Opini Terbaru
Mazhab Timoho: "Belajar Ilmu Pemerintahan Bukan Untuk Mencetak Tukang Ketik di Kantor Pemerintahan"
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Mazhab Timoho Berdesa dibahas kali pertama di dalam Jurnal Governabilitas Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta. Publik lebih akrab dengan istilah “pakar politik” daripada “pakar pemerintahan”. Istilah “pengamat politik” lebih sering kita dengar daripada “pengamat pemerintahan”. Padahal, para pakar tersebut sedang mengamati proses berpemerintahan, membahas orang-orang yang diberi kuasa untuk memerintah, seni dan cara memerintah, kebijakan pemerintah, dan seterusnya.
Posisi Ilmu Pemerintahan selama ini seolah-olah ada dalam kendali ilmu Politik. Pada saat yang sama, Ilmu Pemerintahan yang diajarkan di berbagai perguruan tinggi seluruh Indonesia kebanyakan terjebak pada “ilmu perkantoran” yang sangat bermuatan administrasi. Jika Ilmu Hukum berbicara soal legalitas, dan Ilmu Politik berbicara soal legitimasi yang demokratis, maka apa sesungguhnya yang dibahas oleh Ilmu Pemerintahan? Bagaimana pula Ilmu Hukum dan Sosiologi Hukum berdialog dengan Ilmu Pemerintahan dalam membahas Desanisasi?
Salam Berdesa.
Kalau anda ke Yogyakarta di Jalan Timoho ada sekolah yang berdiri sejak masa kemerdekaan dan didirikan oleh para pahlawan Tentara-tentara Pelajar, yang fokus pada pelayanan, pengabdian, penelitian dan pengetahuan tentang Desa. Satu-satunya mungkin di Asia Tenggara, sekolah tinggi yang mempelajari khusus pengetahuan, penelitian dan pengabdian masyarakat Desa.
Jurnal Governabilitas yang dicetak dan diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta sangat menarik. Redaksi Jurnal, pak Guno dan Fatih, menyatakan jurnal ini akan membongkar habis Ilmu Pemerintahan di Indonesia. Terdapat beberapa penulis yang akan anda ketahui ketika membaca atau membeli jurnal Governabilitas. Silahkan memesannya di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta.
Tentu bagi anda yang menjadi peneliti, aktivis atau pegiat Desa, dan mungkin peduli terhadap Desa penting untuk membaca dan mempelajari isi Jurnal ini. Salah satu hal yang membuat saya tersentuh adalah Deklarasi Jurnal ini akan dibarengkan dengan Deklarasi Mazhab Timoho. Mazhab yang menegaskan posisi pengetahuannya dalam atmosfir Desa dan Berdesa. Ada 5 (lima) hal yang ditekankan atau menjadi fokus pembahasannya yakni Government (Pemerintah), Governing (cara memerintah), Governance (proses kepemerintahan), Governability (kapasitas cara berpemerintahan pada Sistem dan dunia kemasyarakatan) dan Governmentality (selubung kekuasaan atas Ilmu Pemerintahan yang dibongkar, teknik-teknik kekuasaan yang mendisiplinkan dalam Ilmu Pemerintahan yang mencengkeram Desa).
Sutoro Eko
Tulisan Sutoro Eko dalam Jurnal Governabilitas seperti biasa akan menukik pada kritik epistemologis. Ilmu Pemerintahan, menurutnya, konsepsinya berasal dari Anglo-Saxon, tentang “apa Pemerintahan itu?”. Kalau anda kuliah atau bersekolah mulai SMA atau Madrasah sampai kuliah, anda diajari konsep pemerintahan yang berasal dari Anglo-Saxon. Tetapi pemerintahan dan kaitannya dengan politik cenderung memaknai pemerintahan secara administrasi. Jadi, secara guyonan, Ilmu Pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari tentang pemerintah, cara memerintah, dan akhirnya menjadi tukang ketik pemerintah.
Ini sindiran bahwa Ilmu Pemerintahan di Indonesia campur-campur. Konsepnya dari Anglo-Saxon, mengimpor dari segi praktik ala Eropa-Kontinental, sebatas sebagai Bestuurskunde (ilmu pemerintahan). Menurut Sutoro Eko dalam Jurnal Governabiltas, Ilmu Pemerintahan yang khas Indonesia ini menjadi hampa ketika Ilmu Pemerintahan itu mengabdi pada kepentingan elit pemerintah saja. Pada konteks praktik Ilmu Pemerintahan yang dikuasai oleh praktik administrasi, menurut saya, tidak lebih dari praktik mempelajari Diktat Ilmu Pemerintahan, dan setelah lulus, bekerja membuat Tor (Term of Reference), maka terciptalah seorang DiktaToR. Dari Diktat menjadi tukang ketik ToR.
Salah satu kritik tajam dari tulisan Sutoro Eko dalam Jurnal ini adalah Ilmu Pemerintahan cenderung anti pada politik, lupa pada hukum dan enggan pada administrasi. Seolah-olah belajar tentang pemerintahan, pemerintahan, dan pemerintahan, tetapi pada konteks hukum atau cara berhukumnya amat mudah dipatahkan karena spirit pengabdiannya kepada elit pemerintahan. Ilmu Pemerintahan tidak melayani rakyat apalagi Desa. Mungkin 80% yang kuliah Ilmu Pemerintahan di Indonesia sibuk mempelajari siapakah Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Bupati dan seterusnya, sehingga cita-cita kita tidak mengabdi untuk rakyat tetapi mengabdi kepada elit.
Konteks administrasi dibongkar terus oleh Sutoro Eko. Ilmu Pemerintahan sudah saatnya untuk selalu kritis terhadap layanan-layanan yang ditujukan kepada penguasa dan kembali mengurus Desa. Kembali meletakkan tradisi bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat di Desa. Anda bisa menguatkan cara pandang dengan membaca novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Novel ini menarik. Pergulatan Minke sebagai representasi generasi lanjutan yang muak dengan kolonialisme, ia melihat bapaknya yang priyayi, bersekutu dengan beberapa orang kolonial, terpaksa melakukan hal semacam itu, mungkin karena hegemoni kolonial yang kuat. Akhirnya, menurut saya, Minke mempertanyakan Ilmu Pemerintahan itu seperti apa? Paling tidak, spirit dari novel Bumi Manusia mendekati apa yang dinyatakan oleh Sutoro Eko bahwa Ilmu Pemerintahan harus dibongkar habis. Tidak hanya belajar Government tapi belajarlah Governance, Governing, Governmentality, Governability.
Jadi, bilamana Ilmu Pemerintahan diajarkan di kampus, tidak menghasilkan tukang ketik di kantor pemerintahan. Bisanya cuma membuat nota surat, surat dinas, dan ribut soal surat disposisi, tanda tangan surat dan seterusnya. Tidak melayani rakyat.
Ada kata kunci yang dibahas yakni publik. Sutoro Eko selalu mengkritik: publik vis a vis rakyat. Ilmu Pemerintahan lupa pada Hukum karena Hukum itu melayani rakyat. Tapi, parahnya juga, Hukum yang positivistik cenderung melayani kepentingan pembuatan hukum positif atau aturan yang berlaku hari ini. Aturan itu yang membuat adalah penguasa. Disinilah Ilmu Pemerintahan hadir untuk merefleksikan bahwa Hukum itu kembali melayani rakyat. Kita akan lihat perkembangan gagasan berikutnya dalam jurnal ini bahwa Hukum tidak lagi berkonteks dalam Sistem tapi hukum deliberatif. Hukum yang bermain di wilayah komunikasi-komunikasi masyarakat, argumen-argumen rasional, dan Ilmu Pemerintahan hadir untuk mengkomunikasikan antara kepentingan rakyat dan hal-hal administratif dalam Sistem. Administrasi tidak bisa ditinggalkan, hukum positif tidak perlu terlalu ditaati, tapi keduanya mampu direfleksikan setajam-tajamnya melalui Ilmu Pemerintahan.
Pendek kata, tulisan Sutoro Eko mengerucut bahwa Ilmu Pemerintahan jangan anti pada politik tetapi politik ini maknanya adalah politik kerakyatan dan bukan politik elit. Hukum yang lupa pada hukum juga maksudnya hukum yang melayani rakyat dan bukan hukum yang melayani kepentingan kepala negara, bupati dan lainnya. Kosa kata rakyat dikembalikan lagi pada Hukum dan Ilmu Pemerintahan.
Istilah “enggan pada administrasi” dipahami pada konteks administrasi yang melayani kepentingan rakyat bukan melayani kepentingan perkantoran (official). Setelah membaca tulisan ini, anda akan sadar bahwa ketika anda datang ke kantor kecamatan, Desa dan seterusnya, mungkin juga di istana, tidak lagi melihat praktik Ilmu Pemerintahan bekerja melayani surat menyurat. Di Desa juga begitu, surat menyurat itu sebenarnya kelanjutan dari kelanjutan dari usulan, aspirasi dan politik yang berlangsung di Desa.
Andi Sandi Antonius TT
Tulisan kedua ditulis oleh Andi Sandi Antonius TT. Ilmu Pemerintahan sebagai sumber dan substansi Hukum Tata Negara. Saya membaca tulisan ini lebih banyak dalam kerangka normativitas. Hukum administrasi, hukum tata negara, dan ilmu pemerintahan dibahas dalam selubung diskursus normativitas sehingga muncul istilah dari Andi Sandi: “Ilmu Pemerintahan sebagai roh, sedangkan Ilmu Hukum sebagai tubuh”.
Ilmu Pemerintahan, gejala pemerintahan dan seterusnya tetap menjadi fokusnya, meskipun ini dikritisi oleh Sutoro Eko. Hukum berfungsi sebagai pengkonkretnya. Pandangan semacam ini berujung pada penghampiran pragmatis. Hukum dan Ilmu Pemerintahan bertemu pada suatu titik yaitu melayani kepentingan publik.
Titik bahayanya, diskursus hukum yang normatif, baik pada Hukum Tata Negara dan seterusnya, tanpa sentuhan Sosiologi Hukum, kurang membawa kita pada tepian-tepian atau batas-batas pengetahuan bahwa Hukum tidak hanya pada teks. Suatu ketika mungkin kajian Ilmu Hukum yang normatif ini akan bergerak ke kajian yang kritis seperti hukum deliberatif, aspek hukum dan demokrasi, dan bukan berputar-putar pada konteks normativitas saja.
Tidak masalah juga, tulisan Andi Sandi ini paling tidak dapat dipahami oleh mahasiswa yang suka memahami hukum sebagai aturan, hukum sebagai teks, meskipun ini hanya salah satu kajian yang disebut substansi hukum. Kajian lain, struktur hukum yang membahas struktur kekuasaan, dan hati-hati pula seperti diingatkan Sutoro Eko sebelumnya, hukum yang tidak belajar aspek politik dan hukum deliberatif, cenderung abai bahwa hukum itu seolah-olah sebagai teks yang menyimbolkan konkretisasi. Hukum positif sebagai simbol konkretisasi.
Padahal hukum positif itu sendiri, menurut saya, sebenarnya pergulatan dari Eropa-Jerman zaman Hans Kelsen. Ia diburu oleh penguasa NAZI, Hitler, terciptalah positivisme hukum untuk membersihkan hukum dari anasir-anasir yang menindas. Padahal hukum tidak sekaku itu.
Setidaknya tulisan Andi Sandi menjadi jembatan bahwa Ilmu Hukum sebagai tubuh dari roh (Ilmu Pemerintahan), asal jangan sampai roh itu menjadi roh gentayangan kemana-mana dan tubuh menjadi jasad tanpa roh sehingga menjadi zombie. Ilmu Hukum jangan sampai menjadi zombie. Ilmu Pemerintahan jangan sampai menjadi roh gentayangan.
Gregorius Sahdan
Gregorius Sahdan dalam jurnal ini menulis bagian isu Governmentality. Membongkar selubung ideologis Ilmu Pemerintahan. Saya lompat langsung ke temuannya. Ilmu Pemerintahan melayani The Prince (Pangeran). Istilah ini ia petik dari “Il Principe” yang ditulis oleh Niccolo Machiavelli. Kekuasaan untuk melayani raja, pangeran dan seterusnya. Ilmu Pemerintahan hanya melayani elit, tidak melayani rakyat. Government identik dengan pemerintahan elit.
Governmentality sulit sekali diterjemah ke dalam bahasa Indonesia. Istilah ini dikenalkan oleh Michel Foucault, filsuf botak yang sangat dikenal dengan arkeologi-genealogi pengetahuan yang menajamkan bahwa kekuasaan tidak lagi berkonteks hegemoni menurut Antonio Gramsci, tetapi kekuasaan itu mendisiplinkan.
Jadi, ketika suatu kebijakan publik diterapkan, semisal kebijakan PSBB di era pandemi covid-19, maka kekuasaan terasa mendisiplinkan. Apparatus pemerintahan ikut mendisiplinkan warga agar memakai masker. Berbeda dengan cara menghukum. Foucault dalam bukunya berjudul Surveiller et Punir atau Dicipline and Punish, membedakan kekuasaan yang tekniknya untuk menghukum (orang yang tidak masker akan dipenjara, orang yang tidak memakai protokol kesehatan akan dipenjara), sedangkan dalam kekuasaan ala Governmentality kekuasaan dijalankan melalui banyak hal-hal yang administratif (misalnya anda pergi ke suatu daerah harus menggunakan surat ijin keluar masuk suatu daerah).
Rijel Samaloisa
Tulisan ketiga dalam jurnal ditulis oleh Rijel Samaloisa. Pemaksaan bentuk pemerintahan modern terhadap pemerintahan adat sangat buruk sekali. Pemerintahan adat kehilangan akses terhadap lingkungan, kultur, dan bahkan komunikasi antar warga menjadi sangat formal. Ini sangat berbahaya.
Bila ada wilayah pemerintahan adat yang punya hubungan dengan tanah, kultur dan hubungan leluhurnya, patah hanya melalui administrasi. Ini referensi penting, Desa di Indonesia tidak hanya bisa dipahami dalam satu bentuk formal Desa saja. Kalau anda menjumpai Desa transmigrasi, cenderung membawa kultur masing-masing, maka pendekatan dari pemerintahan cenderung modernis. Berbeda dengan pemerintahan adat yang adatnya tebal. Pemerintahan adat semacam ini yang penting untuk segera diakui.
Celakanya, kekuasaan negara terutama kekuasaan administrasi pemerintahan tidak pernah segera mengeluarkan pengakuan formal terhadap Desa Adat. Di sisi lain, dalam kalangan masyarakat juga, cenderung menganggap “Desa Adat” sebagai romantisme masa lalu dan mempertanyakan apakah ada pergerakan-pergerakan yang bisa berubah.
Menurut saya semua bisa berubah. Adat tidak statis. Tergantung perkembangan dari kultur masyarakat. Rijel Samaloisa sudah berhasil membongkar hal itu sehingga penting bagi kita untuk mengangkat praktik-praktik penguasaan Desa Adat melalui Ilmu Pemerintahan yang memang tidak ada gunanya lagi bagi pemerintahan Desa Adat. Dan sudah saatnya pemerintahan adat ini segera diakui oleh kekuasaan negara. Pemerintahan Adat Laggai Mentawai merupakan representasi dari Desa Adat yang sangat tebal sekali adat, tradisi, kultur dan personalitas kolektifnya jangan sampai menjadi “Desa” yang semata-mata mengurusi proyek dan administrasi. Mudah-mudahan segera diakui pada tahun 2020-an ini.
Anom Surya Putra
Yang terakhir, tulisan saya sendiri. Dalam Jurnal Governabilitas saya menulis tentang Ilmu Hukum, Ilmu Pemerintahan dan Republik Desa. Ilmu Hukum dan Ilmu Pemerintahan saya pecah dua dalam jurnal ini. Pertama, keduanya dikaji secara dogmatis, sehingga menemukan Ilmu Hukum hanya mempelajari hukum positif atau aturan, sedangkan Ilmu Pemerintahan mempelajari fenomena pemerintahan dan cara kerjanya seperti apa.
Kedua, dalam konteks demikian saya mengenalkan Sosiologi Hukum. Hukum dipahami sebagai institusi. Hukum sebagai institusi maksudnya hukum dalam masyarakat yang berinteraksi dengan dirinya. Dalam konteks pandemi covid-19, ada PSBB dan segala isu “pencabutan Dana Desa” dipahami sebagai represi politik. Mereka menerima BLT-DD tetapi mereka tidak tahu bahwa dalam Perppu atau UU sebenarnya “hal yang diisukan dan disebut pencabutan Dana Desa” tidak ada, yang ada hanya “pembatalan Dana Desa” bahwa Dana Desa sebagai haknya Desa untuk sementara tidak diterapkan dalam BLT-DD.
Kemudian hukum sebagai medium. Hubungan antara hukum dan sistem pemerintahan. Dalam pandangan sosiologi hukum, ini lebih jelas, hukum dan pemerintahan (dalam Sistem) kita akan mempelajari hal yang lebih luas lagi. Tidak hanya pemerintahan tetapi ada kekuasaan administrasi yang menjalankan hukum dari kekuasaan parlemen dan mereka saling menguji. Sedangkan dalam penerapan hukum terdapat kekuasaan yudisial.
Hati-hati, sosiologi hukum tidak pernah memahami hukum seperti kerjanya Hakim. Kalau hukum positif cenderung mempelajari hukum diterapkan seperti hakim itu. Padahal dalam konteks masyarakat dan sosiologi hukum, hukum lebih tepat dipahami sebagai institusi, bukan hukum sebagai medium (yang di dalamnya terdapat tiga tipe kekuasaan).
Sebagai informasi, anda mengenal Trias Politica. Kekuasaan parlemen, eksekutif (instansi pemerintah), dan yudisial. Ini ditulis oleh Montesquieu yang sebenarnya bersumber dari Desa. Dalam buku saya, Ponggok Inspirasi Kemandirian Desa, Badan Hukum BUM Desa” bahwa Montesqieu dalam teks bukunya yang berbahasa Perancis, ia menyelidiki Desa-desa yang mempunyai rekonsiliasi konflik, hukum perdamaian, baik Desa di China, Jerman atau Desa-desa tua di tempat lain.
Berdesa merupakan praksis tradisi berpemerintahan, bernegara dan bermasyarakat di Desa. Berpemerintahan, tidak sekedar melihat gejala pemerintahan dan praktik administrasi, tetapi praktik mengorganisir rakyat Desa agar setara dengan pemerintah.
Jangan lupa membaca dan membeli Jurnal Governabilitas yang diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta.
Salam Berdesa.*
NEXT
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar