Opini Terbaru
Hukum dalam Teori Tindakan Komunikatif Habermas
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Artikel ini diadaptasi dan dimodifikasi dari: DEFLEM, MATHIEU, Introduction: Law in HABERMAS's Theory of Communicative Action. In: Habermas, Modernity and Law, edited by MATHIEU DEFLEM. London: Sage, 1996. Dan diterbitkan ulang dalam: Deflem, Mathieu, LAW IN HABERMAS'S THEORY OF COMMUNICATIVE ACTION. Vniversitas [en linea]. 2008, (116), 267-285[fecha de Consulta 2 de Agosto de 2022]. ISSN: 0041-9060. Disponible en: https://www.redalyc.org/articulo.oa?id=82515355011
MATHIEU DEFLEM, Associate Professor in the Pp. 1-20 Department of Sociology at the University of South California. Email: Deflem@gwm.sc.edu (www.mathieudeflem.net).
Please cite as: Deflem, Mathieu. "Hukum dalam Teori Tindakan Komunikatif Habermas". Blog Anom Surya Putra. Agustus 2022.
Abstrak
Makalah ini menguraikan dan mengulas teori hukum JÜRGEN HABERMAS dalam konteks teori sosial umum HABERMAS, yang dikenal sebagai teori tindakan komunikatif. Yang pertama dijelaskan adalah konsep-konsep utama dari Sistem dalam Dunia-Kehidupan yang mana HABERMAS telah mengembangkan teorinya tentang masyarakat modern. Selanjutnya perhatian diberikan pada peran ganda hukum sebagai institusi dan medium dalam teori HABERMAS, setelah itu perkembangan terakhir teori hukum HABERMAS akan ditinjau. Terakhir, makalah ini membahas pengaruh dan kritik terhadap perspektif HABERMAS tentang hukum dalam literatur sekunder.
Kata kunci: hukum, teori hukum, tindakan komunikatif, JÜRGEN HABERMAS, teori diskursus.
Pendahuluan
Tulisan-tulisan JÜRGEN HABERMAS diakui secara luas di antara kontribusi besar terhadap pemahaman teoretis masyarakat kontemporer, dan khususnya teori hukumnya yang sejak beberapa tahun terakhir menjadi topik perhatian ilmiah yang berkembang. Namun, hingga saat ini, perdebatan tentang HABERMAS dan hukum sebagian besar terbatas pada audiens spesialis tradisi Teori Kritis yang didominasi Eropa, dan sebagian besar diskusi terjadi dalam filsafat moral dan hukum daripada dalam studi hukum yang berorientasi empiris. Mengingat meningkatnya perhatian di bidang studi hukum untuk menghubungkan perspektif filosofis dan teoretis yang luas dengan penelitian berbasis empiris tentang isu-isu sosial tertentu, suatu aspirasi yang sebenarnya merupakan inti karya HABERMAS, kontribusi dalam tulisan ini diharapkan dapat memenuhi tujuan ganda.
Dalam makalah ini saya akan menguraikan secara singkat prinsip-prinsip utama teori tindakan komunikatif HABERMAS. Saya membatasi pemaparan pendekatan HABERMAS terhadap hukum dan masyarakat ini pada rumusan dalam Teori Tindakan Komunikatif dan perkembangannya hingga terbitnya Faktizität und Geltung.
Melalui karyanya dua-volume The Theory of Communicative Action,[2] HABERMAS tidak diragukan lagi telah merumuskan teori masyarakat yang inovatif dan berpengaruh, tetapi buku ini (seperti kebanyakan tulisan HABERMAS) dalam segala hal tidaklah mudah dibaca. Secara khusus, struktur argumentasi, yang berupaya mengembangkan teori sosial berdasarkan basis detail, diskusi meta-teoritis perluasan teori-teori sosial klasik dan kontemporer, pada awalnya dapat mencegah pembaca potensial dari penyelidikan menyeluruh terhadap karya tersebut.[3] Presentasi singkat kerangka teoritis umum HABERMAS, oleh karena itu, dapat membantu untuk memperjelas pendekatannya terhadap hukum serta beberapa kritik yang sejauh ini telah disarankan dalam berbagai literatur.
I - Teori Tindakan Komunikatif Habermas: Konsep dan Tesis
Teori tindakan komunikatif HABERMAS pada dasarnya bertumpu pada distingsi antara dua konsep rasionalitas yang menajamkan pengetahuan untuk memandu tindakan.[4] Pertama, rasionalitas kognitif-instrumental melakukan tindakan yang memberi sumbangan pada realisasi kesuksesan mengenai tujuan-tujuan yang ditentukan secara privat. Tipe-tipe tindakan ini bersifat instrumental, ketika diarahkan pada intervensi efisien dalam situasi di Dunia-Kehidupan (misalnya melalui buruh), atau strategis, ketika tipe-tipe tindakan itu memandu upaya untuk berhasil memengaruhi keputusan aktor lain (misalnya dalam hubungan dominasi). Kedua, rasionalitas komunikatif mendasari tindakan yang bertujuan untuk pemahaman timbal-balik, dipahami sebagai proses mencapai kesepakatan antara subjek pembicara untuk menyelaraskan interpretasi mereka tentang Dunia-Kehidupan.
Untuk menghindari kesalahpahaman, penting untuk dicatat bahwa konsep HABERMAS tentang tindakan komunikatif tidak mengasumsikan bahwa subjek dapat mencapai pemahaman timbal-balik hanya melalui tindakan-tutur (yaitu bahasa yang digunakan dalam interaksi antara setidaknya dua aktor), atau kesepakatan itu akan, sebagai prefigurasi polos dalam pemikiran, menjadi hasil yang diperlukan dari semua proses komunikatif. Beberapa bentuk tindakan yang bukan linguistik (tanda, simbol) juga dapat berorientasi pada pemahaman, tetapi hanya jika tindakan non-linguistik itu dapat ditransfer ke dalam interaksi yang dimediasi melalui bahasa. Selain itu, orientasi pelaku komunikatif terhadap kesepakatan tidak menutup kemungkinan adanya perbedaan pendapat sebagai akibat dari komunikasi yang menyimpang atau tidak terselesaikan. HABERMAS menyatakan bahwa hanya melalui bahasa, di bawah kondisi argumentasi rasional, aktor sosial dapat mengoordinasikan tindakan mereka dalam kerangka orientasi pada pemahaman timbal-balik.
HABERMAS menganalisis kondisi argumentasi rasional dalam tindakan komunikatif atas dasar distingsi antara klaim validitas yang berbeda secara implisit atau eksplisit dimunculkan dalam tindakan-tutur (speech-acts). Dia membedakan klaim validitas berikut: tindakan-tutur yang dapat dipahami dan dibentuk dengan baik membuat klaim objektif atas kebenaran (truth), klaim normatif atas ketepatan (rightness), dan klaim ekspresif dan evaluatif atas otentisitas (authenticity) dan ketulusan (sincerity).[5] Berbagai tipe diskursus melayani secara eksplisit tertuju pada klaim ini: diskursus teoretis pada kebenaran; diskursus moral-praktis tentang ketepatan normatif; dan kritik estetis dan terapeutik atas otentisitas dan ketulusan.[6] Atas dasar teori argumentasi ini, HABERMAS mengembangkan pendekatan dua-tingkat Dunia-Kehidupan (lifeworld) dan Sistem (system).
Klaim tindakan komunikatif dalam kehidupan sosial sehari-hari, HABERMAS berpendapat, sering tidak dipertanyakan atau dikritik karena tindakan komunikatif dibesarkan dalam kontur yang tak-perlu-dipersoalkan, Dunia-Kehidupan bersama (shared lifeworld).[7] Dunia-Kehidupan menawarkan latar belakang pengetahuan yang diterima secara umum yang mana tindakan dapat dikoordinasikan. Karakteristik rasionalisasi masyarakat barat adalah bahwa Dunia-Kehidupan telah terdiferensiasi sepanjang garis klaim validitas tindakan-tutur. Dengan demikian, diferensiasi ke dalam 3 (tiga) sikap performatif dalam tindakan komunikatif telah menimbulkan: sikap objektifikasi terhadap dunia luar peristiwa dan keadaan, sikap normatif terhadap dunia sosial komunitas masyarakat, dan sikap ekspresif terhadap dunia batin subjektivitas individual. Konsep HABERMAS tentang Dunia-Kehidupan tidak terbatas pada tradisi budaya (interpretasi bersama tentang dunia) komunitas tertentu. Selain menyediakan seperangkat nilai budaya, Dunia-Kehidupan juga memastikan bahwa aktor sosial mematuhi standar normatif masyarakat mereka (untuk solidaritas pengelompokan sosial), dan bahwa aktor sosial dimungkinkan untuk bertindak sebagai personalitas yang kompeten dalam harmoni dengan lingkungan sosial mereka (formasi identitas).
Tiga komponen-komponen struktural Dunia-Kehidupan berkorespondensi dengan fungsi-fungsi ini: budaya, masyarakat, dan kepribadian. Pada tingkat budaya, reproduksi budaya berkaitan dengan transmisi skema interpretasi yang dibagikan secara konsensual oleh anggota Dunia-Kehidupan. Pada tingkat interaksi sosial, integrasi sosial mengacu pada tatanan yang absah dari hubungan-hubungan interpersonal melalui koordinasi tindakan melalui norma-norma bersama secara intersubjektif. Akhirnya, pada tingkat personalitas, proses sosialisasi berusaha untuk memastikan bahwa personalitas dengan kapabilitas interaktif terbentuk. Budaya, masyarakat, dan personalitas adalah komponen struktural dari Dunia-Kehidupan yang dirasionalisasi. Dengan demikian, proses rasionalisasi masyarakat memerlukan diferensiasi Dunia-Kehidupan yang pernah bersatu menjadi domain-domain struktural yang berbeda dan institusi-institusi sosial yang terspesialisasi. Dunia-Kehidupan, selanjutnya, memiliki makna ganda: di satu sisi, konteks pembentukan-horison budaya, masyarakat dan personalitas yang mana tindakan komunikatif berlangsung, dan, di sisi lain, sumber-sumber kemungkinan dari partisipan yang berada dalam tindakan komunikatif dapat menyalurkan dan memperbaharui pengetahuan budaya, membangun solidaritas dan membangun identitas sosial.
Teori evolusi sosial HABERMAS mengambil posisi penting ketika dia berpendapat, pendekatan berorientasi-tindakan dari Dunia-Kehidupan tidak dapat menjelaskan seluruh kompleksitas masyarakat modern. Proses rasionalisasi seharusnya dipahami tidak hanya sebagai diferensiasi Dunia-Kehidupan sebagai tatanan komunikatif yang direproduksi secara simbolis, tetapi juga dalam kerangka "substratum material" masyarakat.[8] Perspektif ganda ini menunjukkan, masyarakat harus mengamankan transmisi nilai-nilai budaya, norma-norma yang legitim/absah dan proses-proses sosialisasi, dan, di samping itu, mereka juga harus secara efisien memanipulasi dan mengendalikan lingkungannya dalam hal intervensi yang berorientasi kesuksesan. Oleh karena itu HABERMAS melengkapi perspektif Dunia-Kehidupan dengan teori Sistem, khususnya memperhatikan Sistem Ekonomi dan Sistem Politik.[9]
Sistem-sistem ini dalam perjalanan sejarahnya telah terpisah, atau "tidak terpisahkan", dari Dunia-Kehidupan untuk berfungsi secara independen, tidak lagi atas basis tindakan komunikatif yang bertujuan untuk memahami, tetapi dalam hal fungsionalitas dari pengarahan (steering) medium yakni medium uang dan kekuasaan. Tindakan yang dikoordinasikan melalui medium pengarah ini membebaskan tindakan komunikatif dari kesulitan dalam mencapai konsensus dalam masyarakat yang kompleks yang dicirikan oleh berbagai alternatif tindakan, dan oleh karena itu, ancaman berupa perbedaan pendapat yang konstan. Tindakan yang dikoordinasikan oleh medium pengarah berupa uang dan kekuasaan berbeda dari tindakan komunikatif, dalam hal tindakan itu bertujuan untuk keberhasilan (kognitif-instrumental) suatu organisasi produksi dan pertukaran barang atas dasar keuntungan moneter (ekonomi) dan pembentukan pemerintah untuk mencapai keputusan yang mengikat dalam hal efisiensi birokrasi (politik).
HABERMAS tidak menganggap "pelepasan (uncoupling)" Sistem dan Dunia-Kehidupan sebagai masalah tersendiri. Koordinasi tindakan dalam Sistem paling baik dapat diamankan melalui medium pengarah (steering media) karena medium tersebut berhasil membebaskan tindakan komunikatif dari kemungkinan perbedaan pendapat, dan medium dapat melakukannya dengan tingkat produktivitas dan efisiensi yang tinggi. Namun, Sistem juga memiliki kapasitas untuk menembus kembali ke Dunia-Kehidupan. Mekanisme koordinasi yang berorientasi pada kesuksesan dengan demikian masuk ke dalam domain Dunia-Kehidupan (budaya, masyarakat dan personalitas) yang harus diamankan melalui tindakan komunikatif yang berorientasi pada pemahaman timbal-balik jika ingin tetap bebas dari gangguan dan manifestasi krisis.[10] Proses ini disebut HABERMAS sebagai kolonisasi Dunia-Kehidupan: potensi komunikatif yang ditujukan untuk pemahaman di Dunia-Kehidupan terkikis dalam suatu imperatif sistemik dari intervensi Sistem moneter dan birokrasi.
II - Dunia-Kehidupan, Sistem, dan Rasionalisasi Hukum
Dalam The Theory of Communicative Action, HABERMAS mengembangkan pendekatan hukum berdasarkan pembahasan dua perkembangan penting dalam proses rasionalisasi masyarakat. Pertama, pemisahan hukum dari moralitas sangat penting untuk diferensiasi Sistem dan Dunia-Kehidupan, dan, kedua, proses hukum (legal process) membantu menjelaskan manifestasi terkini dari sistem kolonisasi Dunia-Kehidupan dalam masyarakat barat.
1. Hukum dan Diferensiasi Sistem dan Dunia-Kehidupan
Habermas melekatkan pada hukum suatu peran penting secara normatif, menjangkarkan atau melembagakan fungsi independen dari medium pengarah berupa uang dan kekuasaan. Penormaan hukum atas uang dan kekuasaan sangat penting dalam mewujudkan pelepasan (uncoupling) Sistem ekonomi dan politik dari Dunia-Kehidupan.[11] Secara historis, diferensiasi Sistem politik pertama kali terjadi ketika otoritas politik mengkristal di sekitar posisi yudisial yang memegang alat-alat kekuasaan. Proses pemisahan lebih lanjut antara kantor-kantor politik meningkatkan kompleksitas organisasi politik yang sepenuhnya matang di negara modern. Dalam kerangka masyarakat yang terorganisir di sekitar negara, pasar muncul yang dikendalikan oleh medium uang. Terbebas dari ketidakpastian tindakan komunikatif, Sistem politik negara modern menetapkan tujuan kolektif yang dicapai melalui keputusan yang mengikat dalam hal kekuasaan, sementara ekonomi mengamankan produksi dan distribusi barang dalam hal produktivitas moneter. Sistem-sistem ini adalah domain tindakan yang terorganisir secara formal ... yang dalam analisis akhir tidak lagi terintegrasi melalui mekanisme pemahaman timbal-balik, yang terlepas dari konteks Dunia-Kehidupan dan membeku menjadi semacam sosialitas bebas-norma.[12]
Untuk mewujudkan pelepasan (uncoupling) Sistem dan Dunia-Kehidupan ini, HABERMAS berpendapat, hukum harus melembagakan kemandirian ekonomi dan negara dari struktur Dunia-Kehidupan.[13] Hukum adalah institusi yang menetapkan "jangkar" normatif medium pengarah berupa uang dan kekuasaan di Dunia-Kehidupan. Dengan kata lain, Sistem dapat beroperasi secara independen dari Dunia-Kehidupan hanya ketika mereka digabungkan kembali ke Dunia-Kehidupan melalui legalisasi medium masing-masing. Dalam hal medium uang, hubungan pertukaran harus diatur dalam undang-undang properti dan kontrak, sedangkan medium kekuasaan dari Sistem politik perlu ditambatkan secara normatif dengan melembagakan organisasi jabatan pejabat dalam birokrasi. Oleh karena itu, diferensiasi Sistem-sistem memerlukan tingkat rasionalisasi yang memadai dari Dunia-Kehidupan melalui pemisahan hukum dan moralitas, serta hukum privat dan hukum publik. Pemisahan hukum dan moralitas dicapai pada tingkat evolusi sosial pasca-konvensional, yaitu ketika representasi hukum dan moral didasarkan pada prinsip-prinsip abstrak yang dapat dikritik, bukan pada nilai-nilai khusus yang secara langsung terkait dengan tradisi etika yang konkret. Moralitas kemudian menjadi persoalan pribadi yang konkrit namun subjektif menyangkut moral-praktis, sedangkan hukum, sebagai institusi sosial dengan kekuatan eksternal, mewujudkan standar normatif abstrak bagi seluruh masyarakat. Pemisahan hukum privat dan hukum publik sesuai dengan fungsi independen ekonomi (misalnya hukum kontrak) dan politik (misalnya hukum pajak).
Sudut pandang yang mendasari pembahasan HABERMAS tentang hukum sebagai legalisasi normatif dari fungsi independen Sistem adalah bahwa hukum secara formal dapat dipahami sebagai pelembagaan diskursus praktis tentang norma-norma sosial.[14] HABERMAS mengakui (dengan WEBER) bahwa hukum modern dalam masyarakat barat adalah positif (mengungkapkan kehendak pemberi hukum yang berdaulat), legalistik (menerapkan penyimpangan dari norma) dan formal (apa yang tidak dilarang secara hukum diperbolehkan). Dalam pengertian ini, hukum modern dipositifkan ke dalam Sistem teknis fungsional yang tampaknya telah menangguhkan kebutuhan akan deliberasi moral. Namun (dan bertentangan dengan pandangan WEBER), HABERMAS berpendapat bahwa hukum pada tingkat evolusi sosial pasca-konvensional masih didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang tetap terbuka untuk diskusi: "Prestasi khusus dari positivisasi tatanan hukum terdiri dari pengambilalihan (displacing) masalah pembenaran, yaitu, dalam meringankan administrasi teknis hukum dari masalah-masalah di wilayah yang luas --tetapi tidak menghilangkannya".[15] Hukum modern secara keseluruhan tetap membutuhkan pembenaran, dan dapat dikritik, justru untuk mengungkapkan sifat Sistemiknya, di bawah kondisi abstrak klaim validitas universalistik pada kebenaran normatif.
2. Hukum, Yuridifikasi dan Kolonisasi/Penjajahan Dunia-Kehidupan
Peran penting kedua yang diberikan HABERMAS kepada hukum dari perspektif teori tindakan komunikatif berkenaan dengan tesis kolonisasi internal Dunia-Kehidupan.[16] HABERMAS mengembangkan tesis ini dalam diskusi tentang proses yuridifikasi (juridification) dalam perjalanan sejarah (Eropa). Konsep yuridifikasi secara umum mengacu pada peningkatan hukum formal dengan cara sebagai berikut: perluasan hukum positif, yaitu semakin banyak hubungan sosial yang diatur secara hukum; dan densifikasi hukum, yaitu regulasi hukum (legal regulations) menjadi lebih rinci. Habermas mengidentifikasi empat gelombang yuridifikasi dalam konteks khusus negara-negara kesejahteraan Eropa.
Gelombang yuridifikasi pertama terjadi selama pembentukan negara borjuis absolut di Eropa. Monopoli penguasa atas kekuatan, dan hak dan kewajiban kontraktual orang-orang perorangan (private persons), diatur untuk melegitimasi ko-eksistensi negara monarki yang kuat dan pasar perusahaan bebas. Kedua, negara konstitusional borjuis abad ke-19 secara bertahap mengatur hak-hak individu melawan otoritas politik raja: kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan subjek pribadi yang dijamin secara konstitusional. Selanjutnya, dengan terciptanya negara konstitusional yang demokratis pasca Revolusi Prancis, hak-hak sosial warga negara untuk berpartisipasi dalam pembentukan tatanan politik diatur untuk mendemokratisasikan kekuasaan negara. Akhirnya, dengan munculnya negara kesejahteraan sosial abad ke-20, Sistem ekonomi kapitalisme untuk pertama kalinya dikekang melalui legislasi yang menjamin kebebasan individu dan hak-hak sosial di atas dan melawan imperatif pasar bebas.
Tiga tendensi yuridifikasi terakhir, menurut HABERMAS, menunjukkan bagaimana tuntutan Dunia-Kehidupan berusaha untuk melawan cara kerja negara dan ekonomi yang otonom. Hal ini dicapai pertama-tama dengan menuntut hak-hak individu terhadap penguasa, kemudian dengan mendemokratisasikan tatanan politik, dan terakhir dengan menjamin kebebasan dan hak-hak terhadap Sistem Ekonomi. HABERMAS mengklaim bahwa bentuk yuridifikasi saat ini di negara-negara kesejahteraan sangat ambivalen karena setiap kebebasan yang dijamin sekaligus berarti kebebasan yang diambil. HABERMAS membahas empat masalah utama hukum kesejahteraan sosial yang menjelaskan ambivalensi ini: (1) restrukturisasi formal intervensi hukum di Dunia-Kehidupan memerlukan individualisasi klaim-klaim hukum; (2) kondisi-kondisi yang mana hukum sosial berlaku secara formal ditentukan; (3) hak-hak hukum berkaitan dengan masalah-masalah sosial tetapi dilaksanakan secara birokratis melalui organisasi-organisasi impersonal yang tersentralisasi dan terkomputerisasi; dan (4) klaim-klaim kesejahteraan sosial seringkali diselesaikan dalam bentuk kompensasi moneter (redefinisi konsumerisme). Tuntutan-tuntutan Dunia-Kehidupan dengan demikian ditransformasikan menjadi keharusan organisasi birokrasi dan moneter, sehingga hukum ikut campur tangan secara sistemik ke dalam hubungan sosial kehidupan sehari-hari. Ketika regulasi hukum dipatuhi agar sesuai dengan imperatif-imperatif negara dan ekonomi, Dunia-Kehidupan juga dijajah, secara internal, oleh hukum sebagai medium.
HABERMAS mengklaim bahwa hukum sebagai medium tetap terikat pada hukum sebagai domain diskursus praktis yang dilembagakan. Hukum sebagai medium berlaku untuk organisasi hukum ekonomi dan negara, serta intervensi regulasi kebijakan kesejahteraan dalam struktur informal Dunia-Kehidupan. Sebagai contoh kasus terakhir, HABERMAS menyebutkan undang-undang sekolah dan keluarga yang berhasil mengubah konteks integrasi sosial ke medium hukum dalam hal kontrol birokrasi dan moneter. Undang-undang ini tidak memerlukan pembenaran substantif tetapi hanya masalah prosedur fungsional. Hukum sebagai institusi, di sisi lain, mempertahankan hubungan yang erat dengan moralitas. Institusi hukum, seperti hukum tata negara dan hukum pidana, mengacu pada peraturan yang harus dievaluasi secara normatif, dan masih membutuhkan pembenaran dalam diskursus moral-praktis.
III - Beberapa Masalah dan Prospek Teori Hukum Habermas
Pengamatan HABERMAS tentang hukum telah mengilhami teori dan penelitian tentang hukum dan proses hukum, yang mengarah pada beberapa wawasan menarik tentang kekuatan teoritis dan empiris serta batasan-batasan pendekatan HABERMAS. Saya akan meninjau secara singkat isu-isu utama yang dibahas dan penerapan kritis ini, dan secara khusus membahas beberapa topik yang diperdebatkan dalam makalah ini.
Tema yang paling banyak mengilhami perdebatan dalam kaitannya dengan konsepsi hukum HABERMAS adalah rumusan etika diskursus[17]. Dengan proposisi moral-filosofis ini, HABERMAS telah menjelaskan bagaimana konsepsi prosedural tentang moralitas dapat dipahami. Dalam The Theory of Communicative Action, HABERMAS berpendapat bahwa hukum modern, alih-alih telah dirasionalisasikan menjadi entitas yang sepenuhnya berfungsi, tetap membutuhkan pembenaran moral dalam hal diskursus praktis tentang kebenaran norma. Pertanyaannya, kemudian, adalah bagaimana diskursus ini dapat dipahami untuk menjamin argumentasi rasional? HABERMAS berpendapat bahwa dari perspektif pasca-metafisis, filsafat tidak bisa lagi berpura-pura menawarkan norma-norma moral yang benar dan tidak terbantahkan, yang dibenarkan secara rasional (sebagai fundasi substantif norma-norma hukum). Sebaliknya, penyelidikan filosofis paling baik dapat menguraikan kondisi rasional dari prosedur yang mana norma dapat, dan harus, didasarkan oleh orang-orang dalam konteks Dunia-Kehidupannya. Oleh karena itu, prinsip etika diskursus menyatakan: "Hanya norma-norma itu yang dapat mengklaim valid/sahih yang memenuhi (atau dapat memenuhi) dengan persetujuan semua yang terpengaruh dalam kapasitas mereka sebagai partisipan-partisipan dalam diskursus praktis".[18] Sementara HABERMAS merealisasikan bahwa diskursus semacam itu tentang norma-norma hanya dapat terungkap dalam batas-batas bentuk kehidupan etis tertentu, ia tetap mempertahankan prinsip yang disarankan yakni prosedur yang ketat dan dalam pengertian ini berlaku secara universal.
Diskusi tentang etika diskursus HABERMAS sebagian besar menyangkut status proseduralnya, daripada hubungannya dengan hukum. Beberapa penulis, misalnya, berpendapat bahwa filsafat moral HABERMAS sebenarnya mengandung nilai-nilai substantif.[19] Gagasan tentang demokrasi, otonomi, dan kesetaraan diambil dalam teori HABERMAS, tetapi hanya secara implisit, yang mungkin membuatnya meremehkan kemungkinan pengaruh distorsi bentuk kehidupan konkret yang mana diskursus praktis dapat berlangsung. Di sisi lain, juga dikemukakan bahwa HABERMAS tidak mengembangkan teori moral yang benar, dan bahwa proposisi formalistiknya secara normatif "kosong".[20] Etika diskursus, sebagaimana dinyatakan, merupakan metodologi ragu-ragu yang tidak memberikan prinsip-prinsip moral substantif dan jatuh (falls) untuk merumuskan jalan menuju masyarakat yang ideal. Penerapan yang bermakna dari prinsip diskursus paling baik dapat dicapai melalui penerapan dan penyelidikan persyaratan prosedural sejauh memenuhi realisasi prinsip-prinsip substantif hak asasi manusia, solidaritas, kepedulian, kebebasan, atau keadilan.
Proposisi bahwa etika prosedural diskursus HABERMAS harus diperluas dengan norma-norma substantif juga telah diambil dalam beberapa penelitian hukum yang diilhami oleh teori tindakan komunikatif. Khususnya ahli teori hukum Jerman ROBERT ALEXY[21] telah menerapkan teori diskursus Habermas untuk analisis hukum, dan menyarankan bahwa penerapan model diskursus praktis untuk diskursus hukum dalam hal apapun dikontekstualisasikan oleh norma-norma konkret yang sudah ada di setiap struktur hukum tertentu.[22] Dengan demikian, hukum selalu merupakan etika substantif yang analisisnya dalam kerangka model diskursus berada di bawahnya. Oleh karena itu, penelitian hukum atas dasar etika diskursus harus mempertimbangkan prinsip-prinsip yang lebih mendasar daripada, dan dapat berfungsi sebagai standar untuk menghadapi, klaim-klaim normatif di pengadilan. Ini akan memungkinkan pengungkapan, dan kritik, prinsip-prinsip normatif mendasar yang memandu proses hukum, misalnya, hukum tata negara dan prosedur hukum. Akhirnya, sejalan dengan kritik terhadap sifat tidak tegas dari etika diskursus, telah dikemukakan bahwa penelitian hukum dalam hal etika diskursus HABERMAS hanya masuk akal jika hukum dikritik dalam hal persyaratan prosedural sejauh hukum memenuhi, atau gagal memenuhi, prinsip-prinsip normatif substantif. Khususnya, hak asasi manusia, jauh dari diterima begitu saja, harus dihadapkan dengan prosedur hukum.
Relevansi gagasan prosedural tentang moralitas juga menjadi perhatian dalam perdebatan antara HABERMAS dan gerakan Critical Legal Studies (CLS). Sementara analisis dari perspektif CLS berbagi pandangan dengan Habermas bahwa hukum dan moralitas terkait erat, para sarjana CLS umumnya menentang kemungkinan rekonstruksi landasan moral hukum secara rasional dalam hal prosedur diskursus universal. Pembenaran moral hukum ditolak demi demistifikasi moralitas hukum dan pengambilan-keputusan sebagai "selimut kain perca" (patchwork quilt) yang arbitrer. HABERMAS telah menanggapi posisi ini dengan berargumen, sementara para sarjana CLS melakukan tugas yang berharga dalam mengkritik fungsi hukum berkaitan dengan aspirasinya sendiri, mereka gagal memberikan pembenaran atau dasar rasional apa pun untuk kritiknya. Dengan demikian mereka menghadapi paradoks yang secara implisit mengandaikan standar rasional untuk memperkuat posisi moralnya sendiri, sekaligus mempertanyakan kemungkinan keberadaannya dalam hukum.[24]
Pertanyaan tentang fundasi moral hukum (atau sejauhmana diferensiasi hukum dari moralitas) juga merupakan isu utama yang paling jelas membedakan karya HABERMAS dengan teori hukum NIKLAS LUHMANN.[25] LUHMANN menunjukkan bahwa evolusi masyarakat telah mencapai tingkat diferensiasi yang begitu tinggi dalam masyarakat modern sehingga hukum adalah Sistem autopoietic yang tidak lagi membutuhkan pembenaran dalam hal sudut pandang normatif. Perspektif hukum autopoietic menyiratkan bahwa Sistem Hukum secara operasional tertutup sehingga berfungsi hanya dalam kerangka kode binernya sendiri (sah/tidak sah) yang diatur dalam programnya sendiri (hukum). Sistem sosial lainnya, termasuk moralitas, sama tertutupnya, dan sementara pertukaran informasi antara sistem yang berbeda dimungkinkan, ketidaktransparansian antara Sistem mencegah gangguan dari satu Sistem dalam operasi otonom dari yang lain. HENCE LUHMANN berpendapat bahwa hukum tidak dapat dan tidak perlu dilandasi secara moral untuk mengamankan fungsionalitas internalnya.
Jelas, perspektif Luhmann sangat kontras dengan konsepsi HABERMAS tentang hukum, khususnya pada pertanyaan tentang pembenaran moral hukum. Berdasarkan perspektif dua-tingkat Sistem dan Dunia-Kehidupan, HABERMAS menafsirkan proses yuridifikasi sebagai hasil ambigu dari perlawanan Dunia-Kehidupan yang ditransformasikan dalam kerangka imperatif Sistem politik dan ekonomi. Sementara intervensi moneter dan birokrasi dalam hukum dapat dipahami dari sisi fungsi tujuan, dimensi-dimensi Dunia-Kehidupan Hukum, menurut HABERMAS, harus dianalisis dari perspektif tindakan komunikatif yang bertujuan untuk pemahaman timbal-balik. Identifikasi HABERMAS terhadap hukum sebagai institusi yang masih membutuhkan pembenaran moral, dan hukum sebagai medium, sebagai Sistem yang terlepas dari persoalan moral-praktis, justru menunjukkan ambiguitas utama dalam rasionalisasi hukum.[26]
Perdebatan ini mengangkat isu terakhir yang relevan untuk dieksplorasi dalam kaitannya dengan teori hukum HABERMAS, dan yang banyak mendapat perhatian dari karya-karya terbarunya tentang hukum. Ini menyangkut hubungan antara fungsi hukum (sebagai medium) dan kebutuhannya yang berkelanjutan akan pembenaran moral (sebagai institusi). Masalah ini berasal dari fakta bahwa dalam The Theory of Communicative Action, HABERMAS mengaitkan peran penting, namun agak ambivalen, dengan hukum dalam evolusi masyarakat modern.[27] Sebagai institusi, hukum terkait dengan moralitas dan sebagai bagian dari Dunia-Kehidupan, sedangkan sebagai medium, hukum adalah entitas fungsional seperti halnya Sistem politik dan ekonomi. Ambiguitas dalam rumusan ini adalah tampaknya secara kaku memisahkan dua jenis hukum: beberapa undang-undang mengklaim kebenaran normatif dan terbuka untuk dikritik, sementara yang lain murni masalah imperatif Sistem (dalam hal efisiensi dan produktivitas). Selain itu, HABERMAS awalnya berpendapat bahwa hukum sebagai medium tetap terikat pada hukum sebagai institusi, namun hukum sebagai institusi mengikuti jalur rasionalisasi yang sangat berbeda (kognitif-instrumental versus komunikatif). Tesis Yuridifikasi dan kolonisasi internal Dunia-Kehidupan, selanjutnya, tampaknya mengabaikan kemungkinan bahwa hukum sebagai kompleks institusional Dunia-Kehidupan dapat direstrukturisasi oleh Sistem untuk menghasilkan kolonisasi hukum, daripada hukum itu sendiri merupakan medium penjajahan. Formulasi ini akan memungkinkan posisi yang memertahankan hubungan erat hukum dengan moralitas, sementara tidak menyangkal kemungkinan Sistem imperatif intervensi dalam hukum. Memang, HABERMAS berpendapat dalam beberapa publikasi terbarunya bahwa hukum modern terletak di antara Dunia-Kehidupan dan Sistem karena, dan sejauh itu, hukum rasional dalam hal prosedur hukum yang adil yang ditetapkan dan dijamin di negara-negara konstitusional yang demokratis.[28] Dengan kata lain, hukum modern, meskipun tidak bebas dari kemungkinan intervensi oleh Sistem politik dan ekonomi yang terorganisir secara formal, dapat berlandaskan moral. Hukum dapat menjadi absah dalam hal diskursus moral-praktis, bukan karena memasukkan nilai-nilai yang konkret dan benar secara etis, tetapi karena ia bergantung pada gagasan rasionalitas yang dipahami secara prosedural yang diwujudkan oleh prinsip-prinsip demokrasi dalam legislasi, ilmu hukum (jurispruedence), dan administrasi hukum.
Pertanyaan tentang legitimasi hukum, yang dengannya saya mengakhiri ulasan saya tentang perdebatan tentang teori hukum HABERMAS, telah menjadi pusat perhatian dalam tulisan-tulisan terbaru HABERMAS tentang hukum. Seperti yang saya catat, perbedaan yang ditarik secara kaku antara fungsionalitas dan moralitas hukum membuatnya bermasalah untuk mempertahankan gagasan kolonisasi internal Dunia-Kehidupan sementara pada saat yang sama berpegang pada argumen bahwa hukum secara keseluruhan tetap membutuhkan pembenaran moralitas. Pertimbangan tentang perlunya dan kemungkinan legitimasi legalitas ini membawa HABERMAS pada kesimpulan negatif bahwa ia tidak dapat mempertahankan pembedaan yang dibuatnya dalam volume kedua The Theory of Communicative Action antara hukum sebagai medium dan hukum sebagai institusi.[29] Dengan terbitnya Faktizität und Geltung[30] baru-baru ini, HABERMAS telah membahas tema ini secara menyeluruh dan secara terperinci membahas legitimasi hukum, khususnya dalam konteks negara konstitusional yang demokratis. Bab-bab dalam buku HABERMAS, Modernitas dan Hukum[31] membahas masalah ini.*
CATATAN KAKI
[1] Hal ini bukan berarti teori-teori HABERMAS belum mendapat perhatian dalam bidang kajian hukum di luar perbatasan Eropa. Untuk pengenalan umum dan tinjauan kritis terhadap pendekatan HABERMAS terhadap hukum, misalnya, lihat: BRAND (BRAND, ARIE. Ethical Rationalization and Juridification: HABERMAS Critical Legal Theory, Australian Journal of Law and Society 4, 1987, pp. 103-27); EDER (EDER, KLAUS. Critique of HABERMAS Contribution to the Sociology of Law, Law and Society Review 22, 1988; pp. 931-44); HAARSCHER (HAARSCHER, GUY. PERELMAN and HABERMAS , Law and Philosophy 5, 1986; pp. 331- 342); MURPHY (MURPHY, W. T. The HABERMAS Effect: Critical Theory and Academic Law, Current Legal Problems 42, 1989; pp. 135-165); PREUSS (PREUSS, ULRICH K. Rationality Potentials of Law: Allocative, Distributive and Communicative Rationality, In: C. JOERGES and D. M. TRUBEK (eds). Critical Legal Thought: An American-German Debate. Baden-Baden: Nomos, 1989); RAES (RAES, KOEN. Legalisation, Communication and Strategy: A Critique of HABERMAS Approach to Law, Journal of Law and Society 13, 1986; pp. 183-206); SCHEUERMAN (SCHEUERMAN, BILL. NEUMANN v. HABERMAS: The Frankfurt School and the Case of the Rule of Law, Praxis International 13, 1993; pp. 50-67); VAN DER BURG (VAN DER BURG, WIBREN. Jürgen Habermas on Law and Morality: Some Critical Comments, Theory, Culture and Society 7, 1990; pp. 105-111). Sementara itu, teori HABERMAS juga telah menemukan jalannya ke dalam penelitian empiris dalam hukum Amerika dan tradisi masyarakat, yang berurusan dengan beragam isu seperti pemikiran hukum feminis. (COLE, DAVID. Getting There: Reflections on Trashing from Feminist jurisprudence and Critical Theory, Harvard Women s Law journal 8, 1985; pp. 59-91.), hukum lingkungan (NORTHEY, ROD. Conflicting Principles of Canadian Environmental Reform: TRUBEK and HABERMAS v. Law and Economics and the Law Reform Commission, Dalhousie Law Journal 11, 1988; pp. 639- 662), interpretasi hukum (HOY, DAVID C. Interpreting the Law: Hermeneutical and Poststructuralist Perspectives, Southern California Law Review 58, 1985; pp. 135-176; MOOTZ, FRANCIS J. The Ontological Basis of Legal Hermeneutics: A Proposed Model of Inquiry Based on the Work of GADAMER, HABERMAS, and RICOEUR, Boston University Law Review 68, 1988; pp. 523-617), peran profesional dalam komunitas hukum (DAN -COHEN, MEIR. Law, Community, and Communication, Duke Law journal 6, 1989; pp. 1654-76), dan analisa legislasi dan regulasi konstitusi (FELDMAN, STEPHEN M. The Persistence of Power and the Struggle for Dialogic Standards in Postmodern Constitutional jurisprudence: MICHELMAN, HABERMAS, and Civic Republicanism , Georgetown Law journal 81, 1993; pp. 2243-90; FELTS, ARTHUR A. and FILDS, CHARLES B. Technical and Symbolic Reasoning: An Application of HABERMAS Ideological Analysis to the Legal Arena , Quarterly Journal of Ideology 12, 1988; pp. 1-15; LEEDES, GARY C. The Discourse Ethics Alternative to RUST v. SULLIVAN , University of Richmond Law Review 26, 1991; pp. 87-143; SOLUM, LAWRENCE B. Freedom of Communicative Action: A Theory of the First Amendment Freedom of Speech, Northwestern University Law Review 83, 1989; pp. 54-135). On the influence of HABERMAS s theory in Latin America, see: BOTERO, ANDRÉS. Aproximación al pensar filosófico de HABERMAS, Revista Holística Jurídica: Facultad de Derecho f. 2 (2003); pp. 7-36. Botero will soon publish another critical paper about HABERMAS s influence in Latin America.
[2] HABERMAS, JÜRGEN. The Theory of Communicative Action, Volume 1, Reason and the Rationalization of Society. Boston, we: Beacon Press, 1984. HABERMAS, JÜRGEN. The Theory of Communicative Action, Volume 2, System and Lifeworld: A Critique of Functionalist Reason. Boston, MA: Beacon Press, 1987.
[3] The encyclopedic nature and relative inaccessibility of HABERMAS s work, however, have produced an enormous number of introductory essays and books intended to acquaint the readership with the basic elements of his thought. MCCARTHY s critical summary of HABERMAS s writings is in this regard still the most valuable source, particularly to trace the foundations and intellectual developments of HABERMAS s earlier work (MCCARTHY, THOMAS. The Critical Theory of JÜRGEN HABERMAS. Cambridge, weX ws Press, 1978). For introductions to HABERMAS s more recent work, see BRAND (BRAND, ARIE. The Force of Reason: An Introduction to HABERMAS Theory of Communicative Action. Sydney: ALLEN & UNWIN, 1990); HOLUB (HOLUB, ROBERT C. Jürgen Habermas: Critic in the Public Sphere. London: Routledge, 1991); INGRAM (INGRAM, DAVID. HABERMAS and the Dialectic of Reason. New Haven, CT: Yale University Press, 1987); RASMUSSEN (RASMUSSEN, DAVID M. Reading HABERMAS. Oxford: BASIL BLACKWELL, 1990); RODERICK (RODERICK, RICK. HABERMAS and the Foundations of Critical Theory. London: Macmillan, 1986).
REFERENSI
ALEXY, ROBERT, "Justification and Application of Norms", Ratio Juris 6, 1993; pp. 157-170.
ALEXY, ROBERT, "On Necessary Relations Between Law and Morality", Ratio Juris 2, 1989; pp. 167-
183.
ALEXY, ROBERT, "Problems of Discursive Rationality in Law", In: W. MAIHOFER and G. SPRENGER (eds.). Law and the States in Modern Times. Stuttgart: Franz Steiner, 1990.
ALEXY, ROBERT, "Epílogo a la teoría de los derechos fundamentales". Trad. CARLOS BERNAL. Revista española de derecho constitucional, year 22, 66 (septiembre-diciembre de 2002): pp. 13-64.
ALEXY, ROBERT, "A Discourse-Theoretical Conception of Practical Reason", Ratio Juris 5, 1992; pp. 23 1-51.
ALEXY, ROBERT, A Theory of Legal Argumentation. Oxford: Clarendon Press, 1989.
ALEXY, ROBERT, Begriff und Geltung des Rechts. FREIBURG und MNCHEN: ALBER, 1992.
BELLIOTTI, RAYMOND A., "Radical Politics and Nonfoundational Morality", International Philosophical Quarterly 29, 1989.
BENHABIB, SEYLA and DALLAYR, FRED (eds.). The Communicative Ethics Controversy. Cambridge, MA: MIT Press, 1990.
BENHABIB, SEYLA, "In the Shadow of Aristotle and Hegel: Communicative Ethics and Current Controversies in Practical Philosophy", in M. KELLY (ed.) Hermeneutics and Critical Theory in Ethics and Politics. Cambridge, MA: MIT Press, 1990.
BOTERO, ANDRÉS, Aproximación al pensar filosófico de HABERMAS, Revista Holística Jurídica: Facultad de Derecho USB. 2 (2003); pp. 7-36.
BOTERO, ANDRÉS, Recepción crítica (y parcial) de la concepción sobre sistema jurídico y razón práctica de Robert Alexy. Conference in Buenos Aires University, March 31 2008; 24p. Unpublished text.
BRAN, ARIE, Ethical Rationalization and Juridification: HABERMAS Critical Legal Theory , Australian Journal of Law and Society 4, 1987, pp. 103-27.
BRAN, ARIE, The Force of Reason: An Introduction to Habermas Theory of Communicative Action. Sydney: ALLEN & UNWIN, 1990.
COLE, DAVID, Getting There: Reflections on Trashing from Feminist jurisprudence and Critical Theory, Harvard Women s Law journal 8, 1985; pp. 59-91.
DAN -COHEN, MEIR, Law, Community, and Communication, Duke Law journal 6, 1989; pp. 1654-76.
DEFLEM, MATHIEU (ed.). HABERMAS, Modernity and Law. London: Sage, 1996.
DEFLEM, MATHIEU, Introduction: Law in HABERMAS s Theory of Communicative Action . In: HABERMAS, Modernity and Law, edited by MATHIEU DEFLEM. London: Sage, 1996.
DÖBERT, RAINER, Against the Neglect of Content in the Moral Theories of KOHLBERG and HABERMAS , In: T. E. WREN (ed.). The Moral Domain: Essays in the Ongoing Discussion between Philosophy and the Social Sciences. Cambridge, MA: MIT Press, 1990.
DWARS, INGRID, Application Discourse and the Special Case-Thesis , Ratio Juris 5, 1992; pp. 67-78
EDER, KLAUS, Critique of HABERMAS Contribution to the Sociology of Law, Law and Society Review 22, 1988; pp. 931-44.
FELDMAN, STEPHEN M., The Persistence of Power and the Struggle for Dialogic Standards in Postmodern Constitutional jurisprudence: MICHELMAN, HABERMAS, and Civic Republicanism , Georgetown Law journal 81, 1993; pp. 2243-90.
FELTS, ARTHUR A. and FIELDS, CHARLES B., Technical and Symbolic Reasoning: An Application of Habermas Ideological Analysis to the Legal Arena , Quarterly Journal of Ideology 12, 1988; pp. 1-15.
FERRARA, ALESSANDRO, A Critique of HABERMAS Diskursethik , Telos 64, 1986; pp. 45-74.
FITZPATRCK, PETER and HUNT, ALAN, Critical Legal Studies. Oxford: Basil Blackwell, 1987.
GÜNTHER, KLAUS, A Normative Conception of Coherence for a Discursive Theory of Legal justification, Ratio Juris 2, 1989; pp. 155-166.
GÜNTHER, KLAUS, Critical Remarks on Robert Alexy's Special-Case Thesis, Ratio Juris 6, 1993; pp. 143-156.
GÜNTHER, KLAUS, Impartial Application of Moral and Legal Norms: A Contribution to Discourse Ethics , In: D. M. RASMUSSEN (ed.) Universalism vs. Communitarianism: Contemporary Debates in Ethics. Cambridge, MA: MIT Press, 1990.
HAASCHER, GUY, PERELMAN and HABERMAS , Law and Philosophy 5, 1986; pp. 331-342.
HABERMAS, JÜRGEN, Civil Disobedience: Litmus Test for the Democratic Constitutional State, Berkeley Journal of Sociology 30, 1985; pp. 96-116.
HABERMAS, JÜRGEN, Law and Morality , In: S. M. MCMRRIN (ed.). The Tanner Lectures on Human Values, Volume 8. Salt Lake City: University of Utah Press, 1988.
HABERMAS, JÜRGEN, Morality, Society and Ethics: An Interview with TORBEN HVILD NIELSEN , Acta Sociologica 33, 1990; pp. 93-114.
HABERMAS,JÜRGEN, On Morality, Law, Civil Disobedience and Modernity, In: P. DEWS (ed.).Autonomy and Solidarity: Interviews with JÜRGEN HABERMAS, revised edn. London: Verso, 1992.
HABERMAS, JÜRGEN, Remarks on the Discussion , Theory, Culture and Society 7, 1990; pp. 127-32. HABERMAS, JÜRGEN, Towards a Communication-Concept of Rational Collective Will-Formation: A Thought-Experiment, Ratio Juris 2, 1989; pp. 144-54.
HABERMAS, JÜRGEN, Faktizität und Geltung. Frankfurt: Suhrkamp, 1992.
HABERMAS, JÜRGEN, Justification and Application: Remarks on Discourse Ethics. Cambridge, MA: MIT Press, 1993.
HABERMAS, JÜRGEN, Moral Consciousness and Communicative Action. Cambridge, MA: MIT Press, 1990. pp. 43-115.
HABERMAS, JÜRGEN, The New Conservatism: Cultural Criticism and the Historians Debate. Cambridge, MA: MIT Press, 1989. pp. 173-179.
HABERMAS, JÜRGEN, The Philosophical Discourse of Modernity: Twelve Lectures. Cambridge: Polity Press, 1987.
HABERMAS,JÜRGEN, The Theory of Communicative Action, Volume1, Reason and the Rationalization of Society. Boston, MA: Beacon Press, 1984.
HABERMAS, JÜRGEN, The Theory of Communicative Action, Volume 2, System and Lifeworld: A Critique of Functionalist Reason. Boston, MA: Beacon Press, 1987.
HELLER, AGNES, The Discourse Ethics of Habermas: Critique and Appraisal, Thesis Eleven 10/11, 1984-5; p. 5-17.
HOLUB, ROBERT C. JÜRGEN HABERMAS: Critic in the Public Sphere. London: Routledge, 1991.
HOY, DAVID C., Interpreting the Law: Hermeneutical and Poststructuralist Perspectives, Southern California Law Review 58, 1985; pp. 135-176.
HUSSON, CHRISTINE A. DESAN, Expanding the Legal Vocabulary: The Challenge Posed by the Deconstruction and Defense of Law, Yale Law Journal 95, 1986; pp. 969-991.
INGRAM, DAVID, Dworkin, Habermas, and the CLS Movement on Moral Criticism in Law, Philosophy and Social Criticism 16, 1990; p. 237-268.
INGRAM, DAVID, HABERMAS and the Dialectic of Reason. New Haven, CT: Yale University Press, 1987.
JAY, MARTIN, The Debate over Performative Contradiction , In: A. HORNEH, T. MCCARTHY, C. OFEE and A. WELLMER (eds.). Philosophical Interventions in the Unfinished Project of Enlightenment.Cambridge, MA: MIT Press, 1992.
KELLY, MICHAEL (ed.). Hermeneutics and Critical Theory in Ethics and Politics. Cambridge, MA: MIT Press, 1990.
KELLY, MICHAEL, Maclntyre, Habermas and Philosophical Ethics , In: M. KELLY(ed.) Hermeneutics and Critical Theory in Ethics and Politics. Cambridge, MA: MIT Press, 1990.
LEEDES, GARY C., The Discourse Ethics Alternative to Rust v. Sullivan , University of Richmond Law Review 26, 1991; pp. 87-143.
LUHMANN, NIKLAS, Operational Closure and Structural Coupling: The Differentiation of the Legal System , Cardozo Law Review 13, 1992; pp. 1419-41.
LUHMANN, NIKLAS, A Sociological Theory of Law. London: ROUTLEDGE & KEGAN PAUL, 1985.
MCCARHY, THOMAS, The Critical Theory of JÜRGEN HABERMAS. Cambridge, MA: MIT Press, 1978.
MOOTZ, FRANCIS J., The Ontological Basis of Legal Hermeneutics: A Proposed Model of Inquiry Based on the Work of Gadamer, HABERMAS, and RICOEUR , Boston University Law Review 68, 1988; pp. 523-617.
MULLEN, T., Constitutional Protection of Human Rights , In: T. CAMPBELL, D. GOLDBERG, S. MCLEAN and T. MULLEN (eds.). Human Rights: From Rhetoric to Reality. Oxford: Basil Blackwell, 1986.
MURPHY, W. T., The HABERMAS Effect: Critical Theory and Academic Law , Current Legal Problems 42, 1989; pp. 135-165.
NORTHEY, ROD, Conflicting Principles of Canadian Environmental Reform: TRUBEK and HABERMAS v. Law and Economics and the Law Reform Commission , Dalhousie Law Journal 11, 1988; pp. 639-662.
PETTIT, PHILIP, HABERMAS on Truth and justice , In: G. H. R. PARKINSON (ed.). MARX and Marxisms. Cambridge: Cambridge University Press, 1982.
PREUSS, ULRICH K., Rationality Potentials of Law: Allocative, Distributive and Communicative Rationality , In: C. JOERGES and D. M. TRUBEK (eds). Critical Legal Thought: An American- German Debate. Baden-Baden: Nomos, 1989.
RAES, KOEN, Legalisation, Communication and Strategy: A Critique of HABERMAS Approach to Law, Journal of Law and Society 13, 1986; pp. 183-206.
RASMUSSEN, DAVID M. (ed.) Universalism vs. Communitarianism: Contemporary Debates in Ethics. Cambridge, MA: MIT press, 1990
RASMUSSEN, DAVID M., Communication Theory and the Critique of the Law: HABERMAS and UNGER on the Law , Praxis International 8, 1988; pp. 155-170.
RASMUSSEN, DAVID M., Reading Habermas. Oxford: Basil Blackwell, 1990.
RODERICK, RICK, HABERMAS and the Foundations of Critical Theory. London: Macmillan, 1986.
SCHEUERMAN, BILL, NEUMANN v. HABERMAS: The Frankfurt School and the Case of the Rule of Law, Praxis International 13, 1993; pp. 50-67.
SOLUM, LAWRENCE B., Freedom of Communicative Action: A Theory of the First Amendment Freedom of Speech, Northwestern University Law Review 83, 1989; pp. 54-135.
TEUBNER, GÜNTHER, How the Law Thinks: Toward a Constructivist Epistemology of Law , Law and Society Review, 23, 1989; pp. 727-757.
TEUBNER, GÜNTHER, Substantive and Reflexive Elements in Modern Law , Law and Society Review 17, 1983; pp. 239-285.
TUORI, KAARLO, Discourse Ethics and the Legitimacy of Law , Ratio Juris 2, 1989; pp. 125-43. UNGER, ROBERT M., The Critical Legal Studies Movement. Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986.
VAN DER BURG, WIBREN, JÜRGEN HABERMAS on Law and Morality: Some Critical Comments , Theory, Culture and Society 7, 1990; pp. 105-111.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar