Opini Terbaru
Hukum dan Demokrasi (Droit et Democratie) oleh Jürgen Habermas
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Tulisan ini merupakan kontribusi Jürgen Habermas pada debat yang diselenggarakan di Center Georges-Pompidou, pada tanggal 10 Januari 1997, bertepatan dengan penerbitan buku Droit et démocratie.
Buku Droit et démocratie tersebut merupakan terjemahan dari buku Habermas tentang hukum dan demokrasi, yang semula berbahasa jerman yakni Faktizität und Geltung: Beiträge zur Diskurstheorie des Rechts und des demokratischen Rechtsstaats.
Sumber: Habermas Jürgen, « Sur le droit et la démocratie » Note pour un débat, Le Débat, 1997/5 n° 97, p. 42-47. DOI : 10.3917/deba.097.0042
Please cite as: Habermas, Jürgen. "Hukum dan Demokrasi (Droit et Démocratie) oleh Jürgen Habermas". Blog Anom Surya Putra. Agustus 2022.
Hukum dan Demokrasi:
Catatan untuk Diskusi*
Oleh: Jürgen Habermas
Apa yang sebenarnya dikatakan oleh seorang penulis di dalam dan melalui sebuah buku tergantung pada interpretasi. Pembaca yang cerdas hampir selalu mengetahui hal itu lebih baik daripada penulis itu sendiri. Penulis hanya tahu apa yang ingin dia katakan. Dengan buku Hukum dan Demokrasi (Droit et Democratie), saya pikir, saya telah membuat kontribusi spesifik pada enam tema [1]:
- bentuk dan fungsi hukum modern;
- hubungan antara hukum dan moralitas;
- hubungan antara hak asasi manusia dan kedaulatan rakyat;
- fungsi utama demokrasi;
- peran utama komunikasi publik dalam demokrasi-massa;
- perdebatan tentang paradigma hukum yang berkompetisi.
I. Bentuk dan Fungsi Hukum Modern
Tema pertama membahas isu-isu tentang bentuk dan fungsi hukum modern, bermula dari kontroversi sosiologis tentang fungsi hukum modern. Pertanyaannya adalah apakah hukum modern hanya sebagai sarana untuk menguji kekuasaan administratif atau kekuasaan politik, atau apakah hukum masih berfungsi sebagai medium integrasi sosial. Dalam hal ini saya berdiri di sisi pendapat Emile Durkheim dan Talcott Parson yang bertentangan dengan pendapat Max Weber: Saat ini norma hukum merupakan sesuatu yang tersisa dari semen yang runtuh dalam masyarakat; jika semua mekanisme integrasi sosial lainnya habis, maka hukum masih menyediakan beberapa cara untuk menyatukan masyarakat yang kompleks dan sentrifugal, yang jika tidak, akan hancur berkeping-keping.
Hukum berdiri sebagai pengganti kegagalan mekanisme integratif lainnya --pasar dan administrasi, atau berhadapan langsung (vis-à-vis) dengan nilai, norma, dan komunikasi. Kapasitas integratif dapat dijelaskan melalui fakta bahwa norma-norma hukum merupakan fungsi-fungsi khusus berdasarkan kombinasi yang menarik dari perangkat-perangkat formal: hukum modern diubah menjadi hak-hak subjektif; itu adalah hukum yang berlaku atau positif sebagai eksekusi kewajiban atau koersif. Dan sementara hukum modern menuntut para penerimanya tidak lebih dari perilaku yang sesuai dengan norma, hukum modern tetap harus memenuhi harapan legitimasi sehingga setidaknya mengizinkan para-penerima-hukum yang akan mengikuti norma untuk melakukannya, jika para-penerima-hukum itu mau, demi menghormati hukum. Sangat mudah untuk menebak alasan mengapa bentuk hukum modern ini sesuai dengan persyaratan masyarakat modern:
- Hukum modern seharusnya memberikan pemerataan hak-hak subjektif di antara semua orang. Kebebasan seperti itu berfungsi sebagai sabuk pengaman bagi setiap orang yang mengejar preferensi dan orientasi nilainya sendiri; dengan cara yang sama, hal ini sesuai dengan struktur pengambilan-keputusan yang terdesentralisasi (yang khususnya diperlukan masyarakat-pasar).
- Hukum modern diberlakukan oleh seorang legislator politik dan, menurut bentuknya, memberikan otoritas yang mengikat terhadap program-program yang fleksibel dan pelaksanaan program-program tersebut. Oleh karena itu, hukum sesuai dengan cara khusus berfungsinya negara administratif modern.
- Hukum modern merupakan eksekusi kewajiban melalui ancaman sanksi dan jaminan negara, dalam arti kepatuhan biasa, "legalitas" perilaku. Dengan demikian hal ini cocok dengan situasi masyarakat pluralistis yang mana norma-norma hukum tidak lagi tertanam dalam suatu etos dominan yang dimiliki oleh seluruh penduduk.
- Hukum modern menjamin, bagaimanapun, stabilitas ekspektasi perilaku hanya jika orang dapat menerima norma-norma yang berlaku atau norma-norma yang dapat ditegakkan di samping norma-norma yang legitim (absah) yang layak mendapatkan pengakuan intersubjektif. Oleh karena itu, hukum berhubungan dengan kesadaran moral pasca-tradisional warga negara yang tidak lagi mau mengikuti perintah, kecuali untuk alasan yang baik.
II. Hubungan antara Hukum dan Moralitas
Tema kedua membahas isu-isu tentang hubungan antara hukum dan moralitas, bermula dari kontroversi antara positivisme hukum dan teori-teori hukum alam tentang pertanyaan, bagaimana menjelaskan validitas (kesahihan) hukum secara spesifik. Kedua posisi itu (hukum dan moralitas) menghadapi kesulitan-kesulitan yang selama ini telah diketahui dan komplementer. Singkatnya: kaum positivis, di satu sisi, memahami norma-norma hukum sebagai ekspresi yang lebih tinggi dari otoritas politik, yang memiliki nilai kewajiban. Kedua belah pihak (hukum dan moralitas) menolak untuk mengakui klaim legitimasi apa pun yang lebih kuat daripada jenis validitas (kesahihan) hukum yang mengarah pada larangan yang benar secara formal dan perintah (imposisi) yang efektif. Di sisi lain, para pendukung teori hukum alam memperoleh legitimasi hukum positif dari hukum moral yang lebih tinggi. Hukum positif dalam hal ini mewakili tingkatan terendah dari suatu hierarki hukum, di atasnya terdapat hukum alam, yang dijelaskan dalam istilah metafisik atau agama. Sekalipun kita mengesampingkan masalah-masalah fondasionalisme, asimilasi hukum dengan moralitas seperti itu menyembunyikan perbedaan penting yang ada di antara keduanya.
Sementara norma-norma moral pertama-tama memberi tahu kita apa yang harus dilakukan dan apa yang harus kita lakukan terhadap satu sama lain, hukum modern terutama dimaksudkan untuk mendistribusikan kebebasan individu untuk menentukan ruang privat yang mana masing-masing orang bebas melakukan apa yang dianggapnya pantas. Di sisi lain, hukum moral berasal dari kewajiban orang lain terhadap kita, sedangkan dalam hukum modern hak mendahului kewajiban, karena kewajiban hukum hanya dihasilkan dari batasan-batasan universal bersama dari kebebasan yang didistribusikan secara merata. Kekurangan komplementer ini membawa kita untuk menyimpulkan bahwa legitimasi hukum tidak boleh disamakan dengan validitas moral, atau hukum harus benar-benar terpisah dari moralitas. Kita memahami hukum modern lebih baik, jika kita melihatnya sebagai komplemen fungsional pada moralitas pasca-tradisional yang lemah, di luar konteks institusionalisasi (pelembagaan), hukum hanya berakar pada kesadaran pribadi individu.
Dari sudut pandang pengamat, hukum modern dengan demikian dapat mengimbangi ketidakpastian kesadaran moral yang biasanya berfungsi dengan baik dalam konteks saling berhadapan langsung (vis-à-vis), sedangkan hukum koersif memiliki dampak yang jauh jangkauannya. Pada saat yang sama, hukum positif tidak kehilangan semua kandungan moral, setidaknya selama hukum positif merespon klaim legitimasi.
Video Pembahasan
III. Hubungan antara Hak Asasi Manusia dan Kedaulatan Rakyat
Tema ketiga membahas isu-isu hubungan antara hak asasi manusia dan kedaulatan rakyat, bermula dari kontroversi yang telah berlangsung lama tentang sumber legitimasi. Karena kepositifan hukum, di sini kita harus membedakan peran pencipta yang membuat (dan mengajudikasi) hukum, dengan penerima yang menjadi subjek-subjek hukum yang ditetapkan. Otonomi privat, yang berada dalam domain moral dapat dikatakan semuanya utuh, muncul dalam domain hukum hanya dalam bentuk ganda otonomi privat dan otonomi publik. Kedua elemen ini -- kebebasan subjek hukum privat dan otonomi politik warga negara -- harus dimediasi sedemikian rupa sehingga bentuk otonomi yang satu tidak dihalangi oleh bentuk otonomi yang lain. Ini untuk menyatakan bahwa subjek hukum individu dapat otonom sejauh subjek hukum individu dapat memahami diri mereka sendiri, dalam pelaksanaan hak-hak sipilnya, sebagai pencipta norma-norma tersebut, yang seharusnya mereka patuhi sebagai penerima. Namun, intuisi ini tidak pernah cukup meyakinkan dijelaskan dalam Teori Politik.
Tradisi kaum republikan, yang kembali ke Aristoteles dan humanisme politik Renaisans, selalu memberikan otonomi publik warga negara sebagai prioritas terhadap kebebasan pra-politis individu pribadi. Liberalisme, pada bagiannya, selalu memunculkan bahaya tirani mayoritas dan mendalilkan prioritas supremasi hukum, yang dijamin oleh kebebasan negatif. Hak asasi manusia seharusnya memberikan hambatan-hambatan yang legitim (absah) yang mencegah kehendak berdaulat rakyat melanggar batas kebebasan individu yang tidak dapat diganggu gugat. Namun kedua pandangan itu sepihak (unilateral). Rule of law, yang diekspresikan dalam idea-idea hak asasi manusia, tidak boleh semata-mata dipaksakan pada legislator yang berdaulat sebagai penghalang eksternal, atau diintrumentalisasi sebagai prasyarat fungsional proses demokrasi. Untuk mengartikulasi intuisi ini secara tepat, kita perlu melihat proses demokrasi dari sudut pandang teori diskursus.
Pada titik ini saya tidak dapat meringkas argumen kompleks saling ketergantungan antara hak asasi manusia dan kedaulatan rakyat. Saya memberi dua saran pendapat. Saran pertama adalah untuk memahami hak asasi manusia sebagaimana diperlukan untuk pelembagaan hukum proses demokrasi legislasi-mandiri. Namun demikian, pada pandangan pertama, hal ini hanya masuk akal untuk hak-hak sipil --hak berkomunikasi dan partisipasi-- yang memberdayakan warga negara untuk menjalankan otonomi politiknya. Saran tersebut kurang masuk akal bagi hak asasi manusia klasik yang menjamin otonomi individu warga negara. Jadi, disarankan lebih lanjut untuk menganalisis tata bahasa dari bahasa aturan hukum, yang mana warga negara harus berbicara dengan menggunakan bahasa aturan hukum itu ketika ingin bertindak sebagai warga negara. Dengan kata lain, kitab aturan hukum seperti itu harus tersedia segera setelah kita ingin melembagakan proses demokrasi secara yuridis. Bagaimanapun, kita tahu dari analisis bentuk hukum bahwa kita tidak dapat membangun tatanan hukum apa pun tanpa menciptakan representasi untuk subjek hukum individu yang merupakan pemegang hak-hak individu —apa pun haknya. Dan memastikan hak subjektif seperti itu sama saja dengan memberikan jaminan otonomi privat. Maka, inilah inti argumennya: tanpa hak-hak dasar yang menjamin otonomi privat warga negara, tidak akan ada medium guna pelembagaan yuridis perihal kondisi-kondisi yang mana warga negara dapat menggunakan otonomi publiknya. Jadi, otonomi privat dan otonomi publik itu saling mengandaikan satu sama lain sedemikian rupa sehingga hak asasi manusia dan kedaulatan rakyat tidak dapat mengklaim keunggulan satu sama lain.
Video Pembahasan
IV. Fungsi Epistemik Demokrasi
Tema keempat membahas isu-isu fungsi epistemik demokrasi, bermula dari pertanyaan mengapa kita mengharapkan legitimasi hukum muncul dari proses demokratik. Pendekatan-diskursus menjelaskan kekuatan yang-menghasilkan-legitimasi bahwa proses ini berkat prosedur demokrasi yang menetapkan praduga (la présomption) penerimaan rasionalitas hasil. Norma-norma berutang legitimasinya pada jenis pengakuan yang didasarkan pada kesepakatan yang dimotivasi secara rasional. Asumsi ini dinyatakan dalam istilah prinsip diskursus: "Yang benar-benar valid adalah norma-norma tindakan yang dapat disetujui oleh semua orang yang berpotensi terkena dampak sebagai partisipan dalam diskursus rasional[2]." Tradisi kontraktualis hingga Rousseau dan Kant juga menyebut "rasionalitas" itu sebagai basis pasca-metafisik untuk tatanan yuridis dan politik. Namun, konsepsi mentalis tentang rasionalitas ini sekarang diterjemahkan dalam istilah pragmatis dan diuraikan dalam praktik pemberian alasan-alasan rasional atau sebagai kondisi-kondisi deliberasi. Diskursus rasional seharusnya bersifat publik dan inklusif, untuk memberikan hak komunikasi yang setara bagi partisipan, membutuhkan ketulusan, dan melarang segala jenis kekuatan selain kekuatan lemah dari argumentasi terbaik. Struktur komunikasi ini diharapkan dapat menciptakan ruang deliberatif untuk memobilisasi kontribusi terbaik yang tersedia untuk tema yang paling relevan.
"Deliberasi" dipahami secara luas di sini dan mencakup berbagai alasan. Bergantung pada alasan empiris, teknis, kehati-hatian, etika, alasan moral atau alasan yuridis, kita membedakan berbagai jenis diskursus rasional dan bentuk komunikasi yang sesuai. Penerimaan rasional norma-norma hukum tidak hanya bergantung, dan bahkan tidak mengutamakan pertimbangan moral tetapi tipe lain dari deliberasi lainnya sebagai proses negosiasi yang adil. Bentuk kompromi, bagaimanapun juga, merupakan jantung politik. Di sisi lain, pengertian deliberasi akan membuka jalan bagi konsepsi legitimasi dari segi proses. Legitimasi tergantung pada pelembagaan hukum yang tepat dari bentuk-bentuk diskursus rasional dan negosiasi yang adil yang mendasari praduga penerimaan rasional tentang hasil. Politik deliberatif dengan demikian terikat pada idea-idea kompleks legitimasi prosedural. Ada tiga jenis prosedur yang saling bercampur dalam proses demokrasi: pertama, prosedur deliberasi yang murni kognitif; kedua, prosedur pengambilan-keputusan yang menghubungkan keputusan dengan deliberasi sebelumnya (biasanya dalam kasus aturan mayoritas); dan terakhir, prosedur-prosedur yuridis yang menentukan dan mengatur secara mengikat aspek-aspek material, sosial dan temporal dari proses-proses formasi-opini dan formasi-kehendak.
Video Pembahasan
V. Peran Utama Komunikasi Publik dalam Demokrasi-Massa
Tema kelima yang membahas isu-isu peran sentral komunikasi publik—merupakan implikasi nyata dari pendekatan-diskursus. Dari sudut pandang normatif, aspek-aspek struktural komunikasi politik lebih penting daripada sifat individu, seperti kapasitas untuk membuat pilihan rasional atau niat baik. Komunikasi publik harus inklusif dan selektif pada saat yang bersamaan; harus disalurkan sedemikian rupa, sehingga tema yang relevan muncul, kontribusi menarik dan informasi yang dapat diandalkan bisa masuk, dan argumen yang baik atau kompromi yang adil bisa memutuskan apa yang menjadi hasil. Pandangan ini cukup abstrak untuk menjembatani kesenjangan antara idea-idea normatif legislasi-mandiri dan fakta-fakta masyarakat yang kompleks. Berdasarkan pendekatan yang diusulkan teori-,diskursus kita selanjutnya dapat memutuskan hubungan idea-idea kedaulatan rakyat dari apa yang secara tradisional dibawanya, "rakyat", suatu gagasan yang terlalu konkret untuk keadaan sekarang. Pada tingkat normatif, konsepsi lain menggantikan 'kedaulatan rakyat': kebebasan komunikatif warga negara, yang seharusnya mengarah pada penggunaan rasionalitas oleh publk. Aktor kolektif masyarakat kewargaan yang cukup otonom dan ruang publik yang cukup responsif dan inklusif dapat memahami isu-isu masyarakat yang relevan, menerjemahkannya ke dalam isu publik dan dengan demikian menghasilkan, melalui berbagai jaringan, pengaruh opini publik. Tetapi "pengaruh" seperti itu diubah menjadi "kekuasaan" hanya melalui interaksi komunikasi publik yang informal dan berdifusi dengan proses formasi-opini dan formasi-kehendak yang terorganisir secara formal, tersebar melalui proses formasi-opini dan formasi-kehendak yang terorganisir secara formal, yang pertama-tama diwujudkan dalam kompleks parlementer dan yudisial. "Kekuasaan komunikasi" dihasilkan menurut prosedur demokratis badan-badan deliberatif, kemudian diubah, melalui program legislatif dan keputusan pengadilan, menjadi kekuasaan administratif, tersedia untuk diimplementasikan. Hal ini tentu saja hanya merupakan gambaran resmi dari rangkaian kekuasaan yang sebenarnya sangat menyimpang. Namun hal itu merupakan gambaran yang memungkinkan kita setidaknya menghubungkan pemahaman-diri normatif atau demokrasi konstitusional dengan praktik nyatanya.
Video Pembahasan
VI. Perdebatan tentang Paradigma Hukum yang Berkompetisi
Tema terakhir membahas pengenalan paradigma hukum prosedural baru, bermula dari persaingan tanpa harapan antara dua paradigma hukum yang diterima selama ini: paradigma liberal dan negara-kesejahteraan. Paradigma liberal didasarkan pada masyarakat ekonomi yang dibiarkan bekerja secara spontan di pasar dan dilembagakan melalui hukum privat, dan pertama-tama melalui hak milik dan kebebasan untuk berkontrak. Namun, jika kapasitas bebas orang-orang pribadi untuk memiliki atau memperoleh properti dianggap menjamin keadilan sosial, maka kesempatan yang sama harus dapat mengefektifkan penggunaan kekuatan hukum yang didistribusikan secara merata.
Tetapi masyarakat kapitalis tidak memenuhi syarat ini. Jadi para pendukung paradigma negara kesejahteraan mempunyai pendapat yang tertuju pada kompensasi atas ketidaksetaraan yang tumbuh dalam kekuatan ekonomi, properti, pendapatan dan kondisi kehidupan. Hukum privat harus secara substansial ditentukan dan hak-hak sosial diperkenalkan. Pada saat yang sama, efek yang tidak diinginkan dari paternalisme negara kesejahteraan menandai batas dari alternatif ini. Tampaknya semua perdebatan berpusat terlalu sempit pada otonomi privat, sementara hubungan internal antara otonomi privat dan otonomi publik luput dari perdebatan.
Di antara dua paradigma yang diterima, satu-satunya tema kontroversial adalah apakah otonomi privat lebih baik dijamin langsung oleh kebebasan negatif atau apakah munculnya otonomi privat harus dipastikan dengan jaminan hak atas manfaat sosial. Jalan keluar dari kebuntuan ini ditunjukkan oleh paradigma lain, paradigma prosedural, yang tidak berpusat pada pesaing privat di pasar maupun pada pengguna privat dari birokrasi negara-kesejahteraan, tetapi pada warga negara yang berpartisipasi dalam formasi-opini dan formasi-kehendak. Subjek hukum privat tidak dapat menikmati kebebasan yang sama apabila mereka sendiri secara umum tidak menjalankan otonomi kewargaan mereka terlebih dahulu untuk menentukan kepentingan apa dan kriteria penilaian apa yang dibenarkan dalam menentukan perlakuan yang sama terhadap kemiripan dan ketidaksetaraan terhadap sesuatu yang berbeda. Warga negara hanya dapat mencapai regulasi yang adil terhadap status privatnya jika warga negara menggunakan hak politiknya secara tepat di domain publik. Warga negara harus bersedia berpartisipasi dalam perjuangan untuk mendefinisikan apa yang publik, guna menafsirkan dan menilai kebutuhannya sendiri, sebelum legislator dan hakim bahkan dapat mengetahui apa artinya dalam setiap kasus untuk diperlakukan sama.
Dalam masyarakat yang sangat terdiferensiasi dengan keragaman tanpa transparansi kepentingan, merupakan persyaratan epistemik dari pemerataan kebebasan bagi setiap orang bahwa warga negara yang terkena dampak atau yang bersangkutan pertama-tama membela klaimnya sendiri dalam debat publik, mengartikulasikan dan membenarkan aspek-aspek yang jatuh di bawah perlakuan yang sama dalam situasi yang khas.
Singkatnya, otonomi pribadi warga negara yang diberkahi dengan hak yang sama atas manfaat sosial hanya dapat dipastikan jika warga negara secara aktif menjalankan otonomi kewargaannya[3].
Catatan Kaki:
[1] Jürgen Habermas, Droit et démocratie. Entre faits et normes, diterjemahkan oleh Rainer Rochlitz dan Christian Bouchindhomme, Paris, Gallimard, 1997.
[2] Jürgen Habermas, Droit et démocratie. op.cit., p. 123 (N.d.T).
[3] Penerjemah berterimakasih kepada Rainer Rochlitz atas sarannya.
* Diterjemahkan oleh Anom Surya Putra dari Habermas Jürgen, « Sur le droit et la démocratie » Note pour un débat, Le Débat, 1997/5 n° 97, p. 42-47. DOI : 10.3917/deba.097.0042
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar