Opini Terbaru

Between Facts and Norms, Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (2): Pengantar dari Jürgen Habermas

Gambar
PENGANTAR Jürgen Habermas  | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse

Filsuf Svenja Flaßpöhler: Virus Corona Masih Memberi Kita Ruang untuk Berpikir

Wawancara Thorsten Glotzmann dengan Svenja Flaßpöhler, kali pertama terbit pada media Deutsche Welle.

Source: "Philosopher Svenja Flasspöhler: "The coronavirus standstill gives us a space to think". DW.com. https://www.dw.com/en/philosopher-svenja-flassp%C3%B6hler-the-coronavirus-standstill-gives-us-a-space-to-think/a-52915769. Translated by Anom Surya Putra.

Please cite as "Filsuf Svenja Flaßpöhler: Virus Corona Masih Memberi Kita Ruang untuk Berpikir." June 2022. https://anomsuryaputra.blogspot.com/2022/06/filsuf-svenja-flapohler-virus-corona.html

-------------------------------------


Berhentilah sejenak, renungkan, istirahatlah: filsuf Svenja Flaßpöhler melihat seberkas cahaya pada masa serba-penghentian saat ini (dampak Covid-19). Svenja melihatnya sebagai kesempatan untuk keluar dari siklus konsumsi tanpa akhir dan mulai memikirkan kembali masyarakat.

Filsuf Svenja Flaßpöhler adalah pemimpin redaksi Philosophie Magazin. Sejak tahun 2013, Svenja telah mengelola festival filsafat internasional Phil.Cologne bersama dengan Wolfram Eilenberger, Gert Scobel dan Jürgen Wiebicke. Sebelumnya, Svenja menjabat sebagai kepala redaksi sastra dan humaniora pada radio publik Jerman Deutschlandfunk Kultur, dan Svenja telah menulis banyak esai dan buku.

Deutsche Welle: Ms. Flaßpöhler, kita bertemu kali ini di taman (allotment garden) Anda. Berbagai peristiwa telah terjadi, orang melakukan aksi-borong di supermarket dalam beberapa hari terakhir, apakah kita sedang mengalami kelahiran kembali pemenuhan-diri (renaissance of self-suffiency)?

Svenja Flasspöhler: Penyewa taman sebelumnya adalah pasangan tua yang telah menggunakannya sejak masa kecil mereka pada tahun 1920-an. Mereka pindah ke tempat ini bersama anak-anak mereka ketika ada kekurangan barang dan perumahan di Jerman pada tahun 1950-an.

Mereka juga melanjutkan tradisi tertentu di sini. Saya juga merasa penting untuk mengatakan bahwa saya berada dalam situasi yang relatif istimewa. Saya tidak harus bekerja di kasir supermarket atau rumah sakit yang hiruk-pikuk. Saya tidak terpapar secara permanen terhadap risiko infeksi tetapi bisa mundur ke wilayah perdesaan dan bekerja dari sini.

Deutsche Welle: Kita tidak bisa berjabat tangan sekarang. Saat ini kultur penyambutan dan cara kita bertemu sedang berubah. Bagaimana kita bisa mengimbanginya?

Svenja Flasspöhler: Saya tidak tahu apakah itu benar-benar mungkin untuk mengimbanginya. Kita berada pada permulaan pengalaman yang mungkin tidak akan pernah kita lupakan. Sangat menarik bahwa kedekatan, solidaritas dan kepedulian biasanya ditunjukkan dengan memeluk orang atau mengundang mereka ke rumah Anda. Kini semuanya sedang diputarbalik. Pembalikan ini masih sulit bagi kita semua, dan itu adalah hal yang baik.

Deutsche Welle: Dalam sejarah manusia telah berulang kali terjadi epidemi seperti wabah di Abad Pertengahan atau flu Spanyol pada tahun 1918. Sejauhmana virus Corona sekarang juga merupakan ujian tekanan bagi masyarakat?

Svenja Flasspöhler: Hal pertama yang terlintas di benak saya adalah buku Discipline and Punish (Disiplin dan Penghukuman) karya Michel Foucault. Sejarawan dan filsuf Prancis ini mempelajari wabah pada awal abad ke-17 dengan sangat rinci dan percaya bahwa perang melawan infeksi-penyakit lebih dari sekadar tindakan medis.

Alih-alih, itu sebenarnya merupakan bagian utama dari masyarakat yang terdisiplinkan, karena kita terpisah satu sama lain, terbagi-bagi, teramati dan terkendalikan. Saat ini kita mengalami hal yang sama: Semua ruang tempat orang bertemu, seperti gedung bioskop dan tempat-tempat umum, sedang ditutup. Kita tidak lagi bertemu satu sama lain. Semua orang didorong kembali ke wilayah pribadi.

Deutsche Welle: Sejauhmana krisis ini membuat kita sadar akan kelemahan sistem ekonomi kita?

Svenja Flasspöhler: Amat jelas sekali. Apa yang terlintas dalam pikiran adalah ketegangan antara produksi dan reproduksi, yang sudah ditekankan oleh filsafat feminis sejak tahun 1970-an. Sepanjang sejarah selalu menjadi kasus bahwa produksi telah diprioritaskan daripada reproduksi. Reproduksi, misalnya segala sesuatu yang biasanya dilakukan oleh perempuan secara cuma-cuma, telah berlangsung di masa lalu.

Sekarang kita menyadari betapa pentingnya untuk peduli, khawatir, dan dirawat. Dan pada saat yang sama, kita menyadari betapa seluruh sistem dirancang untuk dikonsumsi dan diproduksi agar lingkaran tak berujung ini terus berjalan. Sekarang kita menyadari betapa rapuhnya sistem kapitalis dan mungkin sudah waktunya untuk memikirkan kembali hierarki.

Deutsche Welle: Secara berkesadaran, krisis iklim adalah ancaman yang jauh lebih besar daripada coronavirus. Namun demikian, pada masa Corona ini krisis kesehatan dianggap lebih serius. Mengapa?

Svenja Flasspöhler: Posisikan kedua krisis ini dalam konteks yang terbuka. Saat ini, kita diminta untuk menunjukkan solidaritas dengan masyarakat lanjut usia. Dalam kasus perubahan iklim, situasinya justru sebaliknya, kaum muda menuntut solidaritas dari kaum tua untuk mencegah bencana di masa depan.

Dan perbedaannya adalah bahwa sekarang kita memiliki orang yang bertindak di seluruh dunia melawan musuh, virus ini, yang tidak ada dalam krisis lain. Sekarang kita melihat bahwa jika dunia menginginkannya, tindakan itu dapat benar-benar termobilisasi.

Namun demikian, kita tidak boleh tergelincir ke dalam optimisme naif, tetapi juga harus melihat bahwa ekonomi dan pekerjaan terancam. Kita bahkan tidak ingin membayangkan apa yang terjadi ketika sistem kesehatan yang terlalu meregang ini berjalan seiring dengan resesi. Maka hal itu menjadi sangat berbahaya secara politis.

Deutsche Welle: Adakah hal positif yang bisa diperoleh dari penghentian ini (shutdown)?

Svenja Flasspöhler: Krisis dan penghentian ini merupakan waktu bagi kita untuk berpikir. Saya tidak akan mengatakan lebih jauh bahwa kita memerlukan perjuangan anti-kapitalis dan revolusi berskala besar, tetapi tentu saja kita dapat memikirkan kembali elemen-elemen individual dari sistem ini yang telah menjadi pembahasan sejak lama.

Pembahasan itu termasuk rumah kantor, fleksibilitas yang lebih besar dan kompatibilitas keluarga. Adalah kriminal apabila beberapa institusi dan pengusaha menutup hal ini dan masih merasa perlu untuk memantau karyawan mereka. Itu sama sekali sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang.

Saya juga menyukai pengalaman bahwa perilaku konsumen kita sangat terbatasi dan kita harus mengandalkan diri kita sendiri. Semua orang tahu secara intuitif bahwa konsumsi memberi Anda dorongan-kuat dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang hal itu tak bisa Anda kaitkan dengan kebahagiaan.

Orang bisa melihat lebih dekat pada konsep kebahagiaan secara filosofis, terutama dalam krisis ini. Dalam konsep kebahagiaan kuno, moralitas memainkan peran penting: kehidupan moral merupakan kehidupan yang baik.

Deutsche Welle: Saya ingin merujuk perkataan terkenal dari ahli matematika dan filsuf Prancis Blaise Pascal: kemalangan semua orang berasal dari kenyataan bahwa mereka tidak bisa diam di kamar. Bagaimana kita bisa mengatasi kebosanan isolasi?

Svenja Flasspöhler: Dari sudut pandang filsafat, bukan hanya Blaise Pascal, tetapi juga Martin Heidegger, yang bersemangat bahwa orang harus menemukan sifat sejati mereka. Alih-alih mengkhawatirkan apa yang akan didapat, seseorang harus mengkhawatirkan keberadaannya sendiri. 

Dan kita merasakan hal ini dalam momen penelusuran keberadaan diri kita menuju ketiadaan (nothing). Dalam saat-saat yang sunyi ini, ketika kita duduk sendirian di ruangan, kita menjadi sadar akan kefanaan kita: kita dikelilingi oleh kematian yang menunggu kita.

Dengan mengikuti pendapat Hannah Arendt (filsuf Jerman-Amerika /1906-1975, catatan editor), yang selalu memikirkan tentang sosialitas, dalam Vita Activa (kehidupan aktif), segalanya terlihat sangat berbeda. Ini semua tentang aksi kebersamaan politik. Saya harus mengatakan bahwa saya lebih menyukainya.

Deutsche Welle: Jadi, mungkin saja krisis akan mendorong kembali pada apa yang benar-benar penting dalam hidup?

Svenja Flasspöhler: Saya pikir sekarang terserah kita bagaimana kita bertindak dalam krisis ini, seberapa besar kita dapat memobilisasi energi positif. Pada dasarnya saya merupakan orang yang sangat optimis dan karena itu dapat mendorong orang untuk memanfaatkan peluang ini dan efek-efek positifnya.*


Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

Konstitusionalisme Deliberatif dan Judicial Review

Day 10 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 16 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 6 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 4 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 8 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 7 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (2): Pengantar Buku Sosiologi Hukum

Day 17 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)