Opini Terbaru

Between Facts and Norms, Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (2): Pengantar dari Jürgen Habermas

Gambar
PENGANTAR Jürgen Habermas  | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse

Proyek Perubahan Citra Diri Pendamping Desa oleh Ibe Karyanto (Adaptasi Pasca MoT-ToT)

Tulisan ini awalnya ditulis oleh salah seorang penyusun modul Peningkatan Kapasitas Pendamping Desa dan Pendamping Lokal Desa Tahun 2022, yakni (Romo) Ibe Karyanto. Diterbitkan dalam skala terbatas pada pertengahan tahun 2022 oleh Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia dan Pemberdayaan Masyarakat, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Desa PDTT. 

Anom Surya Putra

Saya ucapkan terima kasih sehormat-hormatnya atas persetujuan (Romo) Ibe Karyanto dan Zaini Mustakim (P3PD) terhadap penayangan materi ini, setelah  diadaptasi dari berbagai perbincangan selama MoT dan ToT.

Setelah saya mengikuti beberapa aktivitas mulai MoT, ToT daring dan ToT tatap muka, terdapat perubahan penting dalam "membaca", "membatinkan" dan "mengkomunikasikan" bahan bacaan tentang "Citra Pendamping Desa". 

Pertama, bahan bacaan ini berada dalam pertimbangan paradigmatik, dan bukan pertimbangan bimbingan teknis (bimtek). "Bahan bacaan modul" ini bukan digunakan untuk melatih Pendamping Desa dan Pendamping Lokal Desa, tetapi digunakan bersama-sama antara pelatih, instruktur, fasilitator pelatihan, Pendamping Desa dan Pendamping Lokal Desa, dan bahkan Desa. Dampak psikis bahan bacaan ini mencakup perubahan pengetahuan, sikap dan ketrampilan pelatih, instruktur, fasilitator dan pendamping itu sendiri.

Kedua, bahan bacaan yang beranjak dari pertimbangan paradigmatik tersebut telah memperoleh asupan paradigma Berdesa selama proses MoT dan ToT. Salah satu istilah yang penting dan berbeda dengan bahan bacaan yang beredar semula yaitu hadirnya istilah "Refleksi-Diri", koreksi terhadap istilah "masyarakat Desa" menjadi "masyarakat dan pemerintahan Desa", dan koreksi dari "community organizer" menjadi "Village Organizer" (VO). Ini dimaksudkan agar pengguna dan pembaca modul ini secara utuh menerapkan diskursus Berdesa (tradisi bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat di Desa). Tidak hanya menggeser orientasi pendamping Desa sebagai "pendamping masyarakat" tetapi utuh-dan-lengkap sebagai "pendamping Desa (baik masyarakat maupun pemerintahan Desa)".

Ketiga, artikel dalam blog ini teselip video dari channel YouTube yang menayangkan contoh micro teaching yang berlangsung selama ToT tatap muka dari beberapa kelas secara terbatas. Para pembaca tulisan ini akan memperoleh gambaran tentang tindakan komunikasi yang telah diupayakan oleh partisipan ToT. Anda bisa membandingkan pendekatan dalam video itu sesuai dengan kepentingan-diri, kepentingan-Desa dampingan, kepentingan-kolektif pendamping dan Desa, serta gaya persuasi Anda masing-masing.

Jangan lupa menyepakati proyek perubahan sebagai bentuk "Resolusi Diri" setelah memaknai diri ideal (self-ideal), citra diri (self-image) dan harga diri (self-esteem) pendamping Desa:

  1. Mengapa anda memilih profesi sebagai Pendamping Desa?
  2. Bagaimana penilaian anda terhadap performa atau tampilan kinerja anda sebagai Pendamping Desa selama ini?
  3. Bagaimana menurut anda pihak lain (pemerintah Desa, tokoh/anggota masyarakat, dan orang lain) menilai performa atau tampilan kinerja anda sebagai Pendamping Desa?
  4. Jelaskan (satu saja) kontribusi pendampingan anda yang, menurut anda sudah berdampak atau berpengaruh pada perubahan desa (kesadaran, sikap, keterampilan perangkat pemerintah desa atau anggota masyarakat desa)?
  5. Apa kesulitan dan tantangan anda dalam menjalankan tugas mendampingi masyarakat desa?
  6. Tulislah Resolusi Perubahan Diri (pernyataan sikap pribadi untuk melakukan perubahan). Resolusi dituliskan dalam bentuk rencana (satu saja) tindakan konkret yang akan dijalankan secara intensif dan terukur).
  7. Bacakan dan sebarluaskan resolusi perubahan diri (disebut secara populer: proyek perubahan) Anda di Desa yang didampingi atau media sosial.

            ----------

            Citra Diri Pendamping Desa

            Ibe Karyanto


            Dalam berbagai kesempatan sering terdengar keluhan dari Pendamping Desa dan Pendamping Lokal Desa (selanjutnya dalam tuisan ini hanya disebut Pendamping Desa) terkait dengan tugasnya. Pendamping Desa acap kali merasa diri kewalahan menghadapi tugas administratif yang tidak jarang penugasannya datang tiba-tiba dan hampir bersamaan antara kebutuhan satu dengan lainnya. Meskipun keluhannya sama, namun alasan mengeluhnya berbeda-beda. Sebagian mengeluh karena kewalahan menata kelola tugas-tugas administratif yang beragam dalam waktu yang relatif singkat. Sebagian lain merasa tugas administratif yang banyak dan beragam sering menyita waktu, sehingga tidak ada kesempatan untuk menjalankan tugas pokoknya yang lain dalam mendampingi masyarakat Desa dan pemerintahan Desa.

            Pada kesempatan yang lain, juga tidak jarang terdengar cerita dari beberapa pihak yang merasa prihatin dengan sebagian Pendamping Desa yang kurang menunjukkan tampilan kinerja (performance) yang baik dan optimal. Alasan yang diceritakan tentang hal ini pun beragam. Beberapa pihak menceritakan alasannya karena keterbatasan pengetahuan Pendamping Desa dalam hal yang berkaitan dengan peran dan tugasnya sebagai pendamping masyarakat. Sebagian lain menjelaskan lemahnya kinerja Pendamping Desa disebabkan oleh keterbatasan keterampilan Pendamping Desa dalam menata kelola kerja-kerja pendampingannya. Ada juga cerita tentang Pendamping Desa yang cenderung bersikap minimalis dan, bahkan, tidak cukup peduli dengan kewajibannya dalam menjalankan tugas-tugas pokoknya.

            Di antara cerita itu, tidak sedikit juga hasil evaluasi kinerja yang memperlihatkan performa Pendamping Desa yang mampu menunjukkan komitmen dan kinerja optimal. Meskipun bukan berarti para Pendamping Desa tersebut tidak memiliki keluhan, tidak merasakan beban berat dalam menjalankan tugas. Namun dari performa yang ditampilkan bisa dimengerti bahwa para Pendamping Desa tersebut mampu mengelola secara baik antara tanggungjawab dalam menjalankan tugas dengan kebutuhannya dalam menyelesaikan persoalan dan memenuhi kebutuhan pribadinya. Bahkan dari performa yang intens dan konsisten dapat dibaca kedalaman komitmen keberpihakannya pada Desa. Performa Pendamping Desa seperti itu dapat dibaca dari hasil evaluasi atas catatan dan dokumen pendampingan. Dokumentasi praktik baik kinerja beberapa Pendamping Desa dapat dilihat di akun kanal Youtube mereka.

            Kisah-kisah tersebut menggambarkan bagaimana setiap orang memiliki persepsi tentang citra pendamping Desa. Persepsi tentang citra pendamping Desa berkaitan dengan apa yang disebut sebagai konsepsi diri, yaitu persepsi atau penilaian seseorang, individu tentang diri pribadinya yang diperoleh atau depangaruhi dari hasil interaksinya dengan lingkungan sekitar sejak dari masa kecil. Seorang psikolog, Carl Rogers, membedakan ada tiga bagian dalam konsep diri, yaitu diri ideal (self ideal), citra diri (self image), dan harga diri (self esteem). Diri ideal adalah diri pribadi yang digambarkan secara ideal, seperti yang dicita-citakan. Citra diri adalah gambaran tentang diri pribadi sesuai dengan peran, sikap, dan tindakannya sehari-hari. Sedangkan harga diri berhubungan dengan sikap atau cara seseorang dapat menerma dan menghargai diri sendiri.

            Teori konsep diri tersebut dapat menjadi cara pandang yang membantu pendamping Desa dalam mengenali atau menilai citra dirinya sebagai pendamping Desa. Persepsi tentang citra diri pendamping Desa dapat dikenali dari tiga konsepsi yaitu konsep citra diri normatif, konsep citra diri aktual (actual self image), dan citra diri ideal.

            Konsep Citra Diri Normatif

            Siapa sejatinya Pendamping Desa? Kalau saja pertanyaan itu muncul dari orang yang baru pertama kali mendengar sebutan Pendamping Desa, barangkali jawabanya cukup dengan mengutip arti per definisi dari Pendamping Desa. Pendamping Desa adalah bagian dari Tenaga Pendamping Profesional yang “bertugas mendampingi Desa dalam penyelenggaraan Desa, kerja sama Desa, pengembangan BUM Desa, dan pembangunan yang berskala lokal Desa” (Pasal 129, ayat 1 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang- Undang Desa (PP  No. 43/2014).

            Pendamping Desa menunjuk pada suatu profesi yang diakui dapat membantu pemerintah, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kementerian Desa PDTT) dalam menjalankan tugas pokok pendampingan masyarakat Desa dan pemerintahan Desa. Istilah “membantu” dalam perspektif struktur kesatuan tugas merupakan tindakan yang merepresentasikan performa yang dibantu, yaitu negara atau pemerintah yang dalam hal ini adalah Kementerian Desa PDTT. Penegasan itu tertuang di Pasal 128 PP No. 43/2014.

            Pendamping Desa sebagai tenaga profesional adalah pribadi-pribadi pilihan hasil rekrutmen yang memiliki kualifikasi dan kompetensi minimum sebagaimana yang ditentukan sebagai syarat pendaftaran seleksi Pendamping Desa. Melihat tugas pokok dan tanggungjawab Pendamping Desa sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Desa PDTT Nomor 40 Tahun 2020, syarat kualifikasi minimum sejatinya masih merupakan ketentuan adminstratif yang masih jauh dari kompetensi yang dibutuhkan. Keluasan dan kedalaman tugas pokok dan tanggungjawab Pendamping Desa hanya mungkin dikerjakan oleh tenaga pendamping yang benar-benar profesional, yaitu pribadi yang memiliki kemampuan khusus untuk dapat menyelesaikan secara efektif pekerjaan di bidangnya. Kemampuan profesional Pendamping Desa hanya mungkin dilihat atau dinilai dari kinerja ketika berhadapan dengan tugas yang harus dikerjakan.

            Secara struktural Pendamping Desa merupakan profesi tak terpisahkan dari profesi lain dalam kelembagaan Kementerian Desa PDTT. Dalam beberapa kesempatan Menteri Desa PDTT secara verbal menegaskan bahwa Pendamping Desa merupakan “anak kandung” Kementerian Desa PDTT. Ungkapan verbal tentang “anak kandung” tersebut secara implisit merupakan pengakuan tentang keberadaan Pendamping Desa sebagai unit kerja yang menjadi bagian dari kesatuan keluarga besar Kementerian Desa PDTT yang memiliki kewajiban dan hak yang sama dengan unit kerja lain. Posisi struktural tersebut menunjukkan bahwa Pendamping Desa merupakan pelaksana tugas Menteri Desa sebagai pimpinan tertinggi dalam lembaga. Karena itu dalam struktur tata kelola, Pendamping Desa adalah sama dengan unit-unit kerja lain dalam Kementerian Desa PDTT. Pola relasi struktural tersebut menunjukkan bahwa kehadiran Pendamping Desa di setiap desa merupakan penanda atau merepresentaskan kehadiran lembaga induk semangnya, yaitu Kementerian Desa PDTT.

            Penjelasan di atas merupakan konsepsi normatif citra diri pendamping Desa, yaitu konsepsi yang dibangun berdasarkan ketaatan pada suatu sumber yang dianggap memiliki otoritas, baik berupa teks peraturan perundangan yang berlaku maupun dari pernyataan orang yang dianggap memiliki otoritas kekuasaan. Konsepsi citra diri normatif adalah konsepsi yang menggambarkan kesadaran normatif, yaitu kesadaran yang hanya bergantung pada otoritas kekuasaan atau pada ketentuan aturan perundangan yang berlaku. Individu dengan kesadaran normatif hanya akan tergerak kalau ada perintah. Misalnya, pendamping Desa yang berkesadaran normatif, dari sisi struktural sebagai bagian dari kerja kelembagaan maka pendamping yang berkesadaran normatif akan tampak loyal pada satuan kelebagaannya. Tapi pada sisi lain, dalam interaksi harian dengan masyarakat, pendamping tersebut tidak akan mudah tergerak oleh persoalan lain di sektarnya.

            Konsep Citra Diri Aktual

            Konsep citra diri aktual adalah persepsi seseorang yang memandang dirinya dalam kenyataan sehari-hari. Konsep ini berkait dengan bagaimana seorang pendamping Desa menilai sikap, tindakan dan kinerja dirinya secara obyektif dalam kehidupan sehari-hari. Secara kualitatif penilaian diri obyektif merupakan penilaian yang dilakukan secara jernih dan jujur untuk memperoleh gambaran kualitas diri sesuai dengan apa adanya saat itu.

            Konsep citra diri aktual ini sering dihadapkan dengan citra diri ideal sebagai suatu konsep citra diri yang dicita-citakan. Karena itu mengenali citra diri aktual merupakan refleksi yang penting bagi individu untuk menyadari seperti apa pribadinya saat ini di tengah lingkungannya, apa yang sudah dilakukan untuk perkembangan diri dan lingkungannya. Kesediaan melakukan refleksi pengenalan diri aktual merupakan momen bagi seorang pendamping Desa, untuk bisa melihat perannya dalam spektrum yang lebih luas dan memaknai lebih dalam setiap perasaan, sikap, dan tindakannya.

            Melalui refleksi diri aktual, setiap individu, pendamping Desa misalnya, dapat mengenali seberapa jauh perkembangan dirinya dalam mengaktualisasi integritas dan kemampuannya dalam menjalankan tugas dan peran sebagai pendamping Desa. Ukuran penilaian yang digunakan untuk mengenali perkembangan aktualisasi diri adalah persepsi individu yang bersangkutan tentang citra dirinya yang ideal. Tidak jarang dalam penilaian diri yang kurang jernih, seseorang akan mempersepsikan secara tumpang tindih antara citra diri aktual dengan citra diri yang diidealkan. Persepsi yang demikian kemungkinan akan mejadikan seorang pendamping dapat bersikap berlebihan terhadap dirinya dengan menganggap drinya adalah pribadi yang sudah ideal.

            Seseorang dengan persepsi begitu pada suatu momen tertentu bisa jadi akan bermasalah dengan dirinya sendiri apabila tidak bisa menerima pada kenyataan dirinya tidak seperti gambaran diri yang diidealkan. Hanya pribadi yang dewasa yang mampu mendamaikan antara dirinya yang aktual, seperti apa adanya sekarang dengan gambaran dirinya yang diidealkan. Pribadi yang dapat mendamaikan dirinya adalah pribadi yang dapat menempatkan citra diri ideal sebagai visi aktualisasi pribadi.

            Sekalpun refleksi pengenalan diri aktual penting, namun tidak setiap pendamping Desa memberikan perhatian pada momen itu. Bisa jadi ada pendamping Desa yang tidak pernah melakukan refleksi pengenalan dirinya karena memang belum tahu manfaat pentingnya. Bisa juga, ada pendamping Desa yang sudah paham manfaat pentingnya refleksi pengenalan diri, tapi enggan melakukannya. Keengganan bisa saja muncul karena memang tidak peduli atau secara sadar menganggap sudah cukup sekadar menjalankan perannya sesuai petunjuk yang berlaku. Pendamping Desa tersebut menampilkan citra aktualnya sebagai pribadi yang digerakkan oleh kesadaran normatif. Tentu saja pilihan sikap tersebut tidak keliru, hanya saja sikap tersebut menunjukkan kualifikasi kinerja minimalis atau kualifikasi dengan standar “yang penting sudah bisa menjalankan perintah tugas”.



            Konsep Citra Ideal

            Dalam psikologi dikenal suatu pendekatan tentang konsep diri ideal (ideal self image), yaitu cara bagaimana seseorang mempersepsikan dirinya yang ideal atau yang dicita-citakan. Masing-masing orang memiliki persepsi gambaran ideal tentang dirinya dan berkecenderungan untuk mewujudkan gambaran ideal yang dibangunnya sendiri. Istilah itu kita pinjam sebagai cara pandang untuk menggambarkan konsepsi citra ideal Pendamping Desa. Konsepsi citra ideal Pendamping Desa berikut berangkat dari persepsi (mengenali, menyusun, menafsirkan) pandangan banyak pihak, terutama Kementerian Desa PDTT, tentang berbagai pengetahuan yang dibaca, didengar maupun apa yang dirasakan dicecap dari pengalaman. Dengan demikian yang dimaksudkan citra ideal Pendamping Desa adalah gambaran diri yang dipersepsikan dari pandangan berbagai pihak eksternal tentang “diri ideal” Pendamping Desa atau gambaran ideal tentang keberadaan (existence) Pendamping Desa.

            Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan arti “ideal” adalah, sesuai dengan yang dicita-citakan, diangan-angankan atau dikehendaki. Citra ideal Pendamping Desa merupakan persepsi tentang mutu mentalitas yang harus dimiliki oleh Pendamping Desa. Mutu mentalitas itu diharapkan tampak dalam sikap Pendamping Desa. Sikap yang dimaksud adalah pernyataan dan tindakan yang mencerminkan tanggapan, pandangan atau keyakinan seseorang terhadap suatu obyek yang dalam hal ini adalah kualitas kinerja Pendamping Desa. Sikap dapat dinyatakan baik secara verbal maupun dalam tindakan konkret. Sikap Pendamping Desa yang dinilai bermutu adalah ungkapan dan tindakan yang menunjukkan pandangan positif terhadap keberadaan “diri” Pendamping Desa.

            Mempersepsikan citra ideal Pendamping Desa adalah menggambarkan pengertian tentang manusia yang bekerja untuk mendampingi seisi Desa. Bekerja, dalam hal ini memiliki makna yang lebih mendalam dari sekadar perbuatan untuk melakukan perintah. Bekerja merupakan penanda khas tindakan bebas manusia sebagai mahkluk berakal budi dalam menentukan pilihan cara untuk memenuhi kebutuhan alamiahnya. Dengan bekerja, manusia tidak hanya memenuhi kebutuhn dirinya, tetapi juga mengubah lingungannya menjadi lebih bermakna. Petani memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menggarap lahan, menanam benih. Dengan mengolah tanah, petani menata lingkungan alam menjadi lebih aman dan nyaman. Hasil produksi petani dari olahan benih memberikan manfaatn bagi banyak orang. Demikian halnya, setiap Pendamping Desa sudah semestinya menyadari bahwa keberadaannya sebagai tenaga pendamping profesional merupakan pilihannya sendiri yang dilakukan secara bebas. Bagamana kemudian pilihan bebas itu tidak hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri, tapi juga sekaligus bermakna bagi orang banyak, bagi Desa yang didampingi?

            Hal itu bergantung pada bagaimana sikap setiap Pendamping Desa dalam menguatkan kesanggupannya untuk dapat seoptimal mungkin mendekati citra idealnya sebagai Pendamping Desa. Persepsi citra ideal Pendamping Desa dibutuhkan sebagai orientasi atau arah tujuan peningkatan performa atau kinerja Pendamping Desa. Persepsi citra ideal Pendamping Desa merupakan konsepsi ideal suatu profesi yang dapat dikenali dari berbagai aspek yang saling menunjang. Berikut merupakan aspek kualitatif yang klasifikasinya diturunkan dari pengetahuan dan pengalaman yang memengaruhi bangunan persepsi citra ideal Pendamping Desa.

            Aspek Humanis

            Humanis diserap dari kata benda homo dalam bahasa Latin atau human dalam bahasa Inggris yang berarti manusia. Mengacu pada Kamus Besar Bahas Indonesia, kata humanis menunjukkan sifat orang yang mendambakan dan memperjuangkan pergaulan hidup yang berdasarkan asas kemanusiaan. Aspek humanis adalah aspek etis yang terkait dengan kekhasan kodrat manusia sebagai mahkluk alamiah yang berakal budi yang berada di dunianya bersama sesama manusia yang lain. Dalam perspektif pandangan Ki Hajar Dewantara, aspek etis adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan membangun dan merawat harmoni dari keberagaman. Meminjam pandangan Prof. N. Diryarkara tentang pendidikan, dapat dipahami bahwa kerja pendampingan Desa merupakan proses hominisiasi sekaligus proses humanisasi. Himinisasi adalah proses Pendamping Desa memenuhi kodrat kemanusiaannya. Sedangkan humansasi adalah proses Pendamping Desa memanusiakan masyarakat Desa dan pemerintahan Desa.

            Keberpihakan pada Desa merupakan sikap humanis dari Pendamping Desa. Keberpihakan tidak cukup hanya dinyatakan secara verbal dalam berbagai wacana. Desa dapat melihat, mengakui dan mengapresiasi sikap keberpihakan, kalau sikap tu dinyatakan dalam tindakan konkret, seperti intensitas, jujur, adil, toleran, terbuka dalam setiap pendampingan.

            Aspek Ideologis

            Kerja pendampingan Desa adalah kerja ideologis, yaitu pilihan kerja yang didasarkan atas keberpihakannya pada ide besar yang merupakan bagian dari sistem nilai yang menggerakkan orang untuk bertindak mewujudkan ide kolektif yang ideal. Karena itu pekerjaan Pendamping Desa bukan hanya pekerjaan fungsional yang bertujuan memenuhi kebutuhan diri Pendamping Desa. Pemenuhan kebutuhan diri adalah konsekuensi yang diperolah sebagai apresiasi atas kemampuannya menjalankan tugas pokok dan tanggungjawabnya dala mendampingi desa. Tujuan pendampingan Desa, sebagaimana ditunjukkan dalam peraturan yang berlaku, adalah memfasilitasi masyarakat Desa dan pemerintahan Desa dalam mengupayakan perubahan Desa menjadi lebih baik; maju, adil, dan sejahtera.

            Tanpa ada pemahaman akan ide-ide besar perubahan Desa yang lebih baik, Pendamping Desa akan mudah jatuh pada kerja-kerja administratif fungsional. Pendamping Desa yang demikian adalah Pendamping Desa yang bekerja hanya untuk memenuhi ketentuan fungsional administratif dengan menjalankan ketentuan tugas minimum yang disyaratkan. Sebaliknya kesadaran terhadap makna nilai-nilai perubahan Desa akan tampak dari intensitas upaya memberdayakan masyarakat Desa untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan.

            Aspek Emosional

            Aspek emosional adalah aspek yang terkait dengan kecerdasan akal emosi. Menurut Daniel Goleman, otak manusia terdiri dari akal emosi dan akal rasional. Golemen menjelaskan, dikotomi emosi dan rasio dalam pembahasan umum biasa juga disebut dengan “hati” dan “kepala”. Hati menunjuk pada kemampuan akal emosional, sedangkan kepala menunjuk pada kemampuan akal rasional. Cara pemahaman akal emosi sifatnya impulsif, cepat, berpengaruh besar pada tindakan meskipun kadang tidak logis. Dalam menggerakkan tindakan manusia, akal emosi lebih dominan dibandingkan akal rasional. Rasa perasaan yang muncul ketika berhadapan dengan sesuatu adalah bagian dari kerja akal emosi.

            Pribadi yang memiliki integritas adalah pribadi yang cerdas baik secara rasional maupun secara emosional. Kecerdasan kedua dimensi kepribadian tersebut tidak selalu tumbuh linier. Sejauh ini mekanisme rekrutmen pekerja lebih mengutamakan orang yang dinilai cerdas secara rasional. Meskipun dalam kenyataannya untuk mencapai produktivitas, lingkungan kerja membutuhkan pekerja-pekerja yang memilki empati, bisa saling memahami, bekerja-sama membangun harmoni. Terlebih jenis pekerjaan yang berhungungan langsung dengan orang lain, seperti kerja pemberdayaan yang dilakukan pendamping Desa. Empati merupakan salah satu bentuk kecerdasan emosional yang dibutuhkan pendamping Desa. Kerja pendampingan masyarakat Desa dan pemerintahan Desa hanya mungkin menghasilkan manfaat optimal kalau pendamping Desa memiliki kemampuan merasakan apa yang dirasakan masyarakat Desa dan pemerintahan Desa, memkirkan apa yang dipikirkan masyarakat, dan melakukan apa yang harus dilakukan masyarakat Desa dan pemerintahan Desa untuk perubahan.

            Aspek Normatif

            Pendampingan Desa merupakan kerja penugasan yang dalam Peraturan Pemerintah nomor 47 tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, merupakan bagian tugas pemerintah dalam melakukan pendampingan dan pemberdayaan Desa. Lebih jelas lagi ditegaskan bahwa pendamping desa merupakan tenaga profesional yang menerima penugasan untuk membantu pemerintah dalam melakukan pembinaan dan pengawasan. Selanjutnya pemerintah, dalam hal ini Kementerian Desa PDTT, menerbitkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 19 tahun 2020 tentang Pedoman Pendampingan Masyarakat Desa yang menegaskan tugas pendampingan, dan tata cara pendampingan. Pemahaman tentang norma-norma tersebut merupakan pengetahuan yang terinternalisasi dan menjadi referensi bagi orang lain dalam mempersepsikan atau menilai citra pendamping Desa.

            Aspek teknis

            Pendampingan Desa merupakan kerja pemberdayaan. Artinya pendampingan merupakan kerja yang bertujuan memfasilitasi masyarakat Desa dan pemerintahan Desa yang daya atau kemampuannya kurang menjadi berdaya atau lebih berdaya. Ada unsur berbagi pengetahuan dan unsur pelatihan. Karena itu kemampuan, pengetahuan dan keterampilan merupakan aspek teknis yang tidak bisa tidak, atau, harus dimiliki oleh pendamping Desa. Secara umum orang sudah dapat memahami bahwa pribadi yang bekerja untuk meningkatkan kapasitas pribadi lain adalah pribadi yang memenuhi kuaifikasi teknis. Pemahaman akan kualifikasi kemampuan teknis itu yang memengaruhi persepsi orang lain dalam mengenali citra pendamping Desa.

            Indikator Citra Ideal Pendamping Desa

            Soren Kierkegaard, filsuf Denmark abad ke-19, memahami kebutuhan hidup manusia pada dasarnya terdiri dari tiga fase, yaitu estetis, etis, dan religius. Dalam kehidupan estetis manusia menangkap seluruh semesta yang berada bersamanya merupakan dunia yang mengagumkan. Bekerja atau berkarya menjadi bagian dari usaha manusia mengungkapkan kebutuhan akan hal-hal yang mengagumkan. Pada fase etis manusia mengungkapkan jati dirinya sebagai mahkluk otonom. Manusia bertindak untuk memenuhi kebutuhannya berdasarkan keputusan-keputusan yang bebas dan dipertanggungjawabkan. Dalam fase religius manusia melakukan tindakan transendental sebagai upaya mengintegrasikan hidupnya dengan Tuhan.

            Refleksi Kierkegaard membantu kita memahami bahwa pekerjaan Pendamping Desa tidak selalu bersifat pragmatis, yang dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga memiliki makna sebagai aktualisasi diri, yaitu pekerjaan yang dipilih berdasarkan kehendak bebas sebagai tindakan yang menggerakkan seseorang menjadi dirinya yang sejati. Dengan kata lain seseorang yang secara merdeka memilih pekerjaan sebagai Pendamping Desa adalah seseorang yang sudah tahu benar dan menyadari bahwa dengan memilih berarti dia sepakat menyerahkan sebagian dari dirinya (tenaga, waktu, pikiran, dan hati) untuk perubahan Desa yang lebih baik dengan menjalankan ketentuan yang sudah ditetapkan Kementerian Desa PDTT.

            Dalam perspektif itu maka citra Pendamping Desa sejatinya adalah citra yang menggambarkan integritas sosok penggerak Desa (Village Organizer). Tentang citra tersebut Maizir Akhmadin menuliskan, “pendamping diasumsikan memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang merupakan kompetensi dasar (wajib) seperti pengorganisasian masyarakat atau CO dan pengembangan/pemberdayaan masyarakat CE/D. Dengan asumsi ini, konsekuensi logisnya adalah pemetaan sosial (ansos) sudah menjadi “darah daging” pendamping. Memetakan aktor (kunci-pendukung) dan tindakan/peran (major-minor) dalam proses/interaksi sosial dalam hal ini bermasyarakat di Desa, menjadi tidak sulit. Pendamping profesional diasumsikan memiliki kepekaan dalam mengenali hal-hal tersebut dan memiliki keterampilan untuk getting-in dan melakukan proses-proses katalisasi bagi konsolidasi dan pengorganisasian masyarakat, ambil contoh dengan basis kepentingan “kelompok masyarakat”. Pendamping memiliki keterampilan membangun solidaritas kolektif dan memitigasi, resolusi dan mendamaikan potensial maupun terbuka konflik individual dalam kelompok-kelompok masyarakat.”

            Lebih lanjut Maizir menjelaskan pentingnya Pendampimng Desa untuk terus menerus mengasah kompetensi dasarnya dalam proses pendampingannya di tengah masyarakat yang niscaya terus berubah dinamis. Terkait dengan peningkatan kompetensi Maizir menegaskan pentingnya Pendamping Desa untuk terus menerus mengembangkan sikap diri (attitude) sebagai tenaga profesional yang jujur mengakui kelemahan sekaligus menunjukkan upaya sungguh-sungguh mencari cara mengatasi kekurangannya.

            Sehubungan dengan itu maka syarat fundamental sebaga Pendamping Desa adalah memiliki antusiasme kehendak yang kuat (passion) pada pada pekerjaannya dan komitmen untuk menjalankan tugas-tugas yang menjadi pekerjaannya. Keduanya merupakan konsepsi abstrak tentang nilai-nilai baik dari citra ideal Pendamping Desa. Seberapa kuat passion dan komitmen Pendamping Desa dapat dilihat dari kualitas tindakannya dalam menjalankan tugas-tugasnya. Kualitas tindakan Pendamping Desa dapat dinilai dengan menggunakan indikator yang ditetapkan berdasarkan klasifikasi sifat-sifat keutamaan kinerja Pendamping Desa. Berdasarkan pada klasifikasi sifat keutamaan tersebut, maka persepsi citra ideal Pendamping Desa dapat dikenali melalui ciri-ciri yang menandai karakteristik sikap, tindakan, dan perilaku pendamping Desa. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut.

            Reflektif

            Refleksi adalah tindakan sadar untuk mencermati, menemukan dan memaknai pengetahuan dalam aksi (knowing in action) yang muncul saat seseorang sudah atau sedang melakukan suatu tindakan atau pengalaman. Pengetahuan dalam tindakan adalah pengetahuan yang muncul tanpa disadari pada saat sedang melakukan suatu tindakan. Pengetahuan dalam tindakan itu bisa berupa keputusan atau kreativitas tindakan dalam menghadapi situasi atau kondisi saat seseorang sedang melakukan suatu kegiatan. John Dewey, seorang pedagog, menjelaskan refleksi adalah tindakan mengubah kelakuan yang sesuka-sukanya (appetitive), membabibuta (blind), dan spontan (intuitive), menjadi tindakan yang cerdas. Dengan refleksi seseorang menyadari apa yang telah dilakukan, mengapa melakukan itu, bagaimana bisa melakukan seperti itu, apa yang manfaatnya dan untuk siapa. Refleksi ibarat kompas yang dapat membantu seseorang menunjukkan dimana posisinya sekarang dan selanjutnya mau kemana.

            Reflektif adalah sifat yang menunjuk pada kebiasaan dan kedalaman seseorang dalam bertindak. John Dewey menyebut reflektif sebagai kekuatan pikiran untuk menghasilkan keputusan dan tindakan cerdas, berkualitas. Pendamping Desa yang reflektif adalah Pendamping Desa yang biasa menjadikan pengalamannya sebagai sumber pembelajaran yang bermakna untuk meningkatkan kedalamannya dalam berpikir dan kedewasaannya dalam bertindak. Pendamping Desa yang reflektif juga tidak akan mudah untuk bertindak spontan, bergantung pada suasana hati (mood) atau hanya mengandalkan intuisi dalam menjalankan tugas-tugas pendampingan. Tindakannya akan mencerminkan kedalamannya dalam memaknai pengetahuan-pengetahuan baru yang diperoleh dari hasil refleksi.

            Terbuka (open minded)

            Terbuka merupakan sikap sedia menghargai pengalaman dan pandangan baru, tidak anti kritik, toleran atau menghormati perbedaan, termasuk tidak membedakan status dan strata orang. Pendamping Desa yang bersikap terbuka akan mudah berkomunikasi dengan masyarakat dari berbagai kalangan, bersedia membuka ruang dialog untuk mengakomodasi pandangan pandangan orang lain dalam mencari penyelesaian masalah. Sikap terbuka juga menandakan adanya ketulusan (wholeheartedness) yang menjadi prasyarat sikap reflektif. Sifat lain yang menandai sikap terbuka adalah keingintahuan yang mendalam (curiosity) terhadap berbagai informasi atau pengetahuan yang ada di sekitar. Semangat ingin tahu merupakan penggerak untuk selalu mengisi pengetahuan mutakhir, utamanya, yang relevan dan kontekstual.

            Cara pandang yang terbuka merupakan syarat utama yang harus dipenuhi setiap Pendamping Desa dalam menjalankan tugas pokoknya untuk mendampingi, memberdayakan, dan memfasilitasi masyarakat Desa dan pemerintahan Desa. Kerja pendampingan adalah kerja untuk mengorkestrasi kepentingan masyarakat yang didampingi sehingga bisa mencapai suatu tujuan yang harmonis atau yang dapat memenuhi kepentingan masyarakat secara merata. Sebaliknya Pendamping Desa yang bersikap tertutup akan cenderung tidak sabar, mengambil jalan pintas dengan memanfaatkan pandangannya sendiri yang kemudian diatasnamakan pandangan masyarakat.

            Intensitas 

            Intensitas atau intens adalah kata sifat yang menunjuk pada kualitas suatu kemampuan yaitu kuat, tangguh, hebat. Dalam konteks aspek citra ideal Pendamping Desa, intensitas adalah skap yang menunjukkan tingkat kedalaman seseorang, dalam hal ini Pendamping Desa, dalam mengetahui, merasa, dan menjalankan suatu tindakan. Intensitas merupakan sifat dari suatu tindakan yang digerakkan oleh antusiasme (passion) untuk dapat mencapai optimal apa yang dituju. Intensitas juga merupakan wujud ketulusan seseorang dalam melaksanakan hasil refleksi atas pengalaman pribadi. Adagium totalitas sampai tuntas yang sering kita dengar menunjuk pada syarat adanya intensitas dalam mengerjakan suatu kegiatan.

            Intensitas atau kedalaman juga merupakan kualitas mental yang dibutuhkan oleh setiap pendamping masyarakat bak yang berkepentingan untuk mengorganisir, memberdayakan, maupun mengadvokasi. Kerja pendampingan masyarakat adalah kerja untuk perubahan. Perubahan Desa merupakan jalan panjang dan berliku, karea itu dibutuhkan ketahanan fisik dan mental ketekunan untuk dapat mendampingi masyarakat bisa juga bertekeun mencapai perubahan.

            Mandiri

            Mandiri menandakan kepercayaan diri pada kemampuan sendiri dalam bersikap dan bertindak. Dalam pandangan tokoh pendidikan, Ki Hajar Dewantara, kemandirian merupakan watak dari prbadi yang merdeka, yaitu prbadi yang percaya diri pada kemampuannya sendiri, tidak bergantung pada orang laing, mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Pendamping Desa yang mandiri adalah pribadi yang kaya inisiatif, yang bergerak karena sadar akan peran dan fungsinya bukan hanya digerakkan oleh instruksi atau tuntutan administratif. Selain kaya inisiatif, kemandirian Pendamping Desa dapat terlihat dari kreativitasnya dan inovasi-inovasi yang dilakukan dalam menghadapi tantangan obyektif.

            Sikap Menuju Perubahan

            Sekali lagi, citra ideal Pendamping Desa merupakan orientasi atau arah tujuan peningkatan kualitas kompetensi dan kinerja. Tentu saja terbentang jarak yang cukup jauh antara ketentuan kompetensi minimum yang menjadi syarat penerimaan Pendamping Desa dengan citra ideal yang merupakan konsepsi kompetensi optimal yang menjadi orientasi arah peningkatan kapasitas. Sekalipun demikian, setiap Pendamping Desa berkewajiban untuk berupaya meningkatkan kompetensi dan kualitas kinerjanya dengan berorientasi pada citra ideal Pendamping Desa. Kewajiban itu merupakan konsekuensi lumrah yang muncul ketika seseorang bersepakat untuk diterima sebagai Pendamping Desa. Kesepakatannya adalah kesediaannya meningkatkan kualitas kinerja sedekat mungkin dengan yang ideal sebagaimana diharapkan Kementerian Desa PDTT untuk dapat seoptimal mungkin menjalakan tugas-tugas pokok pendampingan desa.

            Menjalankan kesepakatan secara konsekuen tentu tidak mudah. Bahkan, bisa jadi, dianggap suatu pekerjaan yang tidak mendesak. Meskipuan tidak semua Pendamping Desa berpandangan demikian, tapi ada sebagian Pendamping Desa merasa skeptis dengan pandangan citra ideal Pendamping Desa. Arah tujuan citra ideal Pendamping Desa menurut Pendamping Desa yang skeptis adalah orientasi yang terlalu jauh untuk dicapai. Butuh waktu dan perhatian khusus untuk bisa mendekati arah ideal tersebut. Sementara dari hari ke hari waktunya Pendamping Desa sudah tersita untuk menghadapi desa yang dinamis dengan persoalan yang beragam dan terus berkembang, sehingga tidak ada peluang untuk belajar atau meningkatkan kompetensi dirinya.

            Sebagian Pendamping Desa lain menganggap Pendamping Desa adalah fungsionaris birokrasi. Mengembangkan diri ke arah citra ideal itu tidak relevan atau dianggap tidak mendesak bagi fungsionars birokrasi yang pekerjaannya mengurus dan menyelesaikan tugas fungsional adminsitratif. Pendamping Desa yang berpandangan demikian menganggap kualitas optimal kinerjanya cukup diukur dengan kemampuannya untuk bisa menyelesaikan tuntutan tugas-tugas fungsional administratif.

            Alasan-alasan tersebut tidak konsisten dengan keberadaan atau jati diri Pendamping Desa yang tegas dinyatakan sebagai profesi pendamping yang profesional. Dalam pandangan Daniel Schon, profesional adalah tenaga ahli yang belajar atau dilatih menguasai bidang khusus yang bermanfaat untuk menuntaskan kerja-kerja khusus yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat. Penegasan jati diri Pendamping Desa dalam peraturan perundangan yang berlaku bukan semata-mata merupakan klaim, melainkan tuntutan yang harus terpenuhi. Demikian halnya dengan citra ideal Pendamping Desa yang dipersepsikan dari norma dan berbagai pengetahuan serta pengalaman merupakan kemampuan yang sudah semestinya menjadi bagian tak terpisahkan (inherent) dari kemampuan Pendamping Desa yang dinyatakan sebagai tenaga profesional.

            Tidak ada waktu untuk belajar mengembangkan kemampuan diri adalah alasan yang tidak bisa diterima. Dua pertanyaan untuk mengklarifikasi alasan tersebut: seberapa padat kegiatan Pendamping Desa dalam menyelesaikan tugas-tugasnya sehingga tidak ada waktu untuk melatih meningkatkan kapasitas dirinya? Bagaimana cara Pendamping Desa dalam melath meningkatkan kompetensinya sehingga harus menyita waktu bekerja? Demikian halnya dengan alasan bahwa Pendamping Desa adalah fungsionaris birokrasi dengan tugas-tugas fungsional adminstratif adalah alasan yang muncul dari sikap spontan (intuitive), sembrono (blind), sesukanya (appetitive). Dengan kata lain, sikap skeptis seperti itu menandakan bahwa Pendamping Desa tidak reflektif. Sekurangnya, Pendamping Desa tidak secara sadar menjalankan tindakan yang dilakukan.

            Pendamping Desa yang reflektif dapat melihat adanya banyak peluang yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan diri dan dapat membaca secara cermat pedoman pendampingan dengan penjabaran tugas-tugas pokok sebagai stimulan untuk dapat memaknai keberadaannya sebagai pendamping masyarakat Desa dan pemerintahan Desa dengan kompetensi dasar sebagai Village Organizer (VO). Pelatihan peningkatan kapasitas merupakan peluang bagi Pendamping Desa untuk melakukan perubahan sebagai representasi kehadiran negara/pemerintah sekaligus melatih kepekaan sosial, meningkatkan keterampilan melakukan kajian sosial, dan keterampilannya sebagai pengerak dan pemberdaya Desa (VO).

            Pada akhirnya perubahan Pendamping Desa terletak pada tingkat kesadaran dan kehendak masing-masing pribadi dalam menentukan pilihan komitmen atau kesediaan diri untuk melakuan perubahan. Kementerian Desa PDTT, sebagai pengguna jasa profesional yang diharapkan dapat menuntaskan urusan pendampingan, pemberdayaan yang tidak bisa dilakukan sendiri, tentu akan mengapresiasi pada pribadi Pendamping Desa yang menunjukkan sikap menuju perubahan yang lebih optimal.* 


            Daftar Pustaka

            Akhmadin, Maizir, (art) Perspektif Inkusi Sosial Dalam Undang-Undang Desa, 2022 (Artikel presentasi Review Modul Pendingkatan Kapasitas Tenaga Pendamping Profesional Tahun 2022)

            Dewantara, Ki Hajar, Dasar-Dasar Pendidikan, dalam Kumpulan Karja Ki Hadjar Dewantara, Jogjakarta, 1962, Percetakan Taman Siswa

            Dewantara, Ki Hajar, Kesenian Dalam Pendidikan, dalam Kumpulan Karja Ki Hadjar Dewantara, Jogjakarta, 1962, Percetakan Taman Siswa

            Driyarkara, N. Persona Dan Personisasi dalam Percikan Filsafat, Jakarta, 1989, PT. Pembangunan Jakarta

            Goleman, Daniel, Emotional Intelegence, Jakarta, 2018, PT. Gramedia Pustaka Utama Rogers, Carl Robert, On Becoming A Person, Yogyakarta, 2012, Pustaka Pelajar.




            Komentar

            Artikel Terpopuler

            21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

            Konstitusionalisme Deliberatif dan Judicial Review

            Day 10 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

            Day 16 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

            Day 6 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

            Day 4 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

            Day 8 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

            Day 7 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

            Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (2): Pengantar Buku Sosiologi Hukum

            Day 17 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)