Opini Terbaru
Siasat Kesehatan Masyarakat Desa
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
UU No. 6/2014 tentang Desa menghadapi tembok desentralisasi administratif yang residual bagi Desa Sehat (Sutoro Eko, 2015). UU Desa dan peraturan pelaksanaannya menegaskan, Perdes Kewenangan Lokal menjadi dasar penggunaan Dana Desa (DD). Kewenangan lokal skala desa untuk kesehatan terhampar di lapangan nyata, namun tak semua desa berhasil merayakan kewenangan itu sebagai “kemenangan desa”.
Desa Pemasar, Kecamatan Maronge, Sumbawa, adalah salah satu desa yang merayakan kemenangan desa. Kesehatan skala lokal desa ditetapkan dalam Peraturan Desa (Perdes) No 12/2015,termasuk layanan kesehatan ibu dan anak dan upaya kesehatan dalam skala luas yang ditangani Posyandu. Istilah Derrida dalam The Force of Law, kewenangan supra desa bidang kesehatan sudah didekonstruksi agar tidak menjadi mistik bagi desa, tapi klaim keadilan untuk memecah aporia kebijakan kesehatan.
Kesehatan Berdesa
Kesehatan Berdesa merupakan kebijakan kesehatan yang diselenggarakan dalam tradisi kehidupan berbangsa dan bernegara di desa. Di lain pihak, frasa “upaya kesehatan” dikenal sebagai salah satu subsistem kesehatan nasional yang paling urgen dilaksanakan (Perpres No. 72/2012).
Hak warga desa yang terhambat oleh inkonsistensi data BPJS sebenarnya menunjukkan “governmentality” regulasi kesehatan. Dalam “Governmentality”, Foucault mengisahkan tindakan serba administratif dari tubuh negara. Statistika tak lebih dari upaya disiplin tubuh warga desa yang sering kali “out of date” dari kenyataan.
Aparatus supra desa di Bangkalan, Jawa Timur, sepanjang 2015 menyelenggarakan dialog kebijakan upaya kesehatan yang disesuaikan dengan keunikan daerahnya. Saya mengikuti dialog tersebut yang bertajuk kebijakan upaya kesehatan dan sistem rujukan di Bangkalan. “Poskesdes itu milik daerah atau desa”?
Awalnya, paradigma desentralisasi-residual begitu pekat sehingga kebijakan Desa Sehat seolah “lebu katiyup ing angin” (debu tertiup angin). Dialog kebijakan di Bangkalan akhirnya berujung pada inversi (pembalikan), kebijakan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) diutamakan daripada Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP). Klaim legitimasi regulasi untuk kesehatan publik ini adalah Perda Upaya Kesehatan dan Perbup Rujukan Upaya Kesehatan.
Kegiatan intervensi kesehatan skala lokal desa menumbuhkan partisipasi daripada mobilisasi. Ascobat Gani (2015) mengingatkan tekanan lingkup rujukan UKM yang dipahami dalam nalar desa. Desa aktif dalam surveilans masalah kesehatan masyarakat, didukung Puskesmas dan dinas kesehatan.
Substansi hukum dari supra desa bertujuan untuk memecah aporia kesehatan skala lokal desa. Contoh dari Bangkalan dan Sumbawa menginspirasikan kita untuk menciptakan ruang publik yang bebas kepentingan dan dominasi.
Seorang ibu hamil di desa berhak ditangani bidan desa dan tenaga kesehatan lainnya. Posyandu, Poskesdes, dan organisasi perempuan yang dibentuk mandiri di skala lokal desa adalah kelembagaan yang berhak menggunakan DD untuk kegiatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Peraturan Menteri Desa No. 21/2015 telah melegitimasi Poskesdes sebagai kelembagaan desa yang berhak menggunakan DD untuk kesehatan skala lokal desa.
Siasat Kemenangan
Pertama, kebijakan UKM terbuka untuk diadaptasi desa dibahas di musyawarah desa yang diselenggarakan Badan Permusyawaratan Desa, dan ditetapkan melalui Perdes. Ini merupakan klaim hukum desa yang hendak menjamah keadilan untuk menggapai legitimasi atas kesehatan skala lokal desa. Agenda supra desa lainnya seperti pengadaan tenaga kesehatan, penilaian risiko, aksesibilitas layanan kesehatan masyarakat, perilaku hidup bersih dan sehat, dan lain sebagainya, menjadi agenda musyawarah desa.
Kedua, kebijakan UKM merupakan basis pelayanan publik yang diberikan oleh supra desa kepada desa. Puskesmas direvitalisasi sebagai organ supra desa yang fokus kepada tindakan promotif-preventif bersama-sama dengan kelembagaan desa (kader kesehatan desa, Poskesdes, Posyandu).
Ketiga, tradisi kesehatan Berdesa sinergis dengan aksesibilitas desa dalam sediaan obat dan farmasi. Aparatus supra desa di pusat memastikan alokasi dana untuk distribusi obat hingga ke desa. Supra desa di kabupaten/kota melakukan tindakan diskresi berupa regionalisasi rujukan UKM/UKP berbasis kedekatan wilayah dan kultur desa-desa setempat. Desa farmasi seperti Desa Bentena, Minahasa Tenggara, diakui eksistensinya dalam kerangka regulasi (Asep Rahman, 2015).
Tantangannya terletak pada kebijakan pengelolaan keuangan desa yang sinkron dengan kebijakan prioritas penggunaan DD. Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, BPKP, dan LKPP diperlukan untuk menerbitkan regulasi yang mudah dilaksanakan desa. Nomenklatur APBDesa harus memihak agenda kesehatan skala lokal desa, Tim Pelaksana Kegiatan (TPK-DD) melibatkan organisasi kemasyarakatan desa, dan sistem pelaporan APBDesa yang spesifik menunjukkan kegunaan DD untuk kesehatan skala lokal desa.*
Penulis: Anom Surya Putra
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar