PENGANTAR Jürgen Habermas | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
OPINI Teori Hukum: Teori Hukum Jürgen Habermas (Mathieu Deflem)
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
Mathieu Deflem
This is an Indonesian translation of “The Legal Theory of Jürgen Habermas”, Mathieu Deflem, University of South Carolina, Translated by Anom Surya Putra.
Source: Deflem, Mathieu. 2013. “The Legal Theory of Jürgen Habermas.” Pp. 70-95 in Law and Social Theory, Second Edition, edited by Reza Banakar and Max Travers. Oxford, UK: Hart Publishing.
Please cite as: Deflem, Mathieu. 2022. “Teori Hukum Jürgen Habermas.” June 2022. https://anomsuryaputra.blogspot.com/2022/06/opini-teori-hukum-teori-hukum-jurgen.html
Dalam beberapa dekade terakhir karya Jürgen Habermas, seorang filsuf dan sosiolog Jerman, diperhitungkan sebagai pencapaian yang amat penting dalam teori sosial. Sejak tulisan-tulisan Habermas dikenal di publik sejak awal tahun 1960an, karyanya secara esensial telah mengkombinasikan aspirasi filosofis dan minat sosiologis dalam membangun teori masyarakat pada masa modern dan masa modern-akhir sambil mempertahankan sikap kritis terhadap masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Ambisi ganda dari karya Habermas terletak pada karakteristik menarik dan kesulitan-kesulitan utamanya, terutama dalam karakteristik penerimaannya, sebagaimana pengetahuan Habermas telah berkembang melalui peningkatan spesialisasi, bahkan dalam wilayah-wilayah pencarian yang tergambarkan, telah menjadi tatanan pada saat ini. Lebih jauh lagi, saat ini merupakan kebenaran untuk dicatat bahwa karya Habermas bukan saja ambisius dalam cakupan dan ketergantungan pada banyak tradisi intelektual, melainkan juga bahwa karya Habermas merupakan hasil yang rumit dan tidak selalu mudah untuk dipahami. Karakteristik ini agak ironis mengingat bahwa pemahaman timbal-balik adalah salah satu tujuan paling kritis dari karya Habermas, namun itu juga jangan dianggap sebagai hambatan yang tidak dapat teratasi pada analisis dan penerapan pemikirannya. Tulisan pada bagian ini diharapkan dapat memberikan ulasan kritis dengan menjelaskan unsur-unsur esensial dari teori-teori Habermas tentang hukum dan memandu pembaca menuju studi yang lebih rinci dan komprehensif terhadap pemikiran Habermas, karena relevan dengan minat mahasiswa hukum yang bekerja di berbagai tradisi disiplin ilmu.
Keberuntungan bagi para sarjana yang tertarik pada peran hukum dalam masyarakat modern bahwa Habermas telah mencurahkan beberapa tulisannya secara eksplisit terhadap studi hukum dan masalah-masalah yang terkait dengan hukum dalam masyarakat kontemporer. Daripada harus membangun teori hukum Habermasian sesuai dengan tema tulisannya tentang masyarakat, oleh karenanya, perspektif spesifik tentang hukum dapat ditemukan dalam karya Habermas itu sendiri. Namun, tugas membangun teori hukum Habermasian tidak sepenuhnya mudah karena telah ada evolusi dalam pemikiran Habermas, baik dalam hal aspirasi dan arah karyanya secara umum, maupun dalam hal pemikirannya secara khusus tentang hukum. Bab ini akan menempatkan gagasan Habermas tentang hukum dalam latar belakang karyanya yang lebih luas dalam teori dan filsafat sosial. Mengingat keunggulannya dalam ilmu sosial kontemporer, humaniora, dan filsafat, karya Habermas telah disambut oleh berbagai analisis dan komentar sekunder, dengan berbagai tingkat kegunaan, terdapat pula literatur yang akan saya bahas secara singkat pada akhir bab ini. Lebih penting lagi, kontribusi ini akan fokus pada menjelaskan ide-ide yang telah diperkenalkan Habermas sehubungan dengan studi hukum. Sesuai dengan tujuan tulisan ini untuk memberikan pengantar tentang peran teori sosial dalam studi hukum, kritik terhadap gagasan Habermas berada di luar cakupan tulisan ini. Tujuan utama dari tulisan ini adalah menempatkan teori hukum Habermas secara memadai dalam konteks sosiologi dan filsafatnya yang lebih luas.
1. Teori Kritis
Jürgen Habermas lahir di Düsseldorf, Jerman, pada tanggal 18 Juni 1922 dan menghabiskan sebagian besar masa kecilnya di dekat Gummersbach.[1] Setelah lulus dari sekolah menengah (Gimnasium) pasca berakhirnya Perang Dunia II, ia belajar di universitas di Göttingen, Zürich, dan Bonn dari tahun 1949 hingga 1954 hingga mendapatkan gelar doktor dalam bidang filsafat dengan disertasi yang membahas filsuf Jerman Friedrich Schelling. Setelah dua tahun bekerja sebagai jurnalis lepas, Habermas memulai kembali karir akademiknya dengan bergabung di Institute for Social Research di Universitas Johan Wolfgang Goethe di Frankfurt.
Institut Penelitian Sosial (Institut für Sozialforschung) telah didirikan secara pribadi oleh Felix Weil, putra seorang industrialis kaya, pada tahun 1923, dengan tujuan menyediakan rumah intelektual bagi kelompok ilmuwan sosial dan filsuf multi-disiplin yang bekerja di tradisi pemikiran Karl Marx.[2] Tak lama setelah perebutan kekuasaan Nazi pada tahun 1933, Institut ini ditutup oleh Gestapo. Beberapa anggota Institute (beberapa di antaranya juga Yahudi) pindah ke luar negeri, terutama ke New York City untuk melanjutkan kegiatannya. Setelah perang, Institut didirikan di Frankfurt pada tahun 1951 dan kembali menjadi rumah utama bagi tradisi intelektual yang sekarang dikenal sebagai Teori Kritis. Perspektif ini diwakili oleh Max Horkheimer, Theodor Adorno, Erich Fromm, Otto Kirchheimer, dan Herbert Marcuse, antara lain, diikuti oleh generasi cendekiawan yang lebih muda, diantaranya adalah Habermas yang menjadi tokoh kunci setelah awalnya ia menjadi asisten Adorno.
Perspektif Teori Kritis yang diwakili oleh Mazhab Frankfurt, sebagai anggota Institut mulai dikenal secara kolektif, pada awalnya diperkenalkan oleh Horkheimer pada tahun 1937 sebagai bagian dari Teori Tradisional.[3] Dalam upaya melakukan penafsiran ulang terhadap pemikiran Marxis dan penerapan prinsip sentralnya pada analisis sosial-ilmiah masyarakat modern, Horkheimer mendefinisikan Teori Kritis sebagai jembatan intelektual antara teori dan praksis, antara pengetahuan dan tindakan. Dengan demikian, perspektif tersebut menolak pandangan sederhana tentang kebebasan nilai dalam ilmu sosial dan sebaliknya berusaha untuk membangun hubungan yang intim antara pengetahuan dan sains di satu sisi dan emansipasi dan demokrasi di sisi lain.
Posisi Habermas dalam tradisi Teori Kritis lebih menarik untuk dicatat karena hal ini menunjukkan beberapa aspirasi dan ketegangan abadi dalam karyanya. Ketika Habermas mengembangkan ide-ide untuk Habilitationsschrift (disertasi pasca-doktor yang harus ditempuh para akademisi di Jerman), ia menjumpai kritik dari pembimbingnya di Frankfurt, terutama Horkheimer. Daripada merevisi karyanya, Habermas memutuskan untuk membawanya ke tempat lain dan mempertahankan disertasi dengan sukses di Universitas Marburg di bawah arahan ilmuwan politik Wolfgang Abendroth. Dalam penelitian ini, yang sampai sekarang masih menjadi salah satu karya empiris Habermas yang paling jelas berorientasi sosiologis, Habermas mengemukakan peran demokrasi dalam pengembangan masyarakat Barat modern.[4] Secara khusus, ia melacak perkembangan abad ke-18 dari ruang publik borjuis yang mana terdapat perdebatan mengenai hal-hal penting politik dan budaya, baik dalam pertemuan tatap muka di kafe, kedai kopi dan media cetak. Selama abad ke-20, Habermas berpendapat, potensi kritis dari ruang publik secara bertahap terkikis oleh komersialisasi ke dalam masyarakat massa opini publik.
Tema demokrasi yang merupakan pusat transformasi ruang publik adalah tema yang telah bertahan bersama Habermas sepanjang kariernya. Setelah dua tahun mengajar di Marburg dan Heidelberg, Habermas kembali ke Universitas Goethe di Frankfurt pada tahun 1964 sebagai profesor filsafat dan sosiologi. Antara tahun 1971 dan 1983, Habermas adalah salah satu direktur pada Institut Max Planck Jerman, serangkaian lembaga penelitian di Starnberg yang didanai oleh pemerintah tetapi independen. Setelah itu Habermas kembali ke Frankfurt sebagai profesor filsafat sampai pensiun pada tahun 1994, sejak itulah Habermas terus menjadi penulis dan partisipan yang produktif dalam berbagai debat publik dan akademik.
Jürgen Habermas
Meskipun ditempatkan secara khusus dalam tradisi Teori Kritis dan Marxisme, karya Habermas telah menikmati reputasi yang juga berdiri sendiri.[5] Selain karyanya di ruang publik, Habermas membuat dampak di awal karirnya melalui tulisan-tulisan epistemologisnya tentang hubungan antara teori dan praksis.[6] Yang paling terkenal dalam hal ini adalah konseptualisasi tentang berbagai tradisi ilmiah berdasarkan tiga kepentingan pengetahuan: (a) minat teknis ilmu-ilmu empiris yang berorientasi pada manipulasi lingkungan alam yang efektif; (b) kepentingan praktis dari tradisi hermeneutis yang berorientasi pada interpretasi makna yang tepat; dan (c) kepentingan emansipatoris dari ilmu sosial dan manusia kritis yang berorientasi pada analisis serta kritik dan perubahan sosial. Habermas menempatkan karyanya dalam tradisi yang terakhir, seperti yang dapat diharapkan dari seorang sarjana neo-Marxis. Sama pentingnya adalah bahwa karyanya segera mengambil, selain komponen filosofis yang tertanam dalam, juga minat sosiologis yang jelas dalam analisis masyarakat.
Dengan memusatkan perhatian pada pengembangan Habermas tentang teori masyarakat sistematis sejak akhir 1960-an dan terutama selama tahun 1970-an, yang paling mencolok adalah bahwa Habermas secara bertahap mulai menyimpang dari keasyikan Marxis yang selalu membahas buruh dan ekonomi, menuju dimasukkannya kategori interaksi, bahasa, dan demokrasi dalam pusat perhatiannya.[7] Dengan kata lain, apa yang ditambahkan Habermas pada Marxisme ortodoks yang berfokus pada kontrol atas alam (sebagai hubungan subjek-objek) adalah pandangan yang diperluas yang juga mempertimbangkan interaksi sosial (di antara subjek). Minat terhadap dimensi interaksional kehidupan sosial ini sudah ada, dalam bentuk embrionik, dalam karya Habermas di ruang publik, tetapi sekarang akan secara bertahap namun dengan konsisten diupayakan ke arah yang membawa Habermas tidak hanya jauh dari neo-Marxisme tetapi juga dari filsafat yang secara epistemologis menyibukkan diri terhadap teori komunikasi linguistik. Yang lebih menarik dalam konteks saat ini adalah bahwa Habermas pindah dari filsafat ke pusat perdebatan dalam teori sosiologis, khususnya dengan mengandalkan dikotomi antara, di satu sisi, teori tindakan, tindakan komunikatif, dan Dunia-Kehidupan (lifeworld), dan di sisi lain, teori sistem, tindakan strategis, dan sistem.[8]
Sebelum menjelaskan sistematika perkembangan intelektual ini dan pada akhirnya akan fokus pada pemikiran Habermas, dapat dikenali sejak awal bahwa hubungan Habermas dengan Marx dan kaum Marxis tetap merupakan masalah pertentangan yang berkelanjutan, sama halnya dengan jarak dan kedekatan relatifnya vis-à-vis tradisi filsafat (kontinental) dan sosiologi (teoritis). Hal penting yang dipenuhi dalam tulisan ini, Habermas tidak hanya bergerak dari teori sains melalui penyelidikan logika ilmu-ilmu sosial ke teori masyarakat, tetapi juga dari minat awal dan agak tidak pasti dan tidak sistematis sebagaimana semula dikembangkan dalam interaksi dan bahasa, ke teori masyarakat yang komprehensif yang sebagian didasarkan pada teori diskursus. Setelah mengklarifikasi epistemologi dari Teori Kritis sehubungan dengan kepentingan emansipatoris dan minat metodologis dalam fundasi teoritis-bahasa ilmu-ilmu sosial, Habermas telah mencapai langkahnya hingga pengembangan perspektif sosiologis dan filosofis yang menurutnya berguna untuk studi dan kritik masyarakat.
2. Teori Tindakan Komunikatif
Karya Habermas yang mengarah pada teori sosial baru memuncak dalam karya terbesarnya (magnum opus) yang mengesankan, Theory of Communicative Action, yang awalnya diterbitkan dalam bahasa Jerman pada tahun 1981 sebanyak dua volume.[9] Dalam konstruksi formal karya ini, Habermas bergantung pada model yang disajikan oleh Talcott Parsons dalam bukunya The Structure of Social Action[10] pada tahun 1937 untuk mengembangkan teori masyarakat secara sistematis dengan merujuk pada sekelompok penulis yang lebih baru dalam teori sosial. Karena teori yang dihasilkan dari tindakan komunikatif tetap menjadi pusat tulisan Habermas sampai hari ini dan juga mengandung kontribusi penting bagi studi hukum dalam masyarakat modern, ada baiknya mencurahkan waktu untuk menjelaskan kontur dasar aspek-aspek teori sosiologis Habermas ini berdasarkan ringkasan singkat dari Theory of Communicative Action.
Habermas memulai pemaparan teorinya dengan mendalilkan masalah rasionalitas tindakan atau rasionalisasi masyarakat sebagai subjek utama dalam teori sosiologis, kembali ke karya-karya besar klasik sosiologis. Tempat spesial sosiologi dalam hal ini diamankan karena disiplin ini telah mempertahankan minat dalam kajian masyarakat secara keseluruhan, bahkan ketika diferensiasi masyarakat adalah aspek utama dari pembangunan ke modernitas, membawa spesialisasi dalam sosiologi untuk fokus pada berbagai komponen kelembagaan diferensiasi (ekonomi, pemerintahan, hukum, budaya). Perspektif komprehensif ini bersifat informatif, tentu saja, yang diperoleh dari pemahaman yang tepat tentang dasar sosiologi hukum, yang didekati dari tradisi teoretis mana pun sebagai studi ilmiah hukum dalam masyarakat, daripada kesalahan putusan peradilan (jurisprudential) dalam hukum dan masyarakat. [11]
Habermas membedakan antara dua konsep rasionalitas: (a) rasionalitas instrumental-kognitif berkaitan dengan perilaku yang berorientasi pada keberhasilan realisasi tujuan tertentu; dan (b) rasionalitas komunikatif berlaku untuk interaksi para aktor yang berorientasi pada pemahaman timbal-balik. Yang penting, Habermas berpendapat bahwa tindakan sosial tidak dapat dibatasi ke arah salah satu konseptualisasi rasionalitas, tetapi bahwa dua bentuk rasionalitas itu harus dipahami secara ideal dan dengan demikian dapat diterapkan secara bervariasi ke berbagai formasi sosial pada berbagai tahap pembangunan.
Habermas menganggapnya sebagai karakteristik eksklusif interaksi manusia yang dimediasi secara simbolis berdasarkan penggunaan bahasa melalui tindakan-tutur. Dengan meninggalkan pembahasan sebelumnya yang lebih rinci tentang beberapa masalah yang melibatkan teori linguistik, Habermas berfokus pada klaim yang tersirat dalam penggunaan bahasa atau tindakan-tutur (speech-act) diantara para aktor karena mereka berorientasi pada pencapaian pemahaman. Meskipun konsensus bukan merupakan hasil yang diperlukan dari tindakan komunikatif, Habermas menyarankan bahwa tindakan-tutur (speech-act), yang cukup terbentuk dengan baik sehingga dapat dipahami, tak dapat diartikan menyiratkan klaim pada tiga tingkatan: (a) klaim bahwa tindakan-tutur (speech-act)itu benar sebagai korespondensi atau harmonisasi dengan pernyataan; (b) bahwa tindakan-tutur (speech-act) itu benar sehubungan dengan konteks normatif tertentu atau tersirat; dan (c) bahwa tindakan-tutur (speech-act)diungkapkan dengan jujur oleh pembicara. Habermas berpendapat bahwa tindakan komunikatif --yang diekspresikan baik secara lisan atau dengan cara yang setara seperti melalui gerakan atau tulisan-- menyiratkan bahwa semua klaim diterima atau, sebaliknya, satu atau lebih dari suatu klaim akan menjadi dipertanyakan dan dengan demikian menjadi pokok bahasan komunikasi tambahan mengenai validitas klaim yang tersirat. Habermas menyebut tatanan komunikasi ini sebagai diskursus dan dengan demikian membedakan: (a) diskursus teoretis tentang kebenaran; (b) diskursus praktis tentang kebenaran; dan (c) diskursus ekspresif dan evaluatif mengenai keaslian dan ketulusan.
Habermas mencatat bahwa validitas tindakan-tutur (speech-act)tidak secara rutin dipertanyakan karena hal itu terjadi dalam konteks Dunia-Kehidupan (Lebenswelt). Dengan meluas dari tradisi fenomenologis filsafat Jerman yang mapan, konsep Dunia-Kehidupan (Lebenswelt) didefinisikan oleh Habermas dengan merujuk pada seluruh nilai budaya, norma sosial, dan pola sosialisasi yang sering tetap tidak dipertanyakan di antara para pelaku dan, pada kenyataannya, memungkinkan interaksi terjadi. Untuk menjelaskan perkembangan spesifik atau rasionalisasi masyarakat modern, Habermas membuat dua pengamatan penting.
Pertama, rasionalisasi Dunia-Kehidupan (Lebenswelt) telah membawa diferensiasi internal di sekitar tiga fungsi utama: (a) reproduksi budaya untuk transmisi nilai-nilai; (b) integrasi sosial untuk koordinasi interaksi melalui norma-norma; dan (c) sosialisasi untuk pembentukan identitas pribadi.
Kedua, tingkat diferensiasi sosial tambahan harus diperkenalkan karena domain kehidupan sosial tertentu telah 'dipisahkan' dari Dunia-Kehidupan (Lebenswelt) berdasarkan medium interaksi non-komunikatif atau 'delinguistified'. Untuk mengkonseptualisasikan hubungan ini, perspektif interaksionis dari Dunia-Kehidupan (Lebenswelt) perlu dilengkapi dengan perspektif Sistem yang berfokus pada orientasi rasionalitas instrumental-kognitif untuk keberhasilan realisasi tujuan tertentu. Secara khusus, Habermas berpendapat, dalam konteks masyarakat Barat, sistem ekonomi kapitalisme dan sistem politik negara birokrasi telah berkembang yang berfungsi, masing-masing, berdasarkan uang dan kekuasaan. Rasionalitas transaksi moneter dalam ekonomi kapitalis sedemikian rupa sehingga hanya kriteria produktivitas yang dipertimbangkan, sedangkan kekuasaan di negara birokrasi berorientasi pada efektivitas dalam proses politik pengambilan keputusan.
Mirip dengan peran tindakan komunikatif di Dunia-Kehidupan (Lebenswelt), Habermas berpendapat bahwa tindakan kognitif-instrumental dalam sistem ekonomi dan politik tidak perlu selalu membawa konsekuensi yang bermasalah. Namun, masalah sosial terjadi ketika Dunia-Kehidupan (Lebenswelt) diterobos oleh sistem masyarakat sehingga tindakan komunikatif didefinisikan ulang dalam istilah instrumental. Tindakan yang berorientasi pada pemahaman timbal-balik kemudian diselewengkan ke dalam perilaku yang bertujuan untuk meraih kesuksesan. Habermas berpendapat bahwa masalah utama masyarakat modern akhir justru dari jenis ini. Penyakit sosial modern, seperti kehilangan makna, anomi, dan keterasingan, muncul sebagai akibat dari kolonisasi Dunia-Kehidupan (Lebenswelt) oleh Sistem ekonomi dan politik.
Dipahami dari sudut pandang teori sosiologis, perspektif Habermas tentang tindakan komunikatif dan sifat ganda masyarakat modern dalam Dunia-Kehidupan (Lebenswelt) dan Sistem telah menggabungkan wawasan dari perspektif interaksionis, di satu sisi, dan Teori Sistem, di sisi lain. Dengan demikian, Habermas mengandalkan karya-karya besar dari para penulis yang tampaknya sangat berbeda, seperti Max Weber dan Emile Durkheim serta Talcott Parsons dan Karl Marx. Terutama dari sudut pandang teori kritis, perspektif dua tingkat masyarakat dari Habermas harus dapat menunjukkan nilainya, selain konsistensi teoretisnya, sebagai teori modernitas yang dapat diterapkan secara bermanfaat dalam analisis formasi sosial konkret. Dalam bukunya Theory of Communicative Action, Habermas memang melakukan analisis semacam itu dan dengan demikian juga menetapkan teori sosiologis hukum (a sociological theory of law).
3. Hukum sebagai Institusi dan Hukum sebagai Medium
Teori tindakan komunikatif adalah kompleks dan rumit dilihat dari standar apa pun dan, terutama, mengingat orientasi abstrak dan ketergantungan pada banyak tradisi teori sosial. Sangat menarik untuk dicatat dalam hal ini bahwa Habermas menyarankan dalam kata pengantar untuk The Theory of Communicative Action bahwa pembaca yang bertanya-tanya tentang relevansi empiris karyanya dapat pertama kali membaca bab penutup buku ini, suatu bab yang mana Habermas menerapkan teorinya, terhadap analisis konkret dan memperkenalkan perspektif sosiologis hukum (a sociological perspective of law).[12] Yang menarik, Habermas lebih menyukai diskusi ini dengan menyatakan bahwa bidang hukum tidak menghadirkan masalah metodologis khusus karena, ia menulis, "Perkembangan hukum menjadi milik yang tak terbantahkan, sejak Durkheim dan Weber, milik wilayah penelitian sosiologi klasik." [13]
Konsep hukum Habermas mengacu pada tingkat paling umum pada pelembagaan norma.[14] Dengan demikian, pada tingkat filosofis, Habermas menempatkan hubungan intim antara hukum dan moralitas, yang mana ia mempertahankan hukum itu, bahkan dalam masyarakat yang sangat dirasionalisasi, mempertahankan dimensi normatif kritis. Meskipun ada kecenderungan ke arah teknokratisasi berdasarkan kriteria efisiensi instrumental, hukum modern mempertahankan perlunya pembenaran moral, lebih khusus berdasarkan kriteria prosedural yang hanya memungkinkan kekuatan argumen yang lebih baik melalui komunikasi dan debat. Dengan kata lain, Habermas berpendapat bahwa rasionalisasi hukum modern dalam istilah rasionalitas-bertujuan (purposive-rational terms), seperti Max Weber telah merumuskannya, hanya menyiratkan perpindahan, tetapi bukan penghapusan pertanyaan moral. Hukum modern dicirikan oleh kondisi legalitas dan legitimasi dan yang terakhir tidak habis oleh yang sebelumnya. Dalam istilah sederhana, itu bukan karena sesuatu itu legal sehingga diterima sebagai adil. Dengan demikian, karya Habermas pada hukum membuka jalan bagi komponen filosofis penting untuk menentukan landasan rasional hukum yang adil atau hubungan antara hukum dan hak.
Selain itu, Habermas berpendapat bahwa hukum dalam masyarakat modern berfungsi dan berkembang dengan cara yang perlu dibongkar secara sosiologis. Dalam diferensiasi Sistem dan Dunia-Kehidupan (lifeworld), hukum memenuhi fungsi sentral dengan melembagakan fungsi Uang dan Kekuasaan secara independen, masing-masing dalam sistem ekonomi dan administrasi. Fungsi ini dipenuhi, lebih khusus, dalam hukum privat dan hukum publik. Pentingnya peran hukum juga ditunjukkan dari fakta bahwa otoritas politik secara historis telah berevolusi dari kantor peradilan (judicial offices). Dalam pengertian abadi yang relevan dengan masyarakat kontemporer, hubungan khusus antara hukum dan politik ditegaskan oleh fakta bahwa peraturan perundang-undangan adalah fungsi politik dan bahwa otoritas politik, seperti yang telah dinyatakan Weber, adalah legal-rasional.
Dalam bab penutup/kesimpulan dari Theory of Communicative Action, Habermas melakukan penyelidikan historis yang agak rinci tentang perkembangan hukum, yang memungkinkannya untuk menunjukkan nilai empiris teorinya dan dalam perjalanannya ia mengembangkan sosiologi hukum yang lebih komprehensif. [15] Secara khusus, Habermas bergantung pada konsep yuridifikasi (Verrechtligung) untuk menyarankan pengembangan negara kesejahteraan. Secara umum, yuridifikasi mengacu pada peningkatan hukum formal atau tertulis, baik dalam bentuk perluasan hukum yang sampai sekarang tidak diatur atau dalam bentuk pemadatan hukum (densifikasi; densification) dalam bentuk regulasi perilaku yang lebih rinci ketimbang yang sudah diatur secara hukum.
Dalam sejarah sistem negara Eropa Habermas menganalisis proses yuridifikasi dalam perkembangan menuju negara kesejahteraan dan menyajikan 4 (empat) gelombang yuridifikasi.[16]
Pertama, dalam periode negara borjuis yang berkembang di Eropa sebelum abad ke-19, ekonomi kapitalis mulai berkembang yang mana klas industrialis baru dapat secara bertahap mengamankan hak-hak hukum untuk melakukan bisnis di pasar, sambil meninggalkan kekuatan absolut dari penguasa. Penguasa di bidang politik tidak tersentuh. Hukum perdata pada periode ini dengan demikian menjamin hak dan kewajiban kebebasan di pasar ekonomi untuk mengatur hubungan kontraktual.
Kedua, selama perkembangan negara konstitusional abad ke-19, hak-hak pribadi warga negara untuk hidup, kebebasan, dan properti dijamin dan bertentangan dengan hak-hak kedaulatan politik. Dengan kata lain, hak-hak kebebasan sekarang dijamin secara hukum terhadap aktivitas mencurigakan (intrusi; intrution) para penguasa politik, yang memegang kebijakan ekonomi laissez-faire.
Ketiga, ketika sistem negara demokratis-konstitusional berkembang dibawah pengaruh gagasan-gagasan Revolusi Prancis, warga negara dapat secara sah memastikan hak untuk juga berpartisipasi dalam pembentukan pemerintahan mereka dengan cara melembagakan proses pemilihan demokratis. Dengan demikian, yuridifikasi mensyaratkan pelembagaan hukum hak sosial dalam sistem politik.
Keempat, dengan perkembangan negara kesejahteraan demokratis selama abad ke-20, undang-undang kesejahteraan sosial disahkan untuk memastikan bahwa masalah-masalah tertentu yang timbul dalam masyarakat kapitalis ditanggapi berdasarkan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan untuk menjamin bahwa kebutuhan dasar tertentu dipenuhi. Dalam tahap akhir ini, dengan kata lain, hak sosial yang dijamin secara hukum bereaksi terhadap fungsi pasar yang tidak terkendali.
Habermas menguraikan sejarah yuridifikasi ini untuk menunjukkan hukum kesejahteraan dapat ditafsirkan dalam hal pelembagaan hak-hak Dunia-Kehidupan (Lebenswelt) vis-à-vis sistem ekonomi dan politik. Undang-undang kesejahteraan berasal dari meningkatnya tuntutan Dunia-Kehidupan (Lebenswelt) untuk bertindak di dalam dan bereaksi terhadap cara kerja independen dari Sistem yang dikendalikan oleh medium. Dengan demikian, hak individu dan sosial harus dijamin atas dasar keseimbangan prinsip-prinsip kebebasan dan kesetaraan. Namun, dalam perkembangan hukum kesejahteraan, Habermas mencatat dampak tertentu yang tidak diinginkan.[17] Sementara hukum kesejahteraan ditujukan untuk mengurangi penyakit sosial yang disebabkan oleh berfungsinya ekonomi kapitalis, cara yang mana masalah-masalah ini ditanggapi secara hukum dibingkai dalam istilah yang mengakomodasi Sistem ekonomi dan administrasi. Bentuk hukum yang mana hak dijamin dengan sendirinya dan dengan demikian membahayakan sebagian dari hak-hak itu. Habermas merinci empat masalah khususnya: (a) undang-undang kesejahteraan menjamin hak yang dipahami sebagai klaim individual meskipun masalah yang ditangani bersifat kolektif; (b) klaim harus berhasil mengajukan petisi dalam kondisi yang ditentukan secara formal; (c) klaim dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan organisasi birokrasi besar daripada orang-orang yang terlibat; dan (d) hak seringkali berupa kompensasi moneter. Dengan kata lain, hak-hak yang dijamin oleh undang-undang kesejahteraan didefinisikan dan diterapkan dalam konteks medium Uang dan Kekuasaan.
Dalam perumusan awal sosiologi hukumnya dalam The Theory of Communicative Action, Habermas menafsirkan implikasi ambivalen dari pengembangan hukum kesejahteraan berdasarkan konsep ganda hukum.[18] Di satu sisi, Hukum sebagai Institusi merujuk pada norma-norma hukum yang tetap membutuhkan pembenaran atas dasar hubungan erat antara hukum dengan moralitas. Habermas dalam kasus ini menyebutkan bidang hukum tertentu yang terkait erat dengan sistem kepercayaan yang dipegang teguh, seperti hukum pidana. Di sisi lain, Habermas berpendapat bahwa hukum juga dapat berfungsi sebagai medium, dalam hal ini cukup bahwa aturan hukum beroperasi secara efektif melalui prosedur tertentu, seperti dalam kasus hukum bisnis dan administrasi. Sementara hukum sebagai institusi milik Dunia-Kehidupan (Lebenswelt), Hukum sebagai Medium pengarah dibebaskan dari pembenaran substantif karena beroperasi dalam Sistem politik dan ekonomi berdasarkan kebutuhan fungsional.
Seperti yang ditunjukkan oleh kasus hukum kesejahteraan, Hukum sebagai Medium juga dapat menyangkut bidang-bidang masyarakat yang layak dimiliki Dunia-Kehidupan (Lebenswelt). Misalnya, masalah kolektif pengangguran struktural dan usia tua dalam undang-undang kesejahteraan didefinisikan ulang sebagai klaim individual yang harus dipenuhi oleh penyelesaian moneter. Habermas membahas masalah yang sama dalam hukum keluarga dan sekolah (Jerman).[19] Di bidang-bidang ini, hak-hak dasar dijamin atas dasar prinsip kesejahteraan anak dan kesempatan yang sama bagi semua pihak (siswa, guru, suami, istri, orang tua, anak). Namun, untuk mengamankan hak-hak ini secara hukum, keluarga dan sekolah harus didefinisikan ulang dan diformalkan dalam hal yang memungkinkan adanya intervensi birokrasi dan kontrol peradilan. Aturan perundang-undangan tentang keluarga dan sekolah dapat melengkapi hubungan informal yang ada di bidang kehidupan sosial Dunia-Kehidupan (Lebenswelt) ini, tetapi aturan perundang-undangan tersebut kadang-kadang juga dapat melangkah lebih jauh dan mengganggu keluarga dan sekolah melalui sarana Hukum sebagai Medium. Seorang anak, misalnya, secara hukum dapat dikecualikan dari rumah berdasarkan putusan hakim untuk melindungi kesejahteraan fisik anak tersebut, sementara putusan hakim itu tidak mempertimbangkan bahwa pendekatan yang berbeda mungkin dilakukan atas dasar lebih banyak sudut pandang holistik yang juga mempertimbangkan dimensi penting lain dari hubungan anak-orang tua. Dalam kasus-kasus seperti itu, terdapat kolonisasi internal Dunia-Kehidupan (Lifeworld) melalui Hukum sebagai Medium.
4. Hukum Antara Fakta dan Keabsahan Normatif
Perspektif Habermas tentang hukum dan moralitas membuka jalan bagi komponen filosofis penting dalam karyanya untuk menentukan cara masyarakat modern dapat mengamankan legitimasi legalitas. Namun, pada saat yang sama, Habermas juga memperkenalkan konsep Hukum sebagai Medium yang akan terbebas dari diskusi-diskusi normatif. Dalam kontur ambisi teoretis Habermas sendiri, konseptualisasi ganda dalam Teori Hukum Habermas ini mengungkapkan masalah yang tidak dapat diatasi karena hanya dapat dipertahankan bila berbagai bidang hukum dapat dikategorikan sebagai Hukum sebagai Institusi atau Hukum sebagai Medium. Namun, ketika Habermas sendiri memperkenalkan terminologi dalam The Theory of Communicative Action, ini tidak terjadi di bidang kebijakan kesejahteraan dan hukum sekolah dan keluarga. Dalam hal ini, aturan hukum masuk ke dalam dimensi Dunia-Kehidupan (Lebenswelt) berdasarkan kebutuhan Sistem dan dengan demikian menghasilkan masalah-masalah tertentu, yang dibahas dalam diskusi tentang deregulasi, debirokratisasi, dan istilah-istilah lain yang secara moral dapat dibenarkan. Konsep Hukum sebagai Medium dan gagasan terkait kolonisasi internal dari Dunia-Kehidupan (Lebenswelt) tidak secara konseptual bermakna dalam konteks teori Habermas sendiri.
Habermas segera menyadari kesalahan yang agak langsung ia susun dalam formulasi awalnya. Menanggapi kritik terhadap karyanya,[20] Habermas menulis bahwa tesisnya tentang yuridifikasi "mungkin terlalu sombong"[21] dan bahwa ia tidak dapat mempertahankan perbedaan antara Hukum sebagai Institusi dan Hukum sebagai Medium.[22] Kesalahan itu mungkin dihasilkan dari fakta bahwa Habermas dalam bukunya yang awal pada tahun 1981 memperlakukan Dunia-Kehidupan (Lebenswelt) agak sepihak dari perspektif efek yang berpotensi merusak Sistem dan efek kolonisasi Dunia-Kehidupan (Lebenswelt). Mungkin terburu-buru untuk menunjukkan potensi kritis teorinya, buku Habermas sebenarnya adalah suatu teori dan studi tentang Tindakan Strategis dan Sistem seperti halnya Tindakan Komunikatif danDunia-Kehidupan (Lebenswelt).
Konsekuensi intelektual yang konsisten adalah Habermas telah merumuskan kembali teori hukumnya untuk mengonseptualisasikan hukum sepenuhnya sebagai institusi Dunia-Kehidupan (Lebenswelt). Pada tahun 1992, Habermas secara sistematis membahas pemikirannya tentang hukum dalam bukunya, Faktizität und Geltung, yang diterjemahkan pada tahun 1996 sebagai Between Facts and Norms (Antara Fakta dan Keabsahan Normatif).[23] Studi ini adalah hasil dari proyek hibah lima tahun yang diberikan kepada Habermas pada pertengahan 1980-an dengan subjek yang dipilihnya sendiri. Habermas kemudian membentuk kelompok penelitian tentang teori hukum yang mana beberapa filsuf hukum, sosiolog hukum, dan ahli hukum berpartisipasi, menghasilkan berbagai publikasi tentang peran hukum dalam masyarakat modern.
Karya Habermas membahas secara luas hukum modern yang dapat dibenarkan secara rasional berdasarkan sistem hak. Konseptualisasi ini menyiratkan bahwa hukum terkait erat dengan moralitas dan, lebih khusus bahwa norma-norma moral dan hukum berorientasi pada penyelesaian masalah integrasi sosial di Dunia-Kehidupan (Lebenswelt). Norma moral dan hukum dibedakan oleh tingkat pelembagaan dan formalisasi yang berbeda. Norma-norma moral memiliki keuntungan tertanam secara mendalam ke dalam Dunia-Kehidupan (Lebenswelt) berbagai komunitas, tetapi mereka kehilangan kekuatan koersif dan penegakan hukum. Untuk memastikan otoritas norma-norma hukum, hukum juga tetap terhubung dengan sistem politik, yang mengawasi administrasi dan penegakan hukum yang tepat dan idealnya efektif. Karakteristik hukum modern untuk menggabungkan klaim legitimasi dan jaminan legalitas sesuai dengan relevansi sosial dan sentralitas sosial-teoretisnya.
Atas dasar perspektif hukum baru Habermas, teori hukumnya dalam The Theory of Communicative Action secara singkat dapat dirumuskan ulang. Regulasi Uang dan Kekuasaan memang dapat dipahami sebagai penahan normatif dalam Dunia-Kehidupan (Lebenswelt). Hukum bisnis dan hukum administrasi tidak hanya mengatur cara kerja sistem ekonomi dan administrasi secara efisien atau fungsional, tetapi mereka melakukannya dengan otoritatif juga dengan mengacu pada norma-norma pembenaran. Selain itu, dan bahkan yang lebih penting, tesis yang ditentukan sebelumnya tentang kolonisasi internal Dunia-Kehidupan (Lebenswelt) saat ini dapat direkonseptualisasi sebagai kolonisasi hukum itu sendiri. Dengan kata lain, hukum modern dapat dikolonisasi oleh sistem ekonomi dan politik sedemikian rupa sehingga norma dan praktik hukum didefinisikan ulang dan diimplementasikan berdasarkan standar efisiensi instrumental.
Mengingat karakteristik ganda legitimasi dan legalitas hukum, tujuan utama Habermas dalam Between Facts and Norms (Antara Fakta dan Keabasahan Normatif) adalah untuk menguraikan teori hukum yang menjembatani filsafat hukum (normatif) dan sosiologi hukum (empiris), mengkombinasikan wawasan yang berasal dari kedua tradisi tersebut. Secara khusus, Habermas berpendapat bahwa hukum, di satu sisi, harus bergantung pada kekuatan koersif negara untuk dikelola dengan baik tetapi di sisi lain, juga harus didasarkan pada klaim hak yang diakui secara intersubjektif. Pada tingkat ajudikasi yang mana aturan hukum diterapkan dan ditafsirkan, norma-norma hukum diukur secara tepat dalam hal kesesuaiannya dengan kasus-kasus tertentu atau dengan prinsip-prinsip konstitusional, tanpa legitimasi norma-norma hukum itu sendiri yang dipermasalahkan.
Selain berusaha merekonstruksi hukum modern dalam hubungannya dengan moralitas dan hak, Habermas menghabiskan banyak waktu untuk merenungkan hubungan antara hukum dan politik dalam kondisi rezim demokratis. Karya Habermas dengan demikian tidak hanya merupakan filsafat hukum disamping sosiologi hukum, tetapi juga teori politik, meskipun dengan implikasi penting bagi hukum. Secara khusus, Habermas membela konsep demokrasi deliberatif yang berfokus pada prosedur yang ada, atau harus ada, ide-ide dan cita-cita yang menginformasikan perdebatan demokratis serta keputusan yang dibawa dalam rezim demokratis tetap terbuka untuk diperdebatkan. Dengan demikian, fungsi penting bagi hukum adalah untuk menetapkan prosedur yang memastikan bahwa norma-norma hukum memungkinkan koeksistensi damai dari pluralitas tradisi etis. Dengan kata lain hukum demokratis diperlukan untuk menjamin bahwa norma-norma dapat mengoordinasikan tindakan sosial dan mengamankan integrasi sosial, mengingat pelestarian keanekaragaman nilai dalam pluralitas Dunia-Kehidupan (Lebenswelt). Masalah utama dalam karya Habermas adalah hubungan antara hukum (norma) dan budaya (nilai-nilai), masalah yang sangat mengharukan mengingat semakin meningkatnya kecenderungan menuju multi-kulturalisme.
5. Penerimaan dan Kritik
Bab ini terutama berorientasi pada pemaparan ide-ide Habermas tentang hukum dalam konteks proyek teoretisnya yang lebih luas, tetapi juga bermanfaat untuk melihat secara singkat karya Habermas yang berpengaruh di bidang hukum dan studi sosial-hukum. Sebagaimana dicatat, teori hukum Habermas melibatkan komponen filsafat dan sosiologi yang berbeda. Karya Habermas konsekuensinya juga telah dibahas di berbagai bidang disiplin ilmu, meskipun dalam cara yang kurang terintegrasi sebagaimana capaian Habermas dalam karyanya sendiri. Juga harus diperhatikan bahwa tulisan-tulisan Habermas tentang hukum telah melibatkan pergeseran dari sosiologi hukum, yang diartikulasikan secara paling komprehensif dalam Theory of Communicative Action, ke pertanyaan-pertanyaan tentang filsafat hukum (dan politik), yang terutama ia bahas dalam buku Between Facts and Norms (Antara Fakta dan Keabsahan Normatif).
Sebagai hasil dari pergeseran dalam teori hukum Habermas, konsekuensi-konsekuensi tertentu dan terkadang bermasalah, dapat dicatat dalam penerimaan karyanya di bidang akademik yang tertarik dalam studi hukum. Dalam literatur sekunder, perdebatan filsafat jauh lebih besar daripada tulisan sosiologis, dan diskusi teoretis jauh lebih lazim daripada penyelidikan empiris. Juga, mayoritas sumber sekunder tentang teori hukum Habermas diterbitkan pada 1980-an dan 1990-an, dengan perhatian yang kurang eksplisit sejak saat itu. Faktor yang berkontribusi terhadap penurunan relatif ini adalah Habermas dalam beberapa tahun terakhir telah menulis tentang topik-topik yang tidak memiliki hubungan langsung dengan hukum, sebagian besar upayanya ditujukan untuk integrasi Uni Eropa, politik internasional (terutama sejak peristiwa 9/11), dan perubahan peran agama di dunia.[24]
Meninjau perdebatan dan kritik yang telah dipublikasikan tentang teori hukum Habermas, beberapa arus dapat dideteksi dari berbagai tingkat kecanggihan teoretis dan kegunaan empiris. Menyusul publikasi awal Theory of Communicative Action, beberapa makalah dicurahkan dari dalam Ilmu Hukum (jurisprudence) dan studi sosial-hukum ke eksposisi dan kritik internal atas perumusan Habermas tentang Hukum sebagai Institusi dan Hukum sebagai Medium. Secara teoritis, dengan demikian menarik untuk mengamati bahwa beberapa sarjana sosial-hukum dengan mudah mengamati kontradiksi internal dalam teori, yang mana Habermas juga cepat mengakui dan ia akan lakukan secara bertahap, selama tahun 1980-an, untuk mengeksplorasi secara lebih rinci mengembangkan filsafat sistem hak, hukum, dan moralitas di bawah tema 'Etika Diskursus' (Diskursethik).[25]
Sebagai spesifikasi kondisi prosedural yang mana pertanyaan hukum dan perdebatan tentang Dunia-Kehidupan (Lebenswelt) lainnya dapat dilakukan secara valid/sah, perspektif Etika Diskursus menunjukkan bahwa norma hanya dapat valid/sah ketika mereka bertemu atau dapat bertemu dengan persetujuan dari semua orang yang terkena dampak. Tekad seperti itu mengandaikan kondisi-kondisi yang disebut situasi perbincangan-yang-ideal (ideal-speech), yang mana tidak ada orang yang kompeten untuk berbicara akan ditolak mengemukakan argumen atau pertanyaan yang dianggap relevan dan orang tersebut tidak akan dikeluarkan dari perdebatan. Kondisi-kondisi ini, menurut Habermas, bukan utopis karena mereka diandaikan dalam tindakan komunikatif, seperti yang diungkapkan paling tajam, ketika mereka ternyata telah dilanggar. Implikasi utama dari Etika Diskursus terhadap filsafat hukum Habermas, seperti yang ia jelaskan didalam buku Between Facts and Norms (Antara Fakta dan Keabsahan Normatif), adalah penekanan pada kondisi prosedural dari prosedur di berbagai tingkat hukum, mulai dari aturan perundang-undangan tentang ajudikasi hingga penegakan hukum.
Disesuaikan dengan kebutuhan ilmu hukum dan ilmu sosial yang berorientasi empiris, beberapa ilmuwan telah menerapkan wawasan teori Habermas dalam penelitian mereka. Mengingat ambivalensi dari perspektif hukum awal Habermas, hasilnya menyajikan ulasan yang beragam. Beberapa ilmuwan yang bekerja dalam tradisi kritis ilmu sosial, terutama di bidang peradilan pidana dan kriminologi, mengandalkan teori sosial Habermas untuk merenungkan kualitas sistemik hukum, terutama di bidang hukum pidana. Secara khusus, perspektif abolisionis yang telah dikembangkan dalam tradisi kriminologi kritis di Eropa melakukan upaya ini untuk menyatakan bahwa sistem peradilan pidana modern menangani masalah penyimpangan dan kejahatan sedemikian rupa sehingga cara mengatasi masalah ini dialami oleh para partisipan sendiri yang mana tidak diperlakukan untuk memperoleh keadilan, melainkan diperlakukan berdasarkan persyaratan dari administrator hukum dan politik dan budaya ahli profesional lainnya.[26] Beberapa sarjana abolisionis merumuskan kembali orientasi teoretis ini dalam istilah konseptual yang berasal dari teori tindakan komunikatif untuk menyatakan bahwa sistem peradilan pidana memang harus dipahami sebagai Sistem dalam artian istilah yang digunakan oleh Habermas. Tak perlu dikatakan, penggunaan ide Habermas yang tidak sistematis ini melibatkan kesalahan serius dalam membaca karyanya.[27] Dengan mengandalkan konsepsi administrasi hukum pidana sebagai suatu Sistem dalam pengertian Habermasian, perspektif abolisionis sepenuhnya mengabaikan kemungkinan hukum yang disahkan secara prosedural dan tempat hukum di Dunia-Kehidupan (Lebenswelt). Teori sosial dan hukum Habermas sama sekali tidak cocok untuk mendukung upaya abolisionis untuk menghapuskan Sistem peradilan pidana, tetapi sebaliknya akan berguna untuk bekerja menuju demokratisasi hukum pidana yang dijamin secara prosedural.
Tuduhan ketergantungan secara konseptual yang tidak dapat dibenarkan pada karya Habermas dalam perspektif abolisionis hukum pidana, yang sebagian besar merupakan tradisi Eropa-Kontinental, juga berlaku untuk arus gerakan Studi Hukum Kritis.[28] Terutama karena telah dikembangkan dan dipraktekkan di Amerika Serikat dan Inggris, gerakan Studi Hukum Kritis mewakili beragam kelompok ilmuwan hukum yang pada dasarnya berpendapat bahwa hukum pada dasarnya ditandai oleh ketidakpastian yang berakar pada pengambilan keputusan yang sewenang-wenang terhadap dasar dari prinsip-prinsip hukum yang saling bertentangan. Dikembangkan dalam batas-batas profesional Ilmu Hukum (jurisprudence), para ilmuwan yang bekerja dalam tradisi Studi Hukum Kritis telah mengandalkan berbagai pemikir dalam filsafat dan teori sosial untuk membenarkan program mereka. Kadang-kadang, nama Habermas dan aspek-aspek tertentu dari pemikirannya juga muncul.[29] Namun, dalam literatur Studi Hukum Kritis yang luas dan beragam, karya Habermas sebagian besar disesuaikan dalam bentuk yang mencampuradukkannya, seolah-olah tanpa menyadari ketidakkonsistenan teoretis dan filosofis yang terlibat, dengan banyak cendekiawan dan tradisi lain yang beragam seperti Marxisme, feminisme, dan, yang paling menyusahkan dari sudut pandang Habermasian, pasca-strukturalisme, dan pasca-modernisme.[30] Mungkin kumpulan ini sendiri dapat dianggap sebagai pose pascamodern, tetapi tentu saja ini sepenuhnya bertentangan dengan pemikiran Habermas sebagai salah satu pendukung setia tradisi modernis yang berasal dari Pencerahan.[31]
Membandingkan teori hukum Habermas dengan teori-teori hukum ilmuwan sosial-hukum lainnya telah membentuk area perdebatan lain dalam literatur sekunder. Hingga taraf tertentu, tulisan-tulisan ini melibatkan diskusi aktual antara Habermas dan para sarjana lainnya. Dalam tradisi nasional yang mana Habermas berada, perdebatan Habermas dengan sosiolog Jerman Niklas Luhmann menonjol.[32] Seperti yang dijelaskan lebih lanjut oleh Michael King di bagian lain dalam buku ini, Luhmann mengembangkan teori hukum autopoietik yang menganggap semua masyarakat dan bagian-bagiannya dalam istilah sistemik yang beroperasi secara tertutup. Sebagai tanggapan, itu tidak akan mengejutkan, Habermas secara mendasar menentang teori Luhmann karena Luhmann tidak mengakui kekhasan Dunia-Kehidupan (Lebenswelt) dalam istilah aksi-teoretis. Sehubungan dengan studi hukum, Habermas akibatnya menolak gagasan istilah Sistem yang beroperasi tertutup itu dan menyarankan bahwa hukum memenuhi fungsi mediasi penting antara Dunia-Kehidupan (Lebenswelt) dan Sistem, sekaligus negosiasi antara tuntutan tindakan komunikatif sehari-hari, di satu sisi, dan kebutuhan fungsional dari sistem ekonomi dan administrasi, di sisi lain.[33] Kapasitas hukum modern ini, dibawah kondisi politik yang demokratis dan legitimasi yang dibenarkan secara prosedural, secara tepat menjelaskan sentralitasnya dalam masyarakat kontemporer. Hubungan antara hukum dan moralitas, yang dianggap Luhmann sebagai dua sistem tertutup yang terpisah, tetap menjadi pusat perhatian Habermas.
Perbandingan tambahan tentang Habermas dikaitkan dengan para akademisi sosial-hukum atau teoritisi sosial dengan relevansi yang tersirat atau eksplisit dengan studi hukum telah dilakukan oleh komentator secara independen dari setiap debat aktual yang telah dilakukan oleh Habermas.[34] Dalam hal ini, perdebatan antara Habermas dan Michel Foucault memiliki arti khusus karena kedua intelektual telah sangat mengilhami kerja hukum dan sosial-hukum.[35] Namun, perbandingan semacam itu setidaknya didukung oleh tulisan-tulisan yang mana kedua penulis secara eksplisit membahas nilai kontribusi masing-masing.[36] Hasil-hasil tersebut dan latihan-latihan interpretatif semacam itu tetap renggang setidaknya sejauh perbandingan teoretis dapat dinilai tidak beralasan, karena para sarjana awal tidak memaparkan pada ide mereka masing-masing atau, paling tidak, tidak menilai mereka berguna untuk dihibur.
Obsesi ilmiah yang jelas untuk mencoba memikirkan, untuk atau menentang Habermas, belum dilengkapi dengan keingintahuan yang sama antusiasnya untuk melakukan penyelidikan empiris berdasarkan teori-teori Habermas. Keterbatasan malang dalam literatur sekunder ini berlaku untuk seluruh penerimaan karya tertulis (oeuvre) Habermas dan banyak tema substantifnya, tetapi telah secara khusus diucapkan dalam bidang teori politik dan hukum. Perkembangan dalam teori hukum Habermas menuju filsafat hukum, hak, dan politik deliberatif melalui publikasi buku Between Facts and Norms (Antara Fakta dan Keabsahan Normatif), dengan mengorbankan penyelidikan sosiologis yang lebih sistematis, juga telah mendorong arah ke suatu arah komentar dan eksposisi yang secara dominan bersifat teoritis tanpa observasi (a predominantly theoretical nature).[37] Dan di antara yang terakhir, tujuan filsafat hukum telah dilayani jauh lebih baik daripada tujuan sosiologi hukum dan, lebih luas, studi sosial-hukum.
Di antara aplikasi empiris teori hukum Habermas yang relatif sedikit tersedia adalah studi penulis saat ini di bidang sosiologi hukum yang menerapkan proposisi yang berasal dari teori Habermas untuk analisis sejarah hukum aborsi Amerika Serikat.[38] Karya yang berkaitan dengan pengembangan perspektif kontrol sosial berdasarkan teori Habermas tentang Sistem dan Dunia-Kehidupan (Lebenswelt) dan penerapannya pada bentuk-bentuk pengawasan (surveillance).[39] Mengingat sedikitnya penggunaan karya Habermas dalam sosiologi hukum (dan studi sosio-hukum secara lebih luas), sangat mengejutkan bahwa upaya yang paling berkelanjutan untuk mengembangkan aplikasi empiris dari teori hukum Habermas telah dikontribusikan oleh penulis dalam bidang ilmu hukum (jurisprudence). Sampai taraf tertentu ini berlaku terhadap kumpulan karya dalam ilmu hukum (jurisprudence) profesional Amerika yang mana konsep Habermas kadang-kadang menginformasikan analisis aspek spesifik kebijakan hukum.[40] Namun, pengaruh kerja hukum Habermas sangat kuat dalam tradisi ilmu hukum (jurisprudence) Jerman yang lebih berorientasi akademis, yang telah memberikan kontribusi besar pada pemahaman hukum yang terinspirasi Habermasian dalam pengaturan sosio-historis yang konkret.[41] Berhubungan dengan kebutuhan mahasiswa hukum yang berpikiran empiris, model diskursus Habermas diterapkan pada analisis diskursus yuridis berdasarkan pada prinsip bahwa debat hukum (mulai dari diskusi legislatif hingga putusan pengadilan) bergantung pada instrumen linguistik untuk sampai pada kesimpulan rasional yang berorientasi pada pertemuan konsensus dari semua yang terlibat. Dari sudut pandang kebijakan hukum yang praktis dipikirkan, karya semacam itu dapat mengarahkan cara untuk mengembangkan aturan hukum dalam bentuk yuridifikasi yang tidak terdistorsi secara sistematis dan sebaliknya bertanggung jawab secara demokratis.
Terlepas dari kekuatan dan keterbatasan debat tentang manfaat teori hukum Habermas dalam bidang studi hukum dan sosial-hukum, karya-karya sekunder semacam itu menunjukkan potensi relevansi Habermas dengan studi hukum modern. Secara konseptual, karya-karya sekunder itu memberikan klarifikasi dalam konteks proyek teoretis Habermas yang lebih luas serta relatif terhadap teori-teori lain yang bersaing dan saling melengkapi. Penerapan empiris dalam ilmu sosial dan penelitian hukum juga menunjukkan bahwa memungkinkan untuk menggunakan teori hukum Habermas daripada sekadar mendiskusikan Habermas. Tulisan pada bab ini juga berharap untuk menjelaskan beberapa elemen kunci teori hukum Habermas yang dapat dan harus diteliti lebih lanjut melalui konsultasi dengan sumber-sumber utama, suatu bacaan yang dapat dan idealnya juga akan membuka jalan menuju uraian Tradisi Habermasian yang bekerja secara empiris terhadap hukum.
- - - - - - - - - -
[1] Tentang karya dan kehidupan Habermas, lihat MB Matuštík, Jürgen Habermas: A Philosophical-Political Profile (Lanham, MD, Rowman & Littlefield, 2001).
[2] M Jay, The Dialectical Imagination: A History of the Frankfurt School and the Institute of Social Research, 1923-1950 (Berkeley, CA, University of California Press, 1996).
[3] M Horkheimer, ‘Traditionelle und Kritische Theorie’ (1937) 6 Zeitschrift fur Sozialforschung 245.
[4] Studi yang telah dipublikasikan awal pada tahun 1962 dan diterjemahkan dalam Bahasa Inggris tahun 1989. Lihat J Habermas, Strukturwandel der Öffentlichkeit. Untersuchungen zu einer Kategorie der bürgerlichen Gesellschaft (Neuwied/Berlin, Luchterhand, 1962); J Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society (Cambridge, MA, The MIT Press, 1989).
[5] Ada banyak tinjauan tentang karya Habermas yang tersedia yang dapat membantu untuk memperkenalkan tulisan-tulisannya sendiri. Lihat, misalnya, D Ingram, Habermas: Introduction and Analysis (Ithaca, Cornell University Press, 2010); T McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas (Cambridge, MIT Press, 1978).
[6] J Habermas, Technik und Wissenschaft als “Ideologie” (Frankfurt, Suhrkamp, 1968); Terjemahan Inggris: J Habermas, Theory and Practice (Boston, Beacon Press, 1973). See also: J Habermas, Knowledge and Human Interests (Cambridge, Polity Press, 1987).
[7] Habermas, Theory and Practice, 142.
[8] J Habermas, Zur Rekonstruktion des historischen Materialismus (Frankfurt, Suhrkamp, 1976); Terjemahan Inggris: J Habermas, Communication and the Evolution of Society (London, Heinemann, 1979); J Habermas, Legitimationsprobleme im Spätkapitalismus (Frankfurt, Suhrkamp, 1973); Terjemahan Inggris: J Habermas, Legitimation Crisis (Cambridge, Polity Press, 1988). Implikasi metodologis dari perubahan menuju teori sosial dibahas dalam: J Habermas, Zur Logik der Sozialwissenschaften (Frankfurt, Suhrkamp, 1970); Terjemahan Inggris: J Habermas, On the Logic of the Social Sciences (Cambridge, Polity Press, 1988).
[9] J Habermas, Theorie des kommunikativen Handelns, 2 volumes (Frankfurt, Suhrkamp, 1981); Terjemahan Inggris: J Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume 1: Reason and the Rationalization of Society (Boston, Beacon Press, 1984); J Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume 2: System and Lifeworld: A Critique of Functionalist Reason (Boston, Beacon Press, 1987).
[10] T Parsons, The Structure of Social Action (New York, McGraw-Hill, 1937).
[11] M Deflem, Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition (Cambridge, Cambridge University Press, 2008).
[12] Habermas, Theory of Communicative Action, Vol 1, xli.
[13] Habermas, Theory, Vol 2, 356.
[14] Habermas, Theory, Vol 1, 243-271; Theory, Vol 2, 172-179. Untuk gambaran sekilas, lihat A Brand, ‘Ethical Rationalization and “Juridification”: Habermas’ Critical Legal Theory’ (1987) 4 Australian Journal of Law and Society 103; M Deflem, ‘La Notion de Droit dans la Théorie de l’Agir Communicationnel de Jürgen Habermas’ (1994) 18 Déviance et Société 95.
[15] Habermas, Theory, Vol 2, 356-373.
[16] Habermas, Theory, Vol 2, 358-361.
[17] Habermas, Theory, Vol 2, 361-364.
[18] Habermas, Theory, Vol 2, 366-368.
[19] Habermas, Theory, Vol 2, 368-373.
[20] See, eg, K Eder, ‘Critique of Habermas’ Contribution to the Sociology of Law’ (1988) 22 Law and Society 931; K Raes, ‘Legalisation, Communication and Strategy: A Critique of Habermas’ Approach to Law’ (1986) 13 Journal of Law and Society 183; W van der Burg, ‘Jurgen Habermas on Law and Morality: Some Critical Comments’ (1990) 7 Theory, Culture and Society 105.
[21] J Habermas, ‘A Reply’ in A Honneth and H Joas (eds), Communicative Action (Cambridge, MA: The MIT Press, 1990). Lihat juga J Habermas, ‘Law and Morality’ in SM McMurrin (ed), The Tanner Lectures on Human Values (Salt Lake City, University of Utah Press, 1988).
[22] J Habermas, ‘Remarks on the Discussion’ (1990) 7 Theory, Culture and Society 127.
[23] J Habermas, Faktizität und Geltung: Beiträge zur Diskurstheorie des Rechts und des demokratischen Rechtsstaats (Frankfurt, Suhrkamp, 1992); Terjemahan Inggris: J Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge, MIT Press, 1996). Untuk gambaran sekilas dan diskusi, lihat: H Baxter, Habermas: The Discourse Theory of Law and Democracy (Stanford, Stanford Law Books, 2011); M Deflem (ed), Habermas, Modernity and Law (London, Sage Publications, 1996); M Deflem, ‘Théorie du Discours, Droit Pénal, et Criminologie’ (1995) 19 Déviance et Société 325 ; M Rosenfeld and A Arato (eds), Habermas on Law and Democracy: Critical Exchanges (Berkeley, University of California Press, 1998); CL Orjiako, Jurisprudence of Jürgen Habermas: In Defence of Human Rights and a Search for Legitimacy, Truth and Validity (Milton Keynes, Authorhouse, 2009); C Ungureanu, K Günther and C Joerges (eds), Jürgen Habermas, Volume 1: The Discourse Theory of Law and Democracy (Aldershot, Ashgate, 2011).
[24] Lihat, misalnya, J Habermas, Der Gespaltene Westen (Frankfurt, Suhrkamp, 2004), Terjemahan Inggris: J Habermas, The Divided West (Cambridge, Polity Press, 2006); J Habermas, Zwischen Naturalismus und Religion (Frankfurt, Suhrkamp, 2005); Terjemahan Inggris: J Habermas, Between Naturalism and Religion (Polity Press, 2008); J Habermas, Ach, Europa (Frankfurt, Suhrkamp, 2008): Terjemahan Inggris: J Habermas, Europe: The Faltering Project (Polity, 2009); J Habermas, Zur Verfassung Europas (Frankfurt, Suhrkamp, 2011); Terjemahan Inggris: J Habermas, The Crisis of the European Union: A Response (Polity Press, 2012).
[25] J Habermas, Moralbewußtsein und kommunikatives Handeln (Frankfurt, Suhrkamp, 1983); Terjemahan Inggris: J Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge, MIT Press, 1990); J Habermas, Erläuterungen zur Diskursethik (Frankfurt, Suhrkamp, 1991); Terjemahan Inggris: J Habermas, Justification and Application: Remarks on Discourse Ethics (Cambridge, MIT Press, 1993).
[26] JR Blad, H Van Mastrigt and NA Uildriks (eds), The Criminal Justice System as a Social Problem: An Abolitionist Perspective (Rotterdam, Erasmus Universiteit, 1987); H Bianchi and R Van Swaaningen (eds), Abolitionism: Towards a Non-Repressive Approach to Crime (Amsterdam, Free University Press, 1986).
[27] M Deflem, ‘Jürgen Habermas: Pflegevater oder Sorgenkind der abolitionistischen Perspektive?’ (1992) 24 Kriminologisches Journal 82.
[28] See P Fitzpatrick and A Hunt, Critical Legal Studies (Oxford, Basil Blackwell, 1987); RM Unger, The Critical Legal Studies Movement (Cambridge, Harvard University Press, 1986).
[29] See, for example, F Munger and C Seron, ‘Critical Legal Studies versus Critical Legal Theory: A Comment on Method’ (1984) 6 Law & Policy 257.
[30] D Ingram, ‘Dworkin, Habermas, and the CLS Movement on Moral Criticism in Law’ (1990) 16 Philosophy and Social Criticism 237.
[31] J Habermas, Der philosophische Diskurs der Moderne: Zwölf Vorlesungen (Frankfurt, Suhrkamp, 1985); English translation: J Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity: Twelve Lectures (Cambridge, Polity Press, 1987).
[32] N Luhmann, A Sociological Theory of Law (London, Routledge & Kegan Paul, 1985); N Luhmann, ‘Operational Closure and Structural Coupling: The Differentiation of the Legal System’ (1992) 13 Cardozo Law Review 1419.
[33] Habermas, Between Facts and Norms, 47-54. Perihal respons, lihat N Luhmann, ‘Quod Omnes Tangit...: Anmerkungen zur Rechtstheorie von Jürgen Habermas’ (1993) 12 Rechtshistorisches Journal 36.
[34] EG, JP McCormick, ‘Three Ways of Thinking “Critically” about the Law’ (1999) 93 The American Political Science Review 413; A Lefebvre, ‘Habermas and Deleuze on Law and Adjudication’ (2006) 17 Law and Critique 389; DM Rasmussen, ‘Communication Theory and the Critique of the Law: Habermas and Unger on the Law’ (1988) 8 Praxis International 155.
[35] Lihat bab Gary Wickham tentang Foucault dalam volume ini.
[36] Habermas mencurahkan dua bab untuk karya Foucault, tetapi filsuf Prancis itu meninggal sebelum debat yang sebenarnya dapat dimulai; lihat J Habermas, Philosophical Discourse, 238-293.
[37] Lihat, misalnya, B Honig, ‘Between Decision and Deliberation: Political Paradox in Democratic Theory’ (2007) 101 The American Political Science Review 1; S Grodnick, ‘Rediscovering Radical Democracy in Habermas’s Between Facts and Norms’ (2005) 12 Constellations 392; J Mahoney, ‘Rights without Dignity? Some Critical Reflections on Habermas's Procedural Model of Law and Democracy’ (2001) 27 Philosophy and Social Criticism 21; JL Marsh, Unjust Legality: A Critique of Habermas's Philosophy of Law (Lanham, Rowman & Littlefield Publishers, 2001); T Hedrick, Rawls and Habermas: Reason, Pluralism, and the Claims of Political Philosophy (Stanford, Stanford University Press, 2010); MC Modak-Truran, ‘Secularization, Legal Indeterminacy, and Habermas's Discourse Theory of Law’ (2007) 35 Florida State University Law Review 73.
[38] M Deflem, ‘The Boundaries of Abortion Law: Systems Theory from Parsons to Luhmann and Habermas’ (1998) 76 Social Forces 775.
[39] M Deflem, ‘Social Control and the Theory of Communicative Action’ (1994) 22 International Journal of the Sociology of Law 355; JR Lilly and M Deflem, ‘Profit and Penality: An Analysis of the Corrections-Commercial Complex’ (1996) 42 Crime and Delinquency 3.
[40] Lihat, misalnya, AA Felts and CB Fields, ‘Technical and Symbolic Reasoning: An Application of Habermas’ Ideological Analysis to the Legal Arena’ (1988) 12 Quarterly Journal of Ideology 1; D von Daniels, The Concept of Law from a Transnational Perspective (Burlington, Ashgate, 2010); A Bächtiger and J Steiner (eds), ‘Empirical Approaches to Deliberative Democracy’ (2005) 40 Acta Politica 153; WE Scheuerman, Frankfurt School Perspectives on Globalization, Democracy, and the Law (New York, Routledge, 2008).
[41] Yang paling instruktif bagi pengaruh pemikiran Habermas dalam ilmu hukum (jurisprudence) adalah pembahasan antara Robert Alexy and Klaus Günther. Lihat R Alexy, ‘A Discourse-Theoretical Conception of Practical Reason’ (1992) 5 Ratio Juris 1; R Alexy, ‘Justification and Application of Norms’ (1993) 6 Ratio Juris 157; K Günther, Der Sinn für Angemessenheit: Anwendungsdiskurse in Moral und Recht (Frankfurt, Suhrkamp, 1988); K Günther, ‘A Normative Conception of Coherence for a Discursive Theory of Legal justification’ (1989) 2 Ratio Juris 155; K Günther, ‘Criticial Remarks on Robert Alexy's Special-Case Thesis’ (1993) 6 Ratio Juris 143.
Day 1 DEEPAK CHOPRA 21-Days of Abundance Meditation Challenge - So Hum The Reality of Abundance DEEPAK CHOPRA 21-Days of Abundance Meditation Challenge. Day 1 Here we go! After you complete the task, please write: "Day 1 Done." You can leave the group if you decide not to continue. I highly recommend doing the meditation and the task at the beginning of the day, if possible. It changes the course of the day! Task In your new notebook, make a list of 50 people that have influenced your life. They can be both living and already departed people, your relatives, friends, and celebrities, writers and personalities whom you do not necessarily know personally. Everyone who has influenced you, and contributed to your growth & development. The list must have at least 50 names. In the process of making a list, think about why you chose the person. What has changed in your life for the better? Move calmly and thoughtfully. Remember the best things about each person in the list and w
Welcome to day one. Welcome to the Chopra Center 21-Day Meditation Challenge, Creating Abundance. We are very happy you've decided to embark on this journey, into stillness and silence, to experience authentic abundance consciousness. Over the next three weeks, we'll focus on different aspects of abundance. In our first week, preparing for abundance, we'll consider the promise of unlimited potential. During this time, we learn what true abundance ism the infinite source from which it springs, how consciousness and the mind affect its flow, and how we can more deeply understand that abundance is a divine right, bestowed upon each, and every one of us. During our second week, we'll show how abundance relates to the seven spiritual laws of success, beginning with the law of pure potentiality, what exactly is possible, and ending with the law of dharma, how to increase abundance in our lives, by serving humanity, with our unique skills and talents. In our third week, we
Welcome to day two. All material creation, everything we can see, touch, hear, taste, and smell, is made from the same stuff, and comes from the same source. While we may refer to the source by different names, God, a higher power, the Holy Spirit, or perhaps the cosmos, this source is the entire universe, the unified field. Everything, that is beyond the perception, of the five senses. The key to living in abundant life, is to embrace the idea that abundance comes from this Unified Field. Within it lies the power of infinite creativity, just waiting for your call. Whether you desire more love, more joy, more friends, more money, or better health, it's all yours for the asking and accepting. And if you're willing to release any resistance you may have to experiencing abundance, relinquish any belief that you are limited. Open your mind and heart to the possibility, that you can attract whatever you want in life, and abundance will flow to you, effortlessly and easily. True abun
Buku sosiologi hukum ini menyajikan visi ilmiah sosiologi hukum berdasarkan diskusi tentang pencapaian utama dari spesialisasi sosiologi hukum. Karya Mathieu Deflem ini mengungkapkan nilai-nilai studi sosiologi hukum dengan menyatukan tema-tema teoritis dan empiris. This is a copy of an Indonesian translation of “ Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition ” (2008), Mathieu Deflem, University of South Carolina, Translated by Anom Surya Putra. Source: Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition , by Mathieu Deflem (Cambridge University Press, 2008) https://deflem.blogspot.com/2008/01/socoflaw.html Please cite as: Deflem, Mathieu. 2008. "Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (3): Memulihkan Sosiologi Hukum." Blog Anom Surya Putra , Juli 2022. ----------------- Pembaca yang budiman telah mengenal pengantar Sosiologi Hukum pada tulisan sebelumnya yakni " Isi Buku Sosiologi Hukum " dan " Pengantar Buku Sosiologi Hukum " yang ditulis oleh Mathieu Deflem.
Welcome to Day 15. Welcome to our final week of the Chopra Center 21-Day meditation challenge. During our first week together we explored the reality of abundance, its original source which is the universe, and how we attract it through our consciousness. Last week we learn how to attract more abundance, by applying the seven spiritual laws of success. This week we'll expand on our foundation, and discuss the many ways abundance can manifest in our lives. Beginning with an understanding of how the effortless flow, that occurs as seemingly unrelated events, coming together, can bring fulfillment to our lives. I call this merging of coincidence and destiny: synchro destiny; powerfully leveraging the intelligence of the universe, that orchestrates the whole dance of creation, on every scale, from the farthest reaches of the cosmos to the events of our own daily lives. One of the main principles of synchrodestiny, is recognizing and celebrating this cosmic dance. Trusting that ther
Welcome today twelve. Having an abundance consciousness, allows us to view life as a magical adventure, where our needs are met with grace, and ease. It includes the ability to see beauty, wherever we go, have gratitude as our primary emotion, hold open our hearts to everyone we meet, and trust in the cosmic plan. According to the law of intention and desire, we recognized that at the deepest level of reality is a field of energy, that gives rise to all the forms of creation. Placing your attention on exactly what you want to create in your life, beauty, love, prosperity, will energize that object of your desire, and draw it to you. Attention energizes, intention transforms. Once you clarify your intentions, surrender them into the silence, and allow the universe to work out the details. Today I will guide you through a visualization meditation, where we'll create our intentions and release them. So let's begin. Please find a comfortable position, placing your hands gently in y
Welcome to day seven. Congratulations on completing the first week, of the Chopra Center 21-day meditation challenge, creating abundance. Over the past six days, we have discovered the reality and source of abundance, which is unlimited and eternal. We've learned that mind, matter, and spirit, work in conjunction with one another, to manifest abundance that in the silent field of all possibilities, dwell the seeds of success, and that when you live from within, your desires are fulfilled quickly, spontaneously, and with minimal effort. This week, we'll contemplate what we sometimes call a coincidence, a miracle, or just good luck. Ask yourself, how long does it take for a dream to come true. In the minds of some specific conditions must be met, plans must be in place, a certain amount of time must pass, and effort needs to be exerted. However these conditions all spring from the physical three-dimensional world. In deeper levels of consciousness, what we call a dream, miracle
Welcome to Day 13. In the words of dr. David Thurman, my beloved friend and co-founder of the Chopra Center for well-being, abundance is a state of mind in which you believe you are intrinsically creative. You recognize that the universe is abundant, and that you are an expression of the universe. If you accept the idea of an unlimited abundant universe, you relinquish the desire to manage circumstances, and force solutions in order to manifest your desires. This, is the essence of the law of detachment. The law of detachment, teaches us to focus our attention on what we desire, take the necessary steps to achieve our dreams, and then find security in the wisdom of uncertainty, by letting go of any attachment to outcome, an essential step in achieving our goals. Think for a moment about the time you try to recall the name with no success. Finally, after struggling to remember you let go of your efforts, then a little while later the name flashed across the screen of your consciousnes
Masalah populer tentang regulasi yang mengatur Desa antara lain adalah pertentangan normatif antara Permendagri No. 114/2014 tentang Pembangunan Desa dan Permendesa PDTT No. 21/2020 tentang Pedoman Umum Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Persoalan klasik hukum yang sering terdengar dalam berbagai perbincangan adalah aturan mana yang lebih sahih berlaku? Dalam pandangan intrinsik hukum persoalan semacam ini mudah dilakukan penyelesaian. Permendagri No. 114/2014 tersebut terbit atas dasar norma delegatif dari PP No. 43/2014, sedangkan PP No. 43/2014 kemudian mengalami perubahan menjadi PP No. 47/2015. Aturan baru ini mengatur kewenangan Menteri Desa untuk menerbitkan aturan pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa, sehingga terbitlah Permendesa PDTT No. 21/2020 tersebut. Asas hukum yang populer menyatakan lex posterior derogat legi priori bahwa hukum yang baru mengesampingkan aturan lama, sehingga Permendesa PDTT No. 21/2020 mengesampingkan Permendagri No. 114/
PENGANTAR Jürgen Habermas | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse
Komentar