Opini Terbaru
Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (68): Kesimpulan Analisa Hukum dan Budaya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Buku sosiologi hukum ini menyajikan visi ilmiah sosiologi hukum berdasarkan diskusi tentang pencapaian utama dari spesialisasi sosiologi hukum. Karya Mathieu Deflem ini mengungkapkan nilai-nilai studi sosiologi hukum dengan menyatukan tema-tema teoritis dan empiris.
This is a copy of an Indonesian translation of “Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition” (2008), Mathieu Deflem, University of South Carolina, Translated by Anom Surya Putra
Source: Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition, by Mathieu Deflem (Cambridge University Press, 2008) https://deflem.blogspot.com/2008/01/socoflaw.html
Please cite as: Deflem, Mathieu. 2008. "Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (68): Kesimpulan Analisa Hukum dan Budaya." Blog Anom Surya Putra, Agustus 2022.
-------------
Bagian III Dimensi-dimensi Sosiologis Hukum
10. Hukum dan Budaya:
Keseimbangan Nilai-nilai Melalui Norma-norma
Kesimpulan
Keprihatinan sosiologis utama yang berkaitan dengan integrasi, dalam distingsi kebangkitan individualisme dan keragaman dalam budaya modern, telah memunculkan berbagai perspektif teoretis, mulai dari pendekatan modernis fungsionalis dan teori konflik hingga perspektif pascamodernis dan dekonstruksi. Dalam studi sosiologi hukum dan ketimpangan, baik perspektif modernis dan pascamodern dalam beberapa tahun terakhir terus berkembang, namun teori modernis telah mampu lebih baik menahan invasi pascamodernisme dan dekonstruksi dalam bekerja pada ketimpangan hukum berdasarkan klas, yang bisa dibilang merupakan area paling tradisional dari sosiologi tentang ketimpangan. Bergerak secara progresif menuju area ketimpangan yang secara historis kurang dikenal dalam sosiologi, khususnya gender dan, selanjutnya, ras dan etnis, pascamodernisme, dan dekonstruksi lebih berhasil menemukan landasan subur penerapannya. Dengan meningkatnya kompleksitas kehidupan sosial dalam hal budaya, juga, analisis klas dan ketimpangan secara umum telah mengalami penurunan dalam mendukung karya tentang ketimpangan dan hukum dalam hal gender dan ras dan etnis.
Bahkan lebih dari kasus dalam penelitian tentang klas dan gender, gagasan tentang universalitas hukum telah menyebabkan relatif kurangnya perhatian terhadap perbedaan hukum di sepanjang garis ras dan etnis, yang secara luar biasa mengingat bahwa contoh sejarah penting dari ketimpangan hukum yang ditimbulkan pada ras dan etnis minoritas sudah diketahui. Di antara contoh yang amat jelas adalah pengalaman kolonial negara-bangsa Eropa membangun kekuasaan mereka di seluruh dunia, pelembagaan hukum perbudakan di Amerika Serikat dan di tempat lain, penghapusan resmi kewarganegaraan dari orang Yahudi dan "non-Arya" lainnya di Nazi. Jerman, berbagai manifestasi pengesahan kebijakan diskriminatif berdasarkan latar belakang ras dan etnis, dan, yang sangat penting di era sekarang, perdebatan seputar kebijakan suaka, kewarganegaraan, dan imigrasi. Pengabaian ras dan etnisitas yang relatif namun mencolok dalam sosiologi hukum mungkin disebabkan oleh kurangnya representasi minoritas dalam keilmuan sosiologis. Namun, sebaliknya, keilmuan hukum, yang dicirikan sama dalam hal komposisi ras dan etnis, telah mampu berfokus pada ketimpangan hukum ras dan etnis melalui kontribusi Teori Ras Kritis. Terlepas dari pencapaiannya yang tidak dapat disangkal, sosiologi hukum jelas memiliki lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan dalam masalah ketimpangan, terutama di sepanjang garis ras dan etnis, jika ingin berkontribusi secara berguna pada perdebatan akademis tentang masalah ini.
Fungsi utama hukum adalah integrasi. Namun, pemberian-kesaksian tentang nilai perbedaan antara fungsi yang dimaksudkan dan konsekuensi yang dicapai, banyak ketimpangan sosial tetap ada meskipun ada jaminan hukum yang eksplisit tentang kesetaraan untuk semua. Meningkatnya keragaman masyarakat modern di bawah kondisi nilai-nilai budaya individualis semakin memperkuat kesulitan-kesulitan khusus dari hukum modern. Jürgen Habermas (1991: 91) dengan tajam merumuskan masalah ini dengan mengemukakan bahwa "ruang/ranah pertanyaan yang dapat dijawab secara rasional dari sudut pandang moral menyusut dalam perjalanan perkembangan menuju multikulturalisme." Dalam kondisi keragaman yang semakin meningkat, fungsi utama hukum menjadi lebih penting sekaligus lebih sulit untuk dicapai. Keberagaman dan individualisme yang menandai budaya modern khususnya menimbulkan masalah dalam hal regulasi aspek kehidupan yang intim yang berhubungan dengan kesehatan, keluarga, dan diri sendiri. Sejarah regulasi pernikahan sesama jenis dan undang-undang aborsi di Amerika Serikat dan kekhawatiran yang terus berlanjut tentang perlakuan Belanda terhadap euthanasia, misalnya, menunjukkan hukum kadang-kadang dapat memperburuk, bukannya menyelesaikan, perselisihan di arena hukum dan budaya. Sifat perdebatan yang panas dan intens ini memicu kegiatan di arena hukum dan politik. Konfrontasi budaya dan mobilisasi gerakan sosial, pada gilirannya, seringkali dipercepat mengikuti keputusan hukum dan kebijakan yang penting. Untuk memecahkan interaksi kompleks antara budaya dan hukum, batas-batas kapasitas integratif hukum terungkap, dan, ironisnya, hukum terbukti mempercepat perdebatan budaya dan konflik atas pertanyaan moral yang penting. Jadi, seperti yang benar pada zaman Durkheim, hukum modern tetap menjadi indikator penting kapasitas masyarakat untuk mempertahankan integrasi sosial dan melestarikan koeksistensi damai pluralitas dunia-kehidupan (lifeworlds).
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar