Opini Terbaru

Between Facts and Norms, Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (2): Pengantar dari Jürgen Habermas

Gambar
PENGANTAR Jürgen Habermas  | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse

Kemiskinan Ekstrem dalam Nietzschean Society

Friedrich Nietzsche merupakan filsuf eksistensialis yang berdayakuat dalam membongkar makna kekuasaan setelah karyanya menyatakan Tuhan telah Mati. 

Pernyataan “Tuhan Mati” memiliki rangkaian pernyataan dengan manusia Übermensch dan Kehendak untuk Berkuasa (der Wille zur Macht). Pernyataan “Tuhan Mati” lahir dari diskursus kehidupan yang penuh kerapuhan dan kerapuhan itu mengantarkan manusia terpenjara dalam ruang nihilistik yang kosong. Konsep “Tuhan” yang dibidik Nietzsche adalah tuhan dalam pemikiran manusia. Suatu landasan yang dicari untuk menatap hidup sebagai tragedi.

Kritik Nietzsche dalam hal ini merelatifkan suatu yang absolut dan mengabsolutkan suatu yang relatif. Kematian Tuhan dalam karyanya mengakui adanya tuhan-tuhan dalam bentuk ilmu pengetahuan dan otoritas kekuasaan absolut lainnya yang selanjutnya dibunuh (oleh tokoh aforis: Zarathustra) agar tidak menghalangi Kehendak untuk Berkuasa (will to power; der Wille zur Macht).

Dunia dan kehidupan bagi Nietzsche tidak lepas dari situasi nihilisme, sebab dengan nihilisme justru muncul Übermensch. Manusia Übermensch tidak akan mencari landasan-landasan kepercayaan metafisika melainkan menghadapi nihilisme dengan Kehendak untuk Berkuasa sebagai prinsip untuk memandang dunia dan hidup. Pengetahuan dimaknai dalam aforisme Napoleon yang menyebarkan kebenaran dengan senjata dan Hegel menyebarkan kebenaran melalui buku sejarah dan dialektika ke seluruh dunia, sehingga pengetahuan adalah fungsi dari Kehendak untuk Berkuasa.

Kehendak untuk Berkuasa dipahami dalam konteks “berkuasa atas diri sendiri” sebagai kritik terhadap kehendak berkuasa atas Yang Lain (the other). Kehendak berkuasa atas Yang Lain (the other) hanya mempertahankan manusia dalam status kebinatangan dan manusia barbar.

Friedrich Nietzsche dalam Zur Genealogie der Moral: Eine Streitschift membongkar gagasan tentang “baik” dan “jahat” dari kalangan bangsawan (elit) dan budak (miskin; jelata). Romo Mudji Sutrisno menyatakan, kata kunci genealogi dalam karya Nietzsche adalah metode analisa ungkapan-ungkapan atau wujud-wujud kaidah etika.

Dasar moralitas dan makna sebuah nilai seperti “baik dan jahat” tidak berasal dari kasus-kasus atau cara mengevaluasi kegunaannya atau manfaatnya bagi yang lain. Sistem-sistem etika bersumber dari “genealoginya”.

Sumber genealogis pertama, pengetahuan mengenai “baik” dan “jahat” dalam makna asalnya, mengungkapkan pandangan golongan tuan bangsawan pada zamannya. Sebaliknya, “jahat” mengungkapkan fenomena sekunder sebagai reaksi untuk mereka yang statusnya lebih rendah dari bangsawan yakni klas budak. Moralitas tuan bangsawan selalu luhur dan ekspresi kaum ningrat sebagai pemilik makna dan nilai.

Sumber genealogis kedua, pengetahuan mengenai “baik” menurut Nietzsche merupakan cara menilai reaktif dari para budak (lawan dari klas tuan bangsawan) untuk mengungkapkan “jahat” terhadap klas tuan bangsawan. “Jahat” dari klas budak merupakan moralitas reaktif terhadap tuan-tuan secara negatif pada penindas-penindasnya.

Sebagai perbandingan, St. Sunardi menafsirkan buku Nietzsche tentang genealogi moral berisi tentang polemik moral. Orientasi filsafat hidup Nietzsche menegaskan hakikat hidup adalah kehendak untuk berkuasa. Kedalaman filsafat hidup Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht) terlihat pada kritik Nietzsche atas moralitas.

Senada dengan uraian ringkas Romo Mudji Sutrisno sebelumnya, St. Sunardi menganalisis bahwa perhatian utama Nietzsche dalam kritiknya tentang moralitas berkaitan dengan gagasan tentang baik (Guten), suatu nilai yang selama ini dipandang sebagai nilai tertinggi dalam moralitas. Nietzsche mempersoalkan apakah “baik” (Guten) sebagaimana diyakini dalam moralitas Barat selama ini merupakan nilai tertinggi dalam hidup manusia.

Genealogi moral Nietzsche memperlihatkan pelukisan tentang etika kekuasaan (ethics of power) dengan jalan mengupas ungkapan-ungkapan kekuasaan dalam sejarah moralitas Barat (St. Sunardi, 2006: 123). Nietzsche menunjukkan moralitas orang-orang lemah (budak; orang miskin) maupun orang-orang kuat (tuan bangsawan; elit) sebagai kehendak untuk mengatasi diri atau kehendak untuk berkuasa. Ringkas kata, “genealogi” moral menelusuri asal-usul munculnya moralitas, bagaimana kehendak untuk berkuasa itu tampak dalam moralitas.

Genealogi moral semakin terang bila kita menelusuri aforisme Nietzsche dalam Jensiets vom Guten und Bösen (diterjemahkan menjadi Beyond Good and Evil). Budi Hardiman menyatakan, Nietzsche menemukan dua macam moralitas manusia dan dikisahkan dalam cerita. Nietzsche mengisahkan dua jenis manusia yaitu kasta aristokrat atau para tuan dan rakyat kecil atau kasta para budak. Kasta aristokrat adalah elit pemerintah dan elit masyarakat, sedangkan rakyat kecil adalah penduduk miskin. Dari dua jenis kasta manusia ini lahirlah dua macam moralitas yakni moralitas elit (disetarakan dengan terma Nietzsche: Herrenmoral atau moralitas tuan), dan moralitas penduduk miskin (disetarakan dengan moralitas kaum budak atau kawanan; Herdenmoral).

Bagi elit, moralitas adalah ungkapan hormat dan penghargaan terhadap diri mereka sendiri. Elit sungguh yakin bahwa segala tindakannya adalah baik meskipun mereka tidak mengklaim bahwa moralitasnya universal. Moralitas elit tidak menunjukkan bagaimana seharusnya orang bertindak, melainkan bagaimana elit itu senyatanya bertindak. Oleh karenanya, dari tindakan-tindakannya sendiri lahir nilai-nilai autentik. “Baik” dan “buruk” sama nilainya dengan “elit” dan “penduduk miskin”, dan soal baik dan buruk itu bukan ditujukan pada tindakan, melainkan pada pribadi yang melakukannya.

Nietzsche melalui aforisme dalam Zarathustra, tentang “Rakyat Jelata”, bertanya-tanya:

“apakah kehidupan butuh jelata juga?...Astaga, aku sering menjadi bosan terhadap roh bilamana aku dapati jelata pun dianugerahi roh…Aku balikkan punggungku terhadap aturan-aturan bilamana aku melihat apa yang kini mereka sebut peraturan: tukar-menukar dan tawar-menawar demi kekuasaan –dengan jelata!”

Aforis Zarathustra tentang balik punggung bilamana tawar menawar demi kekuasaan dengan rakyat jelata diatas menampakkan para budak atau penduduk miskin tidak dibutuhkan dan tidak punya posisi tawar dibandingkan dengan manusia elit. Para budak atau penduduk miskin tidak pernah bertindak dari diri mereka sendiri sebab tergantung pada perintah tuan/elit-nya. Kaum jelata, budak, atau orang miskin yang hendak bertindak sendiri justru akan menyangkal kodratnya seperti nampak pada aforis: para jelata juga minum, semua sumur menjadi teracuni.

Also Sprach Zarathustra von Friedrich Nietzsche

Suatu yang dianggap baik bukanlah kedaulatan diri tetapi kerendahan hati dalam hubungannya dengan kasta penduduk miskin yang rendah. Kaum penduduk miskin memandang para individu yang independen, unggul, kuat dan jenius sebagai orang yang berbahaya dan jahat untuk kelompoknya.

Moralitas budak (penduduk miskin) membalikkan moralitas tuan (elit). Apa saja yang dinilai baik oleh elit dinilai buruk oleh penduduk miskin. Moralitas penduduk miskin bersifat reaktif, yakni bersumber ketakutan pada elit, lalu mencoba menguasai elit, tidak dalam kenyataan, tapi dalam dunia fiktif nilai-nilai dengan menilai elit itu sebagai jahat (böse).

Kembali pada genealogi moral, Nietzsche melukiskan bagaimana terjadinya sebuah penjungkirbalikan nilai-nilai (Umwertung aller Werte). Nietzsche mengenalkan istilah “ressentiment”, yaitu sentimen kebencian terpendam yang dipelihara oleh kaum budak atau kaum penduduk miskin.

Suatu ketika, “ressentiment” menjadi kekuatan luar biasa untuk meledakkan pemberontakan di kalangan kaum penduduk miskin terhadap kasta elit. Pemberontakan ini dibayangkan terjadi dalam moralitas, dunia imajiner, dan kurang pada kenyataan politik. Pada saat itulah rasa benci-dendam (ressentiment) menjadi kekuatan kreatif yang menghasilkan nilai-nilai.

Sentimen kebencian terpendam (ressentiment) menjungkirbalikkan penilaian baik dan jahat dari moralitas elit. Sentimen kebencian terpendam penduduk miskin menjadi kekuatan kreatif dengan melampaui apa yang baik dan jahat. Kekuatan rakyat jelata tidak terolah pada perlawanan fisik kepada elit melainkan kreativitas.

Pemikiran genealogi moral Nietzsche menyumbangkan pemikiran penting, kemiskinan ditelusuri dalam hal orientasi moral yang terpendam. Analisis kekuasaan elit baik elit pemerintahan maupun elit masyarakat sendiri hendaknya menyingkap dunia-imajiner penduduk miskin yang memberontak (ressentiment) terhadap kebaikan kebijakan publik yang dikonstruksi oleh elit.

Kemiskinan dan ketimpangan sosial akan terus menerus terjadi dalam Nietzschean Society. Relasi kuasa antara Yang Kuat dan Yang Lemah diintervensi oleh kebijakan insentif (semacam bantuan langsung tunai), yang mungkin tidak pernah dimanfaatkan secara produktif oleh Yang Lemah untuk mengatasi kemiskinannya.*




Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

Konstitusionalisme Deliberatif dan Judicial Review

Day 10 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 16 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 6 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 4 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 8 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 7 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (2): Pengantar Buku Sosiologi Hukum

Day 17 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)