Tulisan serial yang dirancang menjadi buku filsafat hukum ini menceburkan pembaca pada obrolan atau diskursus filsafat hukum di masa ambyar. Setiap pembaca bebas memaknai situasi, gagasan, kondisi dan apapun namanya tentang "ambyar" pada judul buku ini. Untaian kata yang ketat dan melelahkan akan terjumpai secara tematik:
- Sophia, Cinta Mendalam Yang Bijaksana
- Menziarahi Ius, Lex dan Codex
- Filsafat Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum
- Hirarki dan Ko-Eksistensi
- Gagasan Berhukum Deliberatif
Please cite as: Putra, Anom Surya. “Filsafat Hukum di Masa Ambyar: Bagian Ke-1 Sophia, Cinta Mendalam Yang Bijaksana.” Blog Anom Surya Putra, Juni 2022. https://anomsuryaputra.blogspot.com/2022/06/opini-filsafat-hukum-berawal-dari.html
------------------------------------
Bagian Ke-1 Berawal dari Sophia, Cinta Mendalam Yang Bijaksana
SOPHIA
Terminologi Filsafat berasal dari frasa Yunani philos dan sophia. Maknanya adalah cinta mendalam dan bijaksana. Filsafat secara umum dimaknai sebagai upaya untuk mencintai hal yang bijaksana (Huijbers,1995). Frasa Yunani ini tertuju pada upaya cinta mendalam yang bijaksana atas rasio (akal budi) manusia.
Cinta mendalam yang bijaksana atas rasio manusia selanjutnya diajukan pertanyaan secara fundamental. Apakah Filsafat Hukum mempunyai batasan yang eksklusif dan berasal dari Ilmu Hukum yang dogmatik (jurisprudence)?
Filsafat Hukum menjadi bagian dari Etika (Filsafat Moral). Meskipun seringkali dalam pergaulan kita sehari-hari. Etika mengalami pendangkalan menjadi etiket, seperti tata cara makan, minum, dan bergaul.
Ruang lingkup kajian Filsafat Hukum diwarnai kritik atas rasio murni, rasio praktis, dan rasio penilaian (judgment) terhadap moral. Hukum pun terbentuk dalam proposisi metafisis yakni Hukum berada dibawah langit moral. Dilain pihak perdebatan Etika dan Hukum berlanjut di wilayah sains. Yang terkategorikan dalam Positivisme baik Positivisme-yuridis maupun Positivisme-Logis (Huijbers, 1982).
Filsuf Immanuel Kant sangat penting dikaji dalam perkembangan Filsafat Hukum (Kant, 1887). Jurgen Habermas (1996) mengutarakan
law as social mediation untuk mengkritik secara fundamental perdebatan antara fakta dan keabsahan normatif yang cenderung terpisahkan secara rasio sejak masa Immanuel Kant di Abad Pencerahan. Rasio atau akal budi manusia mendapat perhatian utama pada Filsafat Hukum seperti termaktub dalam karya Immanuel Kant. Alur pikir filosofis Immanuel Kant ini merupakan puncak refleksi atas fundasi Metafisika Moral.
Perdebatan singkat tentang Filsafat Hukum ini menarik bila dilihat problematikanya dalam 2 (dua) aras, yakni aras sejarah dan tematik.
Pertama, aras sejarah yang memperlihatkan diskontinuitas (patahan-patahan) objek Filsafat Hukum. Carl Joachim Friedrich (2004) menyatakan, Filsafat Hukum kurang berkembang karena advokat atau praktisi hukum tidak memerlukan Filsafat Hukum dalam bekerja secara empirik (dunia pengalaman). Oleh karenanya, secara historis, Filsafat Hukum dibentuk dari rentang pengalaman yang menyejarah. Joachim Friedrich membangun proposisi hukum sebagai kehendak Tuhan (Perjanjian Lama) sampai dengan masa surut dan pasang Hukum Alam di Eropa dan Amerika untuk menghasilkan analisis sistematik Filsafat Hukum.
Kedua, aras tematik yang memperlihatkan perubahan yang labil terkait objek Filsafat Hukum. Perdebatan Filsafat Hukum di Amerika antara HLA Hart (1961) dan Ronald Dworkin (2013) menghasilkan suatu rumusan Positivisme-Logis yang memisahkan hukum dan moral. Termasuk upaya menjawab aborsi sebagai peristiwa hukum atau moral. Aras tematik ini merupakan contoh ulasan perkembangan Filsafat Hukum berbasis kasus, proses ajudikasi, keputusan hakim, juri, dan desakan publik atas kasus tertentu.
Bagaimana dengan Filsafat Hukum di Indonesia? Pertanyaan ini diajukan dalam nuansa teritorial. Berkaitan dengan tema objek Filsafat Hukum di Indonesia.
Guru besar hukum di Indonesia yang saya kagumi, Soetandyo Wignjosoebroto (2002) telah membangun Filsafat Hukum dengan objek beragam. Mulai dari ontologi sampai dengan logika hukum. Batasan ruang lingkup koeksistensi itu adalah ko-eksistensi antara Ajaran Hukum Murni (pure theory of law) dengan Ilmu Sosial Hukum (legal science). Koeksistensi ini berarti bahwa objek Filsafat Hukum adalah landasan dan batas-batas kaidah hukum yang dibahas dalam kerangka kerja filsafat secara umum. Baik mencakup ontologi, epistemologi, aksiologi, ideologi, teleologi, teori, dan logika Hukum.
Koeksistensi mensyaratkan legisme-positivistik yang diwariskan dari Hans Kelsen menjadi titik berdiri seorang ahli hukum (jurist) tetapi hal itu berjalan seiringan dengan Ilmu Sosial Hukum (legal science) yang bekerja dengan rasio objektif, kritis, empirik, dan seterusnya. Objek Filsafat Hukum memiliki rentang panjang dalam aras sejarah dan aras perdebatan tematik, dan mengerucut pada suatu rumusan hipotetis. Oleh karenanya, saya memberi batasan pada buku ini bahwa:
“Objek Filsafat Hukum adalah landasan dan batas-batas kaidah hukum yang dibahas dalam kerangka kerja filsafat secara umum, baik ontologi, epistemologi, aksiologi, ideologi, teleologi, teori, dan logika Hukum.”
Pertanyaan lanjutan, bagaimana objek Filsafat Hukum dirumuskan? Apakah masalah yang terdapat pada objek Filsafat Hukum tersebut? Kedua pertanyaan itu diajukan untuk:
- memperoleh pengetahuan dan memahami pembentukan objek Filsafat Hukum secara fundamental, baik konteks hukum dan sejarah maupun konteks Filsafat Hukum itu sendiri secara metodis dan sistematik.
- merumuskan masalah yang terdapat dalam objek Filsafat Hukum agar bermanfaat dalam pengembangan Ilmu Hukum, baik Ilmu Hukum Doktrinal yang bekerja secara normatif (jurisprudence, Ajaran Hukum Murni, atau dogmatik-hukum) dan Ilmu Sosial Hukum (legal science) yang bekerja secara objektif, empiris dan kritis.*
Bersambung ke Bagian Ke-2
Komentar