Opini Terbaru
OPINI Filsafat Hukum: Prediksi Polybius tentang Okhlokrasi (ὀχλοκρατία)
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Diskursus moral dalam UU MD3 berpusat pada masalah internal yang dipersepsi oleh anggota parlemen bahwa ada opini yang merendahkan martabat dan kehormatan anggota DPR. Hal ini disikapi dengan memberi kekuasaan atributif pada MKD untuk membahas dan bila perlu memutuskan persoalan opini yang tidak bermoral dari masyarakat itu berlanjut pada aparatus yudisial.
Opini ini berbasis pendapat realis hukum. Urusan etika politik parlemen ini memang penting dibahas dalam pandangan normatif semisal konstitusionalitas UU MD3 dibandingkan dengan norma dasar dalam UUD NRI 1945. Baik melalui uji materiil di Mahkamah Konstitusi maupun opini normatif berbasis pengetahuan teknis hukum tata negara.
Akan tetapi, pandangan normatif-konstitusional yang penting dan fundamental itu tidaklah cukup. Opini ini hendak menunjukkan pada skala abstraksinya yakni runtuhnya demokrasi berbasis Trias Politica (Montesquieu) dan bangkitnya ramalan Polybius tentang Okhlokrasi (ὀχλοκρατία).
Tulisan singkat ini diakhiri dengan pertanyaan mendasar tentang demokrasi deliberatif atau demokrasi radikal sebagai jalan lain untuk mengakui hak warga negara ditengah kondisi pasca-demokrasi prosedural yakni Okhlokrasi.
Runtuhnya Trias Politica
Diskursus negara konstitusional selalu mengandalkan Trias Politica sebagai sandaran utama. Padahal, para the founding leaders pada waktu penyusunan UUD'45 sudah menolak Trias Politica yang liberal. Alasannya, konstruksi negara kita berbasis demokrasi permusyawaratan baik dari sejarah Desa (nagari, huta, dan sebutan lainnya), kekeluargaan dan gotong royong.
Alhasil, doktrin Trias Politica dipahami sebagai obrolan antar-tiga institusi saja, yakni legislatif, eksekutif dan yudisial. Anda dapat menelusuri karya Montesquieu yang rumit itu dalam mengkritik negara monarki, negara aristokrasi dan negara tirani.
Bahkan, Montesquieu menunjukkan desa mempunyai basis pengetahuan tentang demokrasi asli yang mengalami tekanan politis dari negara monarki dan negara aristokrasi. Kemajemukan desa dan masyarakat perkotaan di Perancis, singkat kata, dibalik oleh Montesquieu dengan prinsip kebebasan individu. Saluran institusionalnya adalah tiga jalur kekuasaan (legislatif, eksekutif dan yudisial) sebagai pengganti negara monarki, negara aristokrasi dan negara tirani.
Apa relevansinya bagi negara konstitusional di Indonesia? Doktrin Trias Politica dalam berbagai literatur akademis dan putusan ajudikasi hanya berupaya memaknai hukum dan kekuasaan dalam skala terbatas. Misalnya, kekuasaan MKD dalam memutuskan perkara etis baik terkait dengan anggota DPR dan masyarakat itu masihkah terkategori utuh sebagai legislatif? Bila parlemen memang utuh dikategori sebagai legislatif, mengapa MKD bisa melaporkan warga masyarakat kepada aparat yudisial kepolisian? Disisi lain birokrasi pemerintahan juga nerbitkan berbagai peraturan menteri baik atasnama diskresi maupun perintah perundang-undangan tertentu. Apakah birokrasi pemerintahan ini masih utuh dikategori sebagai eksekutif? Tentu tidak sepenuhnya, bukan.
Kesejarahan panjang institusi politik di Indonesia tidaklah sepenuhnya mengikuti alur Trias Politica Montesquieu. Soepomo, Soekarno, Yamin, dan Hatta tercatat sebagai pelaku demokrasi politik dan ekonomi berbasis demokrasi asli Indonesia yakni perasaan satu bangsa yang secara radikal memaknai kedaulatan negara.
Singkat kata, institusi politik di Indonesia secara ideal berjalan melalui istilah Jurgen Habermas (1996) yakni kedaulatan rakyat sebagai prosedur. Apa yang dipikirkan birokrat, anggota parlemen, partai politik, LSM, organisasi profesi dan lainnya berlandaskan kedaulatan rakyat sebagai prosedur (dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat). Habermas mengajukan pula keterbatasan Trias Politica dan gagasan liberal lainnya yakni keputusan politis selalu berada pada Tindakan/Aksi Strategis dan Aksi Komunikatif.
Kali ini keabsahan normatif dari UU MD3 kita pandang sebagai tindakan strategis dari DPR. Kekuasaan MKD menilai orang perorang, kelompok masyarakat dan badan hukum berpotensi merendahkan martabat anggota DPR dan parlemen; tak lebih dari puncak dari perkembangan kode etik sebagai profesi paripurna seorang anggota DPR.
Maka, tindakan strategis ini amatlah rasional, tapi belum tentu komunikatif dengan masyarakat baik orang perorang, kelompok masyarakat dan badan hukum. Aksi komunikatif dari kelompok masyarakat untuk menguji UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi pasti muncul untuk menguji legitimasi UU MD3 itu. Sekalipun UU MD3 absah secara normatif tapi tidak punya legitimasi penuh bagi kehidupan masyarakat (lebenswelt).
Praktik politis dari UU MD3 mudahlah dibayangkan. Bila Anda mengajukan ungkapan yang nyinyir dan tidak dilandasi aspek konstitusional, maka dipastikan MKD akan meminta pertanggungjawaban Anda. Ini menjadi diskursus moral menarik di masa depan tentang sejauhmana Kode Etik DPR yang awalnya berlaku untuk anggota DPR, kini harus diperluas untuk merumuskan mana perbuatan yang merugikan profesi anggota DPR itu. Konsekuensinya, DPR merupakan institusi demokrasi prosedural dan tidak serta merta merepresentasikan kepentingan publik.
Ilustrasi diatas menggambarkan bahwa komunikasi hanya berjalan efektif diantara DPR dan institusi elit politis lainnya.
Lalu apa kaitannya dengan ramalan Polybius?
Masa Okhlokrasi
Polybius adalah seorang pemikir politik Yunani yang meramalkan siklus tertutup antara negara monarki, negara aristokratis, negara tiran, negara demokrasi dan negara Okhlokrasi.
Secara harfiah atau tekstual, Okhlokrasi dimaknai sebagai hukum rimba (mob-rule), semacam kondisi ketika masyarakat dalam sebuah negara mengalami titik jenuh pada demokrasi Athena yang proseduralistis. Kita dapat menelusuri hal ini pada literatur sekunder dari Evelyn S Shuckburgh (2002) maupun Jesús Padilla Gálvez (2016).
Saya memahami Okhlokrasi sebagai klaim moral dari Polybius ketika membahas diskursus moral dari institusi legislatif. Tanda-tanda dari masa Okhlokrasi antara lain (i) merosotnya kontrol publik atas legislatif, (ii) titik jenuh pada demokrasi langsung, (iii) merosotnya diskursus warga negara, (iv) tampilnya politisi populis sebagai harapan baru bagi publik.
Diskursus UU MD3 menarik bila dilihat dari prasyarat kondisional objektif itu, tentu butuh diskusi dan data empiris lebih lanjut. Kontrol publik atas legislatif menurun seiring dengan memuncaknya anggota DPR/D sebagai cita-cita individu. Sebagai profesi terhormat, anggota DPR/D bisa saja membentengi diri dengan Kode Etik yang rumit, proseduralis dan tidak bersambungan dengan opini publik dan formasi-opini dari kekuatan warga negara.
Demokrasi langsung pada konteks pemilihan anggota DPR/D berimbas pada ongkos politik. Ongkos politik tentu variatif, tapi ada risiko tinggi untuk masuk dalam komodifikasi money politics. Rangkaian sejarah menunjukkan dulu kita kenal upeti dan pungutan liar (pungli), tapi saat ini urusan realitas politik itu sudah mencapai puncak peradaban berupa money politics. Kejenuhan warga masyarakat atas money politics berpotensi untuk memasuki masa Okhlokrasi yakni hukum rimba berlaku bagi siapa saja yang merasa bermoral. "Anda bayar, maka Saya akan bantu". "Anda komentar nyinyir, maka Anda harus tanggung jawab secara moral". Benteng moral ini begitu kuat pada masa demokrasi prosedural, sehingga kondisi real politik berangsur masuk ke Okhlokrasi.
Diskursus warga negara (citizen) menjadi asing. Tidak dikenal dalam diskursus publik. Ia hanya hadir dalam sejarah, tapi bukan fakta hukum dan kekuasaan. UU MD3 jelas membedakan posisi antara MKD, anggota parlemen dengan perseorangan, kelompok masyarakat dan badan hukum. Posisi ini tentu tidak meletakkan kekuatan individu dan kelompok itu sebagai warga negara, tapi kekuatan politis yang selalu mengancam profesi. Lambat laun, diskursus moral (Kode Etik) dari parlemen hanya bermanfaat bagi individu, dan diskursus warga negara hilang dari peredaran real politik.
Terakhir, tampilnya politisi populis. Masa Okhlokrasi ditandai dengan politis populis yang mengabarkan program yang membela langsung kepentingan individu, lembaga kemasyarakatan dan asosiasi lainnya. Tentu, hukum rimba yang berlaku.
Siapa yang menjadi simpanse, tentu ia akan mudah melakukan coalition building. Siapa yang menjadi macan, ia akan berkuasa di hutan. Siapa yang punya ide brilian dan uang banyak, maka ia mengambil simpati massa. Siapa yang alim dan santun atau sebaliknya, berani berkata vulgar, maka ia akan dihormati. Mengapa hal ini terjadi? Karena seluruh opini publik dan formasi opini berlangsung irasional tapi nyata dinikmati warga.
Prediksi Polybius menyatakan bahwa kelanjutan dari Okhlokrasi adalah negara monarki. Benarkah demokrasi proseduralistis tidak bisa diselamatkan melalui jalan lain seperti demokrasi radikal atau patriot konstitusi, sehingga angan-angan sosial kita begitu saja menerima keberlakuan UU MD3 identik dengan pra-kondisi negara monarki? Mari kita lihat beberapa tahun lagi.
Penulis: Anom Surya Putra
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar