Opini Terbaru
OPINI Filsafat Hukum: Bagian Ke-5 (terakhir) Gagasan Berhukum Deliberatif
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Sophia, Cinta Mendalam Yang Bijaksana
- Menziarahi Ius, Lex dan Codex
- Filsafat Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum
- Hirarki dan Ko-Eksistensi
- Gagasan Berhukum Deliberatif
Objek Filsafat Hukum ditentukan oleh mazhab/aliran Filsafat yang dinamis dari zaman ke zaman. Dilain pihak tradisi Filsafat Hukum yang murni dibentuk dari kajian filsafat, seringkali menjadi parasit bagi penganut Ilmu Hukum yang dogmatik. Pandangan ini menyatakan bahwa objek Filsafat Hukum bukanlah dibentuk dari tradisi filsafat, melainkan dibentuk dari epistemologi hukum itu sendiri. Dampaknya, objek Filsafat Hukum atau saya sebut dalam buku ini sebagai "filsafat ilmu hukum" yang terfokus pada landasan kaidah-kaidah peraturan perundang-undangan atau landasan suatu praktek hukum baik di peradilan maupun non-peradilan.
Objek Filsafat Hukum memerlukan pendalaman dalam bentuk ko-eksistensi terutama untuk mengatasi ketertutupan Ilmu Hukum (dalam artian jurisprudence). Ko-eksistensi manusia itu secara epistemologis membutuhkan ko-eksistensi antara pandangan Positivisme (legisme; positivisme yuridis; positivisme logis) dan Ilmu Hukum sebagai ilmu sosial (rasionalisme, empirisme, sampai dengan strukturalisme dan pasca modernisme). Objek Filsafat Hukum secara positivistik tertuju pada kegiatan intelektual untuk meneliti landasan dan keabsahan dari suatu norma yuridis, sambil terbuka (inklusif) dengan sumber pengetahuan filsafat lainnya.
Filsafat Hukum kembali membuka diri dengan diskursus filsafat yang diskontinu, yakni keabsahan fakta dan norma. Pertempuran fakta dan norma ditengahi dengan law as social mediation. Objek Filsafat Hukum pada buku ini disimpulkan akan menjelajahi perubahan sistem hukum secara fundamental.
Dengan menimbang epistemologi yang politis atas fenomena civil law system dan common law system Abad XXI, Filsafat Hukum membuka ruang diskusi baru yaitu Negara Hukum Deliberatif sebagai praktik diskursif untuk menuntaskan perdebatan keabsahan hukum baik keabasahan hukum berbasis fakta maupun norma yuridis.
Salah satu analis “negara hukum deliberatif” berhaluan sosiologi adalah Mathieu Deflem (2013). Deflem mungkin belum dikenal luas oleh pegiat hukum di Indonesia. Ia seorang associate professor pada Departemen Sosiologi, University of South California. Gagasan Mathieu Deflem tak bisa dilepaskan dari bayang-bayang teori hukum Jürgen Habermas. Di Indonesia nama Jürgen Habermas dikenal sebagai filsuf teori kritis. Sekitar tahun 1996 Habermas menulis buku penting tentang teori hukum yakni Faktizität und Geltung (Fakta dan Keabsahan Normatif). Karya ini amat monumental karena Habermas meneliti filsafat hukum dan sosiologi hukum.
Budi Hardiman adalah intelektual filsafat di Indonesia yang mengenalkan karya Habermas tersebut dari sisi negara hukum, demokrasi deliberatif, dan teori-teori kedaulatan yang melampaui negara hukum klasik. Buku karya Budi Hardiman banyak dikaji oleh peminat kajian filsafat dan politik daripada peminat studi hukum. Mengapa? Saya berpendapat bahwa tulisan Budi Hardiman sulit menembus teori-teori hukum yang selama ini diajarkan di fakultas hukum dengan bobot doktriner yang tinggi.
Materi pengajaran filsafat hukum dan sosiologi hukum sendiri tidak banyak membahas spesifik teori hukum Habermas yang bersumber dari teori tindakan komunikatif. Saya membenarkan ungkapan Budi Hardiman bahwa membaca karya-karya Habermas cenderung sulit. Seolah-olah kita dilempar pada perbincangan teoritis yang sedang berjalan. Dalam buku Faktizität und Geltung Habermas mengajak kita membicarakan rekonstruksi filsafat hukum: hubungan antara moral dan hukum sejak masa Immanuel Kant yang mana sumber keduanya adalah kekuasaan sosial. Pada konteks pembahasan paradigma hukum, Habermas mengajak kita mengkritisi positivisme hukum, realisme hukum, dan hermeneutik hukum.
Bergeser pada sosiologi hukum, Habermas mengajak pembaca untuk memahami Sistem (ala Parsons) dan rasionalisasi (ala Weber) hubungan antara Sistem dan Dunia-Kehidupan. Semuanya butuh waktu pembacaan berulang-ulang. Tulisan-tulisan Mathieu Deflem setidaknya mengurangi dahi kita berkerut. Ia mengawali perbincangan teoritis Habermas dengan konsep-konsep dan tesis-tesis tentang Teori Tindakan Komunikatif, terutama mengenai rasionalitas instrumental-kognitif dan rasionalitas komunikatif. Pembahasan konsep kunci tentang rasionalitas ini penting sekali dalam paradigma hukum.
Saya menyarankan kepada pembaca untuk mengimbangi pembahasan semacam ini dengan banyak menelusuri karya-karya Satjipto Rahardjo dan Soetandyo Wignjoseobroto. Karena keduanya beberapa kali dalam tulisannya mengenalkan gagasan Habermas dalam penghampiran teori-teori sosiologis atas hukum. Mathieu Deflem selanjutnya mengajak kita untuk memahami dunia-kehidupan (lifeworld; lebenswelt), sistem, dan rasionalisasi hukum.
Budi Hardiman melukiskan dengan apik: hubungan antara pusat (sistem) dan pinggiran (dunia-kehidupan) itu seperti bendungan. Arus deras opini-opini publik mengalir dari pinggiran ke pusat dan pusat menyeleksinya dengan tipe-tipe penalaran warisan Trias Politica. Tentu Trias Politica dipahami sebagai tipe penalaran dan bukan institusionalisasi yang tetiba dicarikan padanannya seperti eksekutif adalah pemerintah pusat, dan seterusnya.
Deflem menyitir Habermas bahwa hubungan antara pusat dan pinggiran itu berlangsung kolonisasi dari Sistem atas dunia-kehidupan. Saya memfungsikan diskursus teoritis hukum ini untuk membahas kolonisasi Sistem atas Dunia-kehidupan di Desa setelah tulisan ini selesai ditulis.
Gagasan berhukum deliberatif membutuhkan penelitian hukum doktrinal yang empiris. Sulit bagi kita memahami teori hukum Habermas tanpa penelitian yang berlangsung dari lapangan. Legitimasi hukum terletak pada rasionalitas komunikatif yang mau tidak mau harus kita tekuni pada lapangan empiris.
Sampai disini kita sama-sama memahami secara sederhana. Teori hukum Habermas mustahil dipahami dalam teori hukum yang sempit. Teoritisi hukum sekaliber Bruggink, apalagi gurunya seperti Mark van Hoecke dan Jan Gijssels, hanya sampai pada metode teori hukum yang interdisipliner. Teoritisi hukum yang beranjak dari "filsafat ilmu hukum" berujung pada penelitian hukum doktrinal: fokus pada asas, kewenangan, dan konsep-konsep doktrinal saja tanpa melakukan penelitian di lapangan.
Serial tulisan singkat ini hendak menggarisbawahi bahwa perkembangan kontemporer tentang teori hukum Habermas yang mencakup legitimasi teori, tidak bisa dipisahkan dari kepentingan. Mempelajari filsafat hukum hanya bisa berlangsung ketika Anda berkepentingan melakukan penelitian hukum non-doktrinal dan berkali-kali melakukan wawancara atau dialog dengan subjek-subjek penelitian di lapangan.
***
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa’at. 2006. Teori Hans Kelsen tentang Hukum. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Bentham, Jeremy. 2016. Teori Perundang-undangan: Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata, dan Hukum Pidana, Cetakan KeIV, Bandung: Nuansa Cendekia.
Bruggink, JJ.H. 2015. Refleksi tentang Hukum: Pengertian-pengertian Dasar dalam Teori Hukum, Cetakan ke-IV, diterjemahkan B. Arief Sidharta, dari Rechts-Reflecties, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Deflem, Mathieu. 2013. “The Legal Theory of Jürgen Habermas: Between the Philosophy and the Sociology of Law”, dalam Law and Social Theory, Second Edition, Reza Banakar dan Max Travers (ed.). Oxford, UK: Hart Publishing.
Derrida, Jacques. 1992. Force of Law: ‘The Mystical Foundation of Authority’, New York: Routledge.
Dworkin, R.M. 2013. Filsafat Hukum, diterjemahkan oleh Yudi Santoso, Yogyakarta: Merkid Press.
Friedrich, Carl Joachim. 2004. Filsafat Hukum: Perspektif Historis, terjemahan Raisul Muttaqien, dari The Philosophy of Law in Historical Perspective, Bandung: Penerbit Nuansa dengan Penerbit Nusamedia.
Foucault, Michel. 2004 (1972). The Archaeology of Knowledge. London: Routledge Classics.
Gijssels, Jan dan Mark van Hoecke. 1982. Wat is Rechtsteorie?. Antwerpen: Kluwer Rechtswetenschappen.
Habermas, Jürgen. 1996. Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, second printing, diterjemahkan William Rehg dari Faktizität und Geltung: Beiträge zur Diskurstheorie des Rechts und des demokratischen Rechtsstaats. Cambridge, Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology.
Hardiman, F. Budi. 2009. Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas’, Cetakan Ke-5. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Hart, H.L.A. 1961. The Concept of Law. Oxford: Clarendon Press.
Huijbers, Theo. 1995. Filsafat Hukum, Cet. Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Kanisius.
-------------------. 1984. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Cet. Kedua. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius.
Jegalus, Norbertus. 2011. Hukum Kata Kerja: Diskursus Filsafat tentang Hukum Progresif. Jakarta: Penerbit Obor.
Kant, Immanuel. 1887. The Philosophy of Law: An Exposition of The Fundamental Principles of Jurisprudence as The Science of Right, terjemahan W. Hastie, B.D., diterjemahkan dari Rechtslehre, Edinburgh, T & T Clark, 38 George Street.
Kelsen, Hans. 1970. The Pure Theory of Law, diterjemahkan Max Knight dari Reine Rechtslehre, unveränderter nachdruck. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press.
----------------. 1983. Reine Rechtslehre, unveränderter nachdruck. Wien: Franz Deuticke.
Sulhin, Iqrak. 2016. Diskontinuitas Penologi Punitif: Sebuah Analisis Genealogis terhadap Pemenjaraan, Jakarta: Prenadamedia Group.
Wignjosoebroto, Soetandyo. 2002. Hukum: Paradigma, Metode, dan Masalah. Jakarta: Perkumpulan HUMA.
NEXT:
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar