[Calon Buku] Hukum Komunikatif by Anom Surya Putra
Hukum Komunikatif
Karya: Anom Surya Putra
~ Naskah (calon) buku yang ditulis dalam keadaan "chaotic", non-sistematis, sedikit mengandung aforis atau metafor, tidak bermanfaat bagi praktisi hukum, dan mungkin berguna bagi pemula yang hendak membaca "hukum" dengan cara rebahan, atau bacaan ringan bagi individu yang mati-langkah dengan dunia hukum yang digeluti selama ini ~
I. Bangun dari Tidur Panjang
- Secangkir kopi dan teh berdampingan di meja kecil. Gemericik air dari pahatan pancuran air menemani cairan yang tersimpan di dalam cangkir kopi dan teh. Mata sembab setelah menatap ribuan kalimat di layar komputer. Jemari bergerak secara senyap, memindahkan visual pikiran dan audio batin ke dalam rangkaian gagasan. Awal. Baru memulai. Chaotic. Bangun dari tidur yang panjang.
- Terlalu banyak minum kopi dan teh sungguh memicu asam lambung. Cinta yang mendalam terhadap kopi dan teh terganggu dengan asam lambung yang bergerak maraton di dalam tubuh. Kurang bijak meminum kopi dan teh sebelum sarapan? Filsafat, yang berasal dari frasa Yunani 'philos' dan 'sophia', bermakna cinta mendalam yang bijaksana. Lebih dari sekadar mencintai kebijaksanaan, ia adalah petualangan tiada akhir dalam pencarian kebenaran melalui rasionalitas manusia. Dalam pelukan cinta yang dalam terhadap kebijaksanaan, filsafat menyelami kedalaman rasionalitas, mengasah kehalusan akal, dan secara perlahan menyingkap tabir realitas. Sebuah perjalanan abadi yang mengajak kita untuk selalu bertanya, berpikir, dan merasa lebih dalam.
- Dalam cinta yang mendalam dan bijaksana terhadap rasionalitas, filsafat hukum dipertanyakan: Apakah ia hanyalah benteng eksklusif dogma atau ruang terbuka bagi kebijaksanaan?
- Kaki mengayun cepat di bangunan mall. Ada taman bunga dan pancuran air pula. Deretan barang memanggil mata untuk meluapkan dogma-dogma belanja dengan potongan harga tinggi. Taman itu memperdalam cuitan di dalam pikiran tentang filsafat hukum. Filsafat hukum, ibarat taman luas yang dihiasi bunga-bunga kebijaksanaan, namun terkadang terkurung dalam pagar dogma yang tinggi. Pertanyaan mendasarnya adalah: akankah kita membiarkan taman ini terbuka, merangkul setiap tunas baru pemikiran, atau tetap tersekap dalam batasan eksklusif ilmu hukum yang kaku?
- Dalam ranah Etika, Filsafat Hukum berdiri sebagai pilar moral, namun seringkali tenggelam dalam lautan etiket yang dangkal. Seperti pelita yang berusaha menerangi jalan kebenaran, filsafat hukum harus melampaui sekadar tata cara dan sopan santun harian seperti makan steak di mall.
- Siang itu terik. Tubuhku masih muda belia. Tersesat di hutan beberapa waktu. Hilang arah dan hilang kontak dari kerumunan siswa. Pohon besar tak bernama kusentuh lima menit. Filsafat Hukum adalah sebuah pohon besar di hutan Etika, akarnya menggali dalam mencari kebenaran moral. Namun di permukaan, ranting-rantingnya sering kali diabaikan, hanya dihiasi oleh dedaunan etiket yang sekadar indah dipandang mata tapi rapuh dan mudah luruh. Apakah kita berani menggali lebih dalam, melampaui kulit luar, untuk menemukan inti kebijaksanaan yang sesungguhnya?
- Laut dekat pulau Pramuka tetap saja dalam. Batu karangnya menarik pejalan kaki dari belahan provinsi lain. Menyelam? Itu sudah biasa dilakukan penduduk setempat. Bayangkan tubuh menyelam dan menyentuh batu karang di kedalaman sekian meter. Filsafat Hukum menyelami kritik atas rasio murni, praktis, dan penilaian moral, membentuk hukum sebagai proposisi metafisis yang berada di bawah langit moral. Namun, perdebatan etika dan hukum terus berlanjut dalam ranah sains, terkotakkan dalam Positivisme-yuridis dan Positivisme-Logis.
- Usai menyelam, minggir sebentar ke tepian pantai. Melihat samudra. Filsafat Hukum adalah sebuah samudra luas tempat gelombang rasio murni, rasio praktis, dan rasio penilaian moral saling bertabrakan. Di atas permukaan, langit moral menaungi hukum sebagai proposisi metafisis. Sementara itu, perdebatan antara etika dan hukum menyerupai dua sungai besar yang mengalir menuju lautan sains, membawa aliran Positivisme-yuridis dan Positivisme-Logis yang terus bergelombang tanpa henti.
- Matahari mulai bergerak ke belahan dunia lain. Pantai mulai memasuki senja. Waktunya menyentuh tubuh sendiri. Jantung. Berdegup normal. Gagasan filosofis Immanuel Kant, selalu dilihat sebagai pilar kokoh dalam bangunan Filsafat Hukum, menancapkan dasar Metafisika Moral di jantung pemikiran hukum. Karyanya adalah refleksi puncak dari rasio, seperti mercusuar yang menerangi jalan bagi para pemikir hukum di Abad Pencerahan. Di sisi lain, Jurgen Habermas muncul sebagai jembatan yang menghubungkan dua tepi sungai perdebatan antara fakta dan keabsahan normatif. Dengan 'law as social mediation', Habermas mencoba merobohkan tembok pemisah yang dibangun oleh rasio, menyatukan kembali dialog antara kenyataan dan norma dalam arus pemikiran hukum modern.
II. Duduk di Tepian Pantai
- Malam hari. Langit dan bumi terlihat berbeda. Bukan karena lelah berjalan di pantai tetapi jejak kaki di pinggir pantai meninggalkan jejak kaki yang lugas tanpa sepatu. Perdebatan Filsafat Hukum tertangkap seperti hubungan antara langit dan bumi.
- Aras sejarah berperan seperti bumi yang kokoh, tempat segala peristiwa dan sejarah hukum berakar. Bumi ini menggambarkan perjalanan panjang dan kompleks dari pemikiran hukum, penuh dengan bekas-bekas jejak peradaban dan perubahan zaman.
- Carl Joachim Friedrich (2004) menyatakan, Filsafat Hukum kurang berkembang karena advokat atau praktisi hukum tidak memerlukan Filsafat Hukum dalam bekerja secara empirik (dunia pengalaman). Oleh karenanya, secara historis, Filsafat Hukum dibentuk dari rentang pengalaman yang menyejarah. Joachim Friedrich membangun proposisi hukum sebagai kehendak Tuhan (Perjanjian Lama) sampai dengan masa surut dan pasang Hukum Alam di Eropa dan Amerika untuk menghasilkan analisis sistematik Filsafat Hukum.
- Aras tematik adalah langit yang luas dan tak terbatas, tempat ide-ide dan konsep-konsep hukum terbang tinggi, membentuk horizon baru yang penuh kemungkinan. Langit ini melambangkan pemikiran filosofis dan tematik yang selalu berkembang, memberi arah dan tujuan bagi perjalanan di bumi hukum.
- Bersama-sama, langit dan bumi menciptakan lanskap yang utuh, memperlihatkan kompleksitas dan kedalaman perdebatan dalam Filsafat Hukum.
- Aras tematik memperlihatkan perubahan yang labil mengenai objek Filsafat Hukum. Perdebatan Filsafat Hukum di Amerika antara HLA Hart (1961) dan Ronald Dworkin (2013) menghasilkan suatu rumusan Positivisme-Logis yang memisahkan hukum dan moral. Termasuk upaya menjawab aborsi sebagai peristiwa hukum atau moral. Aras tematik ini merupakan contoh ulasan perkembangan Filsafat Hukum berbasis kasus, proses ajudikasi, keputusan hakim, juri, dan desakan publik atas kasus tertentu.
- Bagaimana dengan Filsafat Hukum di Indonesia? Pertanyaan ini diajukan dalam nuansa teritorial. Berkaitan dengan tema objek Filsafat Hukum di Indonesia.
- Guru besar hukum di Indonesia yang saya kagumi, Soetandyo Wignjosoebroto (2002) telah membangun Filsafat Hukum dengan objek beragam. Mulai dari ontologi sampai dengan logika hukum. Batasan ruang lingkup koeksistensi itu adalah ko-eksistensi antara Ajaran Hukum Murni (pure theory of law) dengan Ilmu Sosial Hukum (legal science). Koeksistensi ini berarti bahwa objek Filsafat Hukum adalah landasan dan batas-batas kaidah hukum yang dibahas dalam kerangka kerja filsafat secara umum. Baik mencakup ontologi, epistemologi, aksiologi, ideologi, teleologi, teori, dan logika Hukum.
- Koeksistensi mensyaratkan legisme-positivistik yang diwariskan dari Hans Kelsen menjadi titik berdiri seorang ahli hukum (jurist) tetapi hal itu berjalan seiringan dengan Ilmu Sosial Hukum (legal science) yang bekerja dengan rasio objektif, kritis, empirik, dan seterusnya. Objek Filsafat Hukum memiliki rentang panjang dalam aras sejarah dan aras perdebatan tematik, dan mengerucut pada suatu rumusan hipotetis.
- Di tengah kondisi temaram dan suara dedemit di pinggir pantai, tercapailah batasan tentang Objek Filsafat Hukum yaitu “landasan dan batas-batas kaidah hukum yang dibahas dalam kerangka kerja filsafat secara umum, baik ontologi, epistemologi, aksiologi, ideologi, teleologi, teori, dan logika Hukum.”
Komentar