrahim, konon mendirikan Pontianak pada 1771. Seorang bangsawan keturunan Arab, ia diberi tanah di pertemuan sungai-sungai besar di dekat delta Sungai Kapuas, lokasi kepentingan strategis karena sungai berfungsi sebagai jalur perdagangan utama untuk mengangkut barang dari pedalaman pulau.

Namun, delta itu juga menjadi rumah bagi para perompak. Narasi resmi menegaskan bahwa tugas Syarif Abdurrahim adalah menjadikan kota ini sebagai benteng melawan perompak (Hasanuddin 2014:21–2). Bagi pedagang Melayu, jalur perdagangan yang diblokir di hulu merupakan kendala. Pada saat itu, kesultanan-kesultanan lain di sepanjang pantai telah berdiri secara turun-temurun, namun peradaban Islam (masyarakat madani) belum mampu menduduki tempat yang penting secara strategis dan ekonomis di delta Sungai Kapuas itu. Daerah itu masih rawa-rawa dan hutan lebat: ada yang mengklaim bahwa nama 'Pontianak' berasal dari bahasa Melayu po(ho)n ti(nggi), yang berarti 'pohon tinggi' (Asma 2013:xxxiii), sebuah saran menarik yang kemudian menjadi penting. untuk interpretasi narasi Kuntilanak—pohon tinggi sering diasosiasikan dengan arwah pemilik di wilayah perdesaan Kalimantan Barat.

Untuk mendapatkan gambaran tentang mitos pendiri, kutipan dari buku Pusaka Pontianak dan yang berciri khas Pontianak disediakan di sini, karena memuat beberapa komponen utama mitos pendiri yang belum disebutkan:

"Cerita rakyat (folklore) tentang nama Pontianak berasal dari hantu Kuntilanak, atau hantu perempuan. Seperti yang biasa mereka katakan, banyak hantu Kuntilanak di pertemuan Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Landak. Cerita bermula saat rombongan Syarif Abdurrahim tiba di kawasan itu. Mereka melihat banyak gangguan dan suara yang menakutkan. Gangguan tersebut dianggap sebagai hantu jahat, sebagai hantu Kuntilanak, dan membuat takut orang-orang di atas perahu. Keesokan harinya, mereka tidak melanjutkan perjalanan […]. Maka, sebagai alat pengusir hantu, Syarif Abdurrahim menembakkan meriam."

Asma 2013:xxxii–xxxiii, terjemahan oleh penulis

Ketika saya membicarakan cerita itu dengan orang-orang di istana sultan (kraton), mereka menyebut tindakan pengusiran (evicting) Kuntilanak sebagai tindakan heroik dan sebagai syarat dasar berdirinya pemukiman. Terkait meriam (cannon), dimensi lingga muncul kembali dalam narasi Kuntilanak. Saat ini, meriam tradisional dapat ditemukan di pemukiman Melayu di tepi sungai Pontianak. Menurut beberapa orang di Pontianak, dulu ada festival tahunan untuk memperingati berdirinya kota, yang mana orang menembakkan meriam dan secara simbolis menggusur Kuntilanak. Namun pada masa Orde Baru acara tahunan dan meriam tersebut menghilang. Namun, dalam rangka revitalisasi kecenderungan Melayu 'tradisional', beberapa warga kembali memasang meriam dalam beberapa tahun terakhir. Ini menunjukkan perlunya mengulang penggusuran secara simbolis; Kuntilanak mungkin dibuang ke pedalaman, tetapi orang-orang harus tetap menggunakan cara-cara tertentu untuk menahannya.

Selain itu, narasi Kuntilanak juga dibingkai dalam istilah agama. Hal ini berlaku terutama untuk narasi dalam cerita rakyat Melayu setempat. Beberapa teman saya menjelaskan bahwa Kuntilanak termasuk dalam kategori hantu tertentu yang juga disebutkan dalam Al-Qur'an: jin haffaf. Terkadang Kuntilanak juga diistilahkan dengan jin setan (devilish ghost; devil). Hantu-hantu ini dikatakan memusuhi manusia. Mereka menakut-nakuti manusia, tetapi dengan melakukan sembahyang secara teratur, manusia dapat mengusir hantu-hantu ini. Tak heran jika masyarakat percaya bahwa suara adzan juga dapat menghalau kuntilanak.

Dalam cerita rakyat setempat, Kuntilanak terkadang melampaui batas antara manusia dan hewan. Beberapa informan mengatakan bahwa dia bisa berubah menjadi burung ketika dia harus melakukan perjalanan jauh (sebuah fitur juga disebutkan di Lai 2014). Kedekatannya dengan alam memang menjadi ciri yang penting. Seperti disebutkan, representasinya dalam budaya populer sering mengacu pada hal ini, tetapi orang-orang di Pontianak juga menekankan hubungannya dengan alam: Kuntilanak dulu hidup di pohon-pohon tinggi di pertemuan sungai Kapuas dan Landak. Seperti disebutkan di atas, konon 'Ponti' di Pontianak berasal dari bahasa melayu pohon tinggi, artinya 'pohon tinggi' atau 'pohon tinggi'. Kuntilanak/Pontianak di tempat lain sering dikaitkan dengan pohon pisang (Musa genus; dalam bahasa Indonesia: pohon pisang), orang Pontianak biasanya mengasosiasikan hantu dengan pohon besar, misalnya pohon beringin beringin (Ficus genus; bahasa Indonesia: pohon beringin).

Persepsi ini mungkin berasal dari mitos pendirian kota tersebut, yang menggambarkan Kuntilanak sebagai roh yang terikat hidup di pohon-pohon tinggi di tepi sungai. Saat Kuntilanak digusur, konon Syarif Abdurrahim dan anak buahnya menebang pohon dan menggunakan kayunya untuk membangun Masjid Agung dan, beberapa tahun kemudian, istana sultan (kraton) sebagai pusat masyarakat madani yang baru muncul. Melalui tindakan menebang pohon, tempat itu berubah dari hutan belantara menjadi tempat peradaban Muslim Melayu. Dengan demikian, dimensi hutan belantara dan bajak laut yang menakutkan dan menakutkan (dan, sebagai tambahan, kewanitaan) secara simbolis diubah menjadi hantu Kuntilanak. Penggusuran, bagaimanapun, tidak memusnahkan hantu. Sebaliknya, Kuntilanak tergores dalam konsepsi diri peradaban Melayu Muslim sebagai negasinya: yang mana dulu ada pohon tinggi, rawa tak berpenghuni, dan tempat perlindungan bajak laut, tempat peradaban Muslim muncul. Di tempat yang dulunya merupakan tempat roh jahat, telah didirikan pusat masyarakat madani. Terakhir, Sungai Kapuas menjadi pintu gerbang baik bagi peradaban Muslim maupun perdagangan menuju pedalaman pulau setelah berdirinya kota tersebut. Sejak abad ke-19, pedagang Tionghoa, Melayu, dan Bugis yang tinggal di Pontianak membawa barang ke hulu, berdagang dengan sultan setempat. Mereka kemudian memperdagangkan barang-barang tersebut dengan orang Dayak dari pedalaman yang membayar dengan beras, kerajinan tangan, emas, dan karet (Heidhues 2003). Pendirian kota Pontianak memiliki dampak ekonomi yang krusial di sebagian besar wilayah yang saat ini menjadi provinsi Kalimantan Barat. Bagian dalam pulau menjadi dapat diakses tetapi tidak pernah kehilangan fungsinya sebagai kebalikan dari daerah pesisir yang tidak beradab; pedalaman sebagian dimasukkan ke dalam sistem ekonomi tetapi tetap menjadi tempat penggusuran Kuntilanak. Pembedaan antara peradaban/Muslim/kawasan pesisir di satu sisi dan pedalaman berbahaya di sisi lain berawal pada masa perdagangan tetapi juga berakar pada konsep yang didomestikasi dan tidak dijinakkan yang umum dalam animisme Asia Tenggara (Århem 2016:296–7). Berbeda dengan modernitas Barat, narasi modernitas Melayu ini tidak berusaha memberantas konsep hantu. Kekecewaan hanya terjadi sejauh hantu itu diusir ke tempat lain, yaitu kota pesisir lain yang terlokalisir: rimba pedalaman Kalimantan, sebagai tempat alami dan tidak beradab.

Bagaimana Kuntilanak menghantui masyarakat di Pontianak saat ini? Untuk memahami potensi hantu yang menakutkan, saya akan menggunakan 'teori monster' Cohen (1996). Cohen merumuskan tujuh tesis tentang monster, bagaimana monster diproduksi, dan fungsi apa yang dipenuhi monster dalam masyarakat. Karena Kuntilanak telah digusur, kebanyakan orang yang saya ajak bicara menganggap kota ini sebagai tempat yang cukup aman. Namun, beberapa menghindari melakukan apa pun yang mungkin menarik perhatian Kuntilanak. Saya secara khusus menemukan sikap ini di pinggiran kota tempat saya menghabiskan sebagian besar waktu saya di Pontianak. Kos saya terletak di gedung terakhir sebelum lahan pertanian dimulai. Orang-orang di sana mengatakan kepada saya bahwa mereka tidak meninggalkan cucian di jemuran pada malam hari, karena hal itu dapat menarik perhatian Kuntilanak. Orang-orang di sana akrab dengan mitos pendirian dan percaya bahwa hantu itu telah diusir. Namun, kengerian itu bisa muncul tiba-tiba saat duduk bersama di malam hari dan pembicaraan beralih ke Kuntilanak. Itu membuatnya hadir di benak orang, dan dalam beberapa kesempatan saya diminta untuk tidak membicarakannya saat hari sudah gelap. Beberapa bahkan menekankan bahwa membicarakan hantu bisa membuatnya muncul. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para penghuni tetap menyalakan lampu di bagian depan rumah mereka pada malam hari. Sebuah lampu bahkan dinyalakan setiap malam di luar rumah kosong di dekat rumah saya untuk mengusir hantu jahat.

Menurut Cohen, 'monster selalu melarikan diri untuk kembali ke habitatnya di pinggiran dunia' (Cohen 1996:6). Monster itu selalu kabur—dalam kasus Kuntilanak—ke pedalaman Kalimantan, berdiam di pinggiran, dan dengan demikian mengancam untuk kembali. Potensi menakutkan Kuntilanak berasal dari pelariannya dan potensi kembalinya. Monster itu adalah 'perbedaan yang menjadi daging', 'an incorporation of the Outside, the Beyond' (Cohen 1996:7). Kuntilanak memang muncul sebagai kebalikan dari masyarakat manusia. Namun, dia menunjukkan karakteristik manusia dan karenanya lolos dari urutan klasifikasi (dalam hal ini, biner manusia/non-manusia). Sumber lain dari keburukan Kuntilanak adalah kemampuannya menimbulkan rasa takut, hasrat, dan kecemasan, yang memberinya kebebasan, karena manusia tidak berani mendominasinya (bandingkan Cohen 1996:4). Ketakutan terhadap Kuntilanak dengan demikian memenuhi tujuan budaya. Saat dia berpatroli dan tinggal di perbatasan kemungkinan, dia membatasi perilaku sosial. Cohen (1996:12–3) menekankan bahwa monster menyatukan sistem sosial dengan membuat perbatasan terlihat —batas perilaku sosial dan batas ruang sosial. Ketakutan, dengan demikian, berasal dari apa yang ada di luar batas-batas ini dan apa yang melindungi batas-batas ini —pedalaman, alam, perilaku yang tidak pantas terhadap gender lain. Apa yang dapat kita lihat di sini adalah ketakutan dan ketertarikan (bandingkan Cohen 1996:16–20): cerita tentang Kuntilanak sangat terkenal, dan, sampai tingkat tertentu, teman-teman saya merasa terhibur membicarakannya, tetapi keadaan menjadi berbeda ketika gelap. Beberapa kali saya mendapat kesan bahwa orang sengaja membicarakan Kuntilanak, berbagi cerita tentang penampilannya yang mereka dengar dari teman, hanya untuk menarik perhatian orang lain melalui rasa takut. Ketakutan menyatukan kelompok, membuat orang secara kolektif waspada terhadap tanda-tanda Kuntilanak. Namun, rasa takut juga menjadi daya tarik, dan fakta bahwa kota tersebut dianggap membangun patung Kuntilanak raksasa adalah bukti dari sifat ambivalen hantu tersebut. Dualisme ketakutan dan ketertarikan di Pontianak ini mencerminkan emosi masyarakat yang mengonsumsi film Kuntilanak di bioskop. Keduanya adalah bentuk pendidikan sentimental yang mana orang belajar menumbuhkan rasa takut dan ketertarikan pada horor.

5 Spirit dan Dikotomi di Kalimantan

Narasi Kuntilanak seperti yang ditemukan dalam budaya pop dan cerita rakyat adalah narasi roh yang dibentuk oleh persepsi Islam. Islam adalah agama para pedagang yang tiba di pesisir Kalimantan sebagai kekuatan modernisasi sejak abad ke-15 dan seterusnya, secara berturut-turut menggantikan sistem kepercayaan Buddha, Hindu, dan animisme, terutama di wilayah pesisir. Dengan demikian, identitas Melayu berkembang melalui proses Islam sebagai agama pemersatu, perdagangan pesisir, dan bahasa Melayu yang umum digunakan untuk berdagang. Dalam persepsi umum, orang Melayu mengikuti cara hidup kosmopolitan; mereka juga dianggap sebagai orang-orang dengan sejarah kenegaraan yang panjang. Sebaliknya, orang-orang di pedalaman Kalimantan umumnya disebut sebagai 'Dayak', dan dalam banyak hal identitas mereka dikonstruksikan sebagai kebalikan dari Melayu. Namun, penting untuk disebutkan di sini bahwa kategori 'Dayak' tidak lazim pada masa awal kolonial. 'Dayak' adalah istilah umum untuk ratusan kelompok etnis yang menampilkan berbagai bahasa, budaya, organisasi sosial, dan tradisi (Tanasaldy 2012:49). Sampai pemuda Dayak dari berbagai daerah bertemu di sekolah misi, tidak ada kesadaran akan identitas bersama. Sebelum dikotomi pesiri/pedalaman menjadi hegemonik, kelompok-kelompok ini memberi nama yang berkaitan dengan entitas geografis, seperti sungai (Rousseau 2000:11). Istilah 'Dayak' sebagai sebuah kategori, yang diperkenalkan oleh Belanda untuk menyebut semua penduduk asli non-Melayu di Kalimantan, kemungkinan besar berasal dari bahasa Kenyah, yang mana 'daya' berarti 'hulu' atau 'pedalaman'; ini menyiratkan bahwa istilah 'Dayak' itu sendiri menunjukkan suatu identitas yang dikonseptualisasikan sebagai kebalikan dari pesisir. Sementara istilah 'Dayak' menjadi sebutan yang merendahkan dalam konteks kolonialisme, istilah 'daya' tidak memiliki konotasi peyoratif (Duile 2017a:125). Anggapan ini—'Dayak' sebagai petani yang berladang berpindah atau bahkan pemburu-pengumpul, sebagai penganut animisme atau Kristen 'primitif', dan 'Melayu' sebagai orang yang berhubungan dengan laut, Islam, dan peradaban—keduanya menyederhanakan stereotip dan berpengaruh dalam membentuk kategori identitas aktual. Telah ditunjukkan bahwa banyak kelompok etnis di Kalimantan sebenarnya berada di antara kategori-kategori tersebut (Sillander 2004). Di sisi lain, dikotomi antara Melayu dan Dayak berpengaruh ketika terjadi konflik dan ketegangan atas dasar kekerabatan etnis atau dalam kampanye politik. Namun, Dayak dan sebagian besar orang Melayu memiliki nenek moyang yang sama. Apalagi di pedalaman, banyak orang Melayu hanyalah Dayak yang telah masuk Islam (Tanasaldy 2012:50–8). Namun dalam wacana hegemonik, Dayak dan pedalaman masih dipersepsikan sebagai kebalikan dari beradab. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Kuntilanak diusir ke pedalaman, karena ia dikonotasikan dengan keganasan, atribut yang ditemukan baik di alam liar maupun perilaku betina yang merajalela. Dalam semua narasi, Kuntilanak muncul sebagai hantu jahat sejak awal, yang melegitimasi tindakan terhadapnya. Dia dikatakan sebagai penghuni asli pertemuan itu dan rumahnya, pohon-pohon tinggi di samping sungai, ditebang untuk membangun peradaban baru.

Berikut ini, saya secara khusus merujuk pada persepsi roh para aktivis Dayak di Institut Dayakologi yang berbasis di Pontianak. Meskipun para aktivis berasal dari kelompok Dayak yang berbeda (Kanayatn, Iban, dan Jalai, untuk menyebutkan beberapa saja) mereka semua menekankan bahwa ada ciri khas animisme Dayak yang dapat ditemukan di seluruh provinsi. Salah satu fitur tersebut adalah konsep roh yang terikat tempat. Banyak orang Dayak menyebut roh yang terikat tempat sebagai penunggu (bahasa Indonesia untuk 'seseorang yang sedang menunggu'), istilah untuk roh yang umum di seluruh Indonesia. Saya juga menemukan konsep seperti itu ketika saya menghabiskan waktu di komunitas Dayak pedesaan (Dayak Bekati di Kabupaten Bengkayang) tanpa para aktivis Dayak. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa konsep-konsep ini memang tersebar luas di Kalimantan. Orang Dayak juga mengenal hantu Kuntilanak. Namun, baik aktivis Dayak maupun petani Dayak tidak menyebut Kuntilanak ketika saya bertanya tentang kepercayaan orang Dayak terhadap roh; sebaliknya, mereka mengaku mengenal Kuntilanak dari budaya populer. Memang, seperti yang saya perdebatkan berikut ini, konsep roh yang terikat tempat yang hanya jahat dan mengancam tidak bertentangan dengan konsepsi roh Dayak, karena melalui komunikasi dan interaksi sosial dalam ritual, hubungan timbal balik dipertahankan.

Bagaimana para penggiat Dayak dan animisme Dayak menggambarkan ciri-ciri umum roh-roh tersebut? Fitur penting adalah bahwa mereka terikat pada tempat-tempat seperti sungai, pertemuan, pohon besar, atau entitas alam luar biasa lainnya. Sementara manusia memandang pohon besar sebagai bagian dari lingkungan alam, penunggu menganggapnya sebagai rumah. Dalam upaya terbaru untuk merevitalisasi identitas Dayak dalam upaya memerangi degradasi lingkungan, konsep makhluk non-manusia semacam itu telah menjadi penjelasan mengapa Dayak secara tradisional menjaga hubungan dekat dengan alam (Duile 2017b:10–17). Memang, roh-roh ini tidak setara dengan hantu cerita horor. Yang terakhir lebih disebut hantu dalam bahasa Indonesia. Sementara hantu itu menakutkan, tidak terkendali dalam arti bahwa mereka tidak bersosialisasi dengan manusia dan berbahaya, roh yang terikat tempat adalah makhluk dalam arti bahwa mereka memelihara hubungan sosial dengan manusia. Roh-roh ini tidak terlihat, namun mereka dapat berkomunikasi dengan manusia dalam mimpi atau ritual. Jika manusia memperlakukan mereka dengan tepat, penunggu baik hati dan membantu dengan menjaga kebun sayur atau sawah bebas dari hama. Namun, pelanggaran hak roh bisa membuat mereka pendendam. Pelanggaran serius, misalnya, adalah menebang pohon yang ditinggali arwah tanpa izin dari arwah tersebut. Itu sebabnya, sebelum membuka lahan hutan untuk lahan sawah yang kering (ladang), banyak masyarakat Dayak melakukan upacara yang meminta izin kepada roh halus. Selama atau setelah upacara, roh akan muncul dalam bentuk binatang, atau dalam mimpi, dan akan memberi tahu orang apakah mereka menyetujui atau tidak menyetujui permintaan masyarakat. Jika mereka tidak setuju, roh tersebut mungkin dipindahkan dalam sebuah upacara, atau masyarakat akan mencari tempat alternatif untuk mendirikan ladang (Duile 2017b:13). Roh yang terikat tempat ini dianggap seperti manusia dan dikatakan memiliki karakteristik mirip manusia. Dengan demikian, mereka memiliki institusi budaya seperti sistem kekerabatan dan artefak (rumah, misalnya; tetapi bagi manusia, rumah ini tampak seperti pohon atau batu). Layaknya manusia, bisa laki-laki atau perempuan, tapi orang Dayak yang saya ajak bicara, baik rakyat biasa maupun dukun, tidak pernah menekankan pentingnya gender penunggu. Sama seperti Kuntilanak, roh yang terikat tempat dapat melampaui batas antara manusia dan hewan, tetapi penunggu melakukannya biasanya untuk berkomunikasi dengan manusia: selama ritual, penunggu sering muncul sebagai burung, dan dukun selanjutnya menafsirkan kicau burung.

Konsep roh yang terikat secara geografis yang berada di bawah pohon tidak jarang di banyak bagian kepulauan Indonesia, dan banyak orang Melayu juga percaya akan keberadaan roh semacam itu. Namun, mereka biasanya tidak mempertahankan bentuk komunikasi ritual dengan roh-roh tersebut seperti yang dilakukan oleh banyak komunitas Dayak animisme. Interaksi manusia-roh dalam masyarakat Melayu biasanya terbatas pada roh nenek moyang. Di beberapa rumah tangga, masyarakat memberikan persembahan (di Pontianak disebut robo-robo) kepada arwah leluhur, dan interaksi dengan arwah leluhur juga umum dilakukan di banyak komunitas Dayak (Couderc dan Sillander 2012). Bagi orang Dayak dalam ekonomi subsisten atau subsisten yang diperluas, interaksi dengan lingkungan alam masih sangat penting, sedangkan bagi orang Melayu yang tinggal di kota—berdagang atau bekerja di kantor atau sektor kerajinan—lingkungan alam seringkali hanya menjadi tempat yang berbahaya. Juga, persepsi Melayu tentang roh dipengaruhi oleh Islam. Ketika kota perdagangan seperti Pontianak berkembang, bentuk ekonomi baru muncul dan peran roh dinegosiasi ulang. Tentu saja bermasalah untuk melihat persepsi roh dalam masyarakat Dayak sebagai pandangan sekilas ke masa lalu Kalimantan, dan dengan demikian juga bermasalah untuk mengklaim bahwa interaksi antara roh dan masyarakat pedesaan Dayak baru-baru ini adalah umum di seluruh pulau sebelum monoteisme tiba. Interaksi Dayak-roh juga dapat berubah—keduanya merupakan cara yang berbeda dalam menghadapi dan memahami roh. Namun demikian, kesamaan antara Kuntilanak dan penunggu sangat mencolok: keduanya tampaknya merupakan roh yang terikat secara geografis yang terhubung ke pohon. Penghapusan pohon di luar keinginan mereka membuat mereka bermusuhan.

Karena Dayak di masyarakat pedesaan dan Melayu perkotaan memiliki cara hidup, sistem kepercayaan, dan ekonomi yang berbeda, persepsi mereka tentang roh juga berbeda. Dalam kasus Kuntilanak, permusuhan muncul sebagai inti dari roh, yang membuatnya menjadi hantu yang menakutkan. Penunggu hanya bermusuhan sejauh permusuhan adalah sifat seseorang: jika seorang penunggu berubah menjadi jahat, itu adalah sifat pribadi yang berpotensi disebabkan oleh manusia yang telah melanggar hak penunggu. Kuntilanak, menurut penuturan mitos pendirinya, sejak awal sudah jahat. Dan keganasan Kuntilanaklah yang melegitimasi penggusurannya dengan meriam. Itu sebabnya tindakan sultan terkesan heroik: mengusir hantu jahat adalah prasyarat untuk membangun budaya yang bertentangan dengan alam, yang diwujudkan oleh Kuntilanak bukan milik masyarakat manusia.

Dengan demikian, praktik animisme Dayak dan praktik dalam narasi Kuntilanak, baik dalam mitos berdirinya Pontianak maupun dalam cerita horor, adalah dua cara yang berbeda dalam menghadapi makhluk bukan manusia. Sedangkan cara pertama menyikapi ruh sebagai makhluk tak kasat mata sehingga mengaburkan batas antara alam dan budaya (penunggu hidup di hutan/lingkungan alam tetapi merupakan makhluk budaya karena dianggap mirip manusia), narasi Kuntilanak memposisikan hantu dalam lingkup alam itulah Kuntilanak teralienasi dari masyarakat madani Melayu modernitas. Namun, Kuntilanak tidak sepenuhnya menyatu dengan alam, karena hantu tersebut tampak berwujud manusia. Dengan demikian, Kuntilanak mewujudkan karakteristik manusia yang tidak beradab dan menghantui semua upaya peradaban manusia.

Baik penunggu maupun Kuntilanak dapat dilihat sebagai ekspresi dari ciri-ciri khas animisme Asia Tenggara: di seluruh wilayah ini, masyarakat animisme umumnya berasumsi bahwa hutan dihuni oleh roh dan bahwa pemukim manusia hanya dapat memperoleh kendali yang sah atas alam melalui pendiri yang rumit. ritual Penghuni aslinya biasanya, sebagaimana Kaj Århem menyebutnya, 'roh pemilik' yang terikat pada tempat-tempat seperti mata air, sungai, atau pohon tua. Namun, masyarakat animisme melanjutkan hubungan mereka dengan roh pemilik dalam ritual dan pengorbanan rutin; makhluk-makhluk itu secara ritual dijinakkan dan dengan demikian dibawa di bawah kendali tertentu oleh manusia. Dalam kasus animisme Dayak, dapat ditambahkan bahwa proyek 'domestikasi ontologis' ini (Århem 2016:296–7) adalah proyek mempertahankan keadaan asli domestikasi: sebagaimana dikatakan bahwa penunggu dan manusia pernah hidup dalam satu kesatuan. masyarakat, ritual sekarang sedang dilakukan untuk mempertahankan aspek dari keadaan asli hubungan manusia-roh. Namun, semakin dalam hutan dan semakin jauh suatu tempat dari pemukiman, semakin sulit untuk mengendalikan semangat. Maka, tidak mengherankan jika roh jahat sering dikaitkan dengan hutan lebat atau ciri khusus lingkungan alam, seperti pertemuan sungai atau pohon besar. Namun, seperti yang juga ditekankan oleh Sillander (2016:161) tentang Bentian Dayak, roh tidak termasuk dalam kategori yang berbeda (roh jahat dan baik hati); lebih tepatnya, istilah 'roh jahat' di sini menggambarkan peran atau perilaku roh. Ketika diperlakukan dengan benar, roh yang berpotensi jahat dapat dijinakkan, dalam arti bahwa melalui hubungan manusia-roh, potensi jahat dari roh tersebut berkurang.

Sebaliknya, dalam mitos pendirian Pontianak, ikatan antara manusia dan roh yang dipertahankan dalam ritual dan pengorbanan menghilang. Hubungan pertukaran dan komunikasi animisme (biasanya melalui media seorang dukun; lihat Århem 2016:290–3) digantikan oleh peningkatan roh lain (perempuan, tidak dapat berkomunikasi, pada dasarnya jahat) dan akhirnya oleh gangguan melalui penggusuran tanpa kompensasi Penggusuran, dengan demikian, menunjuk pada apa yang menjadi konstitutif di luar masyarakat madani: pedalaman. Oleh karena itu, penggusuran adalah cara membangun dikotomi antara pesiri Melayu dan dunia pedalaman yang misterius dan berbahaya sebagai tempat konseptual.

6 Kesimpulan: Kuntilanak, Animisme, dan Modernitas

Saya berpendapat bahwa narasi Kuntilanak, seperti yang ditemukan dalam cerita rakyat dan dalam mitos pendirian kota Pontianak, menggambarkan modernitas Melayu tertentu. Saat berurusan dengan hantu, narasinya secara eksplisit modern, karena mereka membentuk dan bergantung pada pemisahan antara budaya dan alam; beroperasi sebagai bentuk pencerahan, narasi mengubah alam menjadi objek perkembangan manusia. Dalam hal ini, pemisahan tersebut tidak didasarkan pada dikotomi Barat tetapi pada Islam sebagai kekuatan modernisasi. Bagi Nicholas dan Kline (2010), narasi Pontianak/Kuntilanak yang muncul dalam mitos perempuan yang diperbudak dan dikuasai laki-laki mengandung modus negosiasi antara paradigma pra-modern dan modern. Bagi mereka, ada 'pergeseran dari mistisisme ke sains' (Nicholas dan Kline 2010:197). Masyarakat Melayu, jelas Nicholas dan Kline, mengacu pada Osman (1972:221–2), didasarkan pada interaksi antara tiga pandangan dunia—Islam, kepercayaan tradisional, dan pengetahuan ilmiah Barat—yang bersama-sama membentuk sistem kepercayaan tertentu. Dengan demikian, mereka berpendapat bahwa baik Islam maupun kepercayaan tradisional termasuk dalam kategori pra-modern, menentang logika ilmu pengetahuan modern dan empiris. Nicholas dan Kline juga menyatakan bahwa dualisme semacam itu 'reduksionistik secara inheren dan hegemonik' (Nicholas dan Kline 2010:198), namun menjadi dasar yang digunakan oleh komunitas Melayu untuk memahami dunia, dan diterapkan secara pragmatis.

Saya berpendapat bahwa Islam muncul di sini sebagai kekuatan modernisasi. Islam tidak hanya termasuk dalam kategori yang sama dengan 'kepercayaan tradisional' atau animisme, juga bukan oposisi rasionalitas. Dengan menerapkan pendekatan dialektis, saya menyarankan bahwa mitos dan rasionalitas saling terkait. Baik animisme maupun agama adalah cara memberi makna pada alam untuk menguasainya.

Orang Dayak menerapkan animisme secara mimetik. Mereka berkomunikasi dengan roh. Namun, ini menyiratkan upaya untuk menjinakkan roh. Animisme dalam narasi Kuntilanak bertujuan untuk menguasai alam dengan menambahkan lapisan religius pada konsep penunggu sehingga membedakan antara budaya (kota, pesisir) dan alam (pedalaman). Dengan menyediakan perangkat mental untuk menguasai alam, mitos mengandung suatu bentuk pencerahan. Namun, ada berbagai mode mitos dan agama di Kalimantan Barat, tergantung pada organisasi ekonomi dan budaya masyarakat masing-masing. Sementara animisme adalah mode yang umum di daerah pedesaan Dayak di Kalimantan, dan sekarang juga digunakan oleh aktivis pribumi, Islam berpengaruh di kota-kota Melayu yang mana produk dan tenaga kerja ditawarkan di pasar dan komunitas pesaing disatukan melalui identitas seperti Islam, Kemelayuan, dan pengertian terkait masyarakat madani, urbanitas, dan kosmopolitanisme (sebagai kebalikan dari pedalaman). Konsep penunggu seperti yang diterapkan di pedesaan menawarkan cara menghadapi alam dengan cara menyerapnya ke dalam lingkup manusia, setidaknya sampai taraf tertentu. Sebaliknya, Kuntilanak terlempar dari alam manusia ke alam. Namun alam terus menghantui masyarakat, karena struktur narasi dan pendekatan Melayu modern terhadap alam tidak memungkinkan adanya rekonsiliasi antara budaya/masyarakat dan alam.

Menulis tentang Chiang Mai, Andrew Johnson berpendapat bahwa ketakutan akan hantu di kota berasal dari kegelisahan dengan modernitas: konsep diri menjadi modern dan maju menjadi terasing, dan keterasingan ini muncul di tempat-tempat yang merupakan ekspresi dari modernitas itu sendiri. (Johnson 2014:29). Demikian pula di Pontianak, modernitas bertumpu pada rasa takut terhadap Kuntilanak, namun sebaliknya juga berlaku: Kuntilanak adalah ekspresi modernitas. Tapi sementara di Chiang Mai hantu menjadi penghuni kota, menghantui reruntuhan kemajuan, orang Pontianak berhasil menjaga jarak spasial ke Kuntilanak. Namun, jarak ini rapuh. Narasi Kuntilanak hadir, demikian pula ketakutannya. Modernitas, dalam pengertian ini, pasti terkait dengan hantu yang mungkin merebut kembali kota di saat krisis.

Saya menyarankan untuk membaca mitos Kuntilanak sebagai bentuk 'pencerahan dalam arti yang seluas-luasnya' (Horkheimer dan Adorno 2002:1): dengan mengusir hantu Kuntilanak, tempat yang tadinya tidak dapat dihuni menjadi tidak dapat dihuni dan dapat diatur. Dengan demikian alam yang dulu dihuni makhluk halus, berubah menjadi sumber bagi tegaknya peradaban Melayu. Manusia menjadi penguasa atas alam. Namun, rasionalitas di sini datang dengan agama: meriam menggambarkan teknik (rasionalitas) dan kekerasan yang dibutuhkan modernitas untuk menyingkirkan roh gentayangan. Namun pendekatan masyarakat madani terhadap mitos tersebut tidak sepenuhnya rasional, dalam arti kekecewaan total, karena Kuntilanak, meskipun digusur, tetap hadir dalam ingatan kolektif yang dihantuinya. Menentang animisme yang mewajibkan manusia untuk menjalin hubungan timbal balik dengan makhluk halus, yaitu memposisikan makhluk halus sebagai makhluk sosial, harus diakui bahwa mitos Kuntilanak tidak sepenuhnya rasional; itu hanya menjauhkan semangat dari kota Melayu / Muslim. Dengan melakukan itu, ia menciptakan dunia pesona: pedalaman.

Cara berurusan dengan roh bersifat rasional dan irasional. Negosiasi antara animisme, Islam, dan rasionalitas sebagaimana diungkapkan dalam mitos tersebut tidak semata-mata didasarkan pada penjajaran istilah dualistik agama/tradisi di satu sisi dan rasionalitas di sisi lain. Kedua cara memandang dunia saling terkait: mitos Kuntilanak dan animisme penunggu mengandung rasionalitas, karena mereka memahami lingkungan alam dan dengan demikian membuat alam dapat dikendalikan sampai tingkat tertentu. Ketika dukun Dayak berkomunikasi dengan penunggu, manusia dan roh berada dalam modus kesamaan. Inilah perilaku mimetis, yang disebut Horkheimer dan Adorno sebagai konsep animisme (Horkheimer dan Adorno 2002:6). Pendekatan mimetik ini hilang dalam mitos berdirinya Pontianak. Bukan kesamaan tapi perbedaan radikal yang menjadi ciri hubungan antara manusia dan penunggu, yang di sini tampil sebagai Kuntilanak yang menakutkan. Perundingan, sebagaimana dimanifestasikan dalam mitos pendirian kota Pontianak dan dalam praktek-praktek mengenai penunggu, adalah ekspresi keadaan ekonomi dan politik tertentu, namun mereka memahami masyarakat sebagaimana adanya: sebagai 'masyarakat luas' termasuk penunggu (dalam kasus animisme Dayak) atau sebagai masyarakat Islam modern yang bertentangan dengan alam, dengan Kuntilanak sebagai perwujudan dari masyarakat lainnya. Ketika, seperti yang dikatakan Horkheimer dan Adorno (2002:10) dalam Dialektika Pencerahan, horor dikaitkan dengan kesucian dalam animisme, dapat dikatakan bahwa dalam modernitas Melayu kekudusan (sebagai agama) dikaitkan dengan horor. Di satu sisi, Kuntilanak sebagai hantu jahat (jin haffaf) adalah kebalikan dari kesucian dan kengerian Kuntilanak membutuhkan kesucian sebagai lawannya. Di sisi lain, kesucian membutuhkan kengerian Kuntilanak sebagai landasannya. Rasionalitas yang menyertai Islam memang memberikan cara memandang alam sebagai sumber daya, dalam artian kuntilanak digusur dan dapat dijauhkan melalui pertunjukan-pertunjukan keagamaan. Tetapi jarak antara manusia dan roh yang diperkenalkan dan dipertahankan oleh Islam pada saat yang sama merupakan dasar dari sebuah kengerian baru. Manusia tidak membayar iuran mereka kepada roh tetapi mengusir mereka untuk menyesuaikan wilayah mereka. Manusia menguasai tanah tetapi kehilangan kendali atas roh. Di permukaan, hanya pertunjukan meriam dan Islami yang diperlukan untuk mencaplok ruang yang pernah dihuni oleh roh. Namun kengerian Kuntilanak membuktikan penyesalan yang terkubur di alam bawah sadar kolektif. Bahwa penyesalan ini bersifat kolektif dapat dilihat dari popularitas Kuntilanak yang luar biasa di seluruh ranah Melayu. Di Pontianak, Kuntilanak hadir justru melalui ketidakhadirannya. Dia adalah ancaman-bukan-di sini dan karena itu dia berarti. Horor muncul melalui gagasan bahwa jarak antara dia dan komunitas manusia tidak pasti, dan ini mungkin juga alasan mengapa gagasan membangun patung Kuntilanak banyak dikritik.

Kuntilanak juga merupakan kesaksian jarak antara subjek dan objek yang diperkenalkan oleh pencerahan dalam arti kata yang paling luas. Sebagai objek pasif dia digusur, dan rumah pertamanya, pohon-pohon tinggi, menjadi objek (bahan baku) pembangunan. Jadi, mungkin bukan kebetulan Kuntilanak menjadi terkenal di seluruh Indonesia sebagai hantu dalam novel dan film horor. Ketika konsepsi diri masyarakat Indonesia bergerak menuju paradigma pembangunan (pembangunan) selama era Soeharto, alam hanya menjadi sumber daya untuk pembangunan (Arnscheidt 2009:117–24). Namun, rasionalitas paradigma pembangunan membutuhkan konsep alam sebagai masyarakat yang menakutkan lainnya, karena gagasan pembangunan membutuhkan legitimasi dominasi manusia atas alam. Pembangunan merupakan proyek modernitas di Indonesia, karena telah menjadi titik fokus pembentukan identitas nasional dan perencanaan ekonomi, serta sarana untuk menggeser wacana dari topik politik yang 'konflik' menuju tujuan pemersatu pembangunan (Moon 2015: 181–2). Islam dan agama-agama lain yang diakui mau tidak mau dimasukkan ke dalam proyek pembangunan, karena melegitimasi memperlakukan alam sebagai bahan mentah yang diberikan kepada manusia untuk digunakan.

Dulu, proyek Indonesia didasarkan pada gagasan masyarakat yang adil dan inklusif bagi semua warga negara, dan kemajuan dipandang sebagai alat untuk mencapai kehidupan yang baik bagi semua warga negara. Karena masyarakat Orde Baru tidak memiliki rasionalitas dalam arti bahwa pembangunan dan kemajuan menjadi tidak terpisahkan dari pembangunan yang adil dan masyarakat yang manusiawi untuk semua, dan sementara korupsi dan kekerasan terus berlanjut dan kemiskinan terus menjadi masalah meskipun terjadi pertumbuhan ekonomi yang besar, narasi pembangunan sebagai tujuan itu sendiri mengandung sejumlah besar irasionalitas. Irasionalitas dalam kerangka rasional pembangunan ini terus hidup di Indonesia yang demokratis, dan kembali menjadi salah satu wacana utama dalam politik (Warburton 2016). Penelitian lebih lanjut mungkin menyangkut pertanyaan tentang bagaimana gagasan abstrak pembangunan membangkitkan gagasan alam dan horor, karena tampaknya alam terus menjadi konstitutif di luar masyarakat maju yang beradab. Namun, masyarakat mencerminkan irasionalitasnya sendiri dalam narasi tentang orang lain. Kuntilanak dengan demikian mewujudkan ketakutan dan irasionalitas tidak hanya perempuan tetapi juga alam sebagaimana dikontekstualisasikan dalam modernitas Indonesia. Saat alam dan masyarakat tidak berdamai, Kuntilanak akan terus menghantui nusantara.

Catatan Kaki:

[1] Lihat, misalnya, Bird-David 1999; Blaser 2013, Vivieros de Castro 2012; Sekolah 2013.

[2] Narasi-narasi ini umum di seluruh Indonesia. Di Jakarta, Si manis jembatan Ancol (The sweet girl from Ancol bridge) dan di Makassar, hantu Sumiati, misalnya, merujuk pada cerita serupa.

[3] Bagus Prihantoro Nugroho, 'Wacana patung Kuntilanak di Pontianak', Detik News, 17-5-2017. https://news.detik.com/berita/d-3503328/wacana-patung-kuntilanak-di-pontianak (diakses 18-9-2018).

Referensi

Alatas, Syed Fahrid (2010). ‘Ideology and utopia in the discourse of civil society in Indonesia and Malaysia’, in: Johan Saravanamuttu (ed.), Islam and politics in Southeast Asia, pp. 165–81. London and New York: Routledge.

Århem, Kaj (2016). ‘Southeast Asian animism: A dialogue with Amerindian perspectivism’, in: Kaj Århem and Guido Sprenger (eds), Animism in Southeast Asia, pp. 271–301. London and New York: Routledge.

Århem, Kaj and Guido Sprenger (eds) (2016). Animism in Southeast Asia. London and New York: Routledge.

Arnscheidt, Julia (2009). ‘Debating’ nature conservation: Policy, law and practice in Indonesia. A discourse analysis of history and present. Leiden: Leiden University Press.

Asma, Ahman (2013). Pontianak heritage dan beberapa yang berciri khas Pontianak. Pontianak: Literer Khatulistiwa.

Bird-David, Nurit (1999). ‘ “Animism” revisited. Personhood, environment and relational anthropology’, Current Anthropology 40 (S1):67–91.

Blaser, Mario (2013). ‘Ontological conflicts and the stories of peoples in spite of Europe. Toward a conversation on political ontology’, Current Anthropology 54–5:547–68.

Bubandt, Nils (2012). ‘A psychology of ghosts: The regime of the self and the reinvention of spirits in Indonesia and beyond’, Anthropological Forum 22–1:1–23.

Cascardi, Anthony (1992). The subject of modernity. Cambridge: Cambridge University Press.

Cohen, Jeffrey Jerome (1996). ‘Monster culture (seven thesis)’, in: Jeffry Jerome Cohen (ed.), Monster theory. Reading culture, pp. 3–25. Minneapolis and London: University of Minnesota Press.

Couderc, Pascal and Kenneth Sillander (eds) (2012). Ancestors in Borneo societies. Death, transformation and social immortality. Copenhagen: Nias Press.

Descola, Philippe (2013). Beyond nature and culture. Chicago: University of Chicago Press.

Devanastya, Mirzadelya, Mulia Idznillah, Honggare, Robin Hartanto and Talisa Dwiyani (2011). Ragam pesona Kalimantan Barat. Pontianak: Yayasan Khatulistiwa.

Duile, Timo (2017a). ‘Being Dayak in West Kalimantan. Constructing indigenous identity as a political and cultural resource’, in: Catharina Arenz, Michaela Haug, Stefan Seiz and Oliver Venz (eds), Continuity under change in Dayak societies, pp. 123–40. Wiesbaden: Springer VS.

Duile, Timo (2017b). ‘Naturalizing the native subject: Indigenous activism, discourse, and the meaning of nature in West Kalimantan, Indonesia’, Zeitschrift für Ethnologie 142–1:1–22.

Eisenstadt, Samuel (1973). Tradition, change and modernity. New York: Willey & Sons.

Fox, James (1973). ‘On bad death and the left hand: A study of Rotinese symbolic inversion’, in: Rodney Needham (ed.), Right and left: Essays on dual symbolic classification, pp. 342–68. Chicago: University of Chicago Press.

Grady, Frank (1996). ‘Vampire culture’, in: Jeffrey Jerome Cohen (ed.) Monster theory: Reading culture, pp. 225–41. Minneapolis and London: University of Minnesota Press.

Handoyo, Ve (2006). Kuntilanak. Jakarta: Gagas Media.

Hasanuddin (2014). Pontianak masa kolonial. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Heidhues, Mary F. Sommers (2003). Golddiggers, farmers and traders in the ‘Chinese districts’ of West Kalimantan, Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.

Holbraad, Martin and Morten Alex Pedersen (2017). The ontological turn: An anthropological exposition. Cambridge: Cambridge University Press.

Horkheimer, Max and Theodor W. Adorno (2002). Dialectic of enlightenment. Philosophical fragments. Stanford: Stanford University Press.

Hüwelmeier, Gertrud (2018). ‘Market shrines and urban renewal in Hanoi’, SOJOURN Journal of Social Issues in Southeast Asia 33/2:291–318.

Johnson, Andrew Alanan (2014). Ghosts of the New City. Spirits, urbanity, and the ruins of progress in Chiang Mai. Honolulu: University of Hawai‘i Press.

Lai, Stephanie (2014). Sympathy for Lady Vengeance: Feminist ghosts and monstrous women of Asia. https://stephanieqlai.files.wordpress.com/2014/09/stephanie-lai_-_monstrous_asian_women.pdf (accessed 12 February 2019). [Essay from Stephanie Lai’s Blog, September 25, 2014, also published in The Lifted Brow 23.]

Lijster, Thijs (2015). ‘Adorno on mimises. Irrationality or a different rationality?’, in: Christoph Asmuth and Simon Gabriel Neuffer (eds), Irrationalität, pp. 157–66. Würzburg: Königshausen & Neumann.

Lovanisa (2014). Kuntilanak Pondok Indah. Jakarta: Niaga Swadaya.

Moon, Suzanne (2015). ‘Building from the outside. Sociotechnical imaginaries and civil society in New Order Indonesia’, in: Sheila Jasanoff and Sang-Hyun Kim (eds), Dreamscapes of modernity. Sociotechnical imageries and the fabrication of power, pp. 174–98. Chicago and London: University of Chicago Press.

Nicholas, Cheryl and Kimberly Kline (2010). ‘Cerita Pontianak: Cultural contradictions and patriarchy in a Malay ghost story’, Storytelling, Self, Society 6:194–211.

Odell, Colin and Michelle Le Blanc (2008). Vampire films: The pocket essential guide. Harpenden: Pocket Essentials.

Osman, Mohamed Taib bin Osman (1972). ‘Patters of supernatural premises underlying the institution of the Bomoh in Malay culture’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 128-2/3:219–34.

Rousseau, Jerome (2000). Central Borneo. Ethnic identity and social life in a stratified society. Oxford: Clarendon Press.

Salleh, Siti Hawa (2010). Malay literature in the 19th century. Kuala Lumpur: Institut Terjemahan Negara Malaysia.

Sillander, Kenneth (2004). ‘ “Dayak” and “Malay” in Southeast Borneo: Some materials contesting the dichotomy’, Journal of the Finnish Anthropological Society 29-4:35–47.

Sillander, Kenneth (2016). ‘Relatedness and alterity in Bentian human–spirit relations’, in: Kaj Århem and Guido Sprenger (eds), Animism in Southeast Asia, pp. 157–80. London and New York: Routledge.

Sprenger, Guido and Kristina Großmann (eds) (2018). ‘Plural ecologies in Southeast Asia’, SOJOURN Journal of Social Issues in Southeast Asia 33/2.

Tan, Kenneth Paul (2010). ‘Pontianaks, ghosts and the possessed: Female monstrosity and national anxiety in Singapore cinema’, Asian Studies Review 34:151–70.

Tanasaldy, Taufiq (2012). Regime change and ethnic politics in Indonesia. Dayak politics of West Kalimantan. Leiden: KITLV Press.

Vivieros de Castro, Eduardo (2012). Cosmological perspectivism in Amazonia and elsewhere. Four lecturers given in the Department of Social Anthropology, Cambridge University, February–March 1998. Manchester: HAU. [HAU Masterclass Series 1.]

Warburton, Eve (2016). ‘Jokowi and the New Developmentalism’, Bulletin of Indonesian Economic Studies 52–3:297–320.

Wissangenti, Tirta (2017). 13 kisah horror Kuntilanak. Jakarta: Gramedia, Jakarta.

Filmography

Mantovari, Rizal (dir.) (2006). Kuntilanak 1. Jakarta: MVP Pictures.

Mantovari, Rizal (dir.) (2007). Kuntilanak 2. Jakarta: MVP Pictures.

Mantovari, Rizal (dir.) (2008). Kuntilanak 3. Jakarta: MVP Pictures.

Ong, Lay Jinn (2001). Voodoo nightmare. Return to Pontianak. Singapore: Alliance Entertainment.

Pagayo, Koya. (2012). Kuntilanak-Kuntilanak. Jakarta: Mitra Pictures.

Purnowo HW, Findo (2009). Paku Kuntilanak. Jakarta: Maxima Pictures.

Trihatmodjo, Agung (2016). Pontien. Pontianak untold story. Jakarta: Benua Bukit Nyangko Pictures.


Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

Konstitusionalisme Deliberatif dan Judicial Review

Day 6 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 10 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 7 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 16 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 17 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 8 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Cara Meletakkan Bukti dalam Evidence-Based Policymaking (EBP)