Opini Terbaru

[Calon Buku] Hukum Komunikatif by Anom Surya Putra

 HUKUM KOMUNIKATIF

Karya: Anom Surya Putra


~ Naskah (calon) buku yang ditulis dalam keadaan "chaotic", non-sistematis, sedikit mengandung aforis atau metafor, tidak bermanfaat bagi praktisi hukum, dan mungkin berguna bagi pemula yang hendak membaca "hukum" dengan cara rebahan, atau bacaan ringan bagi individu yang mati-langkah dengan dunia hukum yang digeluti selama ini ~


BAGIAN KE-1: BANGUN DARI TIDUR YANG PANJANG

  1. Secangkir kopi dan teh berdampingan di meja kecil. Gemericik air dari pahatan pancuran air menemani cairan yang tersimpan di dalam cangkir kopi dan teh. Mata sembab setelah menatap ribuan kalimat di layar komputer. Jemari bergerak secara senyap, memindahkan visual pikiran dan audio batin ke dalam rangkaian gagasan. Awal. Baru memulai. Chaotic. Bangun dari tidur yang panjang. 
  2. Terlalu banyak minum kopi dan teh sungguh memicu asam lambung. Cinta yang mendalam terhadap kopi dan teh terganggu dengan asam lambung yang bergerak maraton di dalam tubuh. Kurang bijak meminum kopi dan teh sebelum sarapan? Sarapan berpacu dengan waktu. Tak lupa melirik teks filsafat. 
  3. Filsafat, yang berasal dari frasa Yunani 'philos' dan 'sophia', bermakna sebagai "cinta mendalam yang bijaksana". Lebih dari sekadar mencintai kebijaksanaan, Filsafat adalah petualangan tiada akhir dalam pencarian kebenaran melalui rasionalitas manusia. Filsafat menyelami kedalaman rasionalitas, mengasah kehalusan akal, dan secara perlahan menyingkap tabir realitas. Perjalanan abadi yang mengajak kita untuk selalu bertanya, berpikir, dan merasa lebih dalam. Sarapan pun usai. Tidur yang panjang juga berakhir.

BAGIAN KE-2: MALL

  1. Dalam cinta yang mendalam dan bijaksana terhadap rasionalitas, filsafat hukum dipertanyakan: Apakah ia hanyalah benteng eksklusif dogma atau ruang terbuka bagi kebijaksanaan?
  2. Kaki mengayun cepat di bangunan mall. Ada taman bunga dan pancuran air pula. Deretan barang memanggil mata untuk meluapkan dogma-dogma belanja dengan potongan harga yang tinggi. Taman itu memperdalam cuitan di dalam pikiran tentang filsafat hukum. Filsafat hukum, ibarat taman luas yang dihiasi bunga-bunga kebijaksanaan, namun terkadang terkurung dalam pagar dogma yang tinggi. Pertanyaan mendasarnya adalah: akankah kita membiarkan taman ini terbuka, merangkul setiap tunas baru pemikiran, atau tetap tersekap dalam batasan eksklusif ilmu hukum yang kaku?

BAGIAN KE-3: PILAR DAN POHON

  1. Dalam ranah Etika, Filsafat Hukum berdiri sebagai pilar moral, namun seringkali tenggelam dalam lautan etiket yang dangkal. Seperti pelita yang berusaha menerangi jalan kebenaran, filsafat hukum harus melampaui sekadar tata cara dan sopan santun harian seperti makan steak di mall.
  2. Siang itu terik. Tubuhku masih muda belia. Ingatan merambah ke ketersesatan.  Tersesat di hutan selama beberapa waktu. Hilang arah dan hilang kontak dari kerumunan siswa. Pohon besar tak bernama kusentuh lima menit. Filsafat Hukum adalah sebuah pohon besar di hutan Etika, akarnya menggali dalam mencari kebenaran moral. Namun di permukaan, ranting-rantingnya sering kali diabaikan, hanya dihiasi oleh dedaunan etiket yang sekadar indah dipandang mata tapi rapuh dan mudah luruh. Apakah kita berani menggali lebih dalam, melampaui kulit luar, untuk menemukan inti kebijaksanaan yang sesungguhnya?

BAGIAN KE-4: MENYELAM

  1. Laut dekat pulau Pramuka tetap saja dalam. Batu karangnya menarik pejalan kaki dari belahan provinsi lain. Menyelam? Itu sudah biasa dilakukan penduduk setempat. Bayangkan tubuh menyelam dan menyentuh batu karang di kedalaman sekian meter. Filsafat Hukum menyelami kritik atas rasio murni, praktis, dan penilaian moral, membentuk hukum sebagai proposisi metafisis yang berada di bawah langit moral. Namun, perdebatan etika dan hukum terus berlanjut dalam ranah sains, terkotakkan dalam Positivisme-Yuridis dan Positivisme-Logis. 
  2. Usai menyelam, minggir sebentar ke tepian pantai. Melihat samudra. Filsafat Hukum adalah sebuah samudra luas tempat gelombang rasio murni, rasio praktis, dan rasio penilaian moral saling bertabrakan. Di atas permukaan, langit moral menaungi hukum sebagai proposisi metafisis. Sementara itu, perdebatan antara etika dan hukum menyerupai dua sungai besar yang mengalir menuju lautan sains, membawa aliran Positivisme-Yuridis dan Positivisme-Logis yang terus bergelombang tanpa henti.

BAGIAN KE-5: SENJA

  1. Matahari mulai bergerak ke belahan dunia lain. Pantai mulai memasuki senja. Waktunya menyentuh tubuh sendiri. Jantung. Berdegup normal. Gagasan filosofis Immanuel Kant, selalu dilihat sebagai pilar kokoh dalam bangunan Filsafat Hukum, menancapkan dasar Metafisika Moral pada jantung pemikiran hukum. 
  2. Karya Immanuel Kant adalah refleksi puncak dari rasio, seperti mercusuar yang menerangi jalan bagi para pemikir hukum pada Abad Pencerahan. Di sisi lain, Jurgen Habermas muncul sebagai jembatan yang menghubungkan dua tepi sungai perdebatan antara fakta dan keabsahan normatif. Dengan 'law as social mediation', Habermas mencoba merobohkan tembok pemisah yang dibangun oleh rasio, menyatukan kembali dialog antara kenyataan dan norma dalam arus pemikiran hukum modern.

BAGIAN KE-6: LANGIT DAN BUMI

  1. Malam hari. Langit dan bumi terlihat berbeda. Bukan karena lelah berjalan di pantai tetapi jejak kaki di pinggir pantai meninggalkan jejak kaki yang lugas tanpa sepatu. Perdebatan Filsafat Hukum tertangkap seperti hubungan antara langit dan bumi. 
  2. Pertama, aras sejarah. Aras sejarah berperan seperti bumi yang kokoh, tempat segala peristiwa dan sejarah hukum berakar. Bumi ini menggambarkan perjalanan panjang dan kompleks dari pemikiran hukum, penuh dengan bekas-bekas jejak peradaban dan perubahan zaman. Carl Joachim Friedrich (2004) menyatakan, Filsafat Hukum kurang berkembang karena advokat atau praktisi hukum tidak memerlukan Filsafat Hukum dalam bekerja secara empirik (dunia pengalaman). Oleh karenanya, secara historis, Filsafat Hukum dibentuk dari rentang pengalaman yang menyejarah. Joachim Friedrich membangun proposisi hukum sebagai kehendak Tuhan (Perjanjian Lama) sampai dengan masa surut dan pasang Hukum Alam di Eropa dan Amerika untuk menghasilkan analisis sistematik Filsafat Hukum.
  3. Kedua, Aras Tematik. Aras tematik adalah langit yang luas dan tak terbatas, tempat ide-ide dan konsep-konsep hukum terbang tinggi, membentuk horizon baru yang penuh kemungkinan. Langit ini melambangkan pemikiran filosofis dan tematik yang selalu berkembang, memberi arah dan tujuan bagi perjalanan di bumi hukum. 
  4. Aras tematik memperlihatkan perubahan yang labil mengenai objek Filsafat Hukum. Perdebatan Filsafat Hukum di Amerika antara HLA Hart (1961) dan Ronald Dworkin (2013) menghasilkan suatu rumusan Positivisme-Logis yang memisahkan hukum dan moral. Termasuk upaya menjawab aborsi sebagai peristiwa hukum atau moral. Aras tematik ini merupakan contoh ulasan perkembangan Filsafat Hukum berbasis kasus, proses ajudikasi, keputusan hakim, juri, dan desakan publik atas kasus tertentu.
  5. Bersama-sama, langit dan bumi menciptakan lanskap yang utuh, memperlihatkan kompleksitas dan kedalaman perdebatan dalam Filsafat Hukum.

BAGIAN KE-7: KOEKSISTENSI

  1. Bagaimana dengan Filsafat Hukum di Indonesia? Pertanyaan ini diajukan dalam nuansa teritorial. Berkaitan dengan tema objek Filsafat Hukum di Indonesia.
  2. Guru besar hukum di Indonesia yang saya kagumi, Soetandyo Wignjosoebroto (2002) telah membangun Filsafat Hukum dengan objek beragam. Mulai dari ontologi sampai dengan logika hukum. Batasan ruang lingkup koeksistensi itu adalah ko-eksistensi antara Ajaran Hukum Murni (pure theory of law) dengan Ilmu Sosial Hukum (legal science). Koeksistensi ini berarti bahwa objek Filsafat Hukum adalah landasan dan batas-batas kaidah hukum yang dibahas dalam kerangka kerja filsafat secara umum. Baik mencakup ontologi, epistemologi, aksiologi, ideologi, teleologi, teori, dan logika Hukum.
  3. Koeksistensi mensyaratkan legisme-positivistik yang diwariskan dari Hans Kelsen untuk menjadi titik berdiri seorang ahli hukum (jurist), tetapi hal itu berjalan seiringan dengan Ilmu Sosial Hukum (legal science) yang bekerja dengan rasio objektif, kritis, empirik, dan seterusnya. 
  4. Objek Filsafat Hukum memiliki rentang panjang dalam aras sejarah dan aras perdebatan tematik, dan mengerucut pada suatu rumusan hipotetis. 

BAGIAN KE-8: OBJEK FILSAFAT HUKUM

  1. Di tengah kondisi temaram dan suara dedemit di pinggir pantai, tercapailah batasan tentang Objek Filsafat Hukum yaitu “landasan dan batas-batas kaidah hukum yang dibahas dalam kerangka kerja filsafat secara umum, baik ontologi, epistemologi, aksiologi, ideologi, teleologi, teori, dan logika Hukum.” 
  2. Layaknya seorang pengembara yang berani menjelajahi lautan tak bertepi, para dedemit bertanya: bagaimana sesungguhnya kita merumuskan seluruh objek Filsafat Hukum itu, sang monster laut yang penuh teka-teki? Apakah ia belenggu yang membatasi semangat manusia, ataukah palu godam yang menghancurkan dogma-dogma usang?
  3. Pencarian ini bukanlah sekadar permainan intelektual di menara gading, melainkan pertarungan melawan arus pemikiran yang mapan. Ia menuntut kita untuk menyelami kedalaman hukum, menelisik konteks historis dan metodologisnya, serta mengidentifikasi jerat-jerat yang tersembunyi di dalamnya.
  4. Janganlah terlena dalam kepastian semu! Objek Filsafat Hukum bukanlah entitas statis yang terukir di batu, melainkan medan pertempuran bagi kehendak-kehendak yang saling beradu. Ia adalah cermin yang memantulkan hasrat manusia akan kekuasaan, hasrat yang mendorong penciptaan dan penghancuran hukum demi memuaskan dahaganya.
  5. Di sinilah letak tantangannya, para pembaca yang berjiwa pemberani!  Bukan pada objek Filsafat Hukum itu sendiri, melainkan pada keengganan kita untuk menghadapi badai pertanyaan. Kita terbuai dalam kenyamanan hukum yang mapan, takut untuk mempertanyakan, takut untuk menghancurkan.
  6. Tak perlu menyerah pada ketakutan! Filsafat Hukum adalah salah satu kunci untuk membuka pintu menuju Ilmu Hukum yang dinamis dan transformatif. Ia adalah jembatan yang menghubungkan dunia normatif dan empiris, memungkinkan kita untuk menari di antara dogma dan realitas.
  7. Ilmu Hukum Doktrinal, dengan segala aturan dan kategorinya, ibarat peta usang yang membatasi pandangan. Filsafat Hukum, sebaliknya, menjadi kompas yang membimbing kita menjelajahi lautan hukum yang tak bertepi.
  8. Ilmu Sosial Hukum, dengan fokusnya pada data dan fakta, ibarat lensa yang memperbesar realitas hukum. Filsafat Hukum, sebaliknya, menjelma bak prisma yang membiaskan cahaya realitas menjadi spektrum makna yang tak terbatas.
  9. Jadi, malam ini, perenungan tiba pada Filsafat Hukum sebagai senjata untuk menembus batas-batas Ilmu Hukum! Bertanya, meragukan, menghancurkan, dan menciptakan. Penjelajah hukum yang berani menari di atas tatanan yang ada, menciptakan hukum yang mencerminkan semangat zaman.

BAGIAN KE-9: PINTU MASUK

  1. Kaki dirayapi hawa dingin. Tempurung kaki kanan bekas kecelakaan diliputi rasa nyeri. Kaki kiri masih kuat menuju pintu masuk. Sambil mengingat pikiran Theo Huijbers (1982). Huijbers, dengan proposisi teoritiknya yang tajam, menjadikan Filsafat Hukum sebagai kunci yang membuka pintu gerbang pengetahuan hukum. Ia mengajak kita masuk ke dalam ruang refleksi. Fenomena hukum dianalisis secara metodis dan sistematis, menyingkap hakekat, asas, dan praktik hukum yang tersembunyi di baliknya. 
  2. Alih-alih mencari jawaban yuridis yang dogmatis, Filsafat Hukum merenungkan "tindak pidana korupsi" itu sendiri. Ia menantang kita untuk menyelami hakekat korupsi, menguji moralitas yang menopangnya, dan membedah relasi kuasa yang memungkinkan korupsi berkembang. Ia mengajak kita berdialog dengan konsep "negara", "kekuasaan", "otoritas", dan "legitimasi", mencari makna dan implikasinya dalam konteks korupsi.
  3. Korupsi bukanlah sekadar pelanggaran moral, melainkan perwujudan dari kehendak untuk berkuasa yang telah menyimpang, hasrat yang gelap yang menggerogoti sendi-sendi keadilan. Negara, sebagai representasi dari kehendak kolektif, hadir untuk melawan kekuatan destruktif ini, bukan dengan dogma hukum yang kaku, melainkan dengan gagasan hukum yang etis, rasional, dan kritis, yang lahir dari dialog dan konsensus di ruang publik.
  4. Kekuasaan negara, bagaikan pedang bermata dua, harus digunakan secara bijak untuk membangun sistem yang terintegrasi dalam menangani korupsi. Kekuasaan itu sendiri membutuhkan legitimasi. Suatu mandat dari publik yang lahir dari kepercayaan dan keyakinan akan integritas negara. Legitimasi tidak hanya bersumber dari peraturan perundang-undangan, tetapi juga dari kedaulatan rakyat, transparansi, dan etika penyelenggaraan negara yang ditunjukkan di hadapan publik.
  5. Pembahasan atas suatu masalah hukum dalam perspektif Filsafat Hukum, seperti dicontohkan dalam perbincangan tentang korupsi, akan menghasilkan kegiatan intelektual yang beragam. Suatu simfoni yang dimainkan oleh berbagai aliran filsafat yang telah tumbuh kembang selama ribuan tahun. 
  6. Filsafat Hukum, yang tumbuh kembang dari kajian filsafat, akan menghasilkan objek Filsafat Hukum dalam gelombang sejarah yang panjang dan diikuti dengan pandangan hidup yang berubah dari zaman ke zaman. 
  7. Objek Filsafat Hukum, layaknya sebuah organisme hidup, ditentukan oleh mazhab atau aliran filsafat yang dinamis dari zaman ke zaman. Ia mengajak kita untuk terus mempertanyakan dan mengkritisi hukum yang ada, tidak terlena dalam dogma dan kepastian semu, tetapi selalu mencari kebenaran dan keadilan.

BAGIAN KE-10: YUNANI KUNO, KEADILAN 

  1. Pada masa Yunani Kuno (Abad VI-V Sebelum Masehi), di bawah langit Athena yang cerah, para filsuf besar seperti Socrates, Platon, dan Aristoteles telah meletakkan fondasi bagi pencarian keadilan dalam hukum. 
  2. Socrates, dengan metode dialognya yang tajam, menantang para penguasa untuk menepati keadilan sebagai nilai yang melebihi manusia. Suatu hal ideal yang abadi dan universal. 
  3. Platon, dalam  karya  monumentalnya Politeia dan Nomoi, mengajarkan bahwa keadilan bukanlah sekadar  aturan  tertulis, melainkan harmoni antara aturan dan tuntutan alam. Keseimbangan yang  menjamin kebaikan bersama.
  4. Aristoteles, sang filsuf empiris, menunjukkan bahwa keadilan membimbing hukum, baik hukum alam yang kekal maupun hukum positif yang diciptakan manusia. Ia menyerukan warga polis untuk aktif dalam politik dan taat pada hukum negara kota, baik hukum yang tertulis maupun yang tidak  tertulis, demi mewujudkan  kehidupan yang baik dan berkeadilan.
  5. Gagasan-gagasan cerdas dari para filsuf Yunani Kuno ini menunjukkan, pencarian keadilan dalam hukum telah menjadi bagian tak terpisahkan dari peradaban manusia. Filsafat Hukum bukanlah disiplin yang statis dan terisolasi, melainkan arus pemikiran yang terus mengalir, berkembang, dan menginspirasi pencarian keadilan pada setiap zaman.

BAGIAN KE-11: ROMAWI

 

  1. Beranjak ke panggung sejarah Romawi,  kita  menemukan  para  pemikir  hukum  seperti  Cicero,  Gaius,  dan  Ulpianus  yang  mengarahkan  pandangan  Filsafat  Hukum  pada  suatu korpus atau "kumpulan  putusan  dan  peraturan". 
  2. Hukum  di  Roma  tidak  lahir  dari  kekosongan  norma  positif  (leges).  Ia  berakar  pada  ius,  sebuah  konsep  hukum  yang  dicita-citakan,  yang  bersumber  dari  keteraturan  ilahiah.  
  3. Perjalanan  sejarah  kemudian  melahirkan  codex  dan  corpus  iuris,  kristalisasi  hukum  dalam  bentuk  kumpulan  putusan  dan  peraturan  yang  mengikat.

BAGIAN KE-12: ABAD PERTENGAHAN

  1. Pada periode historis Abad Pertengahan terdapat pemikiran Filsafat Hukum dari Thomas Aquinas, Ibn Sina, dan lainnya. Pada masa ini objek filsafat hukum diwarnai dengan perdebatan tentang hukum alam, hukum yang berasal dari Tuhan, hukum ilahi positif (lex divina positiva), hukum positif dari penguasa (lex humana positiva), dan hukum Islam (ushul fiqh, fiqh Imam Mazhab), dan seterusnya. 
  2. Di sinilah Filsafat Hukum, bagai elang yang terbang tinggi, menjelajahi langit lex divina dan lex humana. Thomas Aquinas dan Ibn Sina, para pemburu kebenaran, menelusuri jejak hukum alam di antara dogma dan wahyu. Hukum Islam pun menambahkan warnanya, sebuah mosaik dalam permadani pemikiran hukum yang rumit. Di persimpangan jalan antara Tuhan dan manusia, filsafat mencari keseimbangan, mencari keadilan di bawah bayang-bayang institusi keagamaan.

BAGIAN KE-13: RENAISANS DAN PENCERAHAN

  1. Objek Filsafat Hukum berkembang pesat pada periode historis Renaisans. Machiavelli, Jean Bodin, Hugo Grotius, Thomas Hobbes dan lainnya merupakan filsuf hukum pada masa ini. Kita bisa menandai objek filsafat hukum pada masa ini berawal dari Rasionalisme yang digagas oleh Rene Descartes. Rasio murni pada Descartes dianut seterusnya oleh filsuf Immanuel Kant. 
  2. Varian objek filsafat hukum lainnya adalah Empirisme yang digagas oleh Locke dan Hume: “apa yang tidak dapat dialami, tidak dapat diakui kebenarannya.” Rasionalisme dan Empirisme merupakan dasar hukum positif.

BAGIAN KE-14: POSITIVISME

  1. Memasuki periode historis Abad XX Positivisme-Yuridis dan Positivisme Logis, pemikir hukum seperti R von Jhering, John Austin, Hans Kelsen mendominasi pemikiran hukum sampai saat ini. Objek filsafat hukum mengalami reduksi, yang dari semula berbasis Rasionalisme dan Empirisme berubah menjadi “ketaatan pada perintah atau ketaatan pada peraturan”. 
  2. Moral dan Hukum terpisah satu sama lain ketika berada dalam sistem kekuasaan negara. Hukum adalah sistem logika tertutup (closed logical system). Putusan peradilan dan sistem hukum direduksi hanya pada logika hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tanpa ada pertimbangan norma sosial, politik dan moral.
  3. Berbeda sekali dengan objek filsafat hukum yang dikenalkan oleh Hegel, Savigny, Karl Marx dan lainnya. Pertama, Hukum adalah cerminan dari Roh Objektif dalam kehidupan manusia. Kedua, Hukum sebagai identitas kultural bangsa (lebih banyak mengacu pada kehidupan hukum Romawi). Ketiga, Hukum dipengaruhi revolusi industri (teknologi dan perkembangan ilmu) dan dikritisi sebagai representasi kepentingan borjuis sehingga muncul ide revolusi hukum yang dilakukan kaum proletariat.

BAGIAN KE-15: PERCAMPURAN

  1. Objek Filsafat Hukum pada periode historis yang diuraikan sebelumnya tentu bisa dinalar secara kritis. Pada konteks cara berhukum di Indonesia saat ini terdapat fenomena yang bercampur:
    • cara berhukum abad pertengahan yang memperdebatkan antara hukum agama dan hukum nasional, 
    • cara berhukum positivistik yang membela aturan hukum sebagai harga mati, 
    • cara berhukum demi kepentingan revolusi industri 4.0, dan 
    • aksi advokasi memperjuangkan revolusi hukum demi kepentingan buruh atau masyarakat marjinal lainnya
  2. Pembelajaran dari tema objek Filsafat Hukum ini akan membuat Anda memahami perbedaan cara pandang terhadap fenomena hukum di Indonesia. Tak perlu Anda menghapal semua pemikiran hukum dari filsuf namun gunakan penalaran dalam Filsafat Hukum untuk berani berpendapat sendiri.

BAGIAN KE-16: PARASIT


Filsafat Hukum yang murni dibentuk dari kajian filsafat seringkali menjadi parasit bagi penganut Ilmu Hukum yang dogmatik. Pandangan ini menyatakan, objek Filsafat Hukum bukanlah dibentuk dari tradisi filsafat tetapi dibentuk dari epistemologi hukum itu sendiri (an sich). Dampaknya, objek Filsafat Hukum terfokus pada landasan kaidah-kaidah peraturan perundang-undangan atau landasan suatu praktek hukum baik di peradilan maupun non-peradilan. Hal ini menciptakan reduksi pada Filsafat Hukum sebagai pengetahuan hukum dengan fokus pada:
    • norma atau kaidah hukum suatu peraturan perundang-undangan, sebagaimana terdapat dalam tradisi legisme/legalisme Kelsen (Jerman) dan kritikus berikutnya seperti Meuwissen, Mark van Hoecke dan Bruggink (2015);
    • pengetahuan hukum yang tumbuh dari praktek peradilan dan non-peradilan sebagaimana dikenalkan oleh Holmes, Roscoe Pound, Hart, Dworkin, Llewellyn, C. Joachim Friedrich, sampai dengan kritikus neo-marxis atau critical legal studies Amerika.

BAGIAN KE-17: FILSAFAT "ILMU HUKUM"

  1. Hans Kelsen (1970) mengajukan proposisi teoritik yang dikenal dengan sebutan Reine Rechtslehre (Ajaran Hukum Murni). Ajaran Hukum Murni adalah teori hukum positif (theorie des positiven recht) dalam teritorial yang sama dengan Immanuel Kant yakni alam pikir Jerman. Perbedaannya adalah Hans Kelsen membersihkan anasir moral yang digagas oleh Kant, dalam teori hukum positif, sekaligus mengkritik secara lugas ketaatan atas perintah dari John Austin (ketaatan itu tidak berdasar norma yuridis yang muncul secara internal).
  2. Dalam perkembangannya muncul H.LA. Hart (1961) yang mengkritik validitas Grundnorm Hans Kelsen. Norma dasar atau grundnorm dikritik terlihat metafisis dan tak jelas objek rasionya. Dengan mengikuti cara berpikir Immanuel Kant, apakah norma dasar (grundnorm) dihasilkan dari objek rasio murni, rasio praktis, atau rasio moralitas penilaian (judgement)? Kelsen mengajukan Grundnorm sebagai presuposisi berbentuk asas pacta sunt servanda (kebebasan berkontrak), yang didalilkan secara abstrak dari keseluruhan hirarki (stufenbau), the hierarchical norm, atau norma berjenjang.
  3. Titik nadlir dari Grundnorm terdapat pada keabsahan perjanjian internasional bahwa bila terjadi perikatan antar negara maka muncul pertanyaan: Apakah Grundnorm dari suatu perjanjian internasional? Bagaimana bila suatu negara yang terikat perjanjian itu mengalami revolusi atau kudeta? Apakah Grundnorm yang dibentuk atas fakta kudeta itu memiliki keabsahan normatif?
  4. Teori hukum positif gagal menjawab daya tahan Grundnorm tersebut. Ajaran Hukum Murni berupa Teori Hukum Positif kurang mendalam dan merupakan teori skillful, teori yang praktis digunakan oleh ahli hukum doktrinal (jurist) dan tidak perlu kajian filsafat mendalam. 
  5. Teori skillful berarti suatu kerangka teori yang digunakan untuk bersiasat dan mencari pembenaran yuridis atas suatu kasus. Meskipun idealnya hukum merupakan seni berpikir tanpa pretensi untuk mengabdi kepada pemberi kerja.
  6. Hart mengenalkan ultimate recognition of law. Validitas hukum ditentukan oleh objektivitas dalam dunia realitas. Bukan hanya ditentukan oleh validitas (keabsahan) norma yuridis dan Grundnorm yang dikenalkan oleh Hans Kelsen. Suatu hirarki norma tidaklah menjamin kebenaran objektif, tapi suatu norma dalam peraturan ditentukan oleh rekognisi terhadap kondisi objektif dalam praktek hukum. Dunia objektivitas yang dikenalkan Hart melalui ultimate recognition of law memberikan warna baru melalui diskursus Positivisme-Logis dalam filsafat hukum Amerika. 
  7. Perdebatan Etika dan Hukum masih mewarnai berbagai varian dalam Filsafat Hukum. Di tengah pusaran perdebatan muncul perkembangan internal yang lebih moderat yakni Filsafat Hukum sebagai filsafat umum yang diterapkan pada fenomena hukum. Mark van Hoecke dari Belgia berupaya mendamaikan perdebatan teritorial Filsafat Hukum, baik Filsafat Hukum yang tumbuh dari tradisi filsafat Jerman maupun tradisi filsafat Amerika. Jan Gijssels dan Mark van Hoecke (1982) serta Bruggink mengambil sebagian perkembangan filsafat secara umum untuk membatasi ruang lingkup atau objek Filsafat Hukum, antara lain seperti: Ontologi hukum, Epistemologi hukum, Aksiologi hukum, Ideologi hukum, Teleologi hukum, Teori dari ilmu hukum, termasuk meta-teori atas Teori Hukum dan Dogmatika Hukum, serta Logika Hukum.
  8. Ruang lingkup Filsafat Hukum itu berawal dari DHM Meuwissen (Belanda) yang mengenalkan teritorial hukum tersendiri yakni Filsafat Hukum, Teori Hukum, Dogmatik Hukum, dan praktek hukum
  9. Pasca tahun 1980- an, JJH Bruggink dan Mark van Hoecke hadir mengelaborasi objek Filsafat Hukum berdasar Ilmu Hukum doktrinal (Jurisprudence). Objek Filsafat Hukum berhaluan positivisme hukum berobjek landasan dan batas-batas kaidah hukum. Tujuan filsafat hukum ini bersifat teoritis, perspektifnya internal bersumber dari Ilmu Hukum (Jurisprudence) itu sendiri, teori kebenaran yang dianut adalah teori pragmatik, dan proposinya bersifat normatif dengan mengutamakan proposisi normatif dan evaluatif.
  10. Kedudukan Filsafat Hukum dirumuskan secara hati-hati oleh Bruggink dan Hoecke dengan mewarisi Positivisme-Yuridis. Teori kebenaran pragmatik bermakna suatu kaidah hukum yang terbuka pada perdebatan filsafat dan tidak ditutup begitu saja (closed system) dengan argumentasi kekuasaan (baik atas nama kekuasaan hakim, kekuasaan polisi/jaksa, dan kekuasaan profesi advokat).
  11. Objek Filsafat Hukum pada mazhab ini semata tertuju pada upaya menjawab pertanyaan mengenai apa yang dimaksud dengan kaidah hukum, apakah landasan dan batasan-batasannya? Kaidah hukum adalah substansi hukum yang terdapat di dalam pasal. Pasal-pasal itu mengandung kaidah hukum (norma yuridis) yang disebut Kaidah Perilaku (larangan, fakultatif, izin, perintah) dan kaidah hukum kewenangan (mandat, delegasi, atribusi). 
  12. Perdebatan rasional tentang objek filsafat hukum rentan membeku di ruang dogmatik, sehingga layak dibuka kembali melalui ontologi hukum, epistemologi hukum, dan seterusnya, yang diringkas dan dicontohkan pada bagian berikut ini.

BAGIAN KE-18: ONTOLOGI HUKUM

  1. Ontologi Hukum merupakan hakekat hukum termasuk hubungan Hukum dan Moral. Misalnya, suatu pasal mengatur tentang ‘barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, dihukum penjara 20 tahun’. 
  2. Hakekat hukum yang direfleksikan secara fundamental dari pasal tersebut mengambil gagasan filsafat Positivisme-Logis (H.LA. Hart). Keseluruhan frasa dalam pasal itu tidak bermakna ‘dilarang membunuh’ sebagaimana tumbuh dalam hukum adat, hukum agama, dan hukum kodrat/alam Abad Pertengahan. 
  3. Negara hadir untuk memproses manusia yang membunuh manusia lain berdasarkan kekuasaan etis yang adil, otoritas berdasar norma kewenangan untuk memulihkan suasana menjadi ketertiban yang adil, serta legitimasi publik melalui persidangan yang fair.

BAGIAN KE-19: EPISTEMOLOGI HUKUM

  1. Epistemologi hukum mempelajari sejauhmana pengetahuan hukum dimungkinkan diperoleh dari kasus dan peraturan perundang-undangan. Misalnya, terdakwa dalam kasus terorisme diputuskan pidana penjara 5 (lima) tahun. Pertanyaan epistemologisnya, apakah diskursus pendisiplinan tubuh terdakwa teroris melalui lembaga pemasyarakatan menjamin ketidakberulangan perilaku teror
  2. Iqrak Sulhin (2016) meneliti lembaga pemasyarakatan secara epistemologis, disiplin tubuh melalui pemenjaraan disebut penologi punitif dan tidak menjamin akan memulihkan perilaku terpidana. 
  3. Negara hukum yang demokratis membutuhkan penologi konstitutif, semisal restorative justice dalam bentuk membayar kerugian kepada korban teror. Pemenjaraan bukanlah satu-satunya keabsahan diskursus penologi untuk menuntaskan nalar dan perilaku teror.

BAGIAN KE-20: AKSIOLOGI HUKUM

  1. Aksiologi hukum mendalami hakekat hukum yang direfleksikan mendalam melalui pertanyaan apakah keadilan itu berarti ada perlakuan yang sama? Jacques Derrida (1992) dalam Force of Law dan diulas dalam konteks filsafat hukum Indonesia oleh Nobertus Jegalus (2011) menyatakan bahwa hukum itu sebagai kata kerja dan bukan hukum sebagai kata benda. 
  2. Dalam diskursus hukum sebagai kata kerja, hukum mengalir dari keadilan. Keadilan yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan adalah keadilan terprogram oleh penguasa, sehingga keadilan sejati yang bergerak dinamis pada masyarakat akan terus menerus menguji keabsahan dari keadilan terprogram dalam hukum positif itu. 
  3. Keadilan terprogram tidak selalu identik dengan perlakuan yang sama, tetapi dalam suatu kasus tertentu, tuntutan keadilan di luar hukum positif akan terus mengalir hingga menjadi diskursus latensi. 
  4. Diskursus latensi tentang keadilan akan muncul kembali (reconstitution) dalam gelombang sejarah, mirip sebagai Roh Absolut Hegel, dan diselesaikan dengan kompromi politik.

BAGIAN KE-21: SEKALI LAGI TENTANG HIRARKI

  1. Carl Joachim Friedrich menyatakan, Aristoteles tak pernah membahas filsafat hukum secara spesifik tetapi muncul filsafat hukum tentang legislasi. Begitupula dengan Aristoteles yang menulis tentang legislasi normatif yang nantinya berkembang menjadi theory of legislation dari Jeremy Bentham (2016). Legislasi positif berkaitan erat dengan hubungan parlemen, negara, legislator, dan rakyat.
  2. Cara pandang filsafat yang luas dan mendalam akan memproduksi pengetahuan filsafat hukum yang lebih lentur. Objek filsafat hukum yang kaku nampak bila filsafat hukum semata-mata disempitkan pada pembahasan legislasi-normatif dengan cara pandang (perspektif) yang sempit (legis-positivistik; legisme; positivisme-yuridis). Pandangan ini sangat berbahaya dalam pengembangan Filsafat Hukum di Indonesia.
  3. Objek Filsafat Hukum yang tumbuh dari positivisme yuridis cenderung menilai bahwa bangunan kefilsafatan (ontologi, epistemologi, aksiologi, ideologi hukum, dan lain sebagainya) berasal dari Ilmu Hukum (jurisprudence). Ilmu Hukum normatif-legisme ini diidentikkan sebagai sumber pengetahuan bagi Filsafat Hukum, sehingga sulit dibedakan mana aturan yang adil dan mana aturan yang legitimasi. Filsafat Hukum menjadi sistem tertutup (closed system) dan hanya bisa dipahami secara eksklusif oleh kalangan jurist. Filsafat Hukum akan mengalami kemunduran dan gagal merefleksikan landasan kaidah-kaidah dalam suatu norma dalam pasal-pasal hukum positif.
  4. Di lain pihak, objek Filsafat Hukum yang tumbuh dari positivisme-logis cenderung menilai bahwa bangunan kefilsafatan Ilmu Hukum berasal dari dunia objektif. Dunia objektif itu telah mengalami reduksi berupa metode dan sistematisasi dalam lingkup birokatik, ajudikasi, dan administatif. Sulit untuk dibedakan mana putusan administratif, putusan yuridis, putusan berbasis diskresi, dan mana putusan yang ditaati oleh kehendak publik. Filsafat Hukum akan mengalami kemunduran dan gagal merefleksikan landasan kaidah berdasarkan pengalaman di peradilan dan non-peradilan.

BAGIAN KE-22: SEKALI LAGI TENTANG KO-EKSISTENSI

  1. Objek Filsafat Hukum memerlukan pendalaman dalam bentuk ko-eksistensi terutama untuk mengatasi ketertutupan Ilmu Hukum (dalam artian jurisprudence yang dogmatik). Hakikat hukum dapat dipelajari secara mendasar berawal dari ko-eksistensi manusia. Hukum dibuat untuk manusia, apapun sumber pengetahuannya baik bersumber dari pewahyuan, humanisme, revolusi, borjuasi, dan seterusnya.
  2. Ko-eksistensi manusia itu secara epistemologis membutuhkan ko-eksistensi antara pandangan Positivisme (legisme; positivisme yuridis; positivisme logis) dan Ilmu Hukum sebagai ilmu sosial (rasionalisme, empirisme, sampai dengan strukturalisme atau pasca modernisme). Objek Filsafat Hukum secara positivistik tertuju pada kegiatan intelektual untuk meneliti landasan dan keabsahan dari suatu norma yuridis, sambil terbuka dengan sumber pengetahuan filsafat lainnya.
  3. Penyelesaian kasus yang dijumpai di peradilan memang absah secara yuridis-normatif, tapi belum tentu legitim di hadapan publik dan sejarah. Inilah kiranya jalan panjang Filsafat Hukum untuk kembali membuka diri dengan diskursus filsafat yang diskontinu, yakni keabsahan fakta dan norma. Pertempuran antara fakta dan norma ditengahi dengan law as social mediation. Habermas menemukan jalan rekonstruksi Filsafat Hukum bahwa Hukum merupakan kerangka kerja untuk mendorong pewujudan Negara Hukum Deliberatif (Hardiman,2009).
  4. Sumbangan Filsafat Hukum di abad XXI antara lain bisa difungsikan untuk meneliti problem common law di Amerika (era Trumps yang pertama) yang aktif menerbitkan keputusan administrasi tentang pembatasan imigran muslim meskipun akhirnya dibatalkan oleh institusi peradilan berdalih diskursus kebebasan. Sedangkan problem civil law di Indonesia (era Jokowi) antara lain publik lebih aktif menunggu hasil sidang terbuka peradilan yang kontroversial daripada menunggu hasil sidang RUU KUHP yang tak pernah kunjung usai hingga tahun 2017. Kuasa presiden dalam hal legislasi justru menjadi acuan reflektif dalam common law system, sedangkan kuasa peradilan menjadi acuan reflektif dalam civil law system. Dunia hukum sedang berjalan terbalik-balik dan Filsafat Hukum hadir untuk merefleksikannya.

BAGIAN KE-23: GRUNDNORM DAN IDEOLOGI

  1. Kita mengingat kembali doktrin-doktrin pada masa kuliah. Perdebatan lama tentang Grundnorm (norma dasar, dan makna sejenis) yang dikaitkan dengan Pancasila dan produk hukum dari legislasi positif. Diskursus Grundnorm lahir dari pemurnian teoritik yang dilakukan oleh Hans Kelsen. Dilatarbelakangi kondisi politik yang despotik masa Nazi-Hitler. Sehingga Ajaran Hukum Murni bersih dari anasir politik, ekonomi, sampai dengan politik hukum. Bentuk forma dari Ajaran Hukum Murni adalah hukum positif yang tertulis. Kebenaran diluar teks hukum tertulis, tidak diakui eksistensinya.
  2. Ajaran Hukum Murni yang dilandasi presuposisi norma berujung pada Grundnorm sebagai norma hipotetik yang mengalir ke norma peraturan di bawahnya secara hirarkhis. Apakah Pancasila merupakan Grundnorm? Hal ini tak pernah bisa dijawab secara pasti. Pancasila yang bersifat ideologis tidak sebangun dengan presuposisi Grundnorm yang bersih dari anasir politik, ideologis dan metafisika-yuridis lainnya.
  3. Penerapan teoritik atas Grundnorm diperoleh dari suatu perdebatan relativistik untuk menentukan isi/substansi dari Grundnorm. Kerangka teoritik Hans Nawiasky yang dipengaruhi Kelsen, yakni piramida hukum (theorie von stufenbau der rechtsordnung) lebih mengemuka sebagai validitas mata rantai hirarkis peraturan. Konsep Grundnorm direduksi oleh Nawiasky ke dalam staatsfundamentalnorm yang diletakkan pada konstruksi negara-bangsa, yakni: norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm), aturan dasar negara (staatsgrundgesetz), undang-undang formal (formell gesetz), peraturan pelaksanaan dan aturan otonom (verordnung en autonome satzung).\
  4. Attamimi menggunakan teori Hans Nawiasky untuk menjelaskan kedudukan TAP MPR, Batang Tubuh UUD’45, dan konvensi ketatanegaraan sebagai aturan dasar negara (staatsgrundgesetz), sedangkan Pancasila (Pembukaan UUD 1945) merupakan norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm). 
  5. Gagasan besar Kelsen dan Nawiasky ini dipositivisasi kedalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 yang menetapkan sumber hukum dan tata peraturan perundang-undangan. Jimly dan Ali Safa’at (2006) mengajukan pendapat bahwa Pancasila dalam Pembukaan UUD NRI 1945, Pancasila yang terdapat Pembukaan UUD NRI 1945, dan batang tubuh UUD’45 tidak dapat dipisahkan. Sehingga Pancasila, Pembukaan UUD’45, batang tubuh UUD’45 merupakan aturan dasar negara (staatsgrundgesetz).
  6. Lalu apa yang menjadi norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm), sebagai presuposisi yang melandasi seluruh hirarki peraturan, mulai dari konstitusi sampai dengan aturan yang otonom? Spirit revolusi dalam teks Proklamasi 17 Agustus 1945 lebih tepat sebagai norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm) yang sebangun dengan konsep Grundnorm. Di lain pihak sejarah kedudukan TAP MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan juga tidaklah sederhana. Dalam rentang sejarah hukum yang bersifat dogmatik, UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak memasukkan TAP MPR ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan.
  7. Kurun waktu 7 (tujuh) tahun berikutnya UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan memasukkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) kedalam hirarki peraturan perundang-undangan.
  8. Kita lihat seksama Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan: “Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.”
  9. Sejumlah individu dan lembaga perkumpulan telah menguji validitas norma yang mengatur kedudukan TAP MPR kepada Mahkamah Konstitusi, antara lain Forum Kajian Hukum dan Konstitusi dan Yayasan Maharya Pati. Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak berwenang menguji TAP MPR terhadap UUD NRI 1945, karena kewenangannya dibatasi pada pengujian Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945 sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang.
  10. Peristiwa hukum yang melanda TAP MPR ini bukanlah sekumpulan wacana (discourse) yang dilapisi peristiwa yang diam dan konstan. Mengikuti istilah Foucault (2004) dalam The Archaeology of Knowledge fenomena ini disebut diskontunitas (retakan, ketidaksinambungan; rupture). Batasan yuridis tentang TAP MPR mulai TAP MPRS masa Presiden Soekarno sampai dengan TAP MPR masa reformasi telah membuka retakan-retakan dalam sejarah yang selama ini ditutupi oleh rezim.
  11. Peristiwa politik hukum terjadi pada pengujian atas TAP MPRS terhadap UUD NRI 1945, tetapi TAP MPRS tersebut berada diluar kesepakatan politik atas keberlakuan positifnya. Yayasan Maharya Pati mengajukan pengujian atas norma preskriptif Bab II Pasal 6 TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno, yang menyatakan: ”Menetapkan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir. Soekarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pejabat Presiden”.
  12. Dampak norma preskriptif ini adalah penguasa pada masa itu menempatkan Soekarno sebagai “tersangka politis”, terampas hak politiknya, tetapi diakui sebagai pahlawan nasional. Validitas norma yang mempositivisasi TAP MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan gagal menjamin hak politik warga negara, tetapi lolos dari pengujian norma hukum yang hirarkhis.
  13. Kedudukan TAP MPR dan TAP MPRS berada dibawah UUD NRI 1945 dan diatas Undang-Undang. Hirarki peraturan perundang-undangan menimbulkan polemik politik, ideologis, dan konstitusionalitas peraturan perundang-undangan itu sendiri. Ajaran hukum murni (reine rechtslehre) Hans Kelsen menegaskan batasan keilmuannya sebagai Teori Hukum Positif. Ajaran Hukum Murni membentuk presuposisi norma yang hipotetis dan disebut sebagai Grundnorm.
  14. Nawiasky melanjutkan gagasan Ajaran Hukum Murni (Reine Rechtslehre) dalam bentuk hirarki norma. Disinilah kiranya penghampiran teoritik yang hirarkhis menjadi wacana dominan untuk menilai keabsahan TAP MPRS dan TAP MPR yang berlaku. Problem politik dan ideologis TAP MPRS seperti TAP MPRS tentang PKI, status Presiden Soekarno, sampai dengan status Timor-Timor gagal diselesaikan oleh institusi Mahkamah Konstitusi. 
  15. Keabsahan norma menjadi relativistik dan kembali ke arena kontestasi politik parlemen. Kerangka teoritik Ajaran Hukum Murni mempunyai keterbatasan yakni karakter pemurnian hukum dari unsur non yuridis. Pendekatan Ajaran Hukum Murni lebih bersifat skillful, ibarat permainan catur, hanya para pemain catur yang paham permainan diatas papan catur. Teori Hukum Positif yang dilahirkan oleh Ajaran Hukum Murni bersifat legisme-positivistik, sehingga hanya aturan hukum tertulis sebagai kebenaran mutlak.
  16. Paradigma ilmu sosial perlu dianjurkan dalam suatu pola ko-eksistensi. Titik berangkat analisis berawal dari premis induksi, dan bukan premis norma preskriptif. Peristiwa politik yang melingkupi TAP MPRS dan TAP MPR dapat ditimbang sebagai premis mayor, barulah kemudian menempatkan norma preskriptif TAP MPR sebagai premis minor. Konklusi yang dihasilkan akan bersikap kritis terhadap kedudukan TAP MPR kedepan nanti dalam sistem norma peraturan perundang-undangan.
  17. Produk hukum TAP MPRS yang masih berlaku adalah TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara RI bagi PKI dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme, serta TAP MPRS No. XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera. Sedangkan TAP MPR masa reformasi yang masih berlaku adalah TAP MPR-RI tentang politik ekonomi dalam rangka demokrasi ekonomi, penyelenggara negara yang bersih dan bebas KKN, etika kehidupan berbangsa, visi Indonesia Masa Depan, rekomendasi arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan KKN, dan pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.
  18. TAP MPR/S yang masih berlaku tersebut memuat aspirasi politik dan keadaan sosiologis-historis. Pembubaran PKI dan penyebaran ideologi Marxisme-Leninisme merupakan bagian dari sejarah elit politik, sekaligus kontekstual untuk divalidasi kebangkrutan ideologisnya. Komunisme Indonesia, sebagai varian Marxisme-Leninisme, berbeda dengan varian Marxisme lainnya yang turut menyumbangkan pergerakan revolusi. Tjokroaminoto dengan sosialisme relijius, Hadji Misbach dengan islamisme-komunisme, sampai dengan sosialisme yang terfragmentasi ke Partai Sosialis Indonesia, dan Partai Murba (Tan Malaka, M. Yamin).
  19. Di lain lintasan sejarah TAP MPR masa reformasi fokus pada aspirasi politik yang menata ekonomi pembangunan Indonesia, diperkuat dengan desakan gerakan moral bebas KKN, dan pandangan visioner Indonesia Masa Depan dengan berbagai varian gerakan sosial (agraria, sumber daya alam). 
  20. Dalam analisis Ajaran Hukum Murni dan Teori Piramida Hukum, TAP MPRS merupakan aturan dasar negara (staatsgrundgesetz) namun sekaligus memuat agenda politik dan gerakan sosial yang variatif. Hal ini tidak mungkin diadaptasi oleh Ajaran Hukum Murni, tapi butuh koeksistensi dengan pendekatan sosiologi hukum bahwa TAP MPR merupakan hukum yang menggerakkan perubahan sosial ditingkat makro-struktural sampai dengan interaksi para aktor di tingkat mikro.
  21. Posisi TAP MPR sebagai aturan dasar negara (staatsgrundgesetz) bersamaan dengan UUD NRI 1945 berdampak pada status hukum yang sulit ditentukan kedudukannya dalam hirarki atau piramida peraturan perundang-undangan. Mengikuti nalar piramida hukum, maka Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai norma fundamental negara sekaligus menjadi presuposisi yang melandasi keberlakuan TAP MPR. Secara horisontal, TAP MPR divalidasi oleh Pancasila sebagai cita hukum (Rechtsidee) yang mengalir dari Pembukaan sampai dengan Batang Tubuh UUD NRI 1945.
  22. Pendapat yang legis-positivistik ini perlu divalidasi secara ko-eksistensi dengan ilmu hukum sosiologis. TAP MPR tidak perlu dipositivisasi secara absolut dalam hirarki/piramida peraturan perundang-undangan, tetapi menjadi konvensi ketatanegaraan yang dinamis untuk mengalirkan kuasa deliberatif rakyat. Kondisi ini untuk memberikan kepastian bagi publik dan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian UU terhadap UUD NRI 1945, sekaligus memastikan kekuasaan MPR terlaksana sesuai kewenangannya: (i) perubahan UUD, (ii) pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, (iii) pemilihan Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk mengisi kekosongan jabatan, atau (iv) pelantikan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
  23. Produk peraturan perundang-undangan yang formal (formell gesetz) yakni UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan perlu direvisi dengan menghapus kedudukan TAP MPR sebagai peraturan perundang-undangan dibawah UUD NRI 1945. Kedudukan TAP MPR cukup menjadi konvensi ketatanegaran yang diuji secara politik-deliberatif oleh rakyat, bukan melalui uji materiil melalui Mahkamah -- apalagi terfragmentasi sebagai produk hukum yang diuji dalam kancah relativisme politik dan kontestasi politik.
  24. TAP MPR mengalami diskontinuitas melalui UU No. 10/2004 maupun UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ini disebabkan oleh faktor penggunaan Ajaran Hukum Murni pada tahun 1966. Ajaran Hukum Murni berupa Teori Hukum Positif yang mengenalkan doktrin yang legisme-positivisme untuk mengatasi diskursus Marxisme-Leninisme di Indonesia. Tertib peraturan berbentuk piramida dari Nawiasky, yang dipengaruhi oleh Ajaran Hukum Murni, memberi alas kedudukan bagi TAP MPR sebagai norma fundamental negara.
  25. Kedudukan TAP MPR memerlukan pendekatan yang koeksistensi, yakni Ajaran Hukum Murni dan Hukum Sosiologis. Di satu sisi TAP MPR memuat norma preskriptif, disisi lain memuat aspirasi politik yang deliberatif. Koeksistensi dari Ajaran Hukum Murni dan hukum sosiologis adalah TAP MPR merupakan norma fundamental negara, konvensi ketatanegaraan yang demokratis, produk politik/kebijakan transisi untuk dipositivisasi kedalam Undang-Undang.
  26. Kedudukan TAP MPR cukup diakui sebagai norma fundamental negara, konvensi ketatanegaraan, dan menjadi presuposisi atas UU sebagai aturan formal. Konsekuensinya, ketentuan Pasal 7 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur kedudukan TAP MPR sebagai jenis dan hirarki peraturan, seharusnya dihapus dan TAP MPR dimasukkan kedalam konvensi ketatanegaraan. Pilihan terbatas lainnya adalah TAP MPR digolongkan sebagai produk hukum selain dalam jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan.

BAGIAN KE-24: GAGASAN BERHUKUM DELIBERATIF

  1. Bagian ke-1 sampai dengan Bagian ke-24 dalam tulisan ini merupakan langkah awal untuk masuk ke labirin gagasan hukum komunikatif. Ringkasan seluruh bagian itu ditulis ulang untuk menyiapkan mata dan napas pada Bagian ke-25 yang mulai merayapi teks Jurgen Habermas tentang hukum.
  2. Filsafat Hukum merupakan bagian dari filsafat yakni kegiatan intelektual yang reflektif untuk melakukan upaya metodis dan sistematis terhadap fenomena atau gejala hukum yang nampak di hadapan kita. Pembahasan atas suatu masalah hukum dalam perspektif Filsafat Hukum akan menghasilkan kegiatan intelektual yang beragam, tergantung pada aliran filsafat yang sudah tumbuh-kembang selama ribuan tahun. 
  3. Objek Filsafat Hukum ditentukan oleh mazhab/aliran Filsafat yang dinamis dari zaman ke zaman. Dilain pihak tradisi Filsafat Hukum yang murni dibentuk dari kajian filsafat, seringkali menjadi parasit bagi penganut Ilmu Hukum yang dogmatik. Pandangan ini menyatakan bahwa objek Filsafat Hukum bukanlah dibentuk dari tradisi filsafat, melainkan dibentuk dari epistemologi hukum itu sendiri. Dampaknya, objek Filsafat Hukum atau disebut dalam tulisan ini sebagai "filsafat ilmu hukum", terfokus pada landasan kaidah-kaidah peraturan perundang-undangan atau landasan suatu praktek hukum baik di peradilan maupun non-peradilan.
  4. Objek Filsafat Hukum memerlukan pendalaman dalam bentuk ko-eksistensi terutama untuk mengatasi ketertutupan Ilmu Hukum (dalam artian jurisprudence). Ko-eksistensi manusia itu secara epistemologis membutuhkan ko-eksistensi antara pandangan Positivisme (legisme; positivisme yuridis; positivisme logis) dan Ilmu Hukum sebagai ilmu sosial (rasionalisme, empirisme, sampai dengan strukturalisme dan pasca modernisme). Objek Filsafat Hukum secara positivistik tertuju pada kegiatan intelektual untuk meneliti landasan dan keabsahan dari suatu norma yuridis, sambil terbuka (inklusif) dengan sumber pengetahuan filsafat lainnya.
  5. Filsafat Hukum kembali membuka diri dengan diskursus filsafat yang diskontinu, yakni keabsahan fakta dan norma. Pertempuran fakta dan norma ditengahi dengan law as social mediation. Objek Filsafat Hukum pada buku ini disimpulkan akan menjelajahi perubahan sistem hukum secara fundamental.
  6. Dengan menimbang epistemologi yang politis atas fenomena civil law system dan common law system Abad XXI, Filsafat Hukum membuka ruang diskusi baru yaitu Negara Hukum Deliberatif sebagai praktik diskursif untuk menuntaskan perdebatan keabsahan hukum baik keabasahan hukum berbasis fakta maupun norma yuridis.
  7. Salah satu analis “negara hukum deliberatif” berhaluan sosiologi adalah Mathieu Deflem (2013). Deflem mungkin belum dikenal luas oleh pegiat hukum di Indonesia. Ia seorang associate professor pada Departemen Sosiologi, University of South California. Gagasan Mathieu Deflem tak bisa dilepaskan dari bayang-bayang teori hukum Jürgen Habermas. Di Indonesia nama Jürgen Habermas dikenal sebagai filsuf teori kritis. Sekitar tahun 1996 Habermas menulis buku penting tentang teori hukum yakni Faktizität und Geltung atau Between Facts and Norms (Fakta dan Keabsahan Normatif). Karya ini amat monumental karena Habermas meneliti filsafat hukum dan sosiologi hukum.
  8. Budi Hardiman adalah intelektual filsafat di Indonesia yang mengenalkan karya Habermas tersebut dari sisi negara hukum, demokrasi deliberatif, dan teori-teori kedaulatan yang melampaui negara hukum klasik. Buku karya Budi Hardiman banyak dikaji oleh peminat kajian filsafat dan politik daripada peminat studi hukum. Mengapa? Tulisan Budi Hardiman sulit menembus teori-teori hukum yang selama ini diajarkan di fakultas hukum dengan bobot doktriner yang tinggi. 
  9. Materi pengajaran filsafat hukum dan sosiologi hukum sendiri tidak banyak membahas spesifik teori hukum Habermas yang bersumber dari teori tindakan komunikatif. Saya membenarkan ungkapan Budi Hardiman bahwa membaca karya-karya Habermas cenderung sulit. Seolah-olah kita dilempar pada perbincangan teoritis yang sedang berjalan. Dalam buku Faktizität und Geltung Habermas mengajak kita membicarakan rekonstruksi filsafat hukum: hubungan antara moral dan hukum sejak masa Immanuel Kant yang mana sumber keduanya adalah kekuasaan sosial. Pada konteks pembahasan paradigma hukum, Habermas mengajak kita mengkritisi positivisme hukum, realisme hukum, dan hermeneutik hukum.
  10. Bergeser pada sosiologi hukum, Habermas mengajak pembaca untuk memahami Sistem (ala Parsons) dan rasionalisasi (ala Weber) hubungan antara Sistem dan Dunia-Kehidupan. Semuanya butuh waktu pembacaan berulang-ulang. Tulisan-tulisan Mathieu Deflem setidaknya mengurangi dahi kita berkerut. Ia mengawali perbincangan teoritis Habermas dengan konsep-konsep dan tesis-tesis tentang Teori Tindakan Komunikatif, terutama mengenai rasionalitas instrumental-kognitif dan rasionalitas komunikatif. Pembahasan konsep kunci tentang rasionalitas ini penting sekali dalam paradigma hukum.
  11. Saya menyarankan kepada pembaca untuk mengimbangi pembahasan semacam ini dengan banyak menelusuri karya-karya Satjipto Rahardjo dan Soetandyo Wignjoseobroto. Karena keduanya beberapa kali dalam tulisannya mengenalkan gagasan Habermas dalam penghampiran teori-teori sosiologis atas hukum. Mathieu Deflem selanjutnya mengajak kita untuk memahami dunia-kehidupan (lifeworld; lebenswelt), sistem, dan rasionalisasi hukum. 
  12. Budi Hardiman melukiskan dengan apik: hubungan antara pusat (sistem) dan pinggiran (dunia-kehidupan) itu seperti bendungan. Arus deras opini-opini publik mengalir dari pinggiran ke pusat dan pusat menyeleksinya dengan tipe-tipe penalaran warisan Trias Politica. Tentu Trias Politica dipahami sebagai tipe penalaran dan bukan institusionalisasi yang tetiba dicarikan padanannya seperti eksekutif adalah pemerintah pusat, dan seterusnya. 
  13. Deflem menyitir Habermas bahwa hubungan antara pusat dan pinggiran itu berlangsung kolonisasi dari Sistem atas dunia-kehidupan. Saya memfungsikan diskursus teoritis hukum ini untuk membahas kolonisasi Sistem atas Dunia-kehidupan di Desa setelah tulisan ini selesai ditulis.
  14. Gagasan berhukum deliberatif membutuhkan penelitian hukum doktrinal yang empiris. Sulit bagi kita memahami teori hukum Habermas tanpa penelitian yang berlangsung dari lapangan. Legitimasi hukum terletak pada rasionalitas komunikatif yang mau tidak mau harus kita tekuni pada lapangan empiris. 
  15. Sampai disini kita sama-sama memahami secara sederhana. Teori hukum Habermas mustahil dipahami dalam teori hukum yang sempit. Teoritisi hukum sekaliber Bruggink, apalagi gurunya seperti Mark van Hoecke dan Jan Gijssels, hanya sampai pada metode teori hukum yang interdisipliner. Teoritisi hukum yang beranjak dari "filsafat ilmu hukum" berujung pada penelitian hukum doktrinal: fokus pada asas, kewenangan, dan konsep-konsep doktrinal saja tanpa melakukan penelitian di lapangan.
  16. Perkembangan kontemporer tentang teori hukum Habermas yang mencakup legitimasi teori, tidak bisa dipisahkan dari kepentingan. Mempelajari filsafat hukum hanya bisa berlangsung ketika Anda berkepentingan melakukan penelitian hukum non-doktrinal dan berkali-kali melakukan wawancara atau dialog dengan subjek-subjek penelitian di lapangan.


***
DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa’at. 2006. Teori Hans Kelsen tentang Hukum. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Bentham, Jeremy. 2016. Teori Perundang-undangan: Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata, dan Hukum Pidana, Cetakan KeIV, Bandung: Nuansa Cendekia.

Bruggink, JJ.H. 2015. Refleksi tentang Hukum: Pengertian-pengertian Dasar dalam Teori Hukum, Cetakan ke-IV, diterjemahkan B. Arief Sidharta, dari Rechts-Reflecties, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Deflem, Mathieu. 2013. “The Legal Theory of Jürgen Habermas: Between the Philosophy and the Sociology of Law”, dalam Law and Social Theory, Second Edition, Reza Banakar dan Max Travers (ed.). Oxford, UK: Hart Publishing.

Derrida, Jacques. 1992. Force of Law: ‘The Mystical Foundation of Authority’, New York: Routledge.

Dworkin, R.M. 2013. Filsafat Hukum, diterjemahkan oleh Yudi Santoso, Yogyakarta: Merkid Press.

Friedrich, Carl Joachim. 2004. Filsafat Hukum: Perspektif Historis, terjemahan Raisul Muttaqien, dari The Philosophy of Law in Historical Perspective, Bandung: Penerbit Nuansa dengan Penerbit Nusamedia.

Foucault, Michel. 2004 (1972). The Archaeology of Knowledge. London: Routledge Classics.

Gijssels, Jan dan Mark van Hoecke. 1982. Wat is Rechtsteorie?. Antwerpen: Kluwer Rechtswetenschappen.

Habermas, Jürgen. 1996. Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, second printing, diterjemahkan William Rehg dari Faktizität und Geltung: Beiträge zur Diskurstheorie des Rechts und des demokratischen Rechtsstaats. Cambridge, Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology.

Hardiman, F. Budi. 2009. Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas’, Cetakan Ke-5. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Hart, H.L.A. 1961. The Concept of Law. Oxford: Clarendon Press.

Huijbers, Theo. 1995. Filsafat Hukum, Cet. Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Kanisius.

-------------------. 1984. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Cet. Kedua. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius.

Jegalus, Norbertus. 2011. Hukum Kata Kerja: Diskursus Filsafat tentang Hukum Progresif. Jakarta: Penerbit Obor.

Kant, Immanuel. 1887. The Philosophy of Law: An Exposition of The Fundamental Principles of Jurisprudence as The Science of Right, terjemahan W. Hastie, B.D., diterjemahkan dari Rechtslehre, Edinburgh, T & T Clark, 38 George Street.

Kelsen, Hans. 1970. The Pure Theory of Law, diterjemahkan Max Knight dari Reine Rechtslehre, unveränderter nachdruck. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press.

----------------. 1983. Reine Rechtslehre, unveränderter nachdruck. Wien: Franz Deuticke.

Sulhin, Iqrak. 2016. Diskontinuitas Penologi Punitif: Sebuah Analisis Genealogis terhadap Pemenjaraan, Jakarta: Prenadamedia Group.

Wignjosoebroto, Soetandyo. 2002. Hukum: Paradigma, Metode, dan Masalah. Jakarta: Perkumpulan HUMA.



Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

OPINI Filsafat Hukum: Bagian Ke-2 Menziarahi Ius, Lex dan Codex

Day 1 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 12 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Lady Gaga: Catatan tentang Manajemen Identitas Publik

Day 9 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 14 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Mazhab Timoho: "Belajar Ilmu Pemerintahan Bukan Untuk Mencetak Tukang Ketik di Kantor Pemerintahan"

Day 3 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)