Opini Terbaru

Between Facts and Norms, Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (2): Pengantar dari Jürgen Habermas

Gambar
PENGANTAR Jürgen Habermas  | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse

5 (Lima) Model Pengembangan Legislative Drafting (Pembentukan Peraturan Perundang-undangan)


Anom Surya Putra

Pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia mayoritas dilakukan secara normatif. Hukum dimaknai sebagai produk dari hukum positif atau hukum yang berlaku di wilayah negara tertentu. Pendekatan positivisme-legal dari Hans Kelsen itu amat mendominasi metode penyusunan peraturan perundang-undangan. Karakteristik metodenya dipengaruhi jurisprudence (ilmu hukum normatif-doktrinal). Lingkup pembahasannya meliputi asas hukum, norma hukum, bahasa hukum yang pragmatis dan kewenangan institusi hukum.

Awalnya penyusunan peraturan perundang-undangan dalam pandangan normatif-doktrinal disebut legal drafting. Pengaruh hukum bisnis dan masyarakat pasar sangat kuat terhadap terminologi ini. Seluruh objek pengaturan ditundukkan pada kehendak individu yang bebas, otoritatif, dan berlangsung melalui hubungan kontraktual. Tapi diferensiasi sosial bergerak cepat, sehingga terjadi pemisahan kerangka teoritik normatif yakni munculnya legislative drafting selain legal drafting. Diskursus legislative drafting tertuju pada penerapan teknik yuridis-doktrinal pada hukum yang mengikat publik tanpa terkecuali, sedangkan diskursus legal drafting berlangsung pada interaksi sosial secara privat/perdata.

Pendekatan positivisme-legal memang penting untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan (legislative drafting) agar peraturan perundang-undangan menjadi koheren, sistemik dan taat asas. Namun hal itu tidaklah cukup. Bahasa peraturan perundang-undangan yang diproduksi kekuasaan administratif dan kekuasaan komunikatif amat sempurna dari bahasa hukum, tapi belum tentu berdampak signifikan di lapangan sehingga peraturan perundang-undangan mengalami delegitimasi.

Penyusun peraturan (legislative drafter) yang menggunakan pendekatan hukum normatif-doktrinal cenderung kurang berminat pada kajian sosio-legal yang empiris. Sehingga analisisnya kurang didukung fakta sosial untuk dijadikan sebagai masukan (input) bagi penyusunan peraturan. Diskursus pragmatisnya tertuju untuk mewujudkan teleologi-yuridis dari suatu peraturan yang posisinya berada pada hirarki norma yang lebih tinggi, dan cakupan norma pengaturannya lebih luas/makro. Disamping itu pendekatan normatif semacam itu tidak memperhatikan ruang publik (public sphere) bagi warga negara untuk menyampaikan aspirasi politis/diskursif dan opini publik. Subjek yang otoritatif tetap memegang kendali atas isi (rancangan-dan-) pengaturan. Masyarakat hanya sebagai objek, karena masyarakat dilibatkan dalam pertemuan konsultasi publik sekedar memenuhi formalitas kehadiran unsur masyarakat.

Memang benar-secara-normatif bahwa peraturan perundang-undangan dibuat oleh organisasi pemerintah (kekuasaan administratif) untuk kebutuhan implementasi kebijakan pembangunan, selain bahwa peraturan juga ditujukan untuk memberikan solusi atas persoalan yang timbul akibat dinamika yang terjadi di masyarakat. Sudah saatnya pula kebijakan peraturan perundang-undangan tidak berhenti pada bagaimana membentuk peraturan, tetapi harus memikirkan juga bagaimana mengelola peraturan yang sudah berlaku. Dalam kondisi demikian terdapat teknik ‘statute law revisions’ yang dilakukan di Inggris. Teknik tersebut mencakup codification, consolidation, dan rewrite; lalu ditambah dengan ulasan mengenai integrated law making system and simplification sebagai bagian politik perundang-undangan di negara tersebut.

1. Kodifikasi (Codification)

Proses kodifikasi merupakan proses yang mana beberapa bagian aturan dalam satu bidang hukum dikumpulkan menjadi satu kesatuan peraturan yang berlaku. Terdapat beberapa tujuan dilaksanakannya kodifikasi yakni harmonisasi hukum dan tertib hukum. Harmonisasi hukum yang dilakukan dalam proses kodifikasi membuat proses ini tidak sederhana dan membutuhkan waktu yang sangat lama. Inilah mengapa kodifikasi hanya dapat dilakukan pada bidang hukum yang cenderung statis. Peraturan yang dibuat dengan teknik ini contohnya seperti hukum pidana dan hukum perdata (misalnya: RUU KUHPidana) yang cenderung tidak cepat berubah kecuali dalam waktu yang sangat lama.

2. Konsolidasi (Consolidation)

Peraturan perundang-undangan dipilah dan dikumpulkan dalam klaster sesuai dengan tema dan tema itu sendiri ditentukan berdasarkan kebutuhan. Misalnya konsolidasi peraturan tentang Desa; maka semua saja aturan hukum yang mengatur Desa mulai dari peraturan yang tertinggi ke peraturan di bawahnya diurutkan dan ditata penyusunan sistematika pengaturannya menjadi satu volume khusus. Sehingga mereka yang ingin mempelajari Desa tidak perlu melihat satu persatu peraturan tapi cukup dengan membaca peraturan konsolidasinya. Karena sifatnya yang informal, maka satu volume peraturan perundang-undangan yang lahir dari proses konsolidasi tidak menimbulkan keberlakuan hukum yang baru.

Mengingat prosesnya yang lebih informal dibandingkan dengan kodifikasi, proses konsolidasi dapat digunakan pada area hukum yang dinamis dan bahkan untuk tujuan yang lebih bersifat ekonomis. Bagi pemerintah, proses konsolidasi berguna sebagai langkah awal mendeteksi tumpang tindih aturan hukum. Pada akhirnya diharapkan pemerintah dapat mengevaluasi sendiri peraturan perundang-undangan yang telah dan akan dibuatnya.

3. Perumusan Ulang (Rewrite)

Proses perumusan ulang (rewrite) berusaha untuk menyederhanakan rumusan kalimat sehingga lebih mudah dipahami. Proyek rewrite yang terkenal dilakukan di Inggris adalah Tax Law Rewrite. Dalam proyek ini semua pengaturan tentang pajak ditulis kembali, kemudian pada pasal-pasal tentang formula penghitungan pajak dituangkan dalam bentuk rumus sebagaimana rumus matematika berikut dengan gambar dan contoh penghitungannya. Rumus dan contoh penghitungan tersebut diletakkan di bawah hasil rumusan baru pada setiap pasal.

Teknik rewrite menunjukkan upaya perubahan yang cukup radikal bagi suatu peraturan perundang-undangan karena setiap kata dalam pasal merupakan kata yang didapatkan dari tahapan pembentukan yang tidak sederhana. Bila dilakukan rewrite terhadap suatu peraturan perundang-undangan di Indonesia, maka rumusan baru dalam aturan tersebut harus tetap melalui validasi dari pihak yang berwenang membentuk peraturan tersebut agar keberlakuan peraturan itu memperoleh legitimasi-yang-legal atau keabsahan-yang-sahih.

4. Penyederhanaan dan Sistem Pembentukan Hukum secara Terpadu (Integrated Law Making System and Simplification)

Beberapa teknik yang dikemukakan sebelumnya tidak semuanya cocok diterapkan begitu saja. 

  • Kodifikasi menunjukkan kelebihan dalam hal menghadirkan prinsip hukum dan pengaturan yang tersusun rapi dan tertib, namun prosesnya memakan waktu yang lama sehingga dirasa kurang efisien. 
  • Konsolidasi mungkin dapat menutupi kekurangan proses kodifikasi. Teknik konsolidasi merupakan jalan keluar yang dapat dipertimbangkan dalam kebijakan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Konsolidasi yang dilakukan Pemerintah dapat digunakan sebagai upaya self-evaluation terhadap kebijakan yang telah dikeluarkan serta sebagai langkah awal reformasi perundangundangan. 
  • Kebijakan rewrite mungkin juga dapat dipertimbangkan sebagai upaya menjadikan peraturan lebih user friendly namun harus dipertimbangkan aspek legitimasi. 

Perancang peraturan perundang-undangan dapat menggunakan variasi dari berbagai pendekatan tersebut dalam suatu program kerja. Suatu program kerja pemerintah tentang peningkatan kualitas regulasi (aturan perundang-undangan di bawah atau yang lebih sempit pengaturannya daripada Undang-undang), misalnya, merupakan komitmen dalam mengimplementasikan kebijakan penyederhanaan dan pembentukan huukm secara terpadu. Hal berikutnya adalah menunggu seberapa baik program kerja pemerintah ini bekerja untuk perbaikan sistem perundang-undangan.

5. Pendekatan Sosio-Legal dan Analisa Kebijakan Publik

Penyusunan peraturan perundang-undangan tidak hanya bersifat normatif-dokrinal dalam lingkup Sistem, tetapi pendekatan lain yang mengalir dari pendekatan Sosio-Legal dan Analisa Kebijakan Publik (public policy) serta bermula dari dunia-kehidupan masyarakat. Dalam hal ini pembentukan peraturan perundang-undangan (legislative drafting) terbuka untuk mengadaptasi pendekatan sosio-legal yang melibatkan inter-dan-multi disiplin ilmu seperti sosiologi hukum, antropologi hukum dan ilmu sosial hukum (legal science) lainnya, sekaligus berinteraksi langsung dengan masyarakat. Selain itu, Analisa Kebijakan Publik mengembangkan pendekatan-berbasis-pengambilan keputusan (decisionismus) dalam proses pembuatan kebijakan (policymaking).

Kedua pendekatan tersebut baik sosio-legal maupun Analisa Kebijakan Publik saling melengkapi (co-existence) untuk membuat diskursus penerapan hukum yang legitim/absah. Beberapa metode berikut ini bersifat pragmatis dan digerakkan oleh kaum berkeahlian (expert), namun metode ini bisa gagal diterapkan bila tidak memperhitungkan ruang publik (public spehre) sebagai saluran bagi tindakan komunikatif dan tindakan strategis yang menyertai hasil analisis. 

Seorang perancang aturan (drafter) bebas untuk memilih pendekatan yang relevan dengan masalah legislative drafting yang akan dianalisis, antara lain sebagai berikut:

  1. Metode Ends-Means.
  2. Metode Inkrementalisme
  3. Metode Pluralisme/Kompromisme
  4. Metode Kriminalisasi dan Sanksi
  5. Metode Adaptasi Hukum
  6. Metode Problem-Solving
  7. Metodologi ROCCIPI
  8. Evidence-Based Policymaking (EBP) dan Regulatory Impact Assessment (RIA)

*Diolah dari keterlibatan penulis sebelumnya dalam penyusunan "Modul Pelatihan Legislative Drafting Berbasis Evidence-Based Policymaking dan Regulatory Impact Assessment", Cetakan Pertama, April 2018, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia. 



Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

Konstitusionalisme Deliberatif dan Judicial Review

Day 10 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 16 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 6 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 4 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 8 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 7 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (2): Pengantar Buku Sosiologi Hukum

Day 17 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)