[BUKU ONLINE] HUKUM KOMUNIKATIF Karya ANOM SURYA PUTRA
HUKUM KOMUNIKATIF:
ADAPTASI PEMIKIRAN HUKUM DAN FILSAFAT JÜRGEN HABERMAS
PENULIS: ANOM SURYA PUTRA
***
Hukum Komunikatif. Istilah ini penulis peroleh setelah bongkar pasang gagasan tentang pengetahuan hukum apa yang tepat untuk mewarnai diskursus ilmu hukum (jurisprudence) dan ilmu sosial-hukum (legal science) di Indonesia. Cara berpikir Hukum Komunikatif berakar dari buku karya Habermas. Judul aslinya adalah Faktizität und Geltung: Beiträge zur Diskurstheorie des Rechts und des demokratischen Rechtsstaats, Frankfurt a.M. 1992. Diterjemahkan dalam bahasa Inggris berjudul "Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy" (Antara Fakta dan Keabsahan Normatif: Kontribusi untuk Teori Diskursus Hukum dan Demokrasi), karya Jürgen Habermas (Massachusetts Institute of Technology, 1996).
Buku (online) ini, entah suatu saat nanti akan terbit dalam versi cetak, ditulis dengan gaya rileks atau semacam humor yang belum tentu memancing senyum. Ambisi buku ini sederhana, mengenalkan dan membentuk gagasan tentang hukum komunikatif.
Mathieu Deflem (1996) menjadi pintu pembuka yang nyaman untuk menyimak pemikiran hukum dan filsafat dari Habermas. Penulis mengetahui nama Deflem kali pertama dari suatu buku yang ditulis oleh Soetandyo Wignjosoebroto, guru besar Universitas Airlangga, yang sangat piawai membangun ko-eksistensi antara ilmu hukum dan ilmu sosial hukum. Pembaca bisa menelusuri tulisan Profesor Soetandyo lebih lanjut tentang pesan-pesannya bahwa generasi muda penting untuk membaca pemikiran Deflem dan Habermas dalam Hukum: Paradigma Metode dan Dinamika Masalahnya (Wignjosoebroto, 2002).
Selamat membaca untuk pengantar tidur.
***
Masa Muda Habermas
Jürgen Habermas lahir di Düsseldorf, Jerman, pada 18 Juni 1922. Bisa dibayangkan, masa kecilnya di dekat kota Gummersbach diwarnai oleh situasi riuh rendah Eropa. Setelah berhasil melewati bangku sekolah menengah (yang di Jerman sana namanya keren: Gimnasium) pasca Perang Dunia II, ia memutuskan untuk mencari pencerahan di berbagai universitas. Göttingen, Zürich, dan Bonn menjadi saksi bisu perjalanannya menyerap ilmu. Akhirnya, pada tahun 1954, ia berhasil meraih gelar doktor di bidang filsafat. Karya ilmiahnya membahas pemikiran filsuf Jerman, Friedrich Schelling. Mungkin saat itu, Habermas sudah punya firasat bahwa suatu hari nanti, gagasannya sendiri akan menjadi bahan skripsi, tesis, dan disertasi orang lain.
Setelah sempat mencicipi kerasnya dunia jurnalisme selama dua tahun, Habermas kembali ke habitat aslinya: dunia akademis. Ia berlabuh di Institute for Social Research di Universitas Johann Wolfgang Goethe, Frankfurt. Bisa dibilang, tempat ini adalah "kawah candradimuka" untuk menempa pemikirannya yang mendalam tentang masyarakat, komunikasi, dan hukum. Di sanalah, ide-ide briliannya perlahan tapi pasti berkembang, layaknya bibit unggul yang ditanam di tanah yang subur.
Kelak, benih-benih pemikiran inilah yang akan melahirkan gagasan tentang "hukum komunikatif" yang akan kita telaah lebih lanjut dalam buku ini, tentu saja sambil sesekali menengok karya monumentalnya, Faktizität und Geltung atau Between Facts and Norms (Antara Fakta dan Keabsahan Normatif), yang judulnya saja sudah terdengar seperti judul film action intelektual.
Institut Penelitian Sosial: Rumah Singgah Para Pemikir Kritis
Institut Penelitian Sosial (atau kalau mau terdengar lebih keren: Institut für Sozialforschung) memegang peranan penting dalam "metamorfosis" pemikiran Habermas. Lembaga ini didirikan pada tahun 1923 atas inisiatif Felix Weil, seorang dermawan yang kebaikannya mungkin berbanding lurus dengan kekayaan ayahnya yang seorang industrialis terkemuka. Tujuannya mulia, yaitu menyediakan semacam "rumah intelektual" bagi para ilmuwan sosial dan filsuf dari berbagai aliran yang tertarik dengan pemikiran Karl Marx. Bisa dibilang, ini adalah tempat di mana ide-ide radikal diasah sambil minum kopi (atau mungkin bir?).
Namanya juga sejarah, selalu ada saja babak yang kurang menyenangkan. Ketika kekuasaan Nazi mencengkeram Jerman pada tahun 1933, Institut ini terpaksa "angkat kaki" karena dianggap sarang ide-ide yang tidak sesuai dengan "selera" penguasa baru. Gestapo, yang mungkin lebih suka menangkap orang daripada menangkap gagasan, menutup tempat ini. Tapi, semangat para intelektual di dalamnya ternyata lebih kuat dari tembok birokrasi. Beberapa anggota Institut, yang beberapa di antaranya juga memiliki latar belakang Yahudi, terpaksa "pindah kos" ke luar negeri, dengan New York City menjadi tujuan utama untuk melanjutkan "diskusi-diskusi panas" mereka.
Setelah Perang Dunia II usai dan dunia mulai sedikit lebih waras, Institut ini kembali didirikan di Frankfurt pada tahun 1951. Ia kembali menjadi pusat gravitasi bagi aliran pemikiran yang kini kita kenal sebagai Teori Kritis. Generasi pertama para pemikir kritis yang "beraksi" di Institut ini antara lain adalah Max Horkheimer, Theodor Adorno, Erich Fromm, Otto Kirchheimer, dan Herbert Marcuse. Kemudian, muncullah generasi "penerus" yang lebih muda, dan salah satu bintangnya adalah Jürgen Habermas. Awalnya, ia bekerja sebagai asisten Adorno, mungkin sambil diam-diam menyerap ilmu dan menunggu gilirannya untuk "naik panggung" pemikiran.
Teori Kritis: Jembatan antara Pemikiran dan Tindakan
Perspektif Teori Kritis, yang dikembangkan oleh para pemikir di Institut Penelitian Sosial dan kemudian dikenal secara kolektif sebagai Mazhab Frankfurt (sebuah nama yang terdengar seperti judul simposium filsafat yang cukup serius), memiliki pengaruh signifikan dalam lanskap ilmu sosial dan filsafat. Bisa dikatakan, kemunculannya menandai sebuah gerakan intelektual yang merasa perlu memberikan catatan kaki kritis terhadap berbagai asumsi yang dianggap mapan. Gagasan ini pertama kali disistematisasi oleh Max Horkheimer pada tahun 1937, sebagai respons terhadap apa yang ia sebut "Teori Tradisional".
Para anggota Institut ini memiliki agenda yang cukup ambisius: melakukan reinterpretasi terhadap pemikiran Karl Marx dan mengaplikasikan prinsip-prinsip utamanya dalam menganalisis masyarakat modern secara ilmiah. Horkheimer melihat Teori Kritis sebagai semacam jembatan konseptual antara abstraksi teoretis dan tindakan praktis. Artinya, pemahaman tentang masyarakat tidak seharusnya berhenti sebagai kontemplasi di menara gading, melainkan juga memiliki implikasi bagi perubahan sosial. Mereka mungkin berpikir, "Ide itu bagus, tapi akan lebih baik jika bisa dipakai untuk mengubah sesuatu."
Salah satu karakteristik fundamental Teori Kritis adalah skeptisisme mereka terhadap gagasan "kebebasan nilai" dalam ilmu sosial. Sebaliknya, para pemikir Mazhab Frankfurt berupaya membangun korelasi yang erat antara produksi pengetahuan ilmiah di satu sisi, dengan proyek emansipasi dan ideal demokrasi di sisi lain. Mereka berpandangan bahwa ilmu pengetahuan tidak dapat (atau setidaknya tidak seharusnya) menjadi entitas yang steril dari pertimbangan etis dan politis. Ilmu pengetahuan, bagi mereka, memiliki potensi untuk mengidentifikasi dan mengkritisi struktur kekuasaan yang tidak adil, dengan harapan mendorong masyarakat yang lebih rasional dan egaliter. Perspektif inilah yang kemudian meresap ke dalam pemikiran Habermas, menjadi semacam "perspektif bawaan" yang memengaruhi bagaimana ia melihat komunikasi dan, kelak, hukum.
Dinamika Pemikiran dalam Lingkaran Teori Kritis
Posisi Jürgen Habermas dalam tradisi Teori Kritis Mazhab Frankfurt memperlihatkan sebuah dinamika yang menarik. Ia tidak sekadar menjadi penerus setia, melainkan juga menunjukkan otonomi intelektualnya, yang seringkali diwarnai oleh ketegangan-ketegangan pemikiran. Ini seperti menyaksikan seorang murid yang berbakat namun memiliki visi yang sedikit berbeda dari gurunya.
Ketika Habermas tengah merumuskan ide-ide untuk Habilitationsschrift, sebuah karya akademis penting di Jerman, ia mendapati kritik konstruktif (atau mungkin sedikit "pedas") dari pembimbingnya di Frankfurt, terutama Horkheimer. Alih-alih merevisi karyanya sesuai dengan masukan tersebut, Habermas memilih jalur yang independen. Ia membawa disertasinya ke Universitas Marburg dan berhasil mempertahankannya di bawah arahan ilmuwan politik Wolfgang Abendroth. Keputusan ini menunjukkan keberanian intelektualnya untuk mempertahankan argumennya sendiri, bahkan di hadapan tokoh yang dihormati.
Karya tersebut, yang hingga kini dianggap sebagai salah satu kontribusi empiris Habermas yang paling signifikan dalam sosiologi, menyoroti peran krusial demokrasi dalam perkembangan masyarakat Barat modern. Secara spesifik, ia menelusuri evolusi "ruang publik borjuis" pada abad ke-18, sebuah arena yang mana perdebatan mengenai isu-isu politik dan budaya yang relevan terjadi, baik dalam interaksi tatap muka di kafe dan kedai kopi, maupun melalui medium cetak yang semakin meluas. Fenomena ini memperlihatkan opini publik pada masa itu terbentuk melalui diskursus yang relatif terbuka.
Habermas kemudian mengamati adanya transformasi yang cukup ironis di abad ke-20. Potensi kritis dari ruang publik secara bertahap tergerus oleh kekuatan komersialisasi yang merambah ke dalam masyarakat massa opini publik. Analisis ini mengindikasikan bahwa Habermas tidak hanya terpaku pada kerangka Teori Kritis yang ada, melainkan juga mengembangkan perspektif dan fokus penelitiannya sendiri, yang terkadang berbeda dengan para pendahulunya. Dinamika intelektual ini justru memperkaya khazanah pemikiran Teori Kritis dan menjadi salah satu kunci untuk memahami evolusi gagasan-gagasan penting yang akan kita diskusikan dalam buku ini.
Demokrasi dan Ruang Publik: Tema Abadi Habermas
Tema demokrasi, yang menjadi fokus utama dalam analisis transformasi ruang publik, ternyata merupakan semacam "obsesi" intelektual yang terus mewarnai perjalanan karir Habermas. Setelah menghabiskan dua tahun mengajar di Marburg dan Heidelberg, Habermas kembali ke almamaternya, Universitas Goethe di Frankfurt, pada tahun 1964 sebagai profesor filsafat dan sosiologi. Ini seperti seorang musisi hebat yang kembali ke orkestra asalnya dengan membawa pengalaman dan perspektif baru.
Periode penting lainnya dalam lintasan karir Habermas adalah ketika ia menjabat sebagai salah satu direktur di Institut Max Planck Jerman antara tahun 1971 dan 1983. Institut ini merupakan jaringan lembaga penelitian independen di Starnberg yang didanai oleh pemerintah, sebuah situasi yang mungkin memberikan keleluasaan intelektual yang cukup signifikan. Di sana, ia memiliki kesempatan untuk "mengembangkan sayap" pemikirannya lebih lanjut, tanpa terbebani oleh rutinitas mengajar sehari-hari. Setelah masa jabatannya di Institut Max Planck berakhir, Habermas kembali ke Frankfurt sebagai profesor filsafat hingga masa pensiunnya pada tahun 1994. Ini menunjukkan bahwa "rumah intelektual" Frankfurt tetap memiliki daya tarik tersendiri baginya.
Meskipun telah pensiun dari jabatan formalnya, Habermas tidak lantas "pensiun" dari dunia pemikiran. Sejak tahun 1994 hingga kini, ia terus menjadi penulis yang produktif dan partisipan aktif dalam berbagai perdebatan publik dan akademik. Keterlibatannya yang berkelanjutan ini mengindikasikan betapa relevan dan mendalamnya pemikiran Habermas dalam memahami dinamika masyarakat kontemporer, terutama isu-isu seputar demokrasi dan ruang publik yang tampaknya selalu berhasil menarik perhatiannya. Pemahaman akan perjalanan intelektual dan fokus tema ini akan membantu kita dalam menelusuri bagaimana gagasan-gagasannya tentang komunikasi dan masyarakat pada akhirnya berimplikasi pada pemikirannya tentang hukum. Ini seperti memahami "asal-usul" seorang pahlawan sebelum kita melihat "kekuatan super"-nya.
Reputasi Mandiri Habermas
Habermas secara historis dan intelektual berakar kuat dalam tradisi Teori Kritis dan Marxisme, namun karya Jürgen Habermas berhasil membangun reputasi yang kokoh dan berdiri sendiri. Pengaruhnya meluas jauh melampaui sekadar menjadi "bagian" dari suatu mazhab pemikiran tertentu.
Selain kontribusinya yang signifikan dalam kajian ruang publik, Habermas juga memberikan dampak yang cukup besar di awal karirnya melalui tulisan-tulisan epistemologisnya yang mencoba menjembatani jurang antara teori dan praktik. Salah satu temuan intelektualnya yang paling terkenal adalah konseptualisasinya mengenai berbagai tradisi ilmiah yang ia kelompokkan berdasarkan "kepentingan pengetahuan" yang mendasarinya.
Pertama, terdapat kepentingan teknis, yang menjadi landasan bagi ilmu-ilmu empiris. Fokus utama di sini adalah bagaimana kita dapat menguasai dan memanipulasi lingkungan alam secara efektif, dengan tujuan menghasilkan pengetahuan yang aplikatif untuk keperluan praktis dan teknologi.
Kedua, ada kepentingan praktis, yang mendorong tradisi hermeneutis. Di sini, perhatian utama adalah pada interpretasi makna yang tepat dalam memahami fenomena sosial dan budaya, layaknya upaya untuk menangkap pesan tersembunyi dalam sebuah percakapan.
Terakhir, adalah kepentingan emansipatoris, yang melandasi ilmu-ilmu sosial dan humaniora kritis. Ilmu-ilmu ini memiliki agenda untuk melakukan analisis mendalam, memberikan kritik terhadap struktur kekuasaan yang ada, dan mendorong perubahan sosial menuju kondisi yang lebih baik.
Mereka ini seperti para "agen perubahan" dalam dunia pemikiran.
Sebagaimana bisa diduga dari seorang yang tumbuh dalam tradisi neo-Marxis, Habermas menempatkan karyanya dalam tradisi yang terakhir, yaitu tradisi yang memiliki "agenda" emansipatoris. Sisi yang menarik adalah sejak awal karyanya tidak hanya berkutat pada perdebatan filosofis yang abstrak, tetapi juga menunjukkan ketertarikan yang kuat untuk menganalisis masyarakat secara sosiologis. Perpaduan antara ketajaman analisis filosofis dan pemahaman sosiologis yang mendalam inilah yang menjadi ciri khas pendekatan Habermas, dan ini akan terus kita lihat saat kita menjelajahi konsep-konsep pentingnya, termasuk gagasannya tentang komunikasi rasional dan implikasinya bagi pemahaman tentang hukum.
Pergeseran Fokus Habermas
Salah satu perkembangan paling mencolok dalam pemikiran Jürgen Habermas, terutama sejak akhir dekade 1960-an dan selama tahun 1970-an, adalah pergeseran bertahap dari fokus Marxis yang tradisional pada isu-isu buruh dan ekonomi. Alih-alih berkutat pada dinamika produksi dan klas, Habermas mulai mengintegrasikan kategori-kategori interaksi sosial, bahasa, dan demokrasi sebagai elemen sentral dalam analisisnya tentang masyarakat. Ini menandai sebuah evolusi penting dalam pemikirannya, yang memperluas lensa analisis sosialnya.
Dengan kata lain, kontribusi signifikan Habermas terhadap Marxisme ortodoks adalah perluasan perspektif yang tidak lagi terbatas pada relasi antara subjek dan objek dalam konteks kontrol atas alam. Ia menambahkan dimensi interaksi sosial, yaitu hubungan antar subjek, sebagai elemen krusial dalam memahami dinamika masyarakat secara keseluruhan. Ketertarikan pada dimensi interaksional ini sebenarnya telah tampak dalam bentuk embrionik dalam karya awalnya tentang ruang publik. Kini ia mengembangkannya secara bertahap namun konsisten, membawanya semakin menjauh dari neo-Marxisme dan bahkan dari filsafat yang secara epistemologis hanya terfokus pada teori komunikasi linguistik semata. Ini seperti seorang pelukis yang mulai menggunakan palet warna yang lebih luas untuk menghasilkan karya yang lebih kaya.
Ada hal yang lebih relevan dalam konteks pembahasan kita adalah bagaimana Habermas bergerak dari ranah filsafat yang cenderung abstrak ke pusat perdebatan dalam teori sosiologis. Ia melakukan ini dengan mengandalkan dikotomi fundamental antara dua perspektif dalam memahami tindakan sosial.
Di satu sisi, terdapat teori tindakan, tindakan komunikatif, dan Dunia-Kehidupan (lifeworld). Perspektif ini berfokus pada bagaimana individu berinteraksi dan membangun makna bersama melalui komunikasi yang rasional dalam konteks pengalaman hidup sehari-hari mereka. Ini adalah ranah di mana percakapan dan pemahaman mutual menjadi kunci.
Di sisi lain, terdapat teori sistem, tindakan strategis, dan sistem. Perspektif ini melihat masyarakat sebagai sistem yang kompleks dengan subsistem-subsistem (seperti ekonomi dan politik) yang beroperasi berdasarkan logika internal mereka sendiri. Tindakan itu seringkali bersifat strategis dan berorientasi pada pencapaian tujuan individual atau sistem. Ini adalah ranah yang mana efisiensi dan fungsi seringkali lebih diutamakan daripada pemahaman bersama.
Pengembangan dikotomi ini menjadi sangat penting karena menjadi landasan bagi pemikiran Habermas selanjutnya, termasuk bagaimana ia memahami peran komunikasi dalam membentuk norma sosial dan hukum, yang akan menjadi fokus utama dalam pembahasan kita tentang "hukum komunikatif". Ini seperti memahami dua sisi mata uang untuk dapat memahami nilai tukarnya secara utuh.
Antara Warisan Marxisme dan Horizon Baru
Sebelum kita mengupas secara lebih sistematis perkembangan intelektual yang membawa kita pada pemikiran utama Habermas, penting untuk mencatat bahwa relasinya dengan Karl Marx dan tradisi Marxisme merupakan isu yang terus diperdebatkan dan ditelaah. Demikian pula, posisinya dalam kaitannya dengan tradisi filsafat kontinental dan sosiologi teoretis juga menjadi aspek krusial dalam memahami perspektifnya yang unik.
Menariknya, evolusi pemikiran Habermas tidaklah linear dan sederhana. Ia bergerak dari kajian teori ilmu pengetahuan, melalui eksplorasi logika ilmu-ilmu sosial, hingga mencapai pengembangan teori masyarakat yang komprehensif. Selain itu, ketertarikan awalnya yang mungkin terkesan fragmentaris terhadap interaksi dan bahasa, secara bertahap menjelma menjadi fondasi yang kokoh bagi teori masyarakatnya, yang sebagian besar dibangun di atas landasan teori diskursus. Ini menunjukkan bagaimana ide-ide kecil dapat tumbuh menjadi kerangka pemikiran yang besar.
Setelah berhasil mengartikulasikan epistemologi Teori Kritis sehubungan dengan kepentingan emansipatoris dan minat metodologis dalam fundasi teoritis-bahasa ilmu-ilmu sosial, Habermas mengambil langkah signifikan dalam mengembangkan perspektif sosiologis dan filosofis yang ia anggap relevan untuk studi dan kritik terhadap masyarakat modern. Dengan kata lain, tujuan Habermas tidak hanya sebatas memahami mekanisme bekerjanya masyarakat, tetapi juga bagaimana masyarakat dapat diubah menuju kondisi yang lebih adil dan rasional melalui pemahaman yang mendalam tentang komunikasi dan tindakan sosial.
Sosiologi: Rasionalitas dan Masyarakat
Puncak dari evolusi pemikiran Habermas menuju teori sosial, baru terwujud dalam karya monumentalnya, Theory of Communicative Action, yang pertama kali diterbitkan dalam dua volume berbahasa Jerman pada tahun 1981. Dalam membangun arsitektur formal karyanya ini, Habermas mengambil inspirasi dari model yang dikembangkan oleh Talcott Parsons dalam bukunya The Structure of Social Action (1937). Namun, Habermas tidak sekadar mengulang, melainkan mengembangkan model tersebut secara sistematis dengan merujuk pada serangkaian pemikir teori sosial yang lebih kontemporer.
Mengingat bahwa teori yang berakar pada konsep tindakan komunikatif tetap menjadi inti dari karya-karya Habermas hingga saat ini, dan secara khusus mengandung kontribusi signifikan bagi pemahaman tentang hukum dalam masyarakat modern, maka meluangkan waktu untuk menjelaskan garis besar aspek-aspek fundamental dari teori sosiologis Habermas ini, berdasarkan ringkasan singkat dari Theory of Communicative Action, menjadi sangat relevan bagi pembahasan kita.
Habermas memulai penjelasannya dengan mengangkat isu tentang bagaimana orang bertindak secara rasional dan bagaimana masyarakat menjadi semakin rasional sebagai topik utama dalam teori sosiologi. Ia kembali melihat gagasan-gagasan penting dari para pemikir sosiologi klasik terdahulu.
Menurut Habermas, sosiologi memiliki peran yang istimewa dalam hal ini karena disiplin ilmu ini terus tertarik untuk memahami masyarakat secara keseluruhan. Bahkan ketika masyarakat modern semakin terbagi-bagi menjadi berbagai bidang yang berbeda (seperti ekonomi, pemerintahan, hukum, dan budaya), sosiologi tetap berusaha melihat gambaran besarnya.
Perspektif yang luas ini tentu saja sangat membantu kita untuk memahami dasar dari sosiologi hukum. Sosiologi hukum melihat hukum sebagai bagian dari masyarakat dan berusaha memahaminya secara ilmiah, bukan hanya fokus pada benar atau salahnya putusan pengadilan. Jadi, kita mempelajari hukum dalam konteks masyarakat, bukan sekadar aturan-aturan yang terpisah.
Dua Jenis "Kepintaran" dalam Bertindak: Instrumental dan Komunikatif
Habermas membedakan dua jenis cara orang bertindak secara "pintar" atau rasional. Yang pertama adalah rasionalitas instrumental-kognitif. Ini adalah cara bertindak yang fokus pada bagaimana cara paling efektif untuk mencapai tujuan yang kita inginkan. Misalnya, kalau kita mau cepat sampai tujuan, kita akan memilih jalan tol daripada jalan kampung yang macet. Ini adalah "kepintaran" dalam memilih alat atau cara untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Yang kedua adalah rasionalitas komunikatif. Ini adalah cara berinteraksi dengan orang lain yang tujuannya adalah untuk saling memahami. Misalnya, ketika kita berdiskusi dengan teman, kita berusaha untuk menyampaikan maksud kita dengan jelas dan juga berusaha memahami sudut pandang teman kita. Di sini, "kepintaran"-nya terletak pada kemampuan kita untuk berkomunikasi secara efektif dan mencapai pemahaman bersama.
Penting untuk diingat bahwa menurut Habermas, tindakan sosial manusia tidak hanya terbatas pada salah satu jenis "kepintaran" ini. Kedua jenis rasionalitas ini ada dan idealnya perlu dipahami, dan keduanya bisa diterapkan secara berbeda dalam berbagai jenis masyarakat dan dalam berbagai tahap perkembangannya. Jadi, kadang kita bertindak lebih dengan "kepala dingin" untuk mencapai tujuan, dan di lain waktu kita lebih mengandalkan kemampuan kita untuk "berbicara baik-baik" agar bisa saling mengerti.
Bahasa: Jembatan Pemahaman dan Arena Klaim
Menurut Habermas, salah satu hal yang membuat interaksi manusia unik adalah penggunaan bahasa melalui apa yang disebutnya "tindakan-tutur" (seperti berbicara, menulis, atau bahkan menggunakan bahasa tubuh). Kali ini kita tidak akan membahas teori bahasa yang rumit, tapi fokus pada apa yang sebenarnya kita lakukan ketika kita menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain, yaitu membuat klaim. Ketika kita berbicara atau menulis dengan tujuan untuk dipahami, kita sebenarnya sedang mengajukan semacam "klaim" kepada lawan bicara kita.
Meskipun kita tidak selalu harus setuju atau mencapai konsensus dalam berkomunikasi, Habermas berpendapat bahwa setiap tindakan-tutur yang kita ucapkan dan cukup jelas untuk dipahami, mengandung tiga jenis klaim sekaligus.
Pertama, kita mengajukan klaim kebenaran, yaitu bahwa apa yang kita katakan itu benar sesuai dengan fakta atau kenyataan.
Kedua, kita mengajukan klaim kebenaran normatif, yaitu bahwa apa yang kita katakan itu benar atau tepat berdasarkan aturan, norma, atau nilai-nilai yang berlaku dalam konteks tertentu.
Ketiga, kita mengajukan klaim kejujuran, yaitu bahwa kita mengatakan apa adanya dan tidak berbohong atau menyembunyikan sesuatu.
Habermas berpendapat bahwa ketika kita berkomunikasi (baik secara lisan maupun tulisan), kita secara implisit mengajukan ketiga klaim ini. Jika semua klaim ini diterima oleh lawan bicara, maka komunikasi berjalan lancar. Namun, jika salah satu atau lebih klaim ini dipertanyakan, maka kita perlu melakukan komunikasi lebih lanjut untuk membahas validitas klaim tersebut.
Habermas menyebut proses komunikasi lebih lanjut untuk menguji validitas klaim itu sebagai diskursus. Ia membedakan tiga jenis diskursus yang sesuai dengan tiga jenis klaim tadi: diskusi tentang kebenaran faktual (diskursus teoretis), diskusi tentang kebenaran normatif (diskursus praktis), dan diskusi tentang keaslian dan ketulusan (diskursus ekspresif dan evaluatif).
Jadi, bahasa bukan hanya alat untuk menyampaikan informasi, tapi juga arena di mana kita saling mengajukan dan menguji klaim untuk mencapai pemahaman.
Dunia-Kehidupan dan Sistem
Habermas menjelaskan bahwa validitas dari apa yang kita katakan biasanya tidak kita pertanyakan setiap saat karena komunikasi kita terjadi dalam konteks yang ia sebut Dunia-Kehidupan (Lebenswelt). Konsep ini, yang ia kembangkan dari tradisi filsafat Jerman, merujuk pada seluruh nilai budaya, norma sosial, dan cara kita bersosialisasi yang seringkali kita anggap begitu saja dan justru menjadi landasan yang memungkinkan interaksi kita terjadi. Bayangkan ini seperti latar belakang panggung dalam drama kehidupan sosial kita; kita jarang memperhatikannya secara sadar, tapi tanpanya, drama tidak bisa dipentaskan.
Untuk memahami bagaimana masyarakat modern berkembang dan menjadi semakin rasional, Habermas mengajukan dua pengamatan penting tentang Dunia-Kehidupan. Pertama, rasionalisasi Dunia-Kehidupan telah membawa diferensiasi internal di sekitar tiga fungsi utama. Ada reproduksi budaya, yaitu bagaimana nilai-nilai diturunkan dari generasi ke generasi. Ada integrasi sosial, yaitu bagaimana interaksi dikoordinasikan melalui norma-norma yang kita sepakati bersama. Dan ada sosialisasi, yaitu bagaimana kita dibentuk menjadi individu dengan identitas tertentu.
Kedua, Habermas melihat adanya tingkat diferensiasi sosial tambahan di mana beberapa area kehidupan sosial telah "terpisah" dari Dunia-Kehidupan berdasarkan cara interaksi yang tidak lagi murni komunikatif, melainkan lebih "terlepas dari bahasa" dalam arti fokus pada media non-linguistik. Untuk memahami hubungan ini, kita perlu melengkapi pandangan interaksionis tentang Dunia-Kehidupan dengan perspektif Sistem, yang berfokus pada rasionalitas instrumental-kognitif, yaitu bertindak untuk mencapai tujuan tertentu secara efektif. Secara khusus, Habermas berpendapat bahwa dalam masyarakat Barat, telah berkembang sistem ekonomi kapitalisme yang beroperasi berdasarkan uang, dan sistem politik negara birokrasi yang beroperasi berdasarkan kekuasaan. Dalam ekonomi kapitalis, rasionalitas transaksi moneter hanya mempertimbangkan seberapa produktif sesuatu, sedangkan dalam negara birokrasi, kekuasaan berorientasi pada seberapa efektif keputusan politik dapat diambil dan dilaksanakan.
Mirip dengan bagaimana tindakan komunikatif bekerja di Dunia-Kehidupan, tindakan instrumental dalam sistem ekonomi dan politik tidak selalu menimbulkan masalah. Namun, persoalan sosial muncul ketika Sistem "menjajah" Dunia-Kehidupan, sehingga cara kita berinteraksi yang seharusnya berorientasi pada pemahaman timbal-balik menjadi didominasi oleh logika instrumental, yaitu bertindak semata-mata untuk mencapai kesuksesan. Habermas berpendapat bahwa inilah masalah utama masyarakat modern saat ini. "Penyakit" sosial modern seperti kehilangan makna, perasaan terasing (anomi), dan keterasingan muncul sebagai akibat dari penjajahan Dunia-Kehidupan oleh sistem ekonomi dan politik.
Dari sudut pandang teori sosiologis, pandangan Habermas tentang tindakan komunikatif dan dualitas masyarakat modern dalam Dunia-Kehidupan dan Sistem menggabungkan pemikiran dari perspektif interaksionis dan Teori Sistem. Dalam mengembangkan teorinya, Habermas mengambil inspirasi dari berbagai pemikir besar yang mungkin tampak berbeda pandangan, seperti Max Weber, Emile Durkheim, Talcott Parsons, dan Karl Marx. Terutama dari sudut pandang Teori Kritis, perspektif dua tingkat masyarakat ini diharapkan tidak hanya memiliki konsistensi teoretis, tetapi juga dapat berguna dalam menganalisis berbagai bentuk masyarakat secara konkret. Dalam bukunya Theory of Communicative Action, Habermas memang melakukan analisis semacam itu dan dengan demikian juga meletakkan dasar bagi teori sosiologis hukum, yaitu cara kita memahami hukum dalam konteks masyarakat.
Mengenal Yuridifikasi
Teori tindakan komunikatif Habermas memang kompleks, bahkan bisa dibilang "rumitnya minta ampun," apalagi kalau kita melihat betapa abstraknya dan bagaimana ia menggabungkan berbagai tradisi pemikiran sosial. Lucunya, Habermas sendiri menyadari hal ini. Dalam kata pengantar bukunya yang tebal itu, The Theory of Communicative Action, ia menyarankan agar pembaca yang penasaran dengan relevansi praktis karyanya langsung saja membaca bab terakhir. Di bab itulah Habermas mencoba menerapkan teorinya untuk menganalisis hal-hal konkret dan memperkenalkan perspektif sosiologis tentang hukum. Ini seperti seorang pemandu wisata yang bilang, "Kalau kalian bingung dengan sejarah panjang tempat ini, langsung saja lihat pemandangan indahnya di puncak!"
Yang menarik, Habermas memulai diskusinya tentang hukum dengan santai saja. Ia menyatakan bahwa bidang hukum sebenarnya tidak menghadirkan masalah metodologis yang aneh-aneh. Menurutnya, sejak zaman Durkheim dan Weber, perkembangan hukum sudah jelas menjadi bagian dari wilayah penelitian sosiologi klasik. Jadi, bagi Habermas, mempelajari hukum dari sudut pandang masyarakat itu hal yang wajar.
Konsep hukum Habermas secara umum mengacu pada bagaimana norma-norma di masyarakat dilembagakan atau diresmikan. Di tingkat filosofis, Habermas melihat adanya hubungan yang erat antara hukum dan moralitas. Ia berpendapat bahwa hukum, bahkan dalam masyarakat yang sangat modern dan rasional, tetap mempertahankan dimensi normatif yang penting. Meskipun ada kecenderungan untuk membuat hukum lebih teknokratis berdasarkan kriteria efisiensi, hukum modern tetap membutuhkan pembenaran moral. Pembenaran ini, menurut Habermas, lebih didasarkan pada prosedur yang memungkinkan argumen yang lebih baik menang melalui komunikasi dan perdebatan. Dengan kata lain, meskipun hukum modern terlihat sangat rasional dan bertujuan (seperti yang pernah dikatakan Max Weber), hal itu tidak berarti menghilangkan pertanyaan-pertanyaan moral. Hukum modern dicirikan oleh legalitas (sesuai aturan) dan legitimasi (diterima sebagai adil), dan yang terakhir tidak otomatis mengikuti yang pertama. Sederhananya, sesuatu itu legal belum tentu dianggap adil. Jadi, pemikiran Habermas tentang hukum membuka jalan bagi kita untuk mempertimbangkan landasan rasional dari hukum yang adil atau hubungan antara hukum dan hak.
Lebih lanjut, dalam bab penutup Theory of Communicative Action, Habermas melakukan penyelidikan historis yang cukup mendalam tentang perkembangan hukum. Melalui penelusuran sejarah ini, ia ingin menunjukkan bagaimana teorinya memiliki nilai empiris atau bisa diterapkan pada kenyataan. Dalam prosesnya, ia juga mengembangkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang sosiologi hukum. Salah satu konsep kunci yang ia gunakan adalah yuridifikasi (Verrechtlichung). Secara umum, yuridifikasi mengacu pada semakin banyaknya hukum formal atau tertulis dalam masyarakat. Ini bisa terjadi dalam dua bentuk: perluasan hukum ke area-area yang sebelumnya tidak diatur, atau "pemadatan" hukum (densification) dalam bentuk peraturan yang lebih detail dan ketat mengenai perilaku yang sudah diatur. Habermas menggunakan konsep yuridifikasi ini untuk menjelaskan perkembangan negara kesejahteraan modern, di mana peran hukum dalam mengatur berbagai aspek kehidupan sosial semakin meningkat.
Selain itu, Habermas berpendapat bahwa hukum dalam masyarakat modern berfungsi dan berkembang dengan cara yang perlu kita pahami dari sudut pandang sosiologi. Dalam pembedaan antara Sistem (seperti ekonomi dan politik) dan Dunia-Kehidupan (nilai dan norma yang kita anut), hukum memainkan peran sentral dengan melembagakan fungsi Uang dan Kekuasaan secara independen dalam masing-masing sistem tersebut. Fungsi ini dijalankan, khususnya, melalui hukum privat (yang mengatur hubungan antar individu) dan hukum publik (yang mengatur hubungan antara individu dan negara). Pentingnya peran hukum juga terlihat dari fakta bahwa otoritas politik secara historis berevolusi dari peran pengadilan. Dalam pengertian yang masih relevan hingga kini, hubungan khusus antara hukum dan politik ditegaskan oleh fakta bahwa pembuatan undang-undang adalah fungsi politik, dan otoritas politik, seperti yang pernah dikatakan Weber, bersifat legal-rasional (kekuasaan yang didasarkan pada aturan dan prosedur yang sah).
Empat Gelombang Yuridifikasi
Dalam menelusuri sejarah sistem negara di Eropa, Habermas menganalisis bagaimana proses yuridifikasi (semakin banyaknya hukum dalam masyarakat) berkembang menuju negara kesejahteraan. Ia mengidentifikasi empat gelombang utama dari fenomena ini.
Gelombang pertama terjadi pada masa perkembangan negara borjuis di Eropa sebelum abad ke-19. Saat itu, ekonomi kapitalis mulai tumbuh, dan para pengusaha (kelas industrialis baru) secara bertahap berhasil mendapatkan hak-hak hukum untuk menjalankan bisnis di pasar. Mereka mulai "mengamankan" diri dari kekuasaan absolut para penguasa, meskipun kekuasaan politik para penguasa itu sendiri masih belum banyak tersentuh. Hukum perdata pada periode ini lebih banyak menjamin kebebasan dalam mengatur kontrak dan hubungan ekonomi di pasar. Jadi, hukum lebih fokus pada "aturan main" dalam berbisnis.
Gelombang kedua muncul seiring dengan perkembangan negara konstitusional pada abad ke-19. Pada masa ini, hak-hak pribadi warga negara seperti hak untuk hidup, kebebasan, dan kepemilikan dijamin secara hukum dan dilindungi dari kekuasaan politik yang sewenang-wenang. Dengan kata lain, hak-hak kebebasan ini sekarang memiliki "benteng" hukum yang melindunginya dari potensi gangguan para penguasa politik, yang pada saat itu masih menganut kebijakan ekonomi laissez-faire (pemerintah tidak terlalu ikut campur urusan ekonomi).
Gelombang ketiga terjadi ketika sistem negara demokratis-konstitusional berkembang di bawah pengaruh ide-ide Revolusi Prancis. Warga negara tidak hanya memiliki hak-hak pribadi, tetapi juga mendapatkan hak untuk berpartisipasi dalam pembentukan pemerintahan mereka melalui pelembagaan proses pemilihan yang demokratis. Jadi, yuridifikasi pada tahap ini mencakup pengakuan dan perlindungan hukum atas hak-hak sosial dan politik warga negara untuk ikut menentukan arah negara.
Gelombang keempat muncul seiring dengan perkembangan negara kesejahteraan demokratis selama abad ke-20. Di masa ini, berbagai undang-undang kesejahteraan sosial disahkan dengan tujuan untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat kapitalis berdasarkan prinsip keadilan dan kesetaraan. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa kebutuhan dasar warga negara terpenuhi. Jadi, pada tahap ini, hak-hak sosial yang dijamin oleh hukum menjadi semacam "rem" terhadap dampak negatif dari pasar bebas yang tidak terkendali.
Habermas menjelaskan sejarah yuridifikasi ini untuk menunjukkan bahwa hukum kesejahteraan dapat dipahami sebagai upaya untuk melembagakan hak-hak Dunia-Kehidupan (nilai dan norma yang kita anut) dalam menghadapi "kekuatan" sistem ekonomi dan politik. Undang-undang kesejahteraan muncul dari tuntutan yang semakin besar dari Dunia-Kehidupan agar dapat ikut campur dan bereaksi terhadap cara kerja sistem yang dikendalikan oleh uang dan kekuasaan. Dengan demikian, hak-hak individu dan sosial perlu dijamin berdasarkan keseimbangan antara prinsip kebebasan dan kesetaraan.
Namun, Habermas juga mencatat beberapa dampak yang tidak diinginkan dalam perkembangan hukum kesejahteraan. Meskipun tujuannya baik, yaitu mengurangi masalah sosial akibat ekonomi kapitalis, cara masalah-masalah ini ditangani secara hukum seringkali masih "mengakomodasi" logika sistem ekonomi dan administrasi. Bentuk hukum yang digunakan untuk menjamin hak-hak tersebut justru berpotensi mengancam sebagian dari hak-hak itu sendiri. Habermas merinci empat masalah utama: (1) undang-undang kesejahteraan menjamin hak yang dipahami sebagai klaim individual, padahal masalah yang ditangani bersifat kolektif; (2) klaim harus diajukan melalui prosedur formal yang ketat; (3) klaim dilaksanakan dengan cara yang lebih sesuai dengan kebutuhan birokrasi besar daripada kebutuhan individu yang terlibat; dan (4) hak seringkali direduksi menjadi kompensasi uang. Dengan kata lain, hak-hak yang dijamin oleh undang-undang kesejahteraan seringkali didefinisikan dan diterapkan dalam konteks "bahasa" Uang dan Kekuasaan.
Hukum Sebagai Wajah Ganda
Dalam merumuskan pemikiran awalnya tentang sosiologi hukum dalam The Theory of Communicative Action, Habermas melihat implikasi ganda (ambivalen) dari perkembangan hukum kesejahteraan melalui konsep "dua wajah" hukum.
Di satu sisi, Habermas melihat Hukum sebagai Institusi. Ini merujuk pada norma-norma hukum yang tetap membutuhkan pembenaran berdasarkan hubungannya yang erat dengan moralitas. Dalam hal ini, Habermas mencontohkan bidang hukum tertentu yang sangat terkait dengan nilai-nilai dan kepercayaan yang dianut kuat oleh masyarakat, seperti hukum pidana. Mengapa kita melarang pembunuhan? Bukan hanya karena itu merugikan, tapi juga karena ada nilai moral yang kuat yang melarangnya.
Di sisi lain, Habermas berpendapat bahwa hukum juga dapat berfungsi sebagai Hukum sebagai Medium pengarah. Dalam hal ini, yang terpenting adalah aturan hukum tersebut beroperasi secara efektif melalui prosedur-prosedur tertentu, tanpa terlalu mempersoalkan pembenaran moralnya secara mendalam. Contohnya adalah hukum bisnis dan administrasi. Mengapa kita harus mengikuti prosedur perizinan usaha? Lebih karena itu adalah cara yang efektif untuk mengatur kegiatan ekonomi dan administrasi negara.
Menurut Habermas, Hukum sebagai Institusi lebih berakar pada Dunia-Kehidupan (nilai dan norma yang kita anut bersama), karena legitimasi dan penerimaannya sangat bergantung pada pembenaran moral dan kesesuaiannya dengan nilai-nilai masyarakat. Sementara itu, Hukum sebagai Medium pengarah lebih "bebas" dari pembenaran substantif karena operasinya lebih terkait dengan kebutuhan fungsional dalam Sistem politik dan ekonomi. Yang penting di sini adalah efisiensi dan kepatuhan terhadap prosedur agar sistem dapat berjalan dengan baik.
Jadi, Habermas melihat hukum memiliki dua sisi: ia bisa menjadi cerminan nilai-nilai moral dan kebutuhan bersama masyarakat, tetapi juga bisa menjadi alat yang digunakan oleh sistem untuk mencapai tujuannya sendiri, terkadang tanpa terlalu mempertimbangkan nilai-nilai tersebut.
Ketika Hukum "Terlalu Ikut Campur"
Seperti yang terlihat dalam kasus hukum kesejahteraan, Hukum sebagai Medium juga dapat menyentuh area-area masyarakat yang seharusnya lebih dekat dengan Dunia-Kehidupan. Misalnya, masalah pengangguran massal atau jaminan hari tua (yang jelas merupakan masalah kolektif) dalam undang-undang kesejahteraan seringkali diubah menjadi sekadar klaim individual yang harus dipenuhi dengan memberikan sejumlah uang. Jadi, alih-alih mencari solusi bersama untuk masalah pengangguran, negara memberikan tunjangan pengangguran kepada individu. Ini adalah contoh bagaimana masalah yang berakar pada struktur sosial diubah menjadi urusan individual yang diselesaikan dengan "bahasa" uang.
Habermas juga membahas masalah serupa dalam konteks hukum keluarga dan sekolah di Jerman. Di bidang-bidang ini, hak-hak dasar seperti kesejahteraan anak dan kesempatan yang sama bagi semua pihak dijamin oleh hukum. Misalnya, ada aturan tentang hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak atau hak anggota keluarga untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan dalam rumah tangga. Namun, untuk memastikan hak-hak ini secara hukum, keluarga dan sekolah harus didefinisikan ulang dan dibuat lebih formal agar memungkinkan adanya intervensi birokrasi dan pengawasan pengadilan.
Aturan hukum tentang keluarga dan sekolah memang bisa melengkapi hubungan informal yang sudah ada dalam Dunia-Kehidupan. Misalnya, adanya aturan tentang mediasi dalam perceraian bisa membantu pasangan menyelesaikan masalah secara damai. Namun, aturan-aturan ini juga berpotensi "melangkah terlalu jauh" dan mengganggu dinamika alami keluarga dan sekolah melalui Hukum sebagai Medium.
Contoh: Seorang anak yang dianggap mengalami kekerasan di rumah, berdasarkan putusan pengadilan, bisa dikeluarkan dari rumah untuk melindungi kesejahteraan fisiknya. Meskipun tujuannya baik, putusan hakim ini mungkin tidak mempertimbangkan solusi lain yang lebih holistik, seperti konseling keluarga atau intervensi sosial yang lebih mendalam, yang juga mempertimbangkan aspek emosional dan relasional antara anak dan orang tua. Dalam kasus seperti ini, logika hukum formal (Hukum sebagai Medium) "menginvasi" dan mendikte hubungan keluarga yang seharusnya lebih didasarkan pada pemahaman dan kasih sayang (Dunia-Kehidupan).
Contoh lain: Di sekolah, aturan yang sangat ketat tentang kurikulum dan evaluasi siswa (yang dibuat untuk memastikan standar dan akuntabilitas) bisa saja "mencekik" kreativitas guru dan semangat belajar siswa. Fokus menjadi terlalu terpusat pada angka dan formalitas, mengabaikan aspek-aspek penting lain dalam pendidikan seperti pengembangan karakter dan minat individu. Di sini, logika birokrasi pendidikan (bagian dari Sistem yang diatur oleh Hukum sebagai Medium) bisa "mengkolonisasi" interaksi yang seharusnya lebih berorientasi pada pertumbuhan dan perkembangan personal (Dunia-Kehidupan) di ruang kelas.
Dalam kasus-kasus seperti ini, Habermas menyebutnya sebagai kolonisasi internal Dunia-Kehidupan melalui Hukum sebagai Medium. Logika formal dan instrumental dari sistem hukum "mengambil alih" dan mendistorsi cara kita berinteraksi dan memahami hubungan sosial yang seharusnya lebih didasarkan pada komunikasi dan nilai-nilai bersama dalam Dunia-Kehidupan.
Ketika Batasan Hukum Kabur
Perspektif Habermas tentang hukum dan moralitas membuka jalan penting untuk memahami bagaimana masyarakat modern dapat mencapai legitimasi legalitas (mengapa hukum yang sah juga dianggap sah secara moral). Namun, pada saat yang sama, pengenalan konsep Hukum sebagai Medium yang seharusnya bebas dari perdebatan normatif justru menimbulkan masalah dalam kerangka teori Habermas sendiri. Ambisi teoretis Habermas untuk membagi hukum secara tegas menjadi dua kategori ini ternyata menghadapi kesulitan karena tidak semua bidang hukum dapat dengan mudah dimasukkan ke dalam salah satu kotak.
Seperti yang kita lihat dalam kasus hukum kesejahteraan, yang seharusnya menyentuh ranah nilai dan kebutuhan Dunia-Kehidupan, implementasinya seringkali lebih mengikuti logika Sistem. Contohnya, ketika negara memberikan bantuan dana untuk keluarga miskin (hukum kesejahteraan), tujuannya mungkin didasari oleh nilai moral tentang keadilan sosial dan membantu sesama (Dunia-Kehidupan). Namun, proses pemberian bantuan tersebut seringkali diatur oleh prosedur birokrasi yang ketat (logika Sistem), yang mungkin terasa tidak fleksibel dan kurang mempertimbangkan kebutuhan spesifik setiap keluarga. Di sini, hukum yang seharusnya menjadi "institusi" yang mewujudkan nilai moral, justru terimplementasi sebagai "medium" birokrasi.
Habermas sendiri menyadari kesulitan ini ketika ia melihat bagaimana aturan hukum masuk ke dalam dimensi Dunia-Kehidupan berdasarkan kebutuhan Sistem, yang kemudian memunculkan berbagai isu yang kita diskusikan dalam konteks deregulasi, debirokratisasi, dan upaya untuk mencari pembenaran moral bagi intervensi negara. Konsep Hukum sebagai Medium dan gagasan tentang kolonisasi internal Dunia-Kehidupan terasa kurang kuat secara konseptual dalam kerangka teori Habermas sendiri karena batas antara keduanya menjadi kabur.
Habermas dengan cepat menyadari "kerikil" dalam formulasi awalnya ini. Menanggapi berbagai kritik, ia mengakui bahwa tesisnya tentang yuridifikasi "mungkin terlalu ambisius" dan bahwa ia tidak dapat mempertahankan pemisahan yang jelas antara Hukum sebagai Institusi dan Hukum sebagai Medium. Kesalahan ini mungkin berakar pada pandangan awal Habermas yang cenderung melihat Dunia-Kehidupan secara agak pasif, hanya sebagai "korban" potensial dari efek merusak Sistem dan proses kolonisasi. Padahal, Theory of Communicative Action sebenarnya adalah studi tentang dinamika antara Tindakan Strategis dan Sistem, sekaligus Tindakan Komunikatif dan Dunia-Kehidupan.
Sebagai konsekuensi intelektual yang logis, Habermas kemudian merumuskan kembali teori hukumnya dengan mengonseptualisasikan hukum sepenuhnya sebagai institusi yang berakar dalam Dunia-Kehidupan. Puncak dari perumusan ulang ini adalah bukunya pada tahun 1992, Faktizität und Geltung yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (Between Facts and Norms) pada tahun 1996. Karya ini merupakan hasil dari proyek penelitian besar yang ia terima pada pertengahan 1980-an. Setelah itu, Habermas membentuk kelompok penelitian tentang teori hukum yang melibatkan berbagai ahli dari bidang filsafat hukum, sosiologi hukum, dan ilmu hukum, yang menghasilkan berbagai publikasi tentang peran hukum dalam masyarakat modern.
Hukum Modern: Jembatan Antara Moral Dan Kekuasaan
Dalam karyanya, Habermas banyak membahas tentang bagaimana hukum modern seharusnya dapat dibenarkan secara rasional berdasarkan sistem hak. Intinya, ia melihat hukum memiliki hubungan yang erat dengan moralitas. Baik norma moral maupun norma hukum sama-sama bertujuan untuk menyelesaikan masalah bagaimana kita bisa hidup bersama secara damai dan teratur dalam Dunia-Kehidupan kita. Perbedaan utamanya terletak pada bagaimana keduanya "bekerja." Norma moral tertanam kuat dalam nilai-nilai yang dianut berbagai komunitas, tetapi ia tidak memiliki kekuatan memaksa atau mekanisme penegakan yang formal. Sementara itu, hukum, untuk memastikan otoritasnya, terhubung dengan sistem politik yang bertugas mengawasi administrasi dan penegakannya agar berjalan efektif. Kemampuan hukum modern untuk menggabungkan klaim legitimasi (diakui secara moral) dan jaminan legalitas (ditegakkan oleh negara) inilah yang membuatnya penting dalam masyarakat.
Berdasarkan pandangan Habermas yang baru tentang hukum, kita bisa melihat kembali teorinya dalam The Theory of Communicative Action. Aturan-aturan yang mengatur Uang (dalam ekonomi) dan Kekuasaan (dalam administrasi) sebenarnya bisa dipahami sebagai "rem" normatif dalam Dunia-Kehidupan. Hukum bisnis dan hukum administrasi tidak hanya mengatur bagaimana sistem ekonomi dan administrasi bekerja secara efisien, tetapi juga melakukannya dengan otoritas yang didasarkan pada norma-norma pembenaran. Jadi, aturan tentang kontrak bisnis yang adil atau prosedur administrasi yang transparan bukan hanya soal efisiensi, tapi juga tentang apa yang dianggap benar dan adil dalam interaksi tersebut.
Lebih lanjut, gagasan sebelumnya tentang kolonisasi internal Dunia-Kehidupan sekarang bisa kita pahami sebagai kolonisasi hukum itu sendiri. Artinya, hukum modern bisa "dibajak" atau didominasi oleh logika sistem ekonomi dan politik. Akibatnya, norma dan praktik hukum didefinisikan ulang dan diimplementasikan berdasarkan standar efisiensi instrumental, bukan lagi berdasarkan pertimbangan moral atau kebutuhan Dunia-Kehidupan.
Contoh: Bayangkan ada peraturan tentang lingkungan hidup yang dibuat dengan tujuan mulia untuk melindungi alam (nilai moral). Namun, dalam implementasinya, peraturan tersebut dibuat sangat longgar atau penegakannya lemah karena alasan "efisiensi ekonomi" (agar industri tidak terhambat). Di sini, logika ekonomi (Sistem) "mengkolonisasi" hukum lingkungan, sehingga tujuan moral awal untuk melindungi alam menjadi terdistorsi demi keuntungan ekonomi. Hukum yang seharusnya menjadi "institusi" yang melindungi nilai moral, malah diatur oleh logika "medium" ekonomi.
Contoh lain: Ada undang-undang tentang hak pekerja yang dibuat untuk menjamin keadilan dan kesejahteraan pekerja (nilai moral). Namun, dalam praktiknya, perusahaan besar dengan kekuatan ekonomi dan politik yang besar berhasil melobi pemerintah untuk membuat peraturan yang menguntungkan mereka, meskipun merugikan hak-hak pekerja. Di sini, logika kekuasaan dan ekonomi "mengkolonisasi" hukum ketenagakerjaan, sehingga hukum tidak lagi sepenuhnya mencerminkan nilai keadilan bagi pekerja.
Dalam kasus-kasus seperti ini, hukum modern, meskipun seharusnya menjadi jembatan antara moral dan kekuasaan, justru bisa didominasi oleh logika kekuasaan dan efisiensi ekonomi, sehingga kehilangan "roh" moralnya dan gagal melindungi nilai-nilai Dunia-Kehidupan secara efektif.
Menjembatani Ideal dan Realita Hukum
Mengingat dua sisi mata uang hukum, yaitu legitimasi (pengakuan moral) dan legalitas (kekuatan penegakan), tujuan utama Habermas dalam karyanya Between Facts and Norms adalah untuk membangun teori hukum yang bisa menjembatani jurang antara filsafat hukum (yang lebih fokus pada apa seharusnya hukum itu) dan sosiologi hukum (yang lebih fokus pada bagaimana hukum berfungsi dalam masyarakat). Ia ingin menggabungkan wawasan dari kedua tradisi pemikiran ini.
Secara khusus, Habermas berpendapat bahwa hukum memiliki dua kaki yang sama-sama penting. Di satu sisi, hukum membutuhkan kekuatan memaksa dari negara agar dapat diterapkan secara efektif. Tanpa polisi, pengadilan, dan penjara, aturan hukum hanyalah himbauan moral yang mungkin diabaikan. Namun, di sisi lain, hukum juga harus didasarkan pada klaim hak yang diakui secara bersama oleh anggota masyarakat. Jika hukum hanya didasarkan pada paksaan tanpa adanya pengakuan moral atas hak-hak yang dilindunginya, maka hukum tersebut akan kehilangan legitimasinya dan berpotensi menimbulkan perlawanan.
Contoh: Bayangkan sebuah undang-undang yang melarang diskriminasi rasial. Agar undang-undang ini efektif (legalitas), negara harus memiliki mekanisme untuk menghukum pelaku diskriminasi. Namun, agar undang-undang ini benar-benar diterima dan dihormati oleh masyarakat (legitimasi), harus ada kesadaran dan pengakuan bersama bahwa diskriminasi rasial adalah tindakan yang tidak adil dan melanggar hak asasi manusia. Jika sebagian besar masyarakat masih menganggap diskriminasi sebagai hal yang wajar, maka undang-undang tersebut akan sulit ditegakkan dan kurang memiliki legitimasi.
Lebih lanjut, pada tingkat ajudikasi (proses penerapan dan penafsiran hukum oleh pengadilan), norma-norma hukum diukur berdasarkan kesesuaiannya dengan kasus-kasus konkret atau dengan prinsip-prinsip yang tertuang dalam konstitusi. Dalam proses ini, legitimasi norma hukum itu sendiri seringkali tidak dipertanyakan. Hakim menerapkan hukum yang ada, dan fokusnya adalah pada bagaimana hukum tersebut relevan dengan fakta-fakta kasus yang dihadapi. Namun, Habermas mengingatkan bahwa legitimasi hukum secara keseluruhan tetap menjadi landasan penting bagi kepatuhan dan penerimaan hukum oleh masyarakat.
Mencari Titik Temu Dalam Keberagaman
Selain berusaha memahami kembali hukum modern dalam kaitannya dengan moralitas dan hak, Habermas juga banyak memikirkan hubungan yang erat antara hukum dan politik, terutama dalam sistem demokrasi. Jadi, karya Habermas ini bukan hanya sekadar filsafat hukum atau sosiologi hukum, tetapi juga teori politik yang memiliki implikasi penting bagi bagaimana kita memahami hukum.
Secara khusus, Habermas sangat mendukung konsep demokrasi deliberatif. Inti dari ide ini adalah fokus pada prosedur atau aturan main yang seharusnya ada dalam perdebatan demokratis. Ia percaya bahwa ide-ide dan cita-cita yang mendasari keputusan dalam negara demokrasi harus selalu terbuka untuk diperdebatkan dan diuji kembali. Ini seperti dalam forum diskusi yang baik, semua orang punya kesempatan untuk menyampaikan pendapat dan argumennya, dan kesimpulan yang diambil adalah hasil dari proses diskusi yang rasional.
Dalam konteks ini, fungsi penting hukum adalah untuk menetapkan prosedur yang memastikan bahwa norma-norma hukum dapat memungkinkan berbagai kelompok dengan nilai dan pandangan yang berbeda (pluralitas tradisi etis) untuk hidup berdampingan secara damai. Dengan kata lain, hukum dalam negara demokrasi diperlukan untuk menjamin bahwa aturan-aturan dapat mengatur tindakan sosial dan menjaga persatuan masyarakat, sambil tetap menghargai keberagaman nilai yang ada dalam berbagai "Dunia-Kehidupan" (kelompok dengan nilai dan cara hidup yang berbeda).
Contoh: Bayangkan sebuah negara dengan banyak kelompok etnis dan agama yang berbeda. Masing-masing kelompok memiliki nilai dan norma yang berbeda pula. Hukum dalam negara demokratis ini harus mampu menetapkan aturan main yang adil bagi semua kelompok, sehingga tidak ada satu kelompok pun yang merasa didiskriminasi atau dipaksakan nilai-nilainya kepada kelompok lain. Misalnya, undang-undang tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah contoh bagaimana hukum berusaha mengakomodasi keberagaman nilai dalam masyarakat. Proses pembuatan undang-undang ini pun idealnya melibatkan perdebatan dan pertimbangan dari berbagai kelompok kepentingan.
Masalah utama yang terus menjadi perhatian Habermas adalah hubungan yang kompleks antara hukum (sebagai norma atau aturan) dan budaya (sebagai nilai-nilai yang dianut masyarakat). Masalah ini menjadi semakin penting mengingat kecenderungan dunia yang semakin multikultural, yang mana berbagai nilai dan norma bertemu dan berinteraksi. Upaya menjadikan hukum sebagai "jembatan" yang adil dan efektif dalam menghadapi keberagaman ini adalah pertanyaan sentral dalam pemikiran Habermas.
Dari Sosiologi Ke Filsafat Hukum (Dan Politik)
Seperti yang sudah kita bahas, teori hukum Habermas menggabungkan elemen-elemen filsafat dan sosiologi. Akibatnya, karyanya juga telah dibahas dalam berbagai disiplin ilmu, meskipun seringkali tidak sepadu dengan integrasi yang berhasil ia capai dalam pemikirannya sendiri. Penting untuk dicatat bahwa tulisan-tulisan Habermas tentang hukum mengalami pergeseran fokus. Awalnya, seperti yang terlihat dalam Theory of Communicative Action, ia lebih menekankan pada sosiologi hukum, yaitu bagaimana hukum berfungsi dalam masyarakat. Namun, kemudian ia beralih ke pertanyaan-pertanyaan filsafat hukum (dan politik), yang terutama ia bahas dalam bukunya Between Facts and Norms.
Pergeseran ini memiliki konsekuensi tertentu dalam bagaimana karyanya diterima di kalangan akademisi yang mempelajari hukum. Dalam literatur tentang Habermas, perdebatan filosofis jauh lebih dominan daripada analisis sosiologis, dan diskusi teoretis lebih banyak daripada penelitian empiris. Selain itu, sebagian besar tulisan tentang teori hukum Habermas muncul pada tahun 1980-an dan 1990-an, dan perhatian terhadap topik ini tampaknya sedikit menurun sejak saat itu. Salah satu alasannya mungkin karena dalam beberapa tahun terakhir, Habermas lebih banyak menulis tentang isu-isu yang tidak secara langsung berkaitan dengan hukum, seperti integrasi Uni Eropa, politik internasional (terutama setelah peristiwa 9/11 di Amerika Serikat), dan perubahan peran agama di dunia.
Meskipun demikian, berbagai perdebatan dan kritik terhadap teori hukum Habermas telah muncul, dengan tingkat kerumitan teoretis dan kegunaan empiris yang beragam. Setelah publikasi awal Theory of Communicative Action, banyak tulisan dari bidang ilmu hukum dan studi sosial-hukum yang menyoroti dan mengkritik konsep awal Habermas tentang "Hukum sebagai Institusi" dan "Hukum sebagai Medium". Secara teoretis, menarik untuk melihat bahwa beberapa ahli hukum dengan cepat mengidentifikasi adanya kontradiksi internal dalam teori tersebut. Habermas sendiri pun mengakui hal ini dan secara bertahap, selama tahun 1980-an, ia mulai mengembangkan lebih detail filsafat tentang sistem hak, hukum, dan moralitas di bawah payung Etika Diskursus (Diskursethik).
Etika Diskursus: Menguji Keabsahan Norma
Sebagai spesifikasi kondisi prosedural yang mana pertanyaan hukum dan perdebatan tentang berbagai aspek Dunia-Kehidupan dapat dilakukan secara sah, perspektif Etika Diskursus menyatakan bahwa sebuah norma hanya dapat dianggap sah jika norma tersebut mendapatkan atau setidaknya berpotensi mendapatkan persetujuan dari semua orang yang terkena dampaknya.
Persetujuan semacam itu memerlukan kondisi-kondisi yang disebut situasi perbincangan-yang-ideal (ideal-speech situation). Dalam situasi ideal ini, tidak ada seorang pun yang kompeten untuk berbicara akan ditolak untuk menyampaikan argumen atau mengajukan pertanyaan yang relevan, dan tidak ada seorang pun yang akan dikecualikan dari perdebatan. Menurut Habermas, kondisi-kondisi ini bukanlah utopia belaka, karena sebenarnya sudah kita andaikan dalam tindakan komunikatif sehari-hari, terutama ketika kita menyadari bahwa kondisi-kondisi tersebut telah dilanggar (misalnya, ketika seseorang tidak diizinkan berbicara atau pendapatnya diabaikan).
Implikasi utama dari Etika Diskursus terhadap filsafat hukum Habermas, seperti yang ia jelaskan dalam Between Facts and Norms, adalah penekanan pada kondisi prosedural dalam berbagai tingkatan hukum, mulai dari proses pembuatan undang-undang hingga ajudikasi (proses pengadilan) dan penegakan hukum. Jadi, bukan hanya isi hukum yang penting, tetapi juga bagaimana hukum itu dibuat dan diterapkan.
Antara Pemahaman Mendalam Dan Salah Kaprah
Sesuai dengan kebutuhan ilmu hukum dan ilmu sosial yang berorientasi pada data empiris, beberapa ilmuwan telah mencoba menerapkan gagasan-gagasan dari teori Habermas dalam penelitian mereka. Namun, mengingat kompleksitas dan evolusi perspektif hukum Habermas, hasilnya seringkali beragam.
Beberapa ilmuwan yang bekerja dalam tradisi kritis ilmu sosial, terutama di bidang peradilan pidana dan kriminologi, menggunakan teori sosial Habermas untuk mengkritisi kualitas sistemik hukum, khususnya dalam hukum pidana. Mereka mempertanyakan apakah sistem peradilan pidana yang ada benar-benar memberikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.
Contoh: Para ilmuwan dengan perspektif abolisionis (yang ingin menghapuskan sistem peradilan pidana) di Eropa mencoba menggunakan teori Habermas untuk mendukung pandangan mereka. Mereka berpendapat bahwa sistem peradilan pidana modern memperlakukan masalah penyimpangan dan kejahatan sedemikian rupa sehingga para partisipan (baik korban maupun pelaku) merasa tidak diperlakukan untuk mencapai keadilan yang sesungguhnya. Sebaliknya, mereka diperlakukan berdasarkan aturan dan kebutuhan para administrator hukum, politisi, dan para ahli profesional lainnya.
Beberapa sarjana abolisionis ini bahkan mencoba menafsirkan sistem peradilan pidana sebagai "Sistem" dalam pengertian Habermas, yaitu sebagai sebuah domain yang didominasi oleh logika instrumental dan tujuan-tujuan sistem itu sendiri, bukan oleh komunikasi yang berorientasi pada pemahaman dan keadilan.
Namun, penggunaan ide Habermas yang tidak sistematis ini seringkali mengandung kesalahan serius dalam memahami karyanya secara utuh. Dengan hanya melihat administrasi hukum pidana sebagai "Sistem" dalam pengertian Habermasian, perspektif abolisionis ini sepenuhnya mengabaikan kemungkinan adanya hukum yang disahkan secara prosedural dan peran hukum dalam Dunia-Kehidupan.
Contoh kesalahan interpretasi: Para abolisionis ini cenderung melihat hukum pidana hanya sebagai alat kekuasaan negara (Sistem) untuk mengontrol masyarakat. Mereka kurang memperhatikan bagaimana hukum pidana juga bisa menjadi representasi dari norma-norma moral dan nilai-nilai yang dianut bersama dalam masyarakat (bagian dari Dunia-Kehidupan). Selain itu, mereka juga mengabaikan potensi proses demokratis dalam pembentukan hukum pidana, di mana berbagai pandangan dan argumen dapat diperdebatkan untuk mencapai aturan yang lebih adil (sesuai dengan gagasan Habermas tentang diskursus).
Teori sosial dan hukum Habermas sebenarnya kurang cocok untuk mendukung upaya abolisionis untuk menghapuskan sistem peradilan pidana secara keseluruhan. Sebaliknya, pemikiran Habermas lebih berguna untuk mendorong upaya demokratisasi hukum pidana yang terjamin secara prosedural, yaitu menciptakan sistem di mana aturan hukum dibuat dan diterapkan melalui proses yang transparan, partisipatif, dan mempertimbangkan berbagai perspektif untuk mencapai keadilan yang lebih baik.
Studi Hukum Kritis
Tuduhan bahwa perspektif abolisionis dalam hukum pidana secara konseptual bergantung pada karya Habermas dengan cara yang kurang tepat juga berlaku untuk gerakan Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies atau CLS). Gerakan ini, yang terutama berkembang di Amerika Serikat dan Inggris, terdiri dari beragam kelompok ilmuwan hukum yang pada dasarnya berpendapat bahwa hukum pada dasarnya tidak pasti karena pengambilan keputusan seringkali didasarkan pada pilihan yang sewenang-wenang di antara prinsip-prinsip hukum yang saling bertentangan. Jadi, menurut CLS, hukum tidak seobjektif dan netral seperti yang sering diklaim.
Dalam mengembangkan pandangan mereka, para ilmuwan CLS ini mengambil inspirasi dari berbagai pemikir dalam filsafat dan teori sosial. Kadang-kadang, nama Habermas dan beberapa aspek pemikirannya juga muncul dalam tulisan-tulisan mereka.
Contoh: Beberapa ahli CLS mungkin tertarik pada kritik Habermas terhadap rasionalitas instrumental dan bagaimana sistem (termasuk sistem hukum) dapat mendistorsi komunikasi yang otentik. Mereka mungkin menggunakan ide ini untuk mengkritik bagaimana hukum seringkali lebih melayani kepentingan kelompok-kelompok kuat dalam masyarakat daripada mencapai keadilan substantif.
Dalam literatur CLS yang luas dan beragam, karya Habermas seringkali "diracik" dengan berbagai pemikiran lain tanpa terlalu memperhatikan potensi ketidaksesuaian teoretis dan filosofis yang mungkin timbul. Habermas dicampuradukkan dengan berbagai cendekiawan dan tradisi pemikiran yang beragam seperti Marxisme (yang menekankan konflik klas), feminisme (yang fokus pada ketidaksetaraan gender), dan yang paling problematik dari sudut pandang Habermasian, pasca-strukturalisme dan pasca-modernisme (yang seringkali skeptis terhadap gagasan tentang kebenaran universal dan rasionalitas).
Contoh ketidaksesuaian: Habermas, sebagai seorang penganut setia tradisi modernisme yang berasal dari Pencerahan, percaya pada potensi akal budi dan komunikasi rasional untuk mencapai pemahaman dan konsensus. Ia percaya pada adanya kebenaran dan norma-norma yang dapat diuji secara rasional. Di sisi lain, pasca-strukturalisme dan pasca-modernisme seringkali mempertanyakan gagasan-gagasan modernis ini, menekankan relativitas kebenaran dan bagaimana kekuasaan membentuk diskursus/wacana. Mencampuradukkan Habermas dengan pemikiran-pemikiran yang secara fundamental mempertanyakan asumsi-asumsi dasarnya dapat menghasilkan analisis yang kurang koheren.
Mungkin "campuran" ide-ide ini sendiri dapat dianggap sebagai sikap pasca-modern (mengambil berbagai elemen tanpa terikat pada kerangka teoretis yang ketat), tetapi tentu saja hal ini bertentangan dengan posisi Habermas sebagai pendukung tradisi modernis.
Habermas Vs. Luhmann: Ketika Dunia Kehidupan Bertemu Sistem Yang Tertutup
Membandingkan teori hukum Habermas dengan teori-teori hukum dari ilmuwan sosial-hukum lainnya telah menjadi area perdebatan menarik dalam literatur. Bahkan, dalam beberapa kasus, perdebatan ini melibatkan diskusi langsung antara Habermas dan para sarjana tersebut. Dalam tradisi pemikiran Jerman, perdebatan Habermas dengan sosiolog terkemuka Niklas Luhmann sangat menonjol.
Seperti yang akan dijelaskan lebih lanjut, Luhmann mengembangkan teori hukum autopoietik. Teori ini melihat seluruh masyarakat, termasuk hukum, sebagai sistem yang beroperasi secara tertutup dan mampu mereproduksi dirinya sendiri tanpa terlalu terpengaruh oleh lingkungan eksternal. Bayangkan sebuah pabrik yang sepenuhnya otomatis dan hanya memproses bahan mentah dari dalam pabrik itu sendiri, tanpa perlu input dari luar. Begitulah kira-kira Luhmann melihat hukum.
Tentu saja, Habermas sangat tidak setuju dengan pandangan Luhmann ini. Ia berpendapat bahwa Luhmann gagal mengakui kekhasan Dunia-Kehidupan dalam kerangka teori tindakan. Bagi Habermas, interaksi sosial dan komunikasi yang terjadi dalam Dunia-Kehidupan memiliki logika yang berbeda dari operasi sistem yang tertutup.
Dalam kaitannya dengan studi hukum, Habermas menolak gagasan bahwa hukum adalah sistem yang beroperasi secara tertutup. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa hukum memainkan fungsi mediasi yang penting antara Dunia-Kehidupan dan Sistem. Hukum menjadi semacam "jembatan" yang menghubungkan tuntutan komunikasi sehari-hari (misalnya, negosiasi kontrak, penyelesaian sengketa berdasarkan norma yang diakui bersama) dengan kebutuhan fungsional dari sistem ekonomi dan administrasi (misalnya, regulasi pasar, prosedur birokrasi).
Contoh: Bayangkan sebuah kasus sengketa antara konsumen dan perusahaan. Dari perspektif Luhmann, hukum akan dilihat sebagai sistem yang memiliki aturan dan prosedur sendiri untuk menyelesaikan sengketa ini, terlepas dari nilai-nilai moral atau pemahaman bersama yang mungkin ada di antara konsumen dan perusahaan di Dunia-Kehidupan mereka. Keputusan pengadilan akan dilihat sebagai output dari sistem hukum itu sendiri.
Namun, dari perspektif Habermas, hukum tidak bisa hanya dilihat sebagai sistem yang tertutup. Proses hukum (misalnya, persidangan) juga melibatkan komunikasi dan argumentasi (elemen Dunia-Kehidupan) di mana para pihak mencoba untuk saling memahami dan meyakinkan berdasarkan norma-norma yang dianggap adil. Hukum yang baik harus mampu mengakomodasi tuntutan keadilan dan pemahaman dari Dunia-Kehidupan sekaligus memastikan kelancaran fungsi sistem ekonomi dan administrasi.
Lebih lanjut, Habermas menekankan bahwa kemampuan hukum modern untuk menjalankan fungsi mediasi ini sangat bergantung pada kondisi politik yang demokratis dan legitimasi yang didasarkan pada prosedur yang adil. Inilah yang menjelaskan mengapa hukum begitu sentral dalam masyarakat kontemporer. Hubungan antara hukum dan moralitas, yang oleh Luhmann dianggap sebagai dua sistem tertutup yang terpisah, tetap menjadi fokus utama bagi Habermas. Ia percaya bahwa hukum tidak bisa sepenuhnya dipisahkan dari pertimbangan moral yang berasal dari Dunia-Kehidupan.
Habermas Vs Foucault: Perbandingan Yang Memaksa
Selain perdebatan langsung, para komentator juga sering membandingkan teori hukum Habermas dengan teori-teori ilmuwan sosial-hukum atau teoritikus sosial lainnya yang dianggap relevan dengan studi hukum, meskipun Habermas sendiri tidak terlibat dalam perdebatan langsung tersebut. Dalam konteks ini, perbandingan antara Habermas dan Michel Foucault memiliki arti khusus karena kedua intelektual ini telah sangat memengaruhi pemikiran di bidang hukum dan sosial-hukum.
Foucault, dengan fokusnya pada kekuasaan, pengetahuan, dan bagaimana keduanya membentuk praktik sosial dan hukum, seringkali dilihat sebagai antitesis dari Habermas yang menekankan rasionalitas komunikatif dan potensi konsensus.
Contoh perbandingan yang mungkin muncul: Seorang ahli hukum mungkin membandingkan pandangan Habermas tentang bagaimana norma hukum yang adil seharusnya dihasilkan melalui diskursus rasional dengan pandangan Foucault tentang bagaimana hukum seringkali menjadi alat kekuasaan yang melegitimasi dan melanggengkan ketidaksetaraan yang ada dalam masyarakat.
Namun, penting untuk dicatat bahwa perbandingan semacam itu seringkali kurang didukung oleh bukti bahwa kedua penulis secara eksplisit membahas atau mempertimbangkan kontribusi masing-masing. Habermas dan Foucault memiliki latar belakang filosofis dan fokus penelitian yang sangat berbeda.
Contoh kurangnya interaksi: Meskipun keduanya adalah tokoh intelektual besar pada abad ke-20, Habermas dan Foucault tidak banyak berinteraksi secara langsung dalam tulisan-tulisan mereka. Mereka memiliki pertanyaan penelitian yang berbeda dan kerangka teoretis yang berbeda pula. Habermas lebih tertarik pada bagaimana norma-norma yang sah dapat dihasilkan melalui komunikasi yang bebas dari distorsi, sementara Foucault lebih fokus pada bagaimana kekuasaan bekerja melalui berbagai institusi dan wacana/diskursus, termasuk hukum.
Akibatnya, hasil-hasil perbandingan semacam itu dan latihan-latihan interpretatif yang mencoba menjembatani pemikiran mereka seringkali terasa "dipaksakan" atau kurang berdasar. Setidaknya, perbandingan teoretis ini bisa dianggap kurang beralasan sejauh para pemikir awal (Habermas dan Foucault) tidak secara signifikan membahas ide-ide masing-masing atau, jika mereka melakukannya, tidak menganggap ide-ide tersebut cukup relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut dalam karya mereka. Ini seperti mencoba membandingkan arsitektur gotik dengan desain modern minimalis; keduanya memiliki daya tarik dan logika internalnya sendiri, tetapi membandingkannya secara langsung tanpa konteks yang jelas mungkin tidak terlalu bermanfaat.
Aplikasi Teori Habermas
Mengingat bahwa karya Habermas relatif jarang digunakan dalam sosiologi hukum (dan studi sosial-hukum secara umum), cukup mengejutkan bahwa upaya paling berkelanjutan untuk mengembangkan aplikasi empiris dari teori hukum Habermas justru datang dari para ahli di bidang ilmu hukum (jurisprudence). Meskipun di kalangan ahli hukum profesional Amerika konsep Habermas sesekali digunakan untuk menganalisis aspek-aspek kebijakan hukum tertentu, pengaruh karya hukum Habermas sangat kuat dalam tradisi ilmu hukum Jerman yang lebih akademis. Para ahli hukum Jerman telah memberikan kontribusi signifikan dalam memahami hukum dari perspektif Habermasian dalam konteks sosio-historis yang konkret.
Contoh penerapan: Para ahli hukum Jerman telah menggunakan gagasan Habermas tentang diskursus rasional untuk menganalisis berbagai proses hukum, mulai dari perdebatan di parlemen dalam pembuatan undang-undang hingga argumentasi di pengadilan dalam pengambilan putusan. Mereka melihat proses hukum sebagai bentuk diskursus di mana berbagai pihak menggunakan instrumen linguistik (bahasa dan argumentasi) untuk mencapai kesimpulan yang rasional dan idealnya berorientasi pada konsensus di antara semua pihak yang terlibat.
Contoh analisis diskursus yuridis: Ketika pengadilan mempertimbangkan sebuah kasus yang kompleks, para ahli hukum Jerman mungkin menganalisis bagaimana hakim dan pengacara menggunakan bahasa dan argumentasi untuk membangun kasus mereka, bagaimana mereka menanggapi argumen lawan, dan bagaimana mereka berusaha meyakinkan pihak lain tentang interpretasi hukum yang benar. Mereka akan melihat apakah proses ini mencerminkan prinsip-prinsip diskursus yang rasional, seperti keterbukaan terhadap argumen, kesetaraan kesempatan untuk berbicara, dan orientasi pada pemahaman bersama.
Dari sudut pandang kebijakan hukum yang lebih praktis, penelitian semacam ini dapat memberikan panduan tentang bagaimana mengembangkan aturan hukum dalam bentuk yuridifikasi yang tidak terdistorsi secara sistematis dan sebaliknya bertanggung jawab secara demokratis. Artinya, bagaimana kita dapat membuat undang-undang dan menerapkan hukum melalui proses yang lebih transparan, partisipatif, dan didasarkan pada argumentasi yang rasional, sehingga hukum tersebut benar-benar mencerminkan kehendak dan kepentingan masyarakat secara luas, bukan hanya didikte oleh kepentingan kelompok-kelompok tertentu atau logika sistem yang sempit.
Contoh kebijakan hukum yang terinspirasi Habermas: Pemikiran Habermas dapat mendorong pengembangan mekanisme partisipasi publik yang lebih luas dalam proses pembuatan undang-undang, seperti konsultasi publik yang terbuka dan transparan, atau pembentukan forum-forum deliberatif yang mana berbagai kelompok masyarakat dapat berdiskusi dan menyampaikan pandangan mereka sebelum undang-undang disahkan. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa proses yuridifikasi (pembentukan hukum) tidak hanya didasarkan pada pertimbangan teknis atau politis semata, tetapi juga mempertimbangkan nilai-nilai dan kebutuhan yang beragam dalam Dunia-Kehidupan masyarakat.
Dari sudut pandang kebijakan hukum yang lebih praktis dipikirkan, contoh-contoh singkat semacam itu dapat mengarahkan cara untuk mengembangkan aturan hukum dalam bentuk yuridifikasi yang tidak terdistorsi secara sistematis dan sebaliknya bertanggung jawab secara demokratis.
Arena implementasi teori hukum Habermasian masih terbuka lebar, baik dalam bidang studi hukum (jurisprudence) maupun sosial-hukum. Mungkin saja dalam beberapa tahun mendatang akan semakin banyak karya-karya yang memberikan uraian lengkap tentang posisi teori hukum Habermas dengan proyek teoritis yang lebih luas, disertai perbandingannya dengan teori-teori lain yang berbeda cara pandang dan saling melengkapi. Arena implementasi teori hukum Habermas memungkinkan pula terjadi dalam arena penelitian daripada sekadar mendiskusikan pemikirannya secara abstrak-filosofis.
Bagian lanjutan dalam buku ini akan masuk ke dalam karya Habermas, Faktizität und Geltung atau Between Facts and Norms (Antara Fakta dan Keabsahan Normatif). Siap-siap tarik napas yang dalam…
Komentar