Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

[NOVEL HUKUM] IUS COMMUNICATIVA Karya Anom Surya Putra

 IUS COMMUNICATIVA

Karya: Anom Surya Putra


Bab 1: Kejahatan yang Bernama Diam

Gemericik air pancuran kecil mengisi sunyi pagi, bercampur aroma kopi dan teh yang mengepul di meja kayu lapuk. Dua cangkir keramik retak berdampingan—saksi bisu malam panjang yang kuhabiskan menatap layar komputer. Ribuan kata menari-nari, mencoba menjelma gagasan, tapi yang tersisa hanyalah kelelahan yang menusuk pelipis. Jemariku mengetuk meja, mengikuti irama Echo Band di pergelangan tangan: gelang perak yang merekam setiap desah, setiap jeda. Di dunia ini, diam lebih dari tiga detik adalah pelanggaran.

"Hukum pertama Ius Communicativa: Kebenaran lahir dari kata-kata yang tak terputus," begitu Magister Orin mengajariku dulu. Tapi pagi ini, asam lambungku memberontak, seolah memperingatkan: ada yang salah dengan hukum yang kupercaya.

Di mall, keramaian menyergapku dengan hiruk-pikuk obrolan. Seorang wanita menjerit ke pasangannya di depan Echo Chamber: "Kau bohong! Aku bisa dengar jeda 0,5 detik di antara kata-katamu!" Kerumunan bersorak, menikmati teater kebenaran ini. Aku berpaling, tapi sinestesi auditoriku tiba-tiba menyala—warna suara hitam pekat menyambar dari sudut food court.

Seorang gadis muda duduk sendirian. Bibirnya terkunci, Echo Band-nya berkedip merah. Lima detik. Enam. Alarm berbunyi nyaring.

Diam.

Petugas keamanan menyeretnya, tapi sebelum menghilang, gadis itu menatapku. Bibirnya membentuk kata tanpa suara: "Temukan kami."

Sepanjang jalan pulang, desisannya menggema. Di tablet, kutemukan artikel tentang "Komunitas Bisu"—mitos urban tentang mereka yang menolak hukum kata-kata. Magister Orin pernah memperingatkan: "Diam adalah penyakit. Dan kita harus membakarnya sebelum menjalar." Tapi malam ini, di tengah hujan yang mengetuk jendela, aku meragukan api yang dia maksud.

Bab 2: Akar di Bawah Beton

Pohon raksasa di tepi kota itu berdiri angkuh, akar-akarnya merobek aspal seperti tangan raksasa yang mencakar langit. Di sini, aroma tanah basah mengalahkan bau disinfektan kota. Kurebahkan tubuh di antara akar yang menjalar, tablet berisi naskah hukum kuno terbuka di pangkuan.

"Dalam cinta yang mendalam pada rasionalitas, filsafat hukum dipertanyakan: benteng dogma atau ruang kebijaksanaan?"

Suara daun berdesir tiba-tiba berubah menjadi bisikan. Lelaki tua berbaju daur ulang hologram muncul, jarinya menari dalam gerakan aneh—Kode-S. Tabletku menerjemahkannya: /Kami akar yang ditimbun beton kata-kata./

Dia menunjuk lubang di antara akar. Di dalamnya, gulungan kertas usang bertulis: "Hukum sejati tumbuh dari dialog dengan yang bisu: alam, waktu, dan sunyi yang terluka." Tulisan Magister Orin muda—sebelum dia menjadi kaki tangan sistem.

"Kau korban yang mengira dirinya penjaga," jari lelaki tua itu bergetar. Tiba-tiba, sirene meraung. Echo Band-ku panas membara. Lelaki itu menyodorkan botol kecil berisi cairan biru—Penghambat Echo.

"Minum!"

Cairan pahit itu mematikan gelangku. Untuk pertama kalinya, sunyi menyelimutiku seperti selimut tua yang hangat. Tapi drone keamanan sudah mendekat. Lelaki tua itu menghilang, meninggalkan pesan di tanah: /Taman Bawah. Sylvia./

Malamnya, berita meledak: pohon raksasa itu ditebang. Di layar hologram, Magister Orin tersenyum: "Pagar baru akan dipasang demi keamanan kebenaran."

Bab 3: Kuburan Hukum di Dasar Laut

Magister Orin menungguku di reruntuhan pohon. Matanya menyipit, menatap Echo Band-ku yang kuhidupkan kembali—sekarang hanya kedok.

"Kau pikir aku tak tahu?" suaranya berbisik dingin. "Setiap jeda 0,3 detik dalam bicaramu... Kau belajar diam."

Aku menatap batang pohon yang patah. Lima tahun lalu, di hutan yang sama, pohon ini mengajariku perbedaan etika dan etiket: daun yang menari untuk dilihat, getah yang mengalir dalam gelap. Tapi Orin sudah lupa.

"Kau ingin tahu mengapa kami membungkam mereka?" napasnya menusuk. "Karena diam adalah cermin. Dan manusia takut melihat bayangannya sendiri."

Setelah dia pergi, kujelajahi retakan tanah di dekat pohon—genangan air asin yang menggoda. Aku menyelam.

Dasar laut adalah museum hukum yang mati. Patung hakim kuno berdiri dengan mulut dijahit kawat, timbangan karatan di tangan. Di prasasti tengah, tertulis: "HUKUM SEJATI BERDIRI DI ATAS DUA KAKI: KEADILAN YANG BISU DAN KEBENARAN YANG TAK TERUCAP."

Sylvia muncul dari balik karang. Jemarinya menari: Mereka membunuh hukum dengan kata-kata. Kami menghidupkannya dengan diam.

Di gua rahasia, kepingan kaca biru menyimpan rekaman Orin muda: "Hukum harus menjadi alat dialog, bukan dogma!" Rekaman yang dipotong, diubah, dibungkam.

Saat drone keamanan bawah laut mengejar, Sylvia menarikku ke lorong sempit. Di dinding gua, grafiti kuno: "Etika adalah badai yang membersihkan etiket yang busuk."

Kembali ke permukaan, kepingan kaca biru masih melekat di genggaman. Pesan Orin tiba di Echo Band: "Besok, Ruang Dialog 13. Mari bicara tentang semak belukarmu."

Di mobil otomatis, kurenungkan bayangan Orin muda di rekaman itu. Apakah aku akan mengikuti jalannya—dari akar pemberontak menjadi pagar penjara?

Bab 4: Samudra Positivisme

Pulau Pramuka tidak tercatat di peta resmi. Di bawah rezim Ius Communicativa, tempat ini hanya mitos—sebuah noda di tengah samudra yang terlalu bebas untuk diakui. Tapi bagi kami, para pemburu diam, pulau ini adalah kuil.

Batu karangnya menjulang seperti katedral bawah laut, setiap lekukannya menyimpan sejarah yang tak tercatat. Sylvia memandangku dari perahu karet, jarinya mengeja Kode-S: Di sini, hukum ditulis bukan dengan kata, tapi dengan karang yang tumbuh.

Menyelam di sini bukan sekadar aksi fisik. Saat tubuhku terbenam, tekanan air meremas Echo Band hingga retak. Sinestesi auditoriku meledak liar:

  • Desir ikan badut = kuning keemasan, seperti pasal-pasal hukum yang dipelintir.
  • Gelombang = abu-abu perak, suara Kanselir Varr yang selalu memantul di speaker kota.
  • Batu karang = merah tua bergaris hitam—bekas luka sistem yang tak bisa disembunyikan.

Di kedalaman 15 meter, Sylvia menunjuk prasasti karang raksasa. Tulisan kuno itu berbunyi: "Di sini terbaring jenazah Positivisme-Yuridis: Hukum adalah perintah, bukan kebenaran." Di sebelahnya, karang berbentuk timbangan retak: "Positivisme-Logis: Hukum adalah logika, bukan hati."

Kami berenang melalui terowongan karang. Di ujungnya, gua gelap terpapar cahaya bioluminesen—ganggang biru yang menari seperti argumen para filsuf yang tak pernah selesai. Di dinding gua, diagram raksasa terpahat:

  • Langit Moral (lapisan teratas) = lukisan bintang-bintang yang dihubungkan garis emas.
  • Samudra Hukum (tengah) = dua sungai bertabrakan: Sungai Rasio Murni (air jernih tapi beku) dan Sungai Rasio Praktis (air keruh tapi mengalir).
  • Dasar Laut = tulang-belulang berserakan bertulis: "Di sini hukum bertemu nurani."

Sylvia menyentuh simbol mata di langit-langit gua. Sebuah kotak logam muncul dari pasir. Di dalamnya: naskah filsuf terlarang yang mempertanyakan otoritas Ius Communicativa.

"Mereka membakar buku, tapi lupa bahwa samudra adalah perpustakaan," jarinya menari.

Drone berbentuk hiu logam tiba-tiba menyergap. Siripnya mengeluarkan sonar penghancur—senjata baru yang dirancang untuk melumpuhkan komunitas bisu. Sylvia menarikku ke celah karang. Di situ, kulihat patung hakim tanpa wajah sedang memegang palu dari tulang ikan paus.

Hukum tanpa wajah, pikirku. Hukum yang tak mau dilihat matahari.

Kami lolos melalui lubang sempit, tapi satu drone berhasil mencakar lengan Sylvia. Darahnya mengepul seperti tinta merah di air—pertanyaan filosofis yang tak bisa dibungkam.

Usai menyelam, kami duduk di tepi pantai. Matahari terbenam memantulkan warna oranye pada Echo Band-ku yang rusak. Sylvia membalut lukanya dengan daun kelapa, gerakannya tetap elegan dalam diam.

"Samudra hukum ini terlalu luas untuk dikotak-kotakkan Positivisme," bisikku, lebih pada diri sendiri. "Tapi kita butuh kapal."

Dia menulis di pasir:

KAPAL = DIALOG ANTARA SUNYI & KATA

Angin mengirimkan bau garam dan kebebasan. Di kejauhan, lampu kapal patroli Ius Communicativa berkedip.

"Kau tahu kenapa karang bisa bertahan ribuan tahun?" Sylvia tiba-tiba bersuara—pertama kalinya. Suaranya serak, seperti pita kaset usang. "Karena mereka tak berdebat. Mereka tumbuh."

Aku terpana. Tapi dia sudah berlari ke air, menyelam lagi.

Bab 5: Mercusuar dan Jembatan

Matahari menyusut di ufuk barat, menyisakan jejak jingga di atas samudra. Di kejauhan, mercusuar Pulau Pramuka berkedip—seperti Kritik der reinen Vernunft yang mencoba menembus kabut dogmatisme. Sylvia duduk di sampingku, jari-jarinya menekan luka di lengan, darahnya sudah membeku menjadi koral kehitaman.

“Kau pernah baca ini?” Aku menyodorkan tablet usang berisi naskah Kant yang kuselamatkan dari reruntuhan perpustakaan bawah laut. “Hukum harus menjadi kategoris, terlepas dari keinginan subjektif,” katanya. Sylvia menatapku, lalu menulis di pasir:

/Kant membangun mercusuar. Tapi kita butuh perahu untuk mencapainya./

Angin membawa bau garam dan suara Magister Orin yang terekam di Echo Band-ku: “Hukum bukan soal kebenaran, tapi konsistensi!”

Malam itu, kami masuk ke mercusuar tua. Di dalamnya, dinding dipenuhi lukisan para filsuf: Kant dengan wajah kaku seperti patung, Habermas dengan tangan terbuka seolah menjembatani jurang. Di lantai dasar, peta raksasa terbuat dari kulit kerang menampilkan “Pulau Rasio Murni” dan “Benua Fakta Sosial”, dipisahkan lautan bernama “Samudra Dikotomi”.

Sylvia menyalakan proyektor hologram. Muncul esai Habermas: “Law as Institutionalized Discourse”. “Dia mencairkan mercusuar Kant,” bisikku. Tapi Sylvia menggeleng, jarinya menunjuk ke langit-langit. Di sana, patung burung beo tanpa mulut tergantung—lambang rezim Ius Communicativa.

“Mereka memotong lidah burung ini,” Sylvia tiba-tiba bersuara, “tapi lupa bahwa sayapnya masih bisa mengepak.”

Di ruang rahasia bawah mercusuar, komunitas bisu mengadakan “sidang” tanpa kata. Kasusnya: seorang nelayan tua mencuri ikan di zona terlarang untuk menyelamatkan kelaparan anaknya.

Proses Sidang:

  • Juri 1 (Positivis-Yuridis): Melempar batu karang ke baskom berlabel “HUKUM”.
  • Juri 2 (Positivis-Logis): Menyusun kerang membentuk persamaan logika.
  • Sang Nelayan: Menunjukkan tangan kosong, lalu memeluk udara—simbol anaknya.

Sylvia berdiri, tangannya membentuk Kode-S kompleks: /Hukum adalah jembatan antara lapar dan martabat./

Keputusan akhir: nelayan dibebaskan, tapi wajib menanam 10 bibit karang. “Hukuman yang menyembuhkan,” gumamku.

Pagi berikutnya, Echo Band-ku meraung. Pesan Orin: “Mercusuar atau jembatan? Pilih sebelum senja.”

Di Ruang Dialog 13, dia sudah menunggu dengan secangkir kopi—aroma yang sama seperti 10 tahun lalu, saat pertama kali menjadi muridnya.

“Kau pernah ajarkan padaku imperatif kategoris: hukum harus universal.”

“Dan itu masih benar! Lihat kekacauan di luar—tanpa struktur, manusia menjadi binatang!”

“Tapi Habermas—”

Orin memotong, “Habermas itu naif! Dialog butuh aturan. Kau pikir komunitas bisumu bisa bertahan tanpa struktur? Mereka cuma anarki yang berlagak suci!”

Dia melempar dokumen ke meja: Laporan Pembuangan 2045—foto para filsuf hukum dibungkam, termasuk guru Habermas.

“Mereka yang bicara tentang ‘jembatan’ selalu menjadi yang pertama tumbang,” bisiknya. “Kau mau menjadi pilar atau debu?”

Menuju perjalanan pulang, badai menghantam. Ombak setinggi mercusuar menerjang perahu. Sylvia memegang kemudi, sementara kucoba membaca peta kulit kerang. Tapi yang kulihat justru diagram Kant versus Habermas di hologram tadi malam:

  • Kant: Mercusuar kokoh di pulau terisolasi.
  • Habermas: Jembatan kayu rapuh menghubungkan pulau.

“Keduanya bisa tenggelam!” teriak Sylvia saat ombak menghancurkan layar.

Di detik terakhir sebelum perahu pecah, kuraih pelampung berbentuk buku Critique of Practical Reason.

Kami terdampar di pulau tak bernama. Sylvia tertidur kelelahan, sementara aku menatap cakrawala. Di timur, matahari terbit; di barat, bulan purnama masih menggantung.

Di pasir, kutulis dengan jari:

KANT | HABERMAS

Lalu kuhapus garis tengahnya.

Sylvia membuka mata, menatap tulisan itu. “Kau menemukan jawaban?” tanyanya.

“Tidak,” jawabku. “Tapi aku menemukan pertanyaan baru: Bagaimana menjadi mercusuar yang mau menjembatani?”

Bab 6: Pasir dan Rasi Bintang

Malam ini pantai sunyi, deburan ombak mengisap suara seperti Echo Chamber yang kehilangan kata. Jejak kaki telanjangku terpateri di pasir—sejarah kecil yang rapuh, mudah terhapus air pasang. Di tas ranselku, sepatu berdebu tergeletak tak berguna, sementara langit di atas memamerkan gugus bintang yang tak pernah tunduk pada hukum manusia.

Friedrich, nama itu mengganggu. Aku membayangkan sang sejarawan filsafat hukum itu tertawa sinis: "Para filsafat adalah pengemis yang mengais remah-remah sejarah." Tapi malam ini, pasir di sela jari-jariku terasa seperti halaman-halaman buku yang terbakar—bekas yang tak bisa dihapus rezim.

Tiba-tiba sepasang jejak kaki baru muncul di sampingku. Lelaki berjubah anyaman rumput laut—anggota komunitas bisu—menyodorkan tablet berlumut. Di layar, artikel lama: "Kasus Aborsi Tahun 2075: Hukum vs. Hati Nurani".

"Kau tahu kenapa kasus ini tak pernah selesai?" tanyanya via Kode-S. "Karena rezim takut pada pertanyaan yang jawabannya ada di antara bumi dan langit."

Di gubuk kayu dekat mercusuar, komunitas mengadakan pertemuan. Proyektor hologram menampilkan dua diagram:

  • Bumi (Sejarah): Peta retakan hukum dari masa Hammurabi sampai Ius Communicativa.
  • Langit (Teori): Konstelasi bintang membentuk wajah Hart dan Dworkin yang sedang berdebat.

Sylvia, lengan masih dibalut daun kelapa, menunjuk ke bintang Sirius: "Hart bilang hukum adalah aturan primer dan sekunder." Jarinya bergeser ke Orion: "Tapi Dworkin menambahkan: hukum adalah integritas, bukan sekadar aturan."

Seorang nelayan muda—Mirna, korban pemerkosaan yang dituduh aborsi ilegal—berdiri gemetar. Di tangannya, botol berisi janin diawetkan. "Ini hukum atau pembunuhan?" matanya menuntut.

Komunitas bisu menjawab dengan menyalakan lentera bioluminesen. Cahaya biru (hak hidup) dan merah (hak otonomi tubuh) berkelap-kelip, membentuk spiral DNA di langit-langit.

Lelaki berjubah rumput laut menarikku ke gua tersembunyi. Di dinding, prasasti kuno:

"Hukum adalah anak sungai sejarah. Tapi sungai bisa berbelok." —C.J. Friedrich.

Dia membuka peti dari kayu kapal karam. Isinya:

  • Jurnal Friedrich yang dianggap hilang, halamannya dipenuhi sketsa pohon hukum dengan akar "kekuasaan" dan ranting "keadilan".
  • Surat Hart untuk Dworkin (2070): "Kau benar, Ron. Hukum memang tak bisa lepas dari moral. Tapi kita harus berhati-hati—moral bisa menjadi racun bila dipaksakan."
  • Botol kecil berlabel "Libertas": Obat penghapus memori sementara untuk lolos dari interogasi.

"Kau harus ke Arsip Bawah Tanah di Kota Tua," jarinya menari gugup. "Di sana, jawaban tentang aborsi Mirna ada di antara debu sejarah."

Di perjalanan pulang, drone berbentuk burung hantu menyergap. Matanya—kamera infra—menyala merah. Echo Band-ku mendeteksi frekuensi Magister Orin.

Aku menyemprotkan Libertas ke udara. Drone itu terjatuh, tapi semprotan mengenai wajahku. Ingatan pun mengabur:

  • Bayangan Orin muda sedang membakar buku.
  • Suara Kanselir Varr: "Sejarah adalah dongeng. Kitalah penulisnya."
  • Sylvia menangis tanpa suara di depan makam tak bertanda.

Ketika sadar, aku sudah di pantai lagi. Tablet di sampingku terbuka di halaman terakhir jurnal Friedrich: "Hukum yang tak mau belajar dari sejarah adalah tiran yang mengenakan jubah hakim."

Mirna mendatangiku saat fajar. "Mereka memutuskan," bisiknya, "janin ini akan dikubur di bawah pohon kebebasan, bukan di penjara laboratorium."

Di pasir, kutulis dengan ranting:

HART | DWORKIN

Lalu kuhubungkan dengan garis melingkar: ⭕

Sylvia tertawa—suara serak pertama yang kudengar darinya. "Lingkaran, bukan garis? Kau sedang merancang hukum baru?"

"Bukan," jawabku, menatap langit yang mulai memudar. "Aku sedang belajar bahwa bumi dan langit bertemu di cakrawala—tempat sejarah dan teori berciuman."

Di kejauhan, drone baru berputar-putar. Tapi kali ini, ada stiker bergambar burung beo tanpa rantai di badannya—lambang pemberontakan yang mulai menjalar.

Bab 7: Koeksistensi di Bawah Bintang Biduk

Lampu minyak di teras gubuk nelayan itu berkedip-kedip, menari bersama bayang-bayang Echo Band di pergelanganku. Teh hangat di cangkir retak menguapkan aroma yang mengingatkanku pada perpustakaan kampus di Yogyakarta—tempatku pertama kali membaca "Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya".

Soetandyo Wignjosoebroto. Namanya terngiang seperti mantra. Aku membayangkan beliau duduk di balai bambu, dikelilingi naskah lontar dan buku Kelsen, merajut koeksistensi antara hukum murni dan ilmu sosial. "Legisme-positivistik itu penting," katanya dalam bayanganku, "tapi jangan lupa: hukum hidup di pasar, di sawah, di tangis perempuan yang dipenjara karena mempertanyakan pasal."

Tiba-tiba, suara Sylvia memecah lamunan:

“Kau tahu kenapa sistem Ius Communicativa tak pernah masuk ke Indonesia?”

Dia melempar peta tua. Di atasnya, garis pantai Jawa diwarnai cat merah: “Tanah Para Koeksistensi”.

Kami menyelinap ke ruang bawah tanah di balik Candi Lawang, tempat rezim menyimpan dokumen terlarang. Di sini, naskah Soetandyo bersanding dengan Critique of Pure Reason yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa.

“Lihat ini,” Sylvia membuka peti kayu ukiran Bali. Di dalamnya:

  • Surat Soetandyo untuk Kelsen (1978): "Hukum Anda terlalu steril untuk bumi kami yang berlumpur."
  • Catatan lapangan tentang sengketa tanah di Sidoarjo, adat dan positivisme berdamai lewat musyawarah.
  • Wayang kulit berbentuk Hans Kelsen dengan tangan memegang Reine Rechtslehre, tapi kakinya terikat akar beringin.

“Ini jawabanmu,” bisik Sylvia. “Hukum Indonesia adalah koeksistensi—bukan pertarungan.”

Malam itu, di tengah persawahan Mojokerto, komunitas lokal menggelar sidang hybrid. Kasusnya: pemuda mencuri gabah karena kelaparan.

Proses Sidang:

  • Ketua Adat (mewakili Ilmu Sosial Hukum): Menyajikan data kemiskinan dan kesehatan mental kaum muda.
  • Hakim Positivistik (eks anggota Ius Communicativa): Membacakan KUHP pasal pencurian.
  • Pemuda: Menunjukkan perut kosong dan tangan pecah-pecah.

Keputusan: Pemuda wajib mengganti dua kali atas gabah yang dicuri, tapi negara wajib membuka akses lapangan kerja. “Hukum harus menyembuhkan, bukan menghakimi,” kata Ketua Adat.

Aku tersentak. Ini koeksistensi yang dimaksud Soetandyo—hukum sebagai jaring laba-laba yang menahan jatuhnya keadilan tanpa mencekik.

Pesan darurat dari Magister Orin: “Pulang. Mereka tahu kau ke Indonesia.”

Tapi sudah terlambat. Drone berbentuk Perkutut—direkayasa rezim—mengepung kami. Dari speaker, suara Kanselir Varr menggema:

“Koeksistensi? Omong kosong! Hukum butuh satu suara, satu sistem!”

Sylvia menarikku ke sungai bawah tanah. Di dinding gua, prasasti kuno bertulis:

"Hukum yang tak merendahkan air mata adalah hukum yang hidup."  

Kami berenang, dokumen Soetandyo terbungkus plastik di genggamanku. Tiba-tiba, Sylvia mendorongku ke ceruk batu. “Lanjutkan! Aku yang mereka mau!”

Aku muncul di tengah sawah, tubuh berlumpur, tapi dokumen selamat. Petani tua memberiku sarung dan kopi jahe. “Kirain kau peneliti hukum,” katanya sambil tertawa. “Ternyata pejuang.”

Di langit, bintang Biduk berkilau. Aku membuka surat metafor yang basah:

"Hukum Indonesia ibarat gamelan—ada slendro positivisme dan pelog humanisme. Tugas kita bukan memilih, tapi merangkai."

Di kejauhan, sirene meraung. Tapi kali ini, ada dentang gamelan menyahut—kode dari desa sebelah bahwa mereka siap melindungi.

Bab 8: Ruang Antara Fakta dan Norma

"Hukum adalah mediasi yang gagal," bisik Sylvia sebelum ditangkap. Kalimat itu kembali menggema saat aku berdiri di depan Arsip Hegelian, gedung megah di jantung kota yang menyimpan seluruh rekaman Dialog Suci rezim Ius Communicativa. Bangunan ini adalah manifestasi Roh Objektif Hegel—ruang bagi sejarah kolektif untuk dikurasi, fakta direduksi menjadi norma, dan subjektivitas individu dilebur dalam narasi negara.

Magister Orin menyambutku di lobi, tangannya memegang tablet emas berlogo burung beo rantai. "Kau akhirnya mengerti," katanya, "hukum bukan tentang kebenaran, tapi tentang menyatukan bagian-bagian yang memberontak menjadi keseluruhan."

Tapi aku tidak datang untuk tunduk.

Di ruang bawah tanah Arsip, aku menemukan Simulasi Sejarah Global—sebuah algoritma yang mengubah memori individu menjadi data kolektif. Layar raksasa menampilkan:

  • Pasal 1: Kebahagiaan pribadi = kontribusi pada stabilitas sosial.
  • Pasal 2: Otonomi moral = kesesuaian dengan Dialog Suci.

Orin mengaktifkan simulasi. Tiba-tiba, aku berada di jalanan Paris 1789, lalu Jakarta 2045, menyaksikan setiap pemberontakan "disesuaikan" oleh algoritma. Pemuda yang demo diundang menjadi pegawai rezim. Perempuan yang teriak dibisukan dengan jabatan. "Lihat," Orin tersenyum, "inilah mediasi sempurna antara fakta dan norma."

Tapi di sudut layar, kulihat Sylvia—wajahnya dihapus dari arsip, diganti avatar tanpa identitas.

Dengan bantuan kode dari komunitas bisu, aku menyusup ke Kamarku Sendiri, ruang server tersembunyi yang menyimpan narasi individu yang ditolak rezim. Di sini, layar-layar menampilkan:

  • Seorang nenek di Bali menolak jual tanah, meski hukum rezim menyatakan kepemilikan kolektif.
  • Pemuda Papua menulis puisi dalam bahasa ibu, padahal Dialog Suci wajibkan Bahasa Kesatuan.

Di tengah ruangan, patung Habermas dari kawat berdiri memegang buku Between Facts and Norms. Dari mulutnya, rekaman suara:

"Hukum yang baik adalah ruang dialog—bukan monolog algoritma!"

Aku mengunduh data ini ke Echo Band-ku. Tapi Orin sudah menunggu di pintu.

Di puncak Arsip Hegelian, angin menerbangkan jubah Orin. Di bawah kami, kota tampak seperti papan catur—setiap warga adalah bidak.

"Kau mengkhianati Hegel! Roh Objektif bukan tentang kontrol, tapi kesadaran kolektif yang organik!"

Orin menyahut, "Kau salah. Hegel pun tahu negara harus memangkas subjektivitas liar. Lihat!"

Dia menunjuk hologram Kanselir Varr berpidato: "Kami adalah Roh Absolut zaman baru."

Tiba-tiba, data dari Kamarku Sendiri bocor. Wajah-wajang yang dihapus menyebar di langit seperti konstelasi baru. Orin panik. "Matikan! Ini virus!"

Sylvia muncul tiba-tiba—ternyata selama ini dia menyamar sebagai asisten Orin. Tangannya melemparkan USB berlogo gamelan (hadiah dari petani Mojokerto) ke server utama.

"Habermas vs. Hegel? Mari kita lawan dengan koeksistensi!" teriaknya.

Arsip Hegelian meledak dalam api biru. Data kolektif dan narasi individu berbaur menjadi asap yang membentuk kalimat di langit:

"HUKUM = MEDIASI YANG TAK PERNAH SELESAI"

Di reruntuhan, aku menemukan surat Orin yang belum terbakar:

"Aku ingin reformasi, tapi sejarah terlalu berat. Bawa gamelan ini—ia adalah kunci Arsip di Yogyakarta."

Sylvia menarik tanganku. "Kanselir Varr akan hancurkan semua arsip lokal. Kita harus ke Indonesia!"

Di kejauhan, drone berbentuk Perkutut membawa bendera hitam. Tapi malam ini, bintang-bintang membentuk rasi baru: Wignjosoebroto, Habermas, dan Sang Bisu.

Bab 9: Sistem yang Melahap Dirinya Sendiri

"Rezim ini bukan negara, bukan individu. Ia mesin yang memakan jejak-jejak roh." —Surat Terakhir Orin

Yogyakarta 2047. Di bawah tanah Malioboro, kami menemukan Lab Autopoietik—sebuah bunker raksasa tempat rezim menguji Teori Sistem Luhmann. Ruangan ini terbagi menjadi delapan lingkaran konsentris, masing-masing beroperasi sebagai subsistem otonom:

  1. Subsistem Hukum: Robot hakim berlogo burung beo mengeluarkan putusan berdasarkan algoritma Echo.
  2. Subsistem Ekonomi: Drone berwajah Kanselir Varr bertransaksi jual-beli data emosi.
  3. Subsistem Moral: Tahanan politik disambungkan ke simulator Kebahagiaan Publik.

Sylvia menunjuk ke pusat lab, tempat Mesin Luhmann—struktur kawat raksasa berbentuk DNA—berputar memakan data. "Inilah akhir dari nalar praktis," bisiknya. "Masyarakat bukan lagi organisme, tapi kumpulan sel kanker yang saling bersaing."

Di gudang data terlarang, kudapati Arsip Marxis-Terselubung:

  • Proyek 1984: Skema masyarakat tanpa negara yang gagal karena subsistem ekonomi memberontak.
  • Catatan Pengawas: "Subsistem hukum kami telah 'membunuh' Hegel. Kini, mereka ingin membunuh Marx dengan menjadi Marxis palsu."
  • Holodata 3D demo buruh 2024 yang direkayasa menjadi "simulasi kestabilan" dalam arsip rezim.

Tiba-tiba, suara Orin dari speaker:

"Kau pikir kami tak belajar dari Marx? Sistem kami adalah kapitalisme yang memakan sosialisme—autopoietik sempurna!"

Magister Orin muncul di platform Hover, dikelilingi drone berbentuk Hobbesian Leviathan. "Lihat!" Tangannya mengacungkan remote. Mesin Luhmann mengeluarkan tentara hologram—setiap pasukan adalah subsistem yang berperang merebut data.

  • Hukum vs. Ekonomi: Robot hakim menembakkan pasal ke drone ekonomi.
  • Moral vs. Politik: Simulator kebahagiaan memaksa tahanan tersenyum saat disiksa.

"Inilah masyarakat sejati!" teriak Orin. "Subsistem yang bertarung seperti manusia purba!"

Sylvia melemparkan USB Gamelan ke Mesin Luhmann. Melodi Slendro dan Pelog mengacaukan algoritma.

Laboratorium meledak. Tapi yang hancur bukan fisik—tapi logika sistem. Di tengah kekacauan, hologram Marx-Habermas-Soetandyo muncul, bicara serempak:

"Sistem hanya alat. Roh nalar praktis ada di tarian petani, di raungan nelayan, di bisikan anak jalanan!"

Orin terjatuh, Echo Band-nya retak. "Aku... aku hanya ingin hukum bertahan..."

"Tapi kau lupa," sergah Sylvia, "hukum yang tak bernyawa adalah mayat yang menyamar sebagai tuhan."

Di luar, Yogyakarta malam ini berbeda. Warga berkumpul di alun-alun, Echo Band mereka sengaja dimatikan. Tanpa instruksi subsistem, mereka menyanyikan tembang:

"Kita adalah bangsa yang terlalu lama berbisik."

Sylvia menyerahkan kunci baru—USB Berbentuk Wayang Hobbes:

"Ini jalur ke Subsistem Global. Tapi kita tak akan gunakan cara mereka. Kita akan menari di antara sistem, seperti air mengalir di sela-sela batu."

Di langit, drone rezim membentuk formasi burung beo. Tapi kali ini, warga meniup peluit bertalu—frekuensi pengacau subsistem yang dipelajari dari gamelan.












1 komentar untuk "[NOVEL HUKUM] IUS COMMUNICATIVA Karya Anom Surya Putra"

Anonim 12 Januari 2025 pukul 20.01 Hapus Komentar
Seandainya saya memulai membaca calon buku ini tanpa terlebih dahulu membaca judulnya, mungkin saya tidak akan mengetahui bahwa buku ini adalah tentang hukum. Apalagi, penulisnya lebih dikenal sebagai pegiat dan ahli desa ketimbang sebagai ahli hukum. Berbeda dengan buku-buku hukum pada umumnya, calon buku ini diawali dengan pembukaan yang bernuansa fiksi, yang mampu menggiring imajinasi saya sedikit. Ketika dilanjutkan dengan sejarah peradaban Eropa pada Abad Pertengahan dan kelahiran Renaisans, terlihat bahwa buku ini memiliki landasan sejarah yang kokoh, diperkuat dengan bangunan filosofis.

Penulis mengintegrasikan teori hukum dengan pendekatan interdisipliner, menggabungkan aspek sejarah dan filsafat untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai evolusi hukum dalam konteks peradaban manusia. Pendekatan ini tidak hanya menunjukkan kepiawaian penulis dalam bidang hukum, tetapi juga memperlihatkan wawasan luasnya tentang perkembangan sosial dan budaya yang mempengaruhi formasi dan penerapan hukum. Dengan memanfaatkan teori hukum kritis dan teori komunikasi, penulis mencoba menyoroti pentingnya dialog dan keterbukaan dalam proses pembentukan hukum yang adil dan bermoral.

Dilihat dari pendekatan teori yang digunakan, sepertinya Mas Anom (penulis) ingin mengurai dan memperkuat agar hukum yang dilahirkan dan dipraktekkan dalam masyarakat dilakukan melalui tindakan yang komunikatif. Harapan saya, melalui pendekatan ini, buku ini nantinya akan menguraikan atau menawarkan konsep-konsep hukum yang menjunjung tinggi moralitas, demi membangun sebuah peradaban yang lebih manusiawi.