Opini Terbaru

[Calon Buku] Hukum Komunikatif by Anom Surya Putra

Gambar
 HUKUM KOMUNIKATIF Karya: Anom Surya Putra ~ Naskah (calon) buku yang ditulis dalam keadaan "chaotic", non-sistematis, sedikit mengandung aforis atau metafor, tidak bermanfaat bagi praktisi hukum, dan mungkin berguna bagi pemula yang hendak membaca "hukum" dengan cara rebahan, atau bacaan ringan bagi individu yang mati-langkah dengan dunia hukum yang digeluti selama ini ~ BAGIAN KE-1: BANGUN DARI TIDUR YANG PANJANG Secangkir kopi dan teh berdampingan di meja kecil. Gemericik air dari pahatan pancuran air menemani cairan yang tersimpan di dalam cangkir kopi dan teh. Mata sembab setelah menatap ribuan kalimat di layar komputer. Jemari bergerak secara senyap, memindahkan visual pikiran dan audio batin ke dalam rangkaian gagasan. Awal. Baru memulai. Chaotic . Bangun dari tidur yang panjang.  Terlalu banyak minum kopi dan teh sungguh memicu asam lambung. Cinta yang mendalam terhadap kopi dan teh terganggu dengan asam lambung yang bergerak maraton di dalam tubuh. Kurang b...

Novel Kerumunan adalah Neraka Karya Anom Surya Putra

NERAKA ADALAH KERUMUNAN

ANOM SURYA PUTRA



SINOPSISPandemi COVID-19 menerjang, mengubah Desa Gayam yang tenteram menjadi "neraka" yang penuh ketakutan dan saling curiga. Gotong royong memudar, desas-desus dedemit bergentayangan, dan kejadian aneh menghantui desa. Mudra, pemuda desa yang menjunjung tinggi kebersamaan, menyaksikan "kerumunan" yang dulu hangat kini berubah menakutkan. Ia bertemu Vanua, sukarelawan medis yang datang dari kota yang lebih dulu merasakan "neraka" pandemi. Vanua percaya bahwa "kerumunan adalah neraka," terinspirasi dari Sartre dan Le Bon. Mudra dan Vanua, dengan pandangan berbeda tentang "kerumunan," bekerja sama mengungkap misteri desa. Mereka bertemu Sari, pewaris tradisi yang memahami kekuatan gaib. Bersama, mereka dipandu Ki Rajendra, guru spiritual yang menguasai ilmu tarot, untuk melawan kekuatan jahat dan menghadapi "neraka kerumunan" dalam berbagai bentuk. Perjalanan ini menguji persahabatan, cinta, dan keyakinan mereka.

***
01. DESA GAYAM DI KAKI TIMUR MERAPI

Desa Gayam, sebuah permata tersembunyi di kaki timur Gunung Merapi yang perkasa, memancarkan ketenangan dan harmoni. Pagi itu, embun masih menggantung di ujung dedaunan, berkilauan diterpa mentari yang baru saja menyingsing. Ayam jantan berkokok lantang, menyambut fajar dengan semangat membara. Udara desa yang segar dan sejuk membawa serta aroma tanah basah dan wangi bunga liar yang bermekaran di sepanjang jalan setapak.

"Ya ampun, si Jalu ini, setiap pagi berkoar seolah hendak memimpin demonstrasi," gerutu Marni, tetangga Mudra, sambil menyapu halaman rumahnya dengan sapu lidi. "Padahal, ayam-ayam lain masih setengah tertidur."

Mudra tertawa kecil mendengar keluhan Marni. "Namanya juga ayam, Bu. Sudah kodratnya membangunkan warga desa."

"Ya, tapi tidak perlu pakai pengeras suara juga, kan?" balas Marni, ikut tertawa.

Kehidupan di Desa Gayam berjalan sederhana dan damai. Warganya menggantungkan hidup pada pertanian dan hasil bumi. Hamparan sawah hijau membentang luas, tempat para petani bekerja keras menanam padi, jagung, dan aneka sayuran. Sungai kecil yang membelah desa mengalir jernih, menjadi sumber kehidupan bagi tanaman dan ternak, serta memberikan kesejukan di tengah hari yang terik.

Gotong royong merupakan inti dari kehidupan Desa Gayam. Setiap kali ada pekerjaan yang membutuhkan tenaga lebih, seperti membangun rumah, memperbaiki jalan, atau memanen hasil bumi, warga desa selalu bahu-membahu. Mereka bekerja bersama, berbagi suka dan duka, tanpa mengharapkan imbalan materi.

Di samping balai desa, warung Bu Minah menjadi tempat berkumpulnya ibu-ibu setiap pagi. Aroma kopi dan gorengan memenuhi udara, menciptakan suasana hangat dan akrab. Percakapan di warung menjadi denyut kehidupan sosial. Kabar dan cerita beredar dari mulut ke mulut di warung itu.

Setiap sore, anak-anak berkumpul di lapangan desa untuk bermain sepak bola atau layang-layang. Tawa dan teriakan mereka memecah kesunyian sore, menghidupkan suasana desa. Para orang tua duduk di pinggir lapangan, mengawasi anak-anak mereka sambil bercengkerama.

"Lihat tuh, si Budi, larinya kencang banget," seru Pak Karto sambil menunjuk ke arah seorang anak laki-laki yang sedang menggiring bola. "Kayak dikejar setan saja."

"Bukan kayak dikejar setan, Pak Karto," sahut Kepala Desa sambil tertawa. "Itu namanya semangat anak muda. Dulu waktu kita masih muda, juga begitu, kan?"

"Ya, Kepala Desa. Tapi kita dulu mainnya bukan sepak bola, tapi main kelereng," kenang Pak Karto sambil tersenyum. "Yang kalah kelerengnya dicoret pakai kapur."

Obrolan pun berlanjut, membawa mereka hanyut dalam kenangan masa lalu, masa-masa indah yang penuh cerita. Desa Gayam menyimpan khazanah kisah, tentang kebersamaan, persahabatan, dan cinta. Kisah-kisah itu diwariskan turun-temurun, menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas dan jati diri warga desa.

Namun, perlahan-lahan, keseharian yang akrab dan penuh kehangatan itu mulai berubah. Bayang-bayang badai mulai tampak, mengancam merenggut harmoni yang telah lama mereka rajut. Badai itu bernama pandemi COVID-19, penyakit misterius yang menyebar bagai api liar ke seluruh penjuru dunia, mengubah tatanan hidup manusia secara drastis.

Ketika berita tentang pandemi mulai menyebar, warga Desa Gayam awalnya tidak terlalu khawatir. Mereka merasa bahwa desa mereka aman dan terpencil, jauh dari hiruk pikuk kota. Namun, seiring waktu berlalu, dampak pandemi mulai merayap masuk ke kehidupan mereka. Harga kebutuhan pokok melambung tinggi, roda ekonomi desa tersendat, dan rasa takut mulai menyelimuti benak mereka. Orang-orang mulai menghindari kontak langsung, warung Bu Minah tak seramai dulu, dan lapangan desa perlahan kehilangan gelak tawa anak-anak.

"Ya ampun, harga cabai rawit kok jadi mahal begini," keluh Bu Minah di warung kelontongnya. "Padahal, baru kemarin beli sekilo, sekarang harganya sudah naik dua kali lipat."

"Inilah yang namanya pandemi, Bu Minah," sahut Mudra dengan senyum getir. "Semuanya jadi serba mahal, termasuk rasa takut."

Pemerintah desa mengeluarkan imbauan untuk menjaga jarak, mengenakan masker, dan menghindari kerumunan. Kegiatan-kegiatan desa yang biasanya ramai dan meriah mulai ditiadakan. Balai desa yang dulunya menjadi jantung aktivitas masyarakat, kini terasa sepi dan sunyi. Rasa curiga mulai menyusup di antara warga, gotong royong yang selama ini menjadi jiwa desa perlahan-lahan memudar.

Warga Desa Gayam dilanda kebingungan dan ketakutan. Mereka tak tahu pasti langkah apa yang harus diambil untuk melindungi diri dan keluarga. Mereka merasa terisolasi dan sendirian, tanpa kepastian kapan badai ini akan berlalu.

Mudra, yang selalu menjadi penopang bagi masyarakat desa, merasa sedih dan prihatin melihat kondisi ini. Ia berusaha untuk tetap optimis dan mengajak warga desa untuk tetap bersatu dan saling membantu. Namun, ia juga merasakan ketakutan dan ketidakpastian yang sama dengan warga lainnya.

Pandemi COVID-19 telah mengubah Desa Gayam yang damai menjadi sarang ketakutan dan saling curiga. Gotong royong yang menjadi ciri khas desa mulai luntur, digantikan oleh isolasi dan ketidakpercayaan. Akankah Desa Gayam mampu bertahan menghadapi badai ini? Akankah mereka mampu menemukan kembali kebersamaan dan harapan di tengah kegelapan?

***

02. PANDEMI DATANG MENGHANTUI

Kabar tentang pandemi COVID-19 akhirnya mencapai Desa Gayam. Awalnya, warga masih menyimpan ketenangan, meyakini bahwa desa mereka yang terpencil akan terhindar dari ancaman ini. Namun, seiring waktu, bayang-bayang ketakutan mulai menghantui. Dampak pandemi merayap masuk, mengubah kehidupan yang selama ini mereka kenal.

Harga kebutuhan pokok melambung tinggi, roda ekonomi desa tersendat, dan kecemasan mulai menyelimuti benak mereka. Pasar desa yang biasanya ramai oleh aktivitas jual beli kini terasa lengang. Para pedagang mengeluhkan sepinya pembeli, sementara warga yang ingin berbelanja enggan keluar rumah, khawatir akan bahaya yang tak terlihat.

"Ya ampun, harga beras kok naik lagi," keluh Bu Minah di warung kelontongnya, tempat biasa ibu-ibu desa berkumpul. "Biasanya saya beli sekilo cuma sepuluh ribu, sekarang sudah lima belas ribu."

"Kalau harga beras naik, harga mi instan juga ikut naik," timpal Bu Karti, pelanggan setia warung Bu Minah. "Anak-anak saya suka minta mi instan, tapi dompet saya tidak sanggup."

Kepala Desa, yang biasanya aktif membahas soal irigasi, kini lebih sering berbicara tentang pandemi. "Virus ini menyebar cepat dan membuat orang takut keluar rumah. Akibatnya, ekonomi kita terganggu. Tak hanya harga naik, tapi juga rasa percaya di antara kita."

Ketakutan merayap, membayangi hari-hari warga desa. Mereka tidak hanya khawatir tertular penyakit, tetapi juga cemas akan masa depan. Bagaimana mereka bisa bertahan jika ekonomi terus merosot? Bagaimana jika virus ini benar-benar sampai ke desa mereka?

Pemerintah desa mengeluarkan imbauan untuk menjaga jarak, mengenakan masker, dan menghindari kerumunan. Kegiatan-kegiatan yang biasa menjadi sumber kebersamaan kini dihentikan. Balai desa yang dulunya jantung aktivitas masyarakat kini kosong dan sunyi. Lapangan desa, yang biasanya riuh oleh tawa anak-anak yang bermain sepak bola dan layang-layang, perlahan kehilangan penghuninya.

Warung Bu Minah, tempat orang tua biasa berbagi cerita sambil menyeruput kopi, kini hanya menyisakan keheningan. Orang-orang datang dan pergi dengan tergesa-gesa, takut berlama-lama. Semua orang terpaksa mengurung diri di rumah masing-masing, terisolasi dalam ketakutan yang semakin hari semakin pekat.

Mudra, yang selalu menjadi penopang bagi masyarakat desa, merasa perih melihat perubahan ini. Ia berusaha tetap optimis, mengajak warga untuk tetap bersatu dan saling membantu seperti tradisi gotong royong yang mereka junjung tinggi. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia pun merasakan ketakutan yang sama.

Desa Gayam, yang dulunya penuh kehangatan, kini berubah menjadi desa yang sunyi dan mencekam. Kabar tentang pandemi bukan hanya merenggut kebahagiaan mereka, tetapi juga mengikis kepercayaan yang selama ini menjadi kekuatan utama desa. Rasa curiga mulai tumbuh di antara warga. Setiap batuk atau bersin membuat orang-orang saling melirik penuh waspada.

"Saya dengar, di kota sebelah, banyak orang meninggal karena virus ini," kata Pak Karto dengan suara bergetar.

"Jangan bikin takut, Pak Karto," sahut Bu Parmi, meskipun wajahnya menunjukkan ketakutan yang sama. "Kita di desa, insya Allah aman."

"Aman dari mana, Bu?" timpal Kepala Desa dengan nada getir. "Virus ini sudah menyebar ke mana-mana. Kita tidak tahu kapan akan sampai ke desa kita."

Malam semakin mencekam. Hujan turun deras, membawa suasana suram ke Desa Gayam. Tiba-tiba, terdengar lolongan anjing yang panjang dan menyayat hati. Warga desa yang sudah dicekam ketakutan semakin gelisah.

"Ini pertanda buruk," bisik seorang warga, suaranya gemetar. "Ini pasti ulah makhluk halus."

Desas-desus mulai menyebar. Ada yang mengaku melihat bayangan putih bergentayangan di pemakaman, ada yang mendengar suara tawa menyeramkan dari pohon beringin tua. Ketakutan akan pandemi bercampur dengan takhayul yang sudah lama tertanam di benak warga.

"Kemarin malam, saya melihat sendiri," kata Pak Karto dengan suara bergetar. "Sosoknya tinggi besar, matanya merah menyala. Saya langsung lari terbirit-birit."

"Saya juga mendengar suara-suara aneh," timpal Bu Minah. "Seperti suara orang menangis, tapi bukan suara manusia."

Ketakutan warga semakin menjadi-jadi. Pandemi bukan hanya membawa penyakit, tetapi juga memicu kepanikan yang tidak masuk akal. Mereka mulai mencari-cari pertanda, menghubungkan kejadian-kejadian aneh dengan situasi yang mereka hadapi.

"Ini pasti hukuman karena kita sudah melupakan gotong royong," kata seorang tetua desa. "Kita sudah saling curiga. Makhluk-makhluk halus itu marah karena kita tidak lagi bersatu."

Mudra mencoba menenangkan warga, menjelaskan bahwa semua itu hanyalah ketakutan yang berlebihan. Namun, kata-katanya mulai kehilangan makna. Warga desa lebih percaya pada desas-desus dan takhayul, pada kekuatan gaib yang mereka anggap lebih nyata daripada virus yang tak kasatmata.

Malam itu, hujan mengguyur desa tanpa ampun, seolah langit ikut menangisi keadaan yang semakin memburuk. Listrik padam, menyisakan kegelapan pekat yang hanya sesekali dipecah oleh kilatan petir. Di tengah keheningan itu, suara-suara aneh kembali terdengar.

"Suara apa itu?" bisik Bu Parmi kepada suaminya, Pak Slamet, sambil memeluk erat anak mereka.

"Entahlah, Bu," jawab Pak Slamet, meskipun wajahnya menunjukkan kecemasan. "Mungkin hanya suara angin."

Tiba-tiba, terdengar suara tawa melengking yang menusuk telinga, diikuti oleh lolongan anjing yang panjang dan menyayat hati. Suara-suara itu seolah datang dari segala arah, membuat bulu kuduk berdiri.

"Itu... itu pasti kuntilanak!" bisik Bu Parmi, wajahnya pucat pasi.

Keesokan harinya, desas-desus semakin liar. Warga desa mulai percaya bahwa pandemi ini bukan hanya ujian kesehatan, tetapi juga pertanda buruk yang berhubungan dengan dunia gaib. Mereka kehilangan harapan, kehilangan kepercayaan, dan kehilangan jati diri mereka sebagai komunitas yang kuat dan bersatu.

Pandemi COVID-19 telah merenggut lebih dari sekadar kesehatan fisik. Ia telah menciptakan ketakutan yang meresap ke dalam jiwa warga desa, menggantikan kebersamaan dengan kecurigaan, menggantikan harapan dengan keputusasaan. Akankah Desa Gayam mampu bangkit dari keterpurukan ini?

***

03. MUDRA, PENJAGA HARAPAN

Mudra lahir dan besar di Desa Gayam, menyerap setiap nilai dan tradisi yang diwariskan oleh leluhur. Desa ini bukan sekadar tempat tinggal baginya, melainkan bagian dari jiwanya. Setiap jalan setapak, setiap rumah, dan setiap wajah warga desa memiliki makna yang mendalam baginya. Ia tumbuh dengan keyakinan bahwa gotong royong adalah napas kehidupan desa, perekat yang menyatukan mereka dalam suka maupun duka.

Mudra dikenal sebagai pemuda yang bijaksana dan penuh semangat. Ia tak hanya berpartisipasi dalam kegiatan desa, tetapi juga berusaha menjaga semangat kebersamaan. Baginya, kebahagiaan sejati adalah melihat senyum di wajah sesama. Ia percaya bahwa desa bukan sekadar kumpulan rumah dan ladang, melainkan sebuah komunitas yang saling mendukung. Satu orang jatuh, yang lain akan membantu bangkit.

Namun, pandemi COVID-19 telah mengubah segalanya. Desa Gayam yang dulu damai dan penuh kehangatan kini sunyi dan mencekam. Ketakutan merayap masuk ke setiap sudut desa, perlahan menggerogoti kebersamaan yang selama ini menjadi kekuatan mereka. Warga yang dulu saling menyapa kini menjaga jarak, bahkan enggan menatap mata satu sama lain. Gotong royong yang menjadi ciri khas desa perlahan memudar, digantikan oleh isolasi dan ketidakpercayaan.

Mudra merasa perih melihat perubahan ini. Ia tak pernah membayangkan desa yang ia cintai bisa terpecah seperti ini. Ia melihat sendiri bagaimana warung Bu Minah, yang dulunya ramai oleh obrolan santai, kini hanya menjadi tempat singgah yang sepi. Ia mendengar keluhan para pedagang pasar yang kehilangan pembeli, menyaksikan anak-anak yang tak lagi berlarian di lapangan desa, dan merasakan atmosfer yang penuh kecemasan.

Namun, Mudra tidak ingin menyerah pada keadaan. Ia tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu. Jika ia membiarkan desa ini tenggelam dalam ketakutan, maka yang akan tersisa hanyalah kehancuran. Dengan tekad bulat, ia mulai berkeliling desa, berbicara dengan warga, mencoba mengembalikan semangat yang telah lama pudar.

"Pak Mudra, bagaimana ini?" tanya Bu Karti, bendahara BUM Desa, dengan wajah cemas. "Modal kita sudah menipis, pemasukan hampir tidak ada."

"Tenang, Bu Karti," jawab Mudra dengan senyum yang mencoba menenangkan. "Kita harus mencari cara lain. Mungkin kita bisa fokus pada produksi masker atau hand sanitizer, kebutuhan yang sekarang sangat tinggi."

"Tapi, siapa yang mau beli?" sahut Pak Darmo, pengurus BUM Desa lainnya. "Orang-orang sekarang lebih khawatir soal makan daripada soal kesehatan."

"Justru itu, Pak Darmo," kata Mudra. "Kita buat produk yang terjangkau, yang bisa membantu warga menjaga kesehatan tanpa memberatkan ekonomi mereka. Kita juga bisa mencari cara agar produksi ini bisa membantu mereka yang kehilangan penghasilan."

Mudra kemudian berjalan keluar kantor, menatap jalanan desa yang sepi. Ia melihat beberapa warga duduk di teras rumah, wajah mereka tampak lesu dan putus asa.

"Pak Mudra, bagaimana dengan bantuan sembako?" tanya Pak Karto, yang sedang duduk di depan rumahnya. "Kita sudah lama tidak dapat bantuan."

"Sedang diusahakan, Pak Karto," jawab Mudra. "Tapi, kita juga harus mandiri. Kita tidak bisa terus bergantung pada bantuan."

"Mandiri bagaimana, Pak Mudra?" tanya Pak Karto dengan nada getir. "Semua usaha sudah tutup, tidak ada penghasilan."

"Kita cari solusi bersama, Pak Karto," kata Mudra. "Kita punya lahan kosong, kita bisa tanam sayuran atau buah-buahan. Kita punya keahlian, kita bisa buat kerajinan tangan. Kita punya semangat, kita pasti bisa melewati ini."

Mudra kemudian pergi ke rumah Kepala Desa. Ia melihat Kepala Desa sedang duduk termenung di ruang tamu, wajahnya tampak lelah dan khawatir.

"Kepala Desa, kita harus segera ambil tindakan," kata Mudra. "Warga semakin putus asa, kita harus berikan mereka harapan."

"Harapan apa, Mudra?" tanya Kepala Desa dengan suara lesu. "Kita sendiri sudah kehilangan harapan."

"Kita punya BUM Desa, Kepala Desa," kata Mudra. "Kita punya sumber daya, kita punya warga yang kuat. Kita bisa bangkit bersama-sama."

"Tapi, bagaimana caranya?" tanya Kepala Desa. "Semua orang takut keluar rumah, semua usaha sudah tutup."

"Kita buat strategi baru, Kepala Desa," kata Mudra. "Kita manfaatkan teknologi, kita jual produk secara online. Kita buat program pelatihan online, kita berikan warga keterampilan baru."

Kepala Desa terdiam sejenak, menatap Mudra dengan pandangan penuh harapan.

"Kamu benar, Mudra," katanya akhirnya. "Kita tidak boleh menyerah. Kita harus bangkit kembali."

Mudra tersenyum. Ia tahu bahwa perjalanan masih panjang dan penuh tantangan. Namun, ia yakin bahwa bersama-sama, mereka bisa melewati masa sulit ini. Ia percaya pada kekuatan komunitas, pada semangat gotong royong yang telah mengalir dalam darah mereka.

Mudra kembali ke kantor BUM Desa, kali ini ditemani oleh beberapa pemuda desa yang masih memiliki semangat untuk membantu. Di ruangan kecil yang pengap itu, mereka berkumpul, merancang strategi untuk membangkitkan kembali ekonomi desa.

"Kita bisa mulai dengan memanfaatkan lahan kosong di belakang balai desa," kata Roni, salah seorang pemuda yang mahir bertani. "Kita tanam sayuran yang cepat panen, seperti kangkung atau bayam."

"Ide bagus, Roni," timpal Siti, seorang gadis yang pandai memasak. "Hasil panennya bisa kita olah menjadi makanan siap saji, lalu kita jual secara daring."

"Tapi, bagaimana dengan modalnya?" tanya Budi, pemuda yang memiliki usaha kerajinan tangan. "Kita kan sudah kehabisan uang."

Mudra tersenyum. "Kita bisa ajukan rencana program kerja BUM Desa kepada pemerintah desa untuk mendapatkan dana bantuan. Kita juga bisa mengajak warga untuk berinvestasi, dengan sistem bagi hasil. Tidak harus penyertaan modal dalam jumlah besar."

Mereka pun mulai bekerja, merencanakan setiap detail usaha mereka. Mereka tidak lagi merasa takut atau putus asa. Semangat gotong royong yang dulu pernah hilang kini kembali membara dalam diri mereka.

Di luar kantor BUM Desa, desa masih tampak sepi dan sunyi. Namun, di dalam hati Mudra, harapan mulai tumbuh kembali. Ia percaya bahwa setiap usaha kecil yang mereka lakukan akan membawa perubahan besar bagi desa. Ia akan terus berjuang, menjadi penjaga harapan bagi desanya.

***

04. KEDATANGAN VANUA

Vanua tiba di Desa Gayam dengan ransel besar di punggung dan trauma mendalam yang masih menghantuinya. Desa ini, dengan kesunyian dan ketenteramannya, adalah kebalikan total dari kota-kota yang baru saja ia tinggalkan—Yogyakarta, Surabaya, Depok—kota-kota yang menyisakan kenangan pahit tentang pandemi. Rumah sakit yang penuh sesak hingga lorong-lorong, suara tangisan pilu, jeritan kehilangan, serta kematian yang terasa begitu dekat, seolah bisa diraih dengan tangan.

Sebagai sukarelawan medis, Vanua telah menyaksikan bagaimana pandemi merenggut nyawa tanpa pandang bulu. Ia melihat bagaimana kerumunan yang dulu dianggap sebagai kekuatan, berubah menjadi sumber ketakutan dan bencana. Ia melihat orang-orang kehilangan rasionalitas mereka, terjerumus dalam kepanikan yang membutakan dan keputusasaan yang melumpuhkan.

Trauma itu masih segar membekas, seperti luka yang tak kunjung sembuh. Malam-malamnya sering diisi oleh mimpi buruk—ruang gawat darurat yang penuh sesak, suara mesin ventilator yang berisik, langkah kaki para petugas medis yang terburu-buru, dan panggilan darurat yang tiada henti. Setiap kali terjaga, jantungnya berdegup kencang, seolah ia masih terperangkap di dalam pusaran pandemi yang tak berujung.

Desa Gayam adalah pelarian yang ia cari. Ia berharap, di desa ini, ia bisa menemukan ketenangan yang selama ini menghindar darinya. Namun, harapannya segera pudar saat ia menyadari bahwa ketakutan juga telah mencengkeram desa ini. Ketakutan yang berbeda, tetapi sama mengakar. Warga desa saling menjauh, bukan hanya karena virus, tetapi juga karena ketakutan yang dibangun oleh desas-desus dan kepercayaan lama.

Ia mendengar bisik-bisik tentang makhluk halus, kutukan, dan hukuman dari leluhur yang marah. Ketakutan di desa ini bukan hanya tentang pandemi, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam. Ia merasa seolah-olah desa ini sedang mengalami mimpi buruk yang sama dengan kota-kota yang ditinggalkannya, hanya dalam bentuk yang berbeda.

"Ini bukan desa, ini neraka," gumam Vanua suatu malam, saat ia berjalan-jalan di sekitar desa. Ia mengingat kata-kata Sartre, "Neraka adalah orang lain." Baginya, bukan makhluk halus yang menciptakan penderitaan, melainkan manusia sendiri—dengan ketakutan, prasangka, dan kehilangan akal sehat mereka.

Vanua adalah seorang skeptis. Ia tidak percaya pada takhayul atau kekuatan gaib. Ia percaya pada rasionalitas, pada ilmu pengetahuan, pada fakta. Baginya, setiap kejadian pasti memiliki penjelasan logis. Namun, ia heran melihat bagaimana warga desa begitu mudah terpengaruh oleh desas-desus. Ia merasa kasihan, melihat bagaimana ketakutan telah menguasai mereka.

"Mereka seperti kerumunan di kota," pikirnya. "Mudah panik, mudah kehilangan kendali."

Ia teringat pada teori Gustave Le Bon tentang psikologi kerumunan. Le Bon menjelaskan bagaimana individu dalam kerumunan cenderung kehilangan identitas pribadi mereka dan lebih mudah terpengaruh oleh emosi kolektif yang kuat. Vanua merasa bahwa warga desa sedang mengalami fenomena yang serupa, meskipun dalam skala yang lebih kecil. Namun, ia juga melihat sesuatu yang berbeda. Di kota, kerumunan terbentuk secara spontan, tanpa ikatan yang kuat. Di desa, mereka terikat oleh hubungan kekeluargaan dan tradisi yang telah diwariskan turun-temurun.

Di tengah keputusasaan, satu sosok menarik perhatiannya, Mudra. Ia melihat bagaimana pemuda desa itu berusaha keras membangkitkan kembali semangat gotong royong dan kebersamaan yang mulai pudar. Mudra tampaknya percaya bahwa kerumunan bukan hanya sumber ketakutan, tetapi juga kekuatan yang, jika diarahkan dengan benar, bisa menjadi sumber harapan.

"Mungkin ada sesuatu yang berharga yang bisa kupelajari dari desa ini," pikir Vanua. "Mungkin ada cara untuk mengubah ketakutan menjadi kekuatan."

Ia memutuskan untuk menetap sementara di desa ini, bukan hanya untuk membantu warga, tetapi juga untuk menyelidiki misteri yang menyelimuti mereka. Ia merasa memiliki panggilan untuk mengembalikan rasionalitas di tengah ketakutan, untuk membimbing warga desa keluar dari labirin kecemasan yang semakin mencekik.

Malam pertama Vanua di Desa Gayam dilaluinya dengan gelisah. Bayang-bayang masa lalunya kembali menghantui, berputar seperti film kelam yang tak mau berhenti. Ia kembali melihat wajah-wajah pasien yang pucat pasi, mendengar suara napas tersengal-sengal, dan merasakan dinginnya lantai rumah sakit di bawah kakinya. Seolah ia masih berada di tengah pandemi yang tak berkesudahan.

Pagi harinya, ia memutuskan untuk keluar dan menjelajahi desa. Ia ingin melihat sendiri bagaimana warga menjalani hari-hari mereka, bagaimana mereka berjuang menghadapi ketakutan dan ketidakpastian. Jalanan desa tampak lengang. Rumah-rumah tertutup rapat, seperti cangkang yang melindungi penghuninya dari ancaman yang tak kasatmata. Beberapa warga tampak keluar rumah, tetapi mereka berjalan dengan tergesa-gesa, menghindari kontak mata.

Ia berhenti di depan warung Bu Minah, satu-satunya tempat yang tampak masih memiliki denyut kehidupan. Aroma kopi dan gorengan menyambutnya, membangkitkan selera makannya yang sempat hilang.

"Selamat pagi, Bu Minah," sapanya ramah.

"Selamat pagi, Nak," jawab Bu Minah, menatapnya dengan pandangan penuh selidik. "Anak baru di sini, ya?"

"Ya, Bu," jawab Vanua, mencoba tersenyum. "Saya sukarelawan medis, baru tiba kemarin."

"Oh, sukarelawan," kata Bu Minah, ekspresinya sedikit melunak. "Syukurlah, desa kami memang butuh bantuan."

Vanua memesan kopi dan pisang goreng. Ia mengamati Bu Minah yang tampak lelah dan khawatir. "Bagaimana keadaan desa ini, Bu?" tanyanya.

"Ya, begitulah, Nak," Bu Minah menghela napas. "Sejak pandemi, semua berubah. Warga takut keluar rumah, usaha sepi, desas-desus tentang makhluk halus pun makin menjadi."

"Desas-desus makhluk halus?" tanya Vanua, alisnya terangkat penasaran.

"Ya, Nak," kata Bu Minah, matanya menerawang. "Ada yang bilang melihat kuntilanak, ada yang dengar suara-suara aneh. Kami jadi takut keluar malam."

Saat itu, Mudra datang ke warung. Mereka saling memperkenalkan diri dengan singkat.

"Kamu sukarelawan medis?" tanya Mudra penuh harapan. "Syukurlah, kami butuh bantuan."

"Saya juga tertarik dengan desas-desus yang beredar di desa ini," kata Vanua, langsung ke intinya. "Saya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."

"Kamu percaya pada makhluk halus?" tanya Mudra.

"Tidak," jawab Vanua tegas. "Saya percaya pada rasionalitas. Saya percaya bahwa setiap kejadian pasti memiliki penjelasan logis."

Mudra tersenyum tipis. Ia melihat secercah harapan dalam diri Vanua. Jika mereka bisa bekerja sama, mungkin mereka bisa menemukan cara untuk menghadapi ketakutan yang melanda desa ini—baik yang nyata maupun yang lahir dari pikiran sendiri. Vanua pun merasa bahwa mungkin, di desa ini, ia bisa menemukan sesuatu yang selama ini hilang: makna di balik ketakutan, dan kedamaian di tengah kekacauan.

***

05. BISIKAN DARI KEGELAPAN

Desa Gayam kini terasa seperti kota yang dilanda teror, namun bukan teror dari invasi alien atau serangan robot canggih seperti yang dihadapi para pahlawan super dalam film-film. Teror yang mencengkeram desa ini jauh lebih kuno, lebih dalam, dan lebih merasuk ke dalam hati serta pikiran penghuninya. Ketakutan mereka bukan datang dari luar, melainkan dari bayang-bayang di dalam diri sendiri.

Bisik-bisik tentang dedemit semakin menjadi-jadi. Kuntilanak, dengan tawa melengkingnya, bukan sekadar sosok hantu perempuan biasa. Ia menjadi perwujudan dari ketakutan mendalam akan kehilangan dan penyesalan. Pocong, dengan kain kafannya yang membalut tubuh, bukan sekadar simbol kematian yang menakutkan, tetapi juga representasi dari masa lalu yang belum selesai. Genderuwo, dengan tubuhnya yang raksasa, melambangkan kekuatan liar yang tak terkendali, sementara Wewe Gombel menjadi personifikasi dari naluri keibuan yang terdistorsi.

Bagi sebagian warga desa, makhluk-makhluk ini bukan hanya cerita turun-temurun, tetapi kenyataan yang semakin nyata di tengah pandemi. Mereka percaya bahwa yang terjadi di desa bukan hanya wabah penyakit, tetapi juga kutukan yang menguji keimanan dan keberanian mereka.

Vanua, dengan pikiran rasionalnya, melihat fenomena ini sebagai manifestasi dari ketakutan yang berkembang liar. Baginya, ini bukan soal keberadaan makhluk halus, melainkan tentang bagaimana ketakutan menguasai dan membentuk persepsi manusia. Desa ini, seperti kota-kota yang telah ditinggalkannya, sedang menghadapi musuh yang sama—kepanikan dan kehilangan akal sehat.

Ia ingin membuktikan bahwa semua ini hanyalah hasil dari ketidakpastian dan desas-desus yang semakin membesar. Namun, berbeda dengan di kota, yang mana informasi tersebar dengan cepat melalui media sosial dan berita, di desa, ketakutan itu berkembang melalui bisikan, dari mulut ke mulut, dari mimpi yang diceritakan sebelum subuh hingga bayangan yang terlihat di sudut mata.

Sementara itu, Mudra, yang lebih memahami cara berpikir warga desa, melihat fenomena ini dari sudut yang berbeda. Ia tidak ingin membantah kepercayaan mereka secara langsung. Baginya, ketakutan itu harus dikelola, bukan disangkal. Ia memahami bahwa dalam situasi seperti ini, menolak keyakinan warga desa hanya akan membuat mereka semakin defensif dan semakin dalam terperangkap dalam ketakutan mereka sendiri.

Mudra percaya bahwa ketakutan harus dihadapi bersama. Jika dedemit adalah bagian dari cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun, maka mereka juga bisa menjadi alat untuk membangun kembali solidaritas yang mulai pudar. Ia ingin menunjukkan bahwa mereka tidak harus takut sendirian, bahwa gotong royong bisa menjadi kekuatan untuk melawan ketakutan, baik itu nyata maupun yang lahir dari pikiran mereka sendiri.

Suatu pagi, di warung Bu Minah, ketegangan mulai terasa. Percakapan yang dulu dipenuhi canda dan obrolan ringan kini berubah menjadi diskusi tentang kejadian-kejadian aneh yang semakin sering terjadi.

"Kamu lihat sendiri, kan? Tadi malam ada yang terbang di atas genteng rumahku!" seru Pak Karto kepada Vanua, matanya membelalak.

"Pak Karto, mungkin itu burung hantu," jawab Vanua tenang, sambil menyeruput kopinya.

"Burung hantu? Yang sebesar itu? Dengan mata merah menyala?" Pak Karto menggeleng. "Itu kuntilanak, Nak! Saya tahu betul!"

Vanua menghela napas. "Pak Karto, sejauh ini belum ada bukti ilmiah tentang keberadaan kuntilanak atau makhluk halus lainnya. Apa Bapak melihatnya sendiri?"

Pak Karto terdiam sejenak, lalu berkata, "Saya tidak melihat langsung, tapi anak saya yang melihat. Dia sampai pingsan!"

"Mungkin anak Bapak terlalu lelah, atau terpengaruh cerita-cerita yang beredar," kata Vanua dengan nada hati-hati. Ia tahu bahwa menyangkal langsung hanya akan memperkeruh suasana.

"Ilmiah, ilmiah... Sekarang ini, logika sudah tidak mempan! Ini zaman kegelapan!" Pak Karto menggebrak meja, membuat cangkir kopi Vanua bergetar.

Bu Minah yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. "Pak Karto, jangan begitu. Nanti malah dedemitnya marah."

"Marah? Biar saja marah! Saya sudah tidak takut!" Pak Karto beranjak dari duduknya, wajahnya merah padam. "Saya akan buktikan, dedemit itu ada!"

Vanua menghela napas panjang, merasa prihatin dengan ketakutan yang mencengkeram warga desa. Bayang-bayang ketakutan itu telah meracuni pikiran mereka, mengubah mereka menjadi sesuatu yang bahkan mereka sendiri tidak kenali.

"Kamu tidak percaya, Nak?" tanya Bu Minah, menatap Vanua dengan tatapan curiga.

"Saya percaya pada apa yang saya lihat," jawab Vanua tenang, berusaha menjaga nada suaranya tetap ramah. "Dan sejujurnya, saya belum melihat bukti keberadaan makhluk halus yang kalian bicarakan."

Bu Minah tersenyum kecut. "Nanti juga kamu percaya," katanya pelan. "Di desa ini, banyak hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Ada kekuatan lain yang bekerja di sini."

Tiba-tiba, suara teriakan memekik memecah keheningan warung. Teriakan itu datang dari luar, membuat semua orang terlonjak kaget. Tanpa berpikir panjang, mereka bertiga—Vanua, Bu Minah, dan Pak Karto—berlari keluar dan mendapati kerumunan warga telah berkumpul di depan rumah Pak RT. Suasana panik dan tegang menyelimuti mereka.

"Ada apa ini?" tanya Vanua, suaranya meninggi berusaha mengalahkan kebisingan.

"Anak Pak RT melihat kuntilanak lagi!" jawab salah seorang warga dengan suara gemetar, matanya membulat penuh ketakutan. "Dia sampai pingsan lagi!"

Vanua menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ini bukan pertama kalinya ia mendengar cerita serupa.

Mudra tiba di lokasi, menatap Vanua dengan penuh arti. "Sepertinya kita punya pekerjaan besar di depan kita," katanya.

Vanua menatap kerumunan, lalu beralih menatap Mudra. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ini bukan sekadar tentang membuktikan atau membantah keberadaan dedemit. Ini adalah tentang bagaimana mereka bisa menghadapi ketakutan bersama. Dan mungkin, hanya mungkin, di sinilah letak harapan yang selama ini ia cari.

***

06. JEJAK MISTERI

Kejadian-kejadian aneh di Desa Gayam semakin sering terjadi, tidak lagi sekadar desas-desus yang beredar dari mulut ke mulut. Kini, warga desa menyaksikan sendiri fenomena-fenomena yang sulit dijelaskan dengan akal sehat, menambah lapisan ketakutan yang telah lama mengendap di hati mereka.

Salah satu kejadian paling menghebohkan adalah penampakan jejak kaki raksasa di sawah Pak Karto. Jejak itu tampak jelas di tanah yang lembap, bentuknya menyerupai jejak kaki manusia, tetapi ukurannya tiga kali lipat dari ukuran kaki orang dewasa.

"Saya melihatnya sendiri, Nak," cerita Pak Karto kepada Mudra dan Vanua. "Jejak kaki itu muncul semalam, saat saya sedang ronda di sawah. Saya sempat menyorotnya dengan senter, tapi tidak ada siapa-siapa."

"Apa mungkin ini ulah seseorang yang memakai sepatu bot besar?" tanya Vanua, mencoba mencari penjelasan logis.

Pak Karto menggeleng. "Tidak ada orang di desa ini yang punya sepatu sebesar itu. Dan jejaknya... terlalu dalam, seperti ditinggalkan oleh sesuatu yang berat."

Belum reda perbincangan soal jejak kaki, warga desa kembali dikejutkan oleh suara tawa melengking yang terdengar di tengah malam. Suara itu bukan suara manusia biasa, melainkan sesuatu yang terdengar aneh dan menggetarkan bulu kuduk. Sumbernya selalu berasal dari pohon beringin tua di pinggiran desa, pohon yang sejak lama dipercaya sebagai tempat bersemayamnya makhluk halus.

"Tadi malam, saya mendengar suara tawa itu lagi," cerita Bu Parmi kepada tetangga-tetangganya. "Suaranya seperti perempuan, tapi aneh, tidak seperti suara manusia. Saya langsung menutup jendela dan berdoa."

"Saya juga mendengar suara langkah kaki di atap rumah," timpal Pak Slamet. "Tapi langkahnya berat, seperti sesuatu yang besar sedang berjalan di atas genteng."

Tak hanya itu, beberapa warga mengaku melihat bayangan-bayangan aneh di rumah mereka. Ada yang melihat siluet hitam melintas di lorong rumah, ada yang merasa seperti diawasi saat tidur, dan ada yang mengaku melihat sosok samar berdiri di ujung jalan saat malam tiba.

"Saya memotret anak saya yang sedang bermain di halaman rumah," cerita seorang ibu. "Tapi di fotonya, ada bayangan yang melintas di belakangnya. Padahal, saya yakin tidak ada siapa-siapa di sana."

"Saya juga melihat bayangan di kamar tidur saya," tambah seorang gadis dengan suara bergetar. "Bayangan itu bergerak, tapi tidak ada siapa pun di sana."

Semakin banyak kejadian aneh yang terjadi, semakin dalam ketakutan warga. Mereka mulai yakin bahwa desa mereka sedang dihantui oleh makhluk-makhluk dari dunia lain. Mereka merasa tidak aman, bahkan di dalam rumah mereka sendiri.

Vanua, dengan sikap skeptisnya, berusaha mencari penjelasan rasional untuk semua kejadian ini. Ia menduga jejak kaki raksasa itu mungkin ulah manusia yang iseng atau fenomena alami seperti tanah yang retak. Ia berasumsi suara tawa melengking itu berasal dari burung hantu atau hewan liar lainnya. Ia juga mencoba menjelaskan bahwa bayangan-bayangan yang muncul bisa saja efek pencahayaan atau ilusi optik.

Namun, semakin ia mencoba mencari jawaban logis, semakin sulit baginya untuk mengabaikan fakta bahwa kejadian-kejadian ini terus terjadi tanpa pola yang jelas. Ia mulai merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar ilusi atau kebetulan belaka.

Sementara itu, Mudra melihat kejadian-kejadian ini dari sudut pandang yang berbeda. Baginya, ini bukan hanya tentang apakah makhluk-makhluk halus benar-benar ada atau tidak. Ini adalah ujian bagi warga desa, ujian untuk melihat apakah mereka bisa tetap bersatu dan tidak membiarkan ketakutan menghancurkan kebersamaan yang telah mereka bangun selama ini.

"Kita tidak boleh membiarkan ketakutan menguasai kita," kata Mudra dalam sebuah pertemuan di balai desa. "Kita harus percaya pada diri kita sendiri, pada kekuatan Tuhan, dan pada kekuatan komunitas kita. Kita harus tetap waspada, tetapi jangan sampai kita terpecah oleh rasa takut."

Ia mengusulkan agar warga mengadakan ronda malam, menjaga desa bersama-sama agar mereka tidak merasa sendirian menghadapi kegelapan. Beberapa warga setuju, tetapi tidak semua. Ada yang justru semakin terjebak dalam ketakutan dan mulai menyebarkan cerita-cerita yang semakin memperburuk keadaan.

"Ini hukuman," bisik seorang tetua desa. "Kita sudah melupakan adat, sudah tidak lagi menghormati leluhur. Mungkin ini peringatan."

"Atau mungkin ini akibat dari keserakahan kita," timpal seorang ibu. "Kita terlalu sibuk dengan urusan duniawi, sampai lupa berdoa dengan khusyuk. Ini azab."

Ketakutan dan rasa bersalah mulai bercampur dalam benak warga desa, menciptakan atmosfer yang semakin menyesakkan. Mereka merasa terjebak dalam pusaran kecemasan yang tak berujung.

Melihat situasi ini, Mudra berusaha mengambil langkah nyata. Ia mengajak warga desa untuk membersihkan lingkungan, bukan hanya sebagai tindakan fisik, tetapi juga sebagai simbol untuk membersihkan pikiran mereka dari rasa takut. Mereka menyapu jalanan, membersihkan selokan, dan menanam bunga di sekitar desa. Mudra percaya bahwa dengan bertindak bersama, mereka bisa mengembalikan sedikit rasa aman dan kebersamaan di desa mereka.

Selain itu, ia juga mengajak warga untuk berdiskusi, mencari solusi bersama, bukan hanya saling menularkan ketakutan.

"Kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi," kata Mudra. "Jika ini hanya ketakutan yang semakin membesar, maka kita harus menghadapinya bersama. Jika ada sesuatu yang nyata, kita harus mengetahuinya, bukan hanya bersembunyi dalam bayang-bayang rasa takut."

Vanua, yang selama ini hanya mengamati, mulai melihat sesuatu dalam cara Mudra menangani situasi ini. Ia melihat bagaimana pemuda itu berusaha menjaga keseimbangan antara rasionalitas dan kepercayaan, bagaimana ia berusaha meredam kepanikan tanpa harus menghapus keyakinan warganya.

"Kamu benar-benar pemimpin yang hebat, Mudra," kata Vanua jujur.

Mudra tersenyum tipis. "Saya bukan pemimpin, Vanua. Saya hanya bagian dari desa ini, sama seperti yang lain."

"Tapi warga mendengarkanmu," kata Vanua lagi. "Dan itu bukan hal kecil."

"Mereka percaya pada komunitas mereka sendiri," kata Mudra. "Dan itu jauh lebih penting daripada mempercayai satu orang saja."

Vanua terdiam, merenungkan kata-kata Mudra. Ia mulai merasakan bahwa ada sesuatu yang hilang di kota-kota yang pernah ia tinggali, sesuatu yang hanya bisa ditemukan di desa seperti ini.

Mungkin, pikirnya, inilah kekuatan yang sebenarnya—bukan sekadar rasionalitas tanpa batas, tetapi kebersamaan yang membuat manusia tetap bertahan dalam menghadapi ketakutan mereka.

Di tengah semua kejadian aneh yang terus menghantui Desa Gayam, Mudra dan Vanua, meskipun memiliki keyakinan yang berbeda, tanpa sadar telah menjadi simbol harapan bagi warga desa. Mereka berdua, dengan cara mereka masing-masing, berusaha menggali kebenaran di balik ketakutan ini, mencari tahu apakah semua ini hanya ilusi dari pikiran yang lelah ataukah ada sesuatu yang lebih nyata dan lebih gelap yang sedang mengintai di balik bayang-bayang malam.

***

07. BAYANG-BAYANG MAUT

Desa Gayam, yang sudah dilanda ketakutan dan misteri, kini diguncang oleh peristiwa yang lebih mengerikan: kematian. Pak Slamet, salah satu warga desa yang aktif dalam ronda malam, ditemukan tewas di pematang sawah. Kematian itu terasa ganjil—tidak ada tanda-tanda penyakit atau serangan binatang buas, tetapi wajahnya membeku dalam ekspresi ketakutan yang mengerikan.

"Saya menemukannya pagi ini, saat hendak ke sawah," cerita Pak Karto kepada Mudra dan Vanua, suaranya bergetar. "Dia tergeletak di pematang, tubuhnya kaku, wajahnya pucat pasi."

"Apakah ada tanda-tanda kekerasan?" tanya Vanua sambil memeriksa jenazah Pak Slamet.

Pak Karto menggeleng. "Tidak ada, Nak. Tapi... wajahnya tampak seperti seseorang yang melihat sesuatu yang sangat menakutkan sebelum mati."

Kematian Pak Slamet membuat warga desa semakin panik. Mereka yakin bahwa desa mereka telah dikutuk, bahwa makhluk halus kini mulai mengambil nyawa mereka satu per satu.

"Ini pasti ulah kuntilanak!" seru seorang ibu dengan suara histeris. "Dia marah karena kita mengusik sarangnya di pohon beringin!"

"Atau mungkin genderuwo dari hutan!" timpal seorang pemuda. "Dia tidak suka kita mengganggu wilayahnya!"

Desas-desus tentang kutukan dan pembalasan dendam semakin santer. Warga desa tidak lagi merasa aman, bahkan di siang hari. Ketakutan mengakar begitu dalam hingga mereka enggan keluar rumah setelah matahari terbenam.

Vanua, yang tetap berpegang pada logika, mencoba mencari penjelasan rasional atas kematian ini. "Bisa saja ini serangan jantung atau stroke," ujarnya kepada Mudra. "Atau mungkin ada racun dalam tubuhnya. Kita perlu melakukan pemeriksaan lebih lanjut."

"Tapi bagaimana? Kita tidak punya dokter di desa ini," balas Mudra.

"Saya bisa melakukannya," kata Vanua. "Saya punya sedikit pengalaman dalam forensik. Setidaknya kita bisa mencari petunjuk lebih jelas."

Dengan izin keluarga, Vanua melakukan pemeriksaan sederhana terhadap jenazah Pak Slamet. Hasilnya mengejutkan: tidak ada tanda-tanda kekerasan, tidak ada luka, tidak ada racun yang terlihat jelas.

"Ini aneh," gumam Vanua. "Tidak ada penyebab yang jelas. Tidak ada tanda penyakit jantung atau tekanan darah tinggi. Tapi dia meninggal dengan ekspresi ketakutan yang sangat intens."

Mudra berpikir sejenak. "Mungkin dia melihat sesuatu yang membuatnya sangat ketakutan, hingga jantungnya berhenti."

"Ketakutan bisa memicu gagal jantung pada orang yang memiliki riwayat penyakit, tapi sejauh ini kita tidak menemukan bukti bahwa Pak Slamet memiliki kondisi seperti itu," kata Vanua.

Kematian Pak Slamet semakin mengentalkan suasana mencekam di Desa Gayam. Warga semakin yakin bahwa makhluk gaib benar-benar telah mengusik keseimbangan desa mereka. Rasa curiga dan paranoia menyebar dengan cepat.

Mudra merasa bertanggung jawab. Ia tahu bahwa jika ketakutan ini tidak segera diatasi, desa mereka akan semakin terpuruk dalam kegelapan. "Kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi," katanya kepada Vanua. "Kita tidak bisa membiarkan ketakutan ini merajalela tanpa bukti yang jelas."

"Aku setuju," sahut Vanua. "Tapi kita butuh lebih dari sekadar keyakinan. Kita perlu bukti yang bisa menjelaskan misteri ini."

Mereka mulai menyelidiki tempat kejadian, mencari petunjuk yang mungkin terlewat. Mereka berbicara dengan warga yang ikut ronda malam, mencatat semua kejanggalan yang mereka temukan.

Di tengah penyelidikan, sebuah fakta mengejutkan terungkap: ini bukan pertama kalinya seseorang meninggal dengan cara yang sama. Dalam beberapa tahun terakhir, ada beberapa warga yang meninggal secara misterius, tetapi kematian mereka selalu dianggap sebagai kejadian alami atau hukuman dari leluhur yang marah.

"Dulu ada Pak Jaya," cerita seorang tetua desa. "Dia ditemukan tewas di rumahnya, tanpa sebab yang jelas. Padahal, sehari sebelumnya, dia masih sehat dan bugar."

"Lalu ada Bu Lastri, pemilik warung," timpal seorang ibu. "Dia meninggal saat tidur. Tidak ada tanda-tanda sakit. Kami menganggapnya ajal biasa, tapi sekarang aku mulai berpikir ulang."

"Dan beberapa tahun lalu, ada beberapa pemuda yang jatuh di sawah dan meninggal mendadak. Seperti ada sesuatu yang mencabut nyawa mereka tanpa peringatan," tambah seorang pemuda.

Kematian-kematian itu tidak pernah diselidiki lebih lanjut. Warga hanya menerimanya sebagai bagian dari nasib, takut mencari tahu lebih jauh.

Mudra dan Vanua merasakan firasat buruk. Pola ini bukan sekadar kebetulan. Ada sesuatu yang sedang terjadi di desa ini, sesuatu yang lebih besar dari sekadar mitos atau kebetulan belaka.

Mereka mulai menggali lebih dalam sejarah desa, bertanya kepada para sesepuh tentang kejadian-kejadian aneh yang pernah terjadi di masa lalu.

"Dulu, hutan di sebelah barat desa dianggap keramat," ujar seorang kakek dengan suara lirih. "Orang-orang dulu percaya bahwa ada sesuatu yang tinggal di sana. Mereka yang masuk ke dalamnya jarang kembali."

"Apa ada yang pernah mencoba masuk ke hutan itu?" tanya Vanua.

"Tidak ada yang cukup bodoh untuk melakukannya," jawab sang kakek. "Hutan itu penuh dengan misteri. Beberapa orang yang hilang di sana tidak pernah ditemukan."

Mudra dan Vanua saling pandang. Hutan itu bisa menjadi kunci dari semua misteri ini.

"Aku rasa kita harus masuk ke hutan itu," kata Mudra dengan suara mantap.

Vanua menghela napas. "Kita bahkan tidak tahu apa yang ada di sana. Jika kita masuk tanpa persiapan, kita mungkin tidak akan kembali."

"Tapi kita tidak bisa hanya duduk diam sementara desa ini semakin terjerumus dalam ketakutan," jawab Mudra. "Jika ada sesuatu yang mengancam kita, kita harus mencari tahu apa itu."

Vanua terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah. Tapi kita harus berhati-hati. Kita harus memastikan bahwa kita siap menghadapi apapun yang menunggu di dalam sana."

Mereka tahu bahwa ini bukan hanya tentang mengungkap misteri. Ini adalah pertarungan antara ketakutan dan keberanian, antara mitos dan kenyataan. Dan mereka harus berani menghadapi apa pun yang menanti mereka di dalam kegelapan hutan keramat Desa Gayam.

***

08. MASUK KE HUTAN BARAT KERAMAT

Mudra dan Vanua mulai mempersiapkan diri untuk memasuki hutan keramat yang menyimpan sejuta misteri. Mereka membawa senter dengan cahaya paling terang, kompas untuk menavigasi belantara yang bisa menyesatkan, serta beberapa peralatan sederhana yang sekiranya bisa membantu jika terjadi hal-hal tak terduga. Sebelum berangkat, mereka menghadap Kepala Desa, meminta izin dan restu.

"Hati-hati, Mudra, Vanua," pesan Kepala Desa dengan nada berat. "Hutan itu bukan tempat biasa. Sudah terlalu banyak orang yang masuk dan tidak pernah kembali. Jangan sampai kalian menjadi bagian dari cerita seram berikutnya."

Mudra dan Vanua saling bertukar pandang, membaca tekad di mata masing-masing. Mereka memahami betul risiko yang akan mereka hadapi, tetapi kebenaran harus diungkap. Dengan langkah mantap, mereka melangkah ke dalam hutan keramat, memasuki dunia yang bagi warga desa adalah wilayah terlarang.

Langkah pertama mereka disambut oleh kesunyian yang pekat. Udara di dalam hutan terasa lebih dingin, lebih berat, seolah menekan tubuh mereka dari segala arah. Ranting-ranting yang saling berkelindan menutup sebagian besar langit, membuat sinar matahari hanya menyelinap dalam garis-garis tipis di antara pepohonan raksasa. Semak belukar liar menghalangi jalan, tetapi mereka terus melangkah, mengikuti insting dan jejak samar di tanah yang mereka yakini sebagai petunjuk.

"Aku merasa kita sedang diawasi," gumam Vanua, tangannya mencengkeram erat senter.

"Saya juga merasakannya," jawab Mudra, nada suaranya lebih rendah dari biasanya. "Tapi kita tidak boleh takut. Kita harus terus maju."

Jejak kaki aneh yang sama seperti yang ditemukan di sawah Pak Karto muncul di beberapa titik. Mereka mengikuti pola itu, semakin dalam masuk ke jantung hutan. Di satu titik, mereka menemukan pohon besar yang tumbang di tengah jalur, batangnya penuh dengan bekas cakaran.

"Lihat ini," kata Vanua, menyentuhkan jemarinya ke lekukan tajam di kulit kayu. "Cakaran ini dalam, dan lebarnya tidak masuk akal untuk hewan biasa."

"Kalau ini bukan hewan, lalu apa?" tanya Mudra.

Tidak ada jawaban. Hanya suara gemerisik dari semak-semak yang tiba-tiba bergerak di sebelah mereka. Mereka langsung siaga.

"Siapa itu?" bisik Vanua, senter di tangannya diarahkan ke semak-semak. Cahaya putih menembus dedaunan, tetapi tidak ada apa pun di sana. Hanya angin yang mengusap ranting-ranting kering.

Tiba-tiba, seekor kijang melesat keluar dari persembunyiannya, matanya penuh ketakutan. Hewan itu berhenti sejenak, menatap mereka dengan ekspresi yang sulit dijelaskan, sebelum akhirnya menghilang ke dalam kegelapan hutan.

"Kijang itu sangat ketakutan," kata Mudra. "Tapi bukan karena kita."

"Seperti ada sesuatu yang mengejarnya," timpal Vanua.

Mereka melanjutkan perjalanan dengan langkah yang lebih hati-hati. Tak lama kemudian, udara di sekitar mereka berubah. Aroma anyir mulai tercium, makin lama makin kuat. Mereka menutup hidung, mencoba mencari sumber bau itu. Tak jauh di depan, tersembunyi di balik rimbunnya vegetasi, sebuah pondok tua berdiri. Dindingnya berlumut, atapnya nyaris roboh, dan pintunya bergoyang pelan ditiup angin.

"Pondok siapa ini?" tanya Vanua, nyaris berbisik.

"Saya tidak tahu," jawab Mudra. "Tapi bau anyir ini pasti berasal dari dalam."

Dengan hati-hati, mereka mendorong pintu kayu yang lapuk. Engselnya berderit nyaring, memecah kesunyian. Begitu mereka masuk, pemandangan di dalam pondok membuat bulu kuduk mereka berdiri.

Tengkorak hewan-hewan kecil berserakan di lantai, jimat-jimat kuno dengan ukiran aneh tergantung di dinding, dan botol-botol kaca berisi cairan merah pekat berjajar rapi di rak kayu yang lapuk. Di sudut ruangan, ada lingkaran hitam yang terbakar di lantai, seolah tempat itu pernah digunakan untuk ritual yang tidak mereka pahami.

"Ini tempat ritual," kata Vanua pelan.

"Tapi ritual apa? Dan untuk apa?" tanya Mudra, matanya menyapu seluruh ruangan dengan waspada.

Sebelum Vanua sempat menjawab, langkah berat terdengar dari luar. Sesuatu bergerak mendekat. Mereka membeku di tempat.

"Seseorang datang," bisik Vanua, wajahnya tegang.

Langkah itu semakin dekat. Bayangan besar muncul di ambang pintu. Sosok itu tinggi, lebih besar dari manusia biasa. Matanya merah berpendar dalam kegelapan.

Mudra menyalakan senter dan mengarahkannya ke sosok itu. Cahaya putih menyapu wajah gelap tanpa bentuk.

Makhluk itu diam, hanya tatapan kebenciannya yang menjawab.

Syuuut.

Dalam sekejap, sosok itu menghilang, lenyap dalam kegelapan.

Mudra dan Vanua terdiam, jantung mereka berdetak kencang.

"Apa itu tadi?" tanya Mudra, suaranya bergetar.

"Entah," jawab Vanua, matanya masih menatap ke arah hutan. "Tapi bukan manusia."

"Jadi... desas-desus itu benar?"

Vanua mengangguk pelan. "Lebih dari sekadar benar."

"Lalu apa yang harus kita lakukan?"

"Kita harus keluar dari sini. Sekarang."

Mereka berlari keluar dari pondok, kembali ke jalur setapak yang mereka lalui sebelumnya. Namun, hutan terasa berbeda. Jalur yang mereka lewati tampak berubah, seperti menolak membiarkan mereka keluar.

"Hutan ini mencoba menyesatkan kita," kata Mudra, matanya menelusuri bayangan pepohonan yang tampak bergerak meskipun angin tak berembus.

"Kita tetap tenang. Jangan panik," ujar Vanua, meskipun suaranya mengandung ketegangan.

Dua hari berlalu sejak mereka masuk ke hutan. Mereka kehilangan arah. Ransum makanan menipis. Malam-malam terasa lebih panjang, lebih dingin, seolah ada sesuatu yang mengintai dari balik pepohonan.

Pada malam ketiga, suara langkah itu kembali terdengar.

Kali ini, lebih dekat. Tanpa kejelasan. 

***

09. BU LASTRI

Setelah keluar dari hutan keramat dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, Mudra dan Vanua mendapati Desa Gayam terperosok dalam kekacauan yang lebih dalam. Kematian Pak Slamet telah menyulut gelombang ketakutan baru, seperti api yang menjalar di ladang kering. Penampakan-penampakan aneh semakin sering dilaporkan, seolah makhluk-makhluk gaib sengaja menampakkan diri untuk menebar teror.

Di pasar desa, seorang ibu bercerita dengan suara bergetar kepada tetangga-tetangganya, "Tadi malam, saya melihat sosok putih melayang di atas rumah Pak RT! Suaranya mengerikan, seperti tertawa mengejek!"

Seorang pemuda menimpali dengan wajah pucat, "Saya juga mendengar suara gemuruh dari hutan. Seperti langkah kaki sesuatu yang sangat besar."

Penampakan-penampakan ini, ditambah dengan kematian misterius Pak Slamet, membuat warga semakin yakin bahwa kutukan telah menimpa desa mereka. Rasa aman lenyap, bahkan di siang hari sekalipun ketakutan tetap mencengkeram. Tidak ada lagi suasana desa yang akrab, tidak ada lagi gelak tawa anak-anak di lapangan, tidak ada lagi obrolan ringan di warung Bu Minah. Kini, yang tersisa hanyalah wajah-wajah tegang, mata-mata yang selalu waspada, dan bisikan ketakutan di setiap sudut desa.

Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah perpecahan yang mulai tumbuh. Ketakutan merobek kebersamaan warga. Kecurigaan berkembang, saling menyalahkan menjadi kebiasaan, dan gotong royong yang dulu menjadi kekuatan desa kini berganti dengan ketidakpercayaan.

"Ini semua gara-gara kalian!" seorang pria menunjuk ke arah Mudra dan Vanua, matanya menyala oleh ketakutan yang berubah menjadi amarah. "Sejak kalian kembali dari hutan, semuanya semakin buruk! Kalian membawa sial ke desa ini!"

Mudra mengangkat tangan, mencoba menenangkan kerumunan yang mulai gelisah. "Kami tidak membawa sial. Kami ingin mencari tahu kebenaran, untuk membantu desa ini. Percayalah, kami ada di pihak kalian."

"Kebenaran?" bentak pria itu. "Kebenaran adalah desa kita dikutuk! Dan kalian penyebabnya!"

Suasana menjadi semakin tegang. Warga yang tadinya hanya berbisik, kini mulai bersuara lantang. Ketakutan telah membutakan mereka, membuat mereka lebih mudah mencari kambing hitam daripada menghadapi kenyataan yang sesungguhnya.

"Mereka takut," kata Vanua pelan kepada Mudra. "Mereka berpikir kalau mereka membantu kita, mereka akan ikut menjadi sasaran."

Mudra menghela napas panjang. "Kita tidak bisa menyerah. Kita harus menemukan jawaban, sebelum semuanya semakin terlambat."

Mereka memutuskan untuk melanjutkan penyelidikan secara diam-diam, berbicara dengan warga yang masih percaya pada mereka, mencari petunjuk dari setiap sudut desa. Dan malam itu, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Saat berjalan melewati pohon beringin tua di ujung desa, mereka melihat cahaya aneh berkedip-kedip di antara dedaunan yang lebat. Mereka mendekat, mencoba mencari sumbernya.

Lalu mereka melihatnya.

Sosok putih bergentayangan di antara pepohonan. Perlahan, sosok itu berbalik, memperlihatkan wajahnya.

Wajah yang mereka kenali.

"Itu... Bu Lastri!" seru Mudra, napasnya tercekat.

Bu Lastri, pemilik warung yang meninggal beberapa tahun lalu dalam keadaan misterius. Bagaimana mungkin dia muncul di sini, dalam wujud yang menyerupai kuntilanak?

Sebelum mereka bisa bergerak, sosok itu lenyap, seolah tersapu angin.

"Ini bukan kebetulan," kata Vanua, suaranya nyaris berbisik. "Ada sesuatu di sini yang ingin kita ketahui."

Mereka segera menuju rumah Bu Lastri yang telah lama kosong. Rumah itu tampak seperti ditinggalkan begitu saja—pintu reyot, jendela berdebu, dan tanaman liar menjalar di sekelilingnya. Namun, saat mereka masuk, mereka menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar rumah kosong.

Di dalam lemari tua yang hampir runtuh, tersembunyi di balik lipatan kain lusuh, mereka menemukan sebuah buku harian. Halaman-halamannya sudah menguning, tinta di beberapa bagian mulai memudar, tetapi isinya masih bisa terbaca.

Mereka membuka halaman pertama yang terasa penting.

"Bu Lastri punya hubungan dengan hutan keramat," gumam Vanua, membaca salah satu entri dalam buku itu. "Dia sering pergi ke sana, melakukan ritual-ritual tertentu."

"Ritual? Untuk apa?" tanya Mudra, matanya menelusuri tulisan yang hampir kabur.

"Tidak dijelaskan secara rinci," jawab Vanua. "Tapi ada sesuatu yang ia cari... sesuatu yang ia anggap bisa mengubah nasibnya."

Mereka membaca lebih jauh. Dalam catatan itu, Bu Lastri menulis tentang rasa kecewanya terhadap warga desa. Ia merasa diabaikan, ditinggalkan, dan dikhianati. Ada luka mendalam di hatinya, luka yang perlahan berubah menjadi kebencian.

"Dia merasa bahwa desa ini merampas kebahagiaannya," kata Mudra lirih. "Dia ingin membalas dendam."

"Mungkin ini alasan dia kembali sebagai kuntilanak," kata Vanua. "Mungkin dia belum selesai dengan apa yang ingin dia lakukan."

Mereka terus membaca, hingga menemukan catatan yang lebih mengerikan. Di halaman-halaman terakhir, Bu Lastri menulis tentang pertemuannya dengan seseorang—seorang dukun yang tinggal jauh di dalam hutan.

"Dukun ini mengajarkan sesuatu padanya," kata Vanua, suaranya bergetar. "Sesuatu yang berhubungan dengan kematian dan arwah."

Sebelum mereka bisa mencerna informasi itu, teriakan dari luar memecah kesunyian.

Mereka berlari keluar, mengikuti suara panik warga yang berkumpul di depan pohon beringin.

"Lihat!" seru seorang pria, tangannya menunjuk ke puncak pohon.

Di atas sana, dalam bayang-bayang malam, berdiri sesosok makhluk besar, tubuhnya ditutupi bulu hitam tebal, matanya menyala merah seperti bara.

"Genderuwo," bisik Mudra, tubuhnya menegang.

Warga desa berteriak ketakutan, sebagian berlari menyelamatkan diri, sebagian lain hanya bisa menatap dengan ngeri.

"Kita harus lakukan sesuatu," kata Mudra.

"Tapi apa?" tanya Vanua. "Kita tidak punya senjata."

"Kita punya keberanian," jawab Mudra mantap.

Ini belum berakhir. Bahkan mungkin, baru saja dimulai.

***

10. DUKUN

"Dukun itu pasti memiliki kekuatan gaib yang sangat besar," kata Vanua. "Dia mungkin dalang di balik semua kejadian aneh dan kematian misterius di desa ini."

"Kita harus menemukan dukun itu," kata Mudra. "Kita harus menghentikannya sebelum dia melakukan lebih banyak kerusakan."

Mereka pun mempersiapkan diri untuk memasuki hutan keramat sekali lagi, kali ini dengan tujuan untuk menemukan gua dukun. Mereka membawa senter, jimat pelindung, dan tekad yang lebih kuat. Aura hutan terasa berbeda dari sebelumnya—lebih pekat, lebih menekan, seakan menyadari kehadiran mereka dan tidak menginginkannya.

Setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, akhirnya Mudra dan Vanua menemukan gua yang tersembunyi di balik air terjun deras. Tebing curam mengapit pintu masuk gua, seolah alam sendiri enggan membiarkan siapa pun masuk tanpa izin. Mereka melangkah masuk, disambut udara lembab dan bau dupa yang menyengat.

Di dalam gua, mereka melihatnya—dukun itu. Seorang pria tua dengan jubah kumal, duduk bersila di atas tikar usang, dikelilingi tengkorak hewan dan jimat kuno yang memancarkan aura mistis.

"Kalian datang mencari jawaban," kata dukun itu, suaranya berat dan bergetar seperti angin malam. "Tapi jawaban itu hanya akan membawa kesedihan bagi kalian."

"Kami tidak takut," jawab Mudra mantap. "Kami ingin menghentikan teror yang kau sebarkan di desa kami."

Dukun itu tertawa sinis. "Kalian tidak akan bisa menghentikanku. Aku adalah penguasa hutan ini. Desa kalian telah melupakan tradisi, melupakan leluhur. Kalian pantas mendapatkan hukuman."

"Kamu salah," kata Vanua. "Kami tidak melupakan tradisi. Kami hanya berusaha hidup berdampingan dengan alam dan kekuatan gaib dengan cara yang lebih baik."

"Kalian tidak mengerti," ujar dukun itu dingin. "Kekuatan gaib tidak bisa dijinakkan. Kekuatan itu harus dihormati dan ditakuti."

Percakapan itu terhenti ketika dukun itu mengangkat tangannya. Batu-batu mulai beterbangan, api berkobar di udara, dan suara-suara mengerikan menggema di dalam gua. Pertarungan pun dimulai.

Dukun itu mengendalikan elemen-elemen di dalam gua, menciptakan ilusi yang mengerikan. Vanua menyadari bahwa kekuatan dukun itu berasal dari jimat-jimat yang tergantung di dinding. Dengan cepat, dia mulai menghancurkannya satu per satu.

Dukun itu berteriak marah, kekuatannya mulai melemah. Melihat kesempatan itu, Mudra menyerang dengan obor yang menyala terang. Dukun itu terhuyung ke belakang, kehilangan kendali atas sihirnya, hingga akhirnya jatuh ke dalam jurang dalam yang ada di ujung gua. Suaranya menggema, lalu menghilang dalam kegelapan.

Mudra dan Vanua menghela napas lega. Mereka telah mengalahkan dukun itu, tetapi mereka tahu ini bukan sekadar pertarungan fisik—ini adalah pertempuran untuk masa depan desa mereka.

Mereka kembali ke pondok ritual dukun, mencari petunjuk lebih lanjut. Mereka menemukan sebuah buku kuno berisi catatan ritual dan mantra gaib.

"Dukun ini keturunan dari leluhur yang dulu dihormati di desa ini," kata Vanua. "Tapi dia memilih jalan balas dendam karena merasa diabaikan."

"Dia menciptakan teror ini untuk menakut-nakuti warga desa agar kembali tunduk padanya," kata Mudra. "Dia ingin dihormati dengan cara yang salah."

Mereka memutuskan untuk membawa buku kuno itu kembali ke desa, bukan hanya sebagai bukti atas apa yang telah terjadi, tetapi juga sebagai pelajaran bagi seluruh warga. Mereka ingin menghidupkan kembali tradisi gotong royong dan kebersamaan yang sempat pudar.

Saat mereka kembali ke desa, mereka disambut dengan kelegaan dan rasa syukur. Kepala Desa memeluk mereka erat-erat, dan warga mulai memahami bahwa mereka harus bersatu, menjaga tradisi tanpa terjebak dalam ketakutan buta.

"Kalian telah mengingatkan kami akan arti kebersamaan," kata Kepala Desa, suaranya bergetar. "Dan bahwa tradisi harus dijaga dengan akal sehat dan hati nurani."

Mudra dan Vanua tersenyum.

***

11. KUNTILANAK

Mudra dan Vanua duduk di tepi api unggun, mengamati warga desa yang untuk pertama kalinya dalam waktu lama bisa tersenyum kembali. Namun, di balik kegembiraan itu, mereka berdua merasakan kegelisahan yang sulit dijelaskan.

"Kita telah mengalahkan dukun itu," kata Vanua, menatap api unggun yang berkedip-kedip. "Tapi, apakah ini benar-benar akhir dari segalanya?"

Mudra menghela napas, matanya menatap gelapnya hutan keramat di kejauhan. "Aku juga tidak yakin. Ada sesuatu yang masih mengintai di sana. Aku bisa merasakannya."

"Mungkin kita hanya paranoid," kata Vanua, mencoba merasionalisasi perasaannya sendiri. "Mungkin kita sudah terlalu lama menghadapi kekuatan gaib."

"Mungkin," jawab Mudra. "Tapi aku tidak bisa mengabaikan firasat ini. Rasanya seperti ada sesuatu yang menunggu—sesuatu yang lebih besar dari dukun itu."

Saat itu juga, suara tangisan melengking terdengar dari arah hutan. Tangisan itu bukan suara manusia biasa, melainkan sesuatu yang lebih tajam, lebih menusuk, membuat bulu kuduk berdiri.

"Kuntilanak!" seru seorang warga, wajahnya pucat pasi.

Kegembiraan desa langsung buyar. Warga yang baru saja merasa aman kembali berlarian ke rumah masing-masing, menutup pintu dan jendela mereka dengan tergesa-gesa. Api unggun dipadamkan, seolah-olah cahaya bisa menarik makhluk itu lebih dekat.

Mudra dan Vanua menatap satu sama lain. Mereka tahu, tugas mereka belum selesai.

Dengan obor menyala di tangan, mereka melangkah menuju sumber suara, mengikuti jejak samar di tanah. Sesosok bayangan putih melayang di antara pepohonan, bergerak dengan cara yang tidak manusiawi—kadang cepat, kadang seakan melayang di tempat, seolah sedang menggoda mereka untuk mengejar.

"Kita harus menghentikannya," kata Mudra, mempererat genggamannya pada obor.

"Tapi bagaimana?" tanya Vanua, suaranya dipenuhi keraguan. "Kita tidak punya kekuatan gaib, Mudra. Kita hanya manusia biasa."

"Kita punya keberanian dan akal sehat," jawab Mudra. "Dan itu lebih dari cukup."

Kuntilanak itu terus memimpin mereka lebih dalam ke dalam hutan, menuju sebuah tempat yang terasa berbeda. Suasananya lebih berat, udara lebih dingin. Di depan mereka terbentang sebuah gua besar dengan dinding-dinding batu hitam yang basah. Dari dalam gua, terdengar suara gemuruh samar, seolah-olah tempat itu menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar kegelapan.

Lalu, kuntilanak itu menoleh. Mata merahnya berpendar di kegelapan, wajahnya... bukan lagi wajah manusia. Itu wajah Bu Lastri, tetapi dipenuhi kebencian yang mendalam.

"Kalian tidak akan bisa mengusirku!" suara kuntilanak itu melengking, membuat dedaunan di sekitar mereka bergetar. "Aku adalah penguasa hutan ini! Aku akan membuat kalian merasakan penderitaan yang sama denganku!"

"Bu Lastri," kata Mudra, suaranya mantap. "Kamu bukan penguasa hutan ini. Kamu adalah arwah yang tersesat, yang dikuasai oleh dendam."

"Diam!" bentak kuntilanak itu, suaranya menggelegar seperti badai. "Kalian tidak tahu apa yang telah mereka lakukan padaku! Mereka membiarkan aku mati dalam kesepian! Mereka lupa aku pernah ada!"

Vanua maju selangkah. "Kami tahu kamu merasa terkhianati. Kami tahu kamu merasa sakit hati. Tapi membalas dendam tidak akan mengembalikan apa pun. Itu hanya akan membuatmu semakin terikat di dunia ini."

Kuntilanak itu terdiam, tubuhnya bergetar. "Aku... aku tidak bisa pergi. Aku masih... marah. Aku masih ingin mereka merasakan penderitaanku."

"Lepaskan itu," kata Mudra. "Lepaskan kemarahan dan kebencianmu. Maafkan mereka yang telah menyakitimu, dan maafkan dirimu sendiri."

Tangisan kuntilanak itu berubah. Bukan lagi tangisan kemarahan, tetapi tangisan kepedihan yang mendalam. Air mata darah mengalir di pipinya.

"Aku sudah terlalu lama di sini," katanya lirih. "Aku ingin pulang..."

Sinar keemasan mulai muncul dari dalam gua, menyelimuti sosoknya yang perlahan-lahan memudar. Angin berhembus lembut, membawa kelegaan yang tak bisa dijelaskan. Kuntilanak itu akhirnya lenyap, meninggalkan keheningan yang dalam.

Mudra dan Vanua menatap gua itu, merasakan ketenangan yang baru pertama kali mereka rasakan sejak memasuki hutan ini.

Saat mereka kembali ke desa, fajar mulai menyingsing. Warga desa keluar perlahan dari rumah mereka, masih takut, tetapi berharap.

"Apakah... sudah berakhir?" tanya Kepala Desa dengan suara bergetar.

Mudra mengangguk. "Bu Lastri telah menemukan jalannya."

Warga desa saling berpandangan, lalu pelan-pelan tersenyum. Untuk pertama kalinya, rasa takut tidak lagi membayangi mereka.

Namun, baik Mudra maupun Vanua tahu bahwa ini bukanlah akhir. Masih ada hal-hal yang harus dibenahi di Desa Gayam. Ketakutan yang pernah mengakar tak akan hilang dalam semalam. Tetapi mereka telah membuktikan satu hal—bahwa keberanian, kebersamaan, dan keyakinan bisa mengalahkan kegelapan apa pun.

Dan bagi mereka, itu adalah awal dari harapan yang baru.

***

12. DUA SISI KERUMUNAN

Setelah serangkaian kejadian mengerikan dan terungkapnya kebenaran di balik semua misteri yang menghantui Desa Gayam, Mudra dan Vanua mendapati diri mereka di persimpangan jalan. Mereka memiliki tujuan yang sama: mengembalikan kedamaian dan kesejahteraan di desa mereka. Namun, cara yang mereka lihat untuk mencapai tujuan itu tampak berlawanan, bagai dua jalur yang menuju arah berbeda.

Mudra, dengan keyakinannya pada kekuatan komunitas, melihat solusi dalam persatuan. Ia percaya bahwa warga desa harus kembali merajut kebersamaan, saling mendukung, dan bahu-membahu membangun kembali desa mereka. Tradisi gotong royong, kearifan lokal yang diwariskan leluhur, adalah pilar-pilar yang ia yakini mampu menopang desa ini kembali berdiri tegak. Baginya, kerumunan adalah perwujudan dari kekuatan masyarakat. Setiap individu merasa memiliki tanggung jawab atas kemajuan bersama.

Sebaliknya, Vanua, yang membawa pengalaman pahit dari kota-kota besar saat pandemi, melihat kerumunan sebagai ancaman. Ia menyaksikan bagaimana kerumunan bisa berubah menjadi monster yang kehilangan akal sehat, dikuasai kepanikan dan emosi tak terkendali. Baginya, teori Gustave Le Bon tentang psikologi massa bukan sekadar teori; ia telah melihat sendiri bagaimana individu dalam kerumunan mudah tersulut, kehilangan rasionalitas, dan bertindak di luar batas kewajaran.

"Kita harus menghindari kerumunan," kata Vanua dengan nada serius. "Kerumunan bukan hanya sumber ketakutan, tapi juga sarang kebodohan dan bencana. Kita sudah melihat sendiri bagaimana warga desa terperangkap dalam kepanikan dan desas-desus yang tak masuk akal."

"Tapi, kita tidak bisa membangun kembali desa ini tanpa kerumunan," balas Mudra. "Gotong royong adalah nafas desa ini. Tanpa kebersamaan, bagaimana kita akan membangun rumah, menanam padi, atau mengadakan musyawarah?"

"Kita bisa melakukannya dengan cara yang lebih terstruktur," kata Vanua, mencoba mencari jalan tengah. "Kita bisa memanfaatkan teknologi, kita bisa berbagi informasi tanpa harus berkumpul secara fisik, kita bisa mencari metode baru yang lebih aman."

"Itu bukan cara kita," ujar Mudra, menggelengkan kepala. "Kita adalah masyarakat yang hidup dalam kebersamaan. Kita butuh kehadiran satu sama lain, kita butuh sentuhan, interaksi nyata. Kita tidak bisa membiarkan rasa takut menjauhkan kita dari akar budaya kita."

Perdebatan ini merambat ke warga desa. Mereka terpecah menjadi dua kubu: satu pihak mendukung Mudra, ingin kembali ke kehidupan tradisional berbasis gotong royong, sementara pihak lain setuju dengan Vanua, percaya bahwa kehati-hatian dan perubahan pola hidup diperlukan agar kejadian kelam tidak terulang.

"Mudra benar," kata seorang warga dengan lantang. "Kita harus bersatu, saling membantu, seperti yang diajarkan leluhur kita. Kita tidak boleh membiarkan ketakutan menguasai kita."

"Vanua juga benar," timpal warga lain. "Kita harus berhati-hati. Ini bukan sekadar soal tradisi, ini soal keselamatan kita. Kita tidak boleh mengulangi kesalahan yang pernah terjadi."

Dalam benak Vanua, bayangan pemikiran Le Bon semakin menghantuinya. Ia melihat bagaimana warga desa begitu mudah terbawa arus ketakutan, seperti halnya massa yang kehilangan kendali di kota-kota besar. Ia mulai bertanya-tanya, apakah manusia memang ditakdirkan untuk selalu jatuh dalam siklus yang sama—mengikuti kerumunan tanpa berpikir panjang, larut dalam emosi kolektif tanpa mempertimbangkan akibatnya?

"Mudra, kamu terlalu idealis," kata Vanua dengan frustrasi. "Aku sudah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kerumunan bisa berubah menjadi kekacauan. Orang-orang kehilangan akal sehatnya dalam sekejap. Ini sudah terjadi di kota-kota besar, dan sekarang, aku melihatnya terjadi di sini."

Mudra terdiam. Sebagai seseorang yang tumbuh dalam komunitas yang erat, ia melihat betapa besar dampak dari ketakutan yang melanda warganya. Ia tahu bahwa Vanua tidak sepenuhnya salah. Ada saat-saat ketika ketakutan kolektif mengubah manusia menjadi sesuatu yang tidak lagi rasional. Namun, ia juga percaya bahwa bukan kerumunannya yang salah, melainkan bagaimana kerumunan itu diarahkan.

"Vanua," katanya pelan, "Aku percaya bahwa ada perbedaan antara kerumunan yang buruk dan kerumunan yang baik. Kerumunan yang baik adalah yang memiliki tujuan jelas, yang saling mendukung, yang dipimpin oleh orang-orang yang memiliki kebijaksanaan dan hati nurani. Jika kita membiarkan ketakutan menguasai kita, kita akan kehilangan segalanya—bukan hanya tradisi, tapi juga jati diri kita sebagai sebuah komunitas."

Vanua menghela napas, matanya menerawang ke kejauhan. Ia ingin percaya pada kata-kata Mudra, tapi bayangan kekacauan yang pernah ia lihat di kota masih melekat kuat dalam ingatannya.

"Aku hanya tidak ingin melihat desa ini jatuh ke dalam siklus yang sama," katanya akhirnya. "Aku tidak ingin ketakutan berubah menjadi kehancuran."

"Maka kita harus mencari keseimbangan," kata Mudra. "Kita harus membangun kembali desa ini tanpa mengorbankan akal sehat, tetapi juga tanpa kehilangan semangat kebersamaan yang telah menjadi identitas kita. Kita tidak boleh membiarkan ketakutan mengendalikan kita, tetapi kita juga tidak boleh menutup mata terhadap pelajaran yang telah kita dapatkan."

Perdebatan mereka tidak berakhir begitu saja. Mudra dan Vanua masih belum sepenuhnya sepakat. 

***

13. KONFRONTASI EKSISTENSI

Desa Gayam, meskipun telah terbebas dari ancaman dedemit dan dukun yang menghantui, masih dilanda ketegangan yang kental. Perbedaan pandangan antara Mudra dan Vanua semakin tajam, menciptakan atmosfer yang penuh dengan ketidakpercayaan dan konflik yang tersembunyi di balik senyum dan sapaan.

Vanua, yang semakin terobsesi dengan gagasan eksistensialisme Sartre, terutama konsep "neraka adalah orang lain," melihat setiap interaksi dengan warga desa sebagai sumber penderitaan dan penghalang bagi kebebasannya. Ia merasa terjebak dalam "neraka" yang diciptakan oleh kehadiran orang lain, oleh tatapan dan penilaian mereka yang seolah tak pernah lepas darinya, mengikatnya dalam jaring ekspektasi dan norma sosial.

"Lihat mereka," kata Vanua kepada Mudra, dengan nada getir yang menyiratkan kepahitan, menunjuk ke arah sekelompok warga desa yang sedang bergotong royong membangun kembali rumah yang rusak. "Mereka selalu mengawasi, menilai, dan mencoba mengontrol kita. Mereka ingin kita menjadi seperti mereka, mengikuti tradisi mereka, hidup dalam kerumunan mereka yang menyesakkan."

"Mereka hanya ingin membantu, Vanua," jawab Mudra, mencoba menenangkan sahabatnya yang tampak begitu gelisah dan tertekan. "Mereka peduli pada kita, pada desa ini, pada masa depan kita bersama."

"Peduli?" Vanua tertawa sinis, tawa yang terdengar pahit dan tanpa harapan. "Itu hanya ilusi, Mudra. Mereka peduli pada diri mereka sendiri, citra mereka di mata orang lain, dan tradisi yang mereka anggap suci. Mereka tidak peduli pada kebebasan kita, individualitas kita, dan apa yang benar-benar kita inginkan."

Vanua merasa seperti karakter dalam drama "Tiada Jalan Keluar" karya Sartre, terjebak dalam sebuah kamar yang membosankan dan menyesakkan bersama dengan orang-orang yang membuatnya menderita. Ia melihat warga desa sebagai "orang lain" yang mengobjektifkan dan membatasi kebebasannya, merampas otonominya, dan membuatnya merasa terasing di tengah keramaian.

"Aku merasa seperti terperangkap di sini, Mudra," kata Vanua, suaranya bergetar, nyaris putus asa. "Aku merasa seperti kehilangan diriku sendiri, identitasku, esensi keberadaanku. Aku merasa seperti menjadi bayangan dari apa yang orang lain inginkan aku menjadi."

Mudra melihat bagaimana sahabatnya tersiksa oleh pemikirannya sendiri, oleh ketakutannya yang mendalam terhadap orang lain, terhadap kerumunan. Ia merasa bahwa ia harus membantu Vanua untuk keluar dari "neraka" yang diciptakannya sendiri, untuk menemukan kembali kebebasan dan kedamaian dalam dirinya.

"Vanua," kata Mudra, dengan suara lembut. "Kamu tidak sendirian. Kita semua mengalami penderitaan. Tapi, kita bisa memilih untuk keluar dari penderitaan itu. Kita bisa memilih untuk membangun hubungan yang sehat dengan orang lain, untuk saling menghormati kebebasan masing-masing."

"Hubungan?" Vanua mencibir. "Hubungan hanya menciptakan ketergantungan, konflik, dan penderitaan."

"Tidak semua hubungan seperti itu," jawab Mudra. "Ada hubungan yang saling mendukung, yang saling menguatkan, yang saling menghargai. Kita bisa menciptakan hubungan seperti itu di desa ini."

"Bagaimana caranya?" tanya Vanua, dengan nada skeptis.

"Dengan berdialog, dengan saling memahami, dengan saling menghormati," jawab Mudra. "Kita tidak harus setuju pada semua hal, tapi kita harus bisa menghargai perbedaan."

Namun, semakin lama, pemikiran Vanua semakin menjauhkannya dari warga desa. Ia mulai menghindari kegiatan gotong royong, semakin sering menyendiri, dan memandang warga dengan penuh curiga. Sampai akhirnya, kata-katanya sendiri menjeratnya dalam konflik besar.

Suatu hari, dalam perdebatan panas dengan Mudra di depan beberapa warga desa, Vanua dengan lantang berkata, "Kalian semua adalah boneka yang tak berakal, hidup dalam kerumunan tanpa berpikir! Aku tidak ingin menjadi bagian dari kalian!"

Ucapan itu menyulut api kemarahan. Warga desa yang mendengarnya merasa terhina. Desas-desus menyebar cepat, dan dalam hitungan jam, kerumunan warga berkumpul di depan rumah Kepala Desa, menuntut kejelasan.

"Vanua telah menghina kita!" seru seorang warga dengan suara lantang. "Jika dia tidak ingin menjadi bagian dari desa ini, sebaiknya dia pergi!"

Mudra mencoba menenangkan mereka, tapi suasana sudah terlalu panas. Vanua sendiri tidak membela diri, hanya berdiri diam dengan wajah kosong, seolah semua ini sudah ia prediksi sejak lama.

"Vanua," kata Mudra, dengan suara sedih dan penuh kekecewaan. "Kamu telah menyakiti mereka. Kamu juga telah menyakitiku."

Vanua menatap Mudra, lalu mengalihkan pandangannya ke kerumunan warga yang marah. Dia merasa terisolasi, benar-benar sendirian di dunia yang tiba-tiba terasa dipenuhi dengan "neraka" yang ia ciptakan dalam pikirannya.

"Aku... aku akan pergi," katanya dengan suara pelan, hampir tak terdengar. Tanpa menunggu jawaban, dia berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan desa yang pernah ia sebut rumah, meninggalkan Mudra, dan meninggalkan semua yang ia kenal.

Mudra terpaku, menatap kepergian Vanua, merasakan campuran kesedihan dan kekecewaan yang menyesakkan dadanya. Ia tahu bahwa Vanua telah membuat kesalahan besar, bahwa kata-katanya telah melukai banyak hati. Namun, ia juga tahu bahwa Vanua adalah orang yang baik, orang yang sedang berjuang dengan pemikirannya sendiri, dengan ketakutan dan keraguan yang menghantuinya.

Dia berharap dalam hati, semoga Vanua akan menemukan kedamaian yang ia cari, menemukan kebebasan yang ia idam-idamkan. Tapi jauh di dalam lubuk hatinya, Mudra menilai bahwa jalan yang Vanua pilih adalah jalan yang sangat sepi, jalan yang mungkin akan membawa Vanua pada kesengsaraan yang lebih dalam.

***

14. PERGI UNTUK KEMBALI

Setelah meninggalkan Desa Gayam, Vanua berjalan tanpa tujuan yang jelas. Ia mengembara dari satu tempat ke tempat lain, mencari ruang di mana ia bisa benar-benar merasa bebas dari tatapan dan penilaian orang lain. Namun, semakin jauh ia melangkah, semakin ia merasa asing, semakin ia menyadari bahwa kebebasan yang ia dambakan tidak datang dari keterasingan.

Di setiap desa yang ia singgahi, ia melihat berbagai bentuk komunitas: ada yang hidup dalam kebersamaan yang erat, ada pula yang penuh dengan ketidakpercayaan dan konflik. Ia menyaksikan bagaimana masyarakat bertahan, membangun, dan melindungi satu sama lain dalam kebersamaan. Hal ini membuatnya mulai merenungkan kembali pemikirannya tentang kerumunan, tentang "neraka adalah orang lain," dan tentang rasa takutnya terhadap hubungan sosial.

Dalam kesendiriannya, ia kembali mengingat Desa Gayam. Ia teringat bagaimana warga desa menyambutnya, bagaimana mereka bekerja sama untuk membangun kembali rumah-rumah yang hancur, bagaimana mereka tetap saling membantu meskipun sempat dilanda ketakutan dan perpecahan. Ia juga teringat kata-kata Mudra, tentang bagaimana hubungan antar manusia bukan sekadar jebakan sosial, melainkan bisa menjadi sumber kekuatan dan harapan.

Sementara itu, di Desa Gayam, kepergian Vanua meninggalkan kekosongan. Ada yang merasa lega, ada yang masih marah, tetapi banyak juga yang mulai merindukannya. Mudra, yang paling memahami Vanua, terus mencoba menjaga semangat kebersamaan di desa. Ia mengajak warga untuk tidak hanya melihat kesalahan Vanua, tetapi juga memahami ketakutannya, memahami perjalanannya mencari kebenaran.

"Vanua pergi bukan karena dia membenci kita," kata Mudra dalam sebuah pertemuan desa. "Dia hanya belum menemukan tempatnya. Dia sedang mencari jawaban yang mungkin belum bisa kita berikan. Tapi aku yakin, suatu saat, dia akan kembali."

Tidak semua warga setuju. Beberapa masih merasa tersinggung oleh kata-kata Vanua yang dulu menyinggung mereka. Namun, ada juga yang mulai melihat bahwa Vanua hanyalah manusia yang berjuang dengan pikirannya sendiri, sama seperti mereka.

Beberapa bulan berlalu. Vanua akhirnya tiba di sebuah desa terpencil di kaki gunung, Desa Kampung Tujuh—sebuah desa yang selama ini ingin ia kunjungi sejak pandemi, tetapi tak pernah kesampaian. Desa itu lebih kecil dari Gayam, tetapi memiliki kehidupan sosial yang unik. Masyarakatnya hidup dalam harmoni, tetapi bukan tanpa aturan. Mereka memiliki cara tersendiri untuk menjaga keseimbangan antara individualitas dan kebersamaan.

Selama beberapa minggu di Kampung Tujuh, Vanua mulai memahami sesuatu yang selama ini ia tolak: kebersamaan bukanlah penjara, dan tradisi bukanlah sekadar cara untuk mengikat orang dalam aturan yang mengekang. Ia melihat bagaimana warga desa menjaga identitas masing-masing, tetapi tetap berkontribusi bagi komunitasnya. Tidak ada pemaksaan, hanya rasa saling menghormati dan pengertian.

Suatu malam, saat ia duduk di tepi sungai yang mengalir tenang, ia merenungkan kembali perjalanannya. Ia menyadari bahwa masalahnya bukan pada Desa Gayam, bukan pada warga desa, tetapi pada dirinya sendiri—pada ketakutan dan prasangka yang selama ini ia pelihara. Ia teringat kembali kata-kata Mudra, tentang bagaimana manusia bisa memilih jalan keluar dari neraka yang mereka ciptakan sendiri.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Vanua merasa bahwa ia ingin kembali. Bukan karena ia tidak bisa bertahan di tempat lain, tetapi karena ia ingin menghadapi kembali desa yang dulu ia tinggalkan. Ia ingin membuktikan bahwa ia telah berubah, bahwa ia telah belajar, dan bahwa ia siap untuk menerima kebersamaan tanpa merasa kehilangan dirinya sendiri.

Dengan hati yang lebih tenang dan pikiran yang lebih terbuka, Vanua ini menuju kembali ke Desa Gayam. Namun, kali ini, ia singgah dulu ke tempat yang memberi kekuatan eksistensinya: desa Kampung Tujuh. “Aku akan kembali ke Desa Gayam setelah kutemukan perenunganku di Kampung Tujuh. Kebebasan sejati bukanlah tentang melarikan diri dari orang lain, tapi kemampuanku untuk membangun hubungan yang saling menguatkan.”

***

15. SARI

Senja merayap turun di Desa Gayam, membawa serta keheningan yang menyesakkan, seolah-olah seluruh desa menahan napas. Sari duduk di beranda rumahnya yang sederhana, memeluk erat buku Sadajiwa, kitab kuno yang menyimpan rahasia leluhur. Di atas meja kayu di hadapannya tergeletak Keris Pasopati, warisan pusaka yang kini terasa begitu berat di tangannya. Cahaya senja yang memudar memantulkan kilatan samar di bilah keris itu, seakan mengingatkannya akan beban yang kini ia pikul.

Bukan hanya cerita tentang Mudra dan Vanua yang memenuhi benaknya, atau kisah tentang perjuangan dan perbedaan pandangan mereka yang kini mulai mereda. Malam ini, pikirannya dipenuhi oleh gambaran dari petilasan Ni Grenjeng. Batas antara dunia nyata dan dunia gaib terasa begitu tipis. Bisikan-bisikan halus dari mata air purba, bayangan dedemit yang menari-nari di antara pepohonan tua—semuanya terasa nyata, begitu dekat, seolah-olah baru saja terjadi di hadapannya.

"Mereka bukan sekadar makhluk mitos," bisiknya, suaranya hampir tenggelam dalam desah angin yang membawa aroma tanah basah. "Mereka adalah bahasa lain, cara desa ini berbicara tentang luka-luka yang tak terlihat, tentang trauma yang diwariskan dari generasi ke generasi."

Sejak pagebluk melanda, ketakutan telah menjadi hantu yang menghuni setiap rumah dan setiap hati. Desas-desus tentang dedemit, yang awalnya hanya dongeng pengantar tidur, kini menjadi mantra yang mengikat warga desa dalam teror yang mencekam. Sari melihat dengan jelas bagaimana ketakutan itu dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu, dibisikkan ke telinga para pemimpin desa, dihembuskan ke dalam rapat-rapat hingga menjadi kebijakan yang membungkam kebebasan dan akal sehat.

Namun di tengah kegelapan itu, ia juga melihat percikan lain—kekuatan yang tumbuh diam-diam di balik ketakutan, sesuatu yang mungkin belum disadari oleh banyak orang. Di balik mata yang sembab karena air mata dan doa, ada tekad untuk bertahan. Di balik suara-suara sumbang tentang kutukan dan azab, ada harapan yang tersimpan rapi, menanti fajar baru untuk menyingsing.

"Dedemit adalah cermin," tulisnya dalam buku catatannya, dengan tinta yang mengalir seperti air mata yang tak tertahan. "Mereka bukan monster dari luar, melainkan bayangan kita sendiri, sisi gelap yang muncul ketika cahaya harapan meredup."

Sari memutuskan untuk keluar dari rumah, menyusuri jalan setapak yang menuju rumah-rumah warga. Malam ini, ia bukan hanya Sari, pegiat literasi dan penjaga pusaka. Ia adalah pendongeng, penenun kata yang akan mengubah ketakutan menjadi pemahaman.

Di rumah Bu Parmi, ia mengetuk pintu bambu dengan lembut. Di dalam, terdengar isak tangis anak-anak.

"Bu Parmi," panggil Sari. "Bolehkah saya masuk? Saya ingin bercerita."

Bu Parmi membuka pintu dengan wajah sembab, matanya merah karena kurang tidur. "Masuklah, Sari," katanya, suaranya bergetar. "Anak-anak takut. Mereka mendengar suara kuntilanak di dekat pohon beringin." Trauma kematian suaminya, Pak Slamet, masih membekas di hati dan pikirannya.

Sari duduk di dekat perapian, dikelilingi anak-anak yang memeluk lutut mereka. Ia mulai bercerita—bukan tentang kuntilanak yang menakutkan, tetapi tentang kuntilanak yang kesepian, yang merindukan anaknya yang telah pergi. Ia bercerita tentang genderuwo yang marah karena hutannya dirusak, tentang tuyul yang menangis karena lapar. Setiap cerita bukan hanya hiburan, tetapi juga pesan—bahwa dedemit bukan sekadar ancaman, melainkan juga simbol dari luka-luka yang perlu dipahami.

Ketika fajar mulai menyingsing, Sari keluar dari rumah Bu Parmi dengan langkah ringan. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menghapus ketakutan warga desa dalam semalam, tetapi ia bisa mengubah cara mereka melihatnya. Ia bisa mengubah dedemit dari monster menjadi cermin, dari mimpi buruk menjadi pelajaran.

Malam-malam berikutnya, Sari menjelajahi desa, membawa serta kisahnya. Di rumah Pak Karto, ia menggubah legenda genderuwo menjadi balada tentang hutan yang merindukan penjaganya. Di warung Bu Minah, ia melantunkan syair tentang tuyul, bukan sebagai pencuri harta, tetapi sebagai pengingat tentang ketidakadilan yang merongrong desa. Setiap cerita menjadi jendela bagi warga desa untuk melihat dunia dari sudut pandang lain, untuk memahami bahwa ketakutan mereka bukanlah kutukan, tetapi sesuatu yang bisa dijinakkan dengan pemahaman.

Namun, suatu malam, di rumah Kepala Desa, Sari mendengar percakapan yang membuatnya terdiam.

"Kita harus lebih keras," kata Kepala Desa, suaranya berat. "Kita tidak bisa membiarkan ketakutan menguasai desa."

"Tapi, Pak," sahut seorang perangkat desa, ragu-ragu. "Warga sudah lelah. Mereka butuh harapan, bukan tekanan."

"Harapan macam apa?" bentak Kepala Desa. "Kita hidup di masa sulit. Kita harus kuat, tegas!"

Sari merasakan getaran kemarahan dan ketakutan yang menyelimuti ruangan itu. Ia melihat bagaimana kekuasaan, bahkan dengan niat terbaik, bisa membutakan. Ia melihat bagaimana ketakutan, jika tidak dikelola dengan bijak, bisa berubah menjadi tirani.

Malam itu, Sari berjalan pulang dengan langkah berat. Ia merenungkan perannya—bukan sekadar pendongeng, tetapi juga saksi, penasihat, dan mungkin, pemberontak.

Ia menatap Keris Pasopati yang berkilauan di bawah cahaya bulan. Bisikan-bisikan gaib mengalir dari bilahnya, suara-suara kuno yang berbicara tentang perjuangan, pengorbanan, dan harapan.

"Mungkin," gumamnya, matanya menatap langit malam yang luas. "Mungkin ini bukan hanya tentang cerita. Mungkin ini tentang tindakan."

Ia pun bangkit, mengambil Keris Pasopati, dan berjalan menuju hutan Gayam. Ia tidak tahu apa yang akan ditemukannya, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa lagi hanya berbicara. Ia harus bertindak, untuk desanya, untuk dirinya sendiri, untuk semua cerita yang telah ia dengar, untuk semua bisikan yang telah ia tampung.

***

16. VANUA DI KAMPUNG TUJUH

Vanua berjalan kaki saat matahari belum menyentuh puncak bukit. Perjalanan menuju Kampung Tujuh adalah ziarah sunyi, napasnya beradu dengan kabut pagi yang menggantung di lembah. Ia telah meninggalkan kota belasan tahun lalu, mencari ruang di mana dinding-dinding beton tak lagi mencekik dan kesunyian bukan lagi penjara.

Saat kaki menyentuh tanah Kampung Tujuh, perjalanan batin Vanua berubah arah. Kampung itu hanya dihuni oleh tujuh kepala keluarga, hidup dalam harmoni yang seimbang dengan alam. Di sinilah ia menemukan ketenangan pada masa belia, membangun rumah bambu sederhana berjarak tujuh meter dari kompleks makam leluhur. Rutinitasnya saat itu begitu sederhana: mengumpulkan madu, membakar dupa cendana, dan menari dengan langkah-langkah yang mengalir seperti sungai.

Namun, kini ketenangan itu terusik. Pagebluk melanda, membawa pesan kematian yang mengintai di setiap sudut kehidupan. Warga Kampung Tujuh dilanda ketakutan yang merambat seperti api di ladang kering. Mereka takut kehilangan kendali, takut pada dunia yang berubah lebih cepat daripada yang mampu mereka pahami.

Vanua merasakan riak-riak ketidaknyamanan di antara mereka. Setiap berita tentang kematian, setiap bisikan ketakutan, seperti duri yang menusuk jiwanya. Ia mencoba menenangkan diri dengan membakar dupa, tetapi bayang-bayang kecemasan terus mengikutinya. Seperti cermin, ia memantulkan kekhawatiran warga Kampung Tujuh, merasakan gelombang keresahan yang mereka coba sembunyikan.

Di tengah kebingungan itu, Vanua mencari jawaban dalam meditasi. Di taman bisu, dikelilingi kunang-kunang yang berkelip, ia menelusuri lorong-lorong pikirannya. Ia mencoba memahami sumber kegelisahannya, memisahkan ketakutan pribadi dari ketakutan kolektif yang menguasai Kampung Tujuh.

"Aku takut sakit," bisiknya kepada kunang-kunang yang melayang di sekitarnya. "Aku takut miskin, takut tidak bisa beradaptasi."

Vanua menyadari bahwa ketakutannya bukan hanya tentang pagebluk, tetapi juga tentang ketidakmampuannya menerima perubahan, tentang keengganannya melepaskan zona nyaman. Ia melihat dirinya seperti genangan air yang meluap, terombang-ambing antara masa lalu yang menyakitkan dan masa depan yang tidak pasti.

Tiga jam berlalu dalam meditasi. Saat ia membuka mata, dunia tampak berbeda. Keheningan taman bukan lagi ruang hampa, melainkan ruang yang penuh kehadiran. Ia merasa terhubung dengan alam semesta, dengan kunang-kunang, pohon-pohon akasia, dan setiap helaan napas yang dihembuskannya.

Namun, ada sesuatu yang masih mengganjal. Ia merasa seperti berjalan bolak-balik antara masa lalu, masa kini, dan masa depan, terjebak dalam lingkaran kecemasan yang tak berujung. Ia tahu, perjalanan ini belum berakhir.

Ia bangkit, berjalan menuju rumah bambunya yang berada dekat kompleks makam. Bulan purnama menerangi halaman yang ditumbuhi pohon akasia, menyoroti rumah lebah yang berderet di batang-batang pohon. Suara jangkrik dan burung hantu menyambutnya—nyanyian malam yang begitu akrab, namun terasa asing malam ini.

Saat memasuki rumah bambunya, ia merasakan kehampaan yang tak biasa. Debu dan aroma dupa cendana masih terasa, tetapi ada keheningan yang lebih pekat. Seolah-olah rumah ini telah lama menantinya, menunggu sesuatu untuk terjadi.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari luar. Vanua keluar dan melihat Bu Ros, Kepala Desa Kampung Tujuh, berdiri di dekat gerbang makam.

"Bu Ros?" tanya Vanua, terkejut. "Ada apa?"

"Aku melihatmu kembali," kata Bu Ros dengan suara pelan. "Aku khawatir, Vanua. Kamu tampak berbeda."

"Aku hanya... sedang mencari jawaban," jawab Vanua.

"Jawaban apa?"

Vanua terdiam. Bagaimana ia bisa menjelaskan pergulatan batinnya? Ketakutannya akan "neraka adalah orang lain," kerinduannya akan kebebasan? Bu Ros, dengan kesederhanaannya, mungkin tidak akan mengerti.

"Aku... aku merasa kehilangan arah," ucap Vanua akhirnya.

Bu Ros tersenyum lembut. "Kamu memiliki arah, Vanua. Kamu membawa harapan bagi kampung ini."

"Harapan?" Vanua tertawa hambar. "Aku membawa ketakutan, Bu Ros. Aku membawa kekhawatiran dan aku membuat orang lain takut."

"Itu karena kamu melihat ketakutan mereka sendiri," jawab Bu Ros. "Kamu adalah cermin, Vanua. Kamu melihat apa yang mereka sembunyikan."

Vanua terdiam. Ia merenungkan kata-kata Bu Ros, menyadari ada kebenaran di dalamnya.

"Aku takut," katanya akhirnya. "Aku takut pada orang lain, takut pada diri sendiri."

"Ketakutan adalah bagian dari manusia," kata Bu Ros. "Tapi kita tidak boleh membiarkan ketakutan itu menguasai kita."

"Bagaimana caranya?"

"Dengan berani menghadapinya," jawab Bu Ros. "Dengan berani melihat diri kita sendiri, dengan segala kekurangan dan kekuatan kita."

Mereka terdiam sejenak. Bu Ros mendekat, menepuk bahu Vanua dengan lembut. "Kamu adalah bagian dari kampung ini, Vanua. Kamu bukan orang asing di sini."

Vanua merasa terharu. Ia melihat ketulusan dalam mata Bu Ros. Ia menyadari bahwa tidak semua "neraka" berasal dari orang lain. Kadang, "neraka" itu ada dalam pikirannya sendiri.

Malam itu, Vanua kembali bermeditasi di rumah bambunya. Namun kali ini, meditasinya berbeda. Ia tidak lagi mencari jawaban, tetapi penerimaan. Ia belajar untuk menerima ketakutannya, menerima dirinya sendiri, menerima "orang lain."

Esok paginya, Vanua mengunjungi kompleks makam Kampung Tujuh. Ia membaca nama-nama yang terukir di batu nisan, membayangkan kehidupan mereka yang pernah menghuni kampung ini. Di salah satu makam, ia menemukan batu nisan tua dengan ukiran rumit. Saat ia menyentuhnya, ia merasakan getaran aneh.

"Siapa kamu?" bisiknya.

Tiba-tiba, suara serak terdengar, seolah berasal dari dalam tanah.

"Aku adalah penjaga keseimbangan," suara itu berkata. "Keseimbangan antara dunia nyata dan dunia gaib, antara manusia dan alam, antara ketakutan dan harapan."

"Apa maksudmu?" tanya Vanua.

"Desa Gayam sedang berada di persimpangan jalan. Kamu memiliki peran untuk menjaga keseimbangan."

"Aku? Tapi aku bukan siapa-siapa."

"Kamu adalah orang yang melihat apa yang tidak dilihat orang lain, yang mendengar apa yang tidak didengar orang lain. Kembalilah ke Desa Gayam. Di sana, kamu akan menemukan jawaban."

Vanua ragu. Ia takut kembali ke desa yang telah mengusirnya. Namun, ia merasa ada dorongan kuat dalam dirinya. Ia harus kembali.

Dengan langkah mantap, Vanua meninggalkan Kampung Tujuh. Perjalanannya bukan hanya perjalanan fisik, tetapi perjalanan batin. Ia tidak lagi pengembara yang melarikan diri, tetapi seorang penjaga yang kembali ke medan pertempuran.

Saat ia berjalan, ia teringat kata-kata Bu Ros: "Kamu adalah cermin, Vanua." Kini, ia bertekad membersihkan cermin itu, membiarkan cahaya kebenaran bersinar. Dengan kunang-kunang di hatinya, ia siap kembali ke Desa Gayam.

***

17. RONTEK DAN NI GRENJENG

Senja melukis langit Desa Gayam dengan warna keemasan, tetapi Mudra tak lagi peduli keindahannya. Macetnya perputaran dana bergulir BUM Desa mendominasi pikirannya. Salah satu penunggak terbesar adalah Rontek, lelaki bertubuh kekar dengan ilmu kebal yang membuatnya tak mudah ditagih. Sejak pertama kali meminjam uang, Rontek selalu menghindar saat tiba waktunya membayar.

"Aku harus menagihnya," gumam Mudra, menatap wajah Bu Raisa yang penuh kekhawatiran. "Tapi wajahnya itu, Bu. Seperti matahari saat pinjam uang, seperti kelinci saat ditagih. Terakhir, aku malah disambut parang."

"Jangan bercanda, Mudra!" seru Bu Raisa, memasuki ruang kerja BUM Desa. "Rontek itu sakti. Orang-orang bilang dia bersemadi di mata air purba."

"Mungkin aku harus ikut bersemadi," jawab Mudra, melirik ke arah mata air purba yang sepi. "Siapa tahu Rontek mau bayar."

Malam itu, Mudra mencoba bermeditasi di rumahnya. Ia menyadari napasnya, menerima pikiran yang melompat-lompat seperti monyet di pepohonan. Wajah Rontek, dengan senyum mengejeknya, hadir di alam bawah sadarnya.

"Dasar monyet!" umpatnya dalam hati. "Kenapa aku harus berurusan dengan orang seperti dia?"

Tiga puluh menit berlalu, penuh perjuangan melawan pikiran-pikiran yang mengganggu. Mudra akhirnya berhasil menenangkan diri. Saat masuk lebih dalam ke keheningan, bayangan Ni Grenjeng muncul, berjalan di tepian mata air purba.

"Aku tahu rapal mantramu," kata Ni Grenjeng, suaranya serak. "Aku lelah dimanipulasi manusia. Mereka hanya memanfaatkanku."

"Apa yang kamu butuhkan?" tanya Mudra.

"Kejernihan batin," jawab Ni Grenjeng. "Agar aku bisa kembali ke alam asal."

Mudra terdiam, merenungkan kata-kata itu. Ia merasakan beban berat di pundaknya, beban yang bukan hanya tentang utang, tetapi juga beban sejarah, manipulasi, dan jiwa-jiwa yang terperangkap.

Keesokan harinya, Mudra mengunjungi rumah Rontek. Ia menatap mata lelaki itu, tepat di antara kedua alisnya. Keajaiban terjadi. Sambutan ramah, suguhan kue lebaran, bahkan janji pembayaran cicilan.

"Maaf, Mas," kata Rontek, suaranya lebih lembut dari biasanya. "Kami hanya punya sedikit uang. Tapi ini hasil keringat kami sendiri."

Mudra lega, tetapi di sudut matanya, ia melihat pendaran putih di samping Rontek, dan suara batin berbisik, "Sampaikan padanya untuk mendoakanku. Sentuh tangannya."

Dengan setengah merinding, Mudra menuruti perintah itu. Ia tak peduli suara itu berasal dari mana, yang penting, cicilan terbayar. Rontek pun terdiam setelah mendengar pesan yang disampaikan oleh Mudra.

Malam harinya, Mudra bermimpi. Ni Grenjeng bercerita tentang utangnya pada zaman kolonial. Tentang fitnah dan kegilaan. "Tatap mata pembayar cicilan dengan keheningan, banyak kejutan yang kau dapat. Yang telah dilakukan leluhur, sempurnakanlah, Nak..." Ungkapan itu mirip dengan pesan batin yang didengarnya ketika bertemu Rontek.

Mudra terbangun, merinding, namun bukan karena takut. Ia duduk bersila, merenungkan pesan Ni Grenjeng. Utang, sejarah, dan karma leluhur, semuanya terjalin dalam satu benang kusut.

Hujan angin mengguncang desa, atap rumah berderit. Mudra bangkit, berjalan gontai untuk mengunci pintu, berupaya memejamkan mata. Hujan terus mengguyur Desa Gayam, seolah langit ikut merasakan gundah yang mengusik batin Mudra.

Pagi berkabut. Hujan telah reda, menyisakan aroma tanah basah dan kabut tipis yang menggantung di lembah. Mudra memutuskan untuk kembali mengunjungi mata air purba, tempat Ni Grenjeng bersemayam. Ia ingin memahami lebih dalam tentang arwah itu, tentang utang pada zaman kolonial, fitnah, dan kegilaan.

Sesampainya di mata air, Mudra merasakan aura yang berbeda. Tempat itu terasa sunyi, namun penuh dengan energi yang kuat. Ia duduk bersila di tepi mata air, memejamkan mata, mencoba untuk merasakan kehadiran Ni Grenjeng.

"Ni Grenjeng," panggilnya dalam hati, "aku ingin tahu lebih banyak tentangmu."

Tiba-tiba, bayangan Ni Grenjeng muncul di permukaan air, seperti pantulan cermin dari masa lalu. Ia melihat wajah arwah itu, bukan wajah yang menakutkan, melainkan wajah yang penuh kesedihan.

"Aku terperangkap di sini," kata Ni Grenjeng, suaranya mengalir seperti desiran air. "Utang itu, fitnah itu, telah mengikatku di dunia ini. Aku tidak bisa pergi, tidak bisa menemukan kedamaian."

"Apa yang bisa aku lakukan?" tanya Mudra.

"Bantu aku melunasi utang itu," jawab Ni Grenjeng. "Bukan utang uang, melainkan utang kebenaran. Fitnah itu harus diluruskan, sejarah itu harus diungkap."

"Sejarah apa?" tanya Mudra.

Ni Grenjeng bercerita tentang zaman kolonial, Volkscredietbanken, utang yang menumpuk, dan fitnah yang merusak nama baiknya. Ia bercerita tentang pengucilan, kegilaan, dan kematian yang tidak wajar.

Mudra mendengarkan dengan seksama, hatinya terenyuh oleh kisah tragis itu. Ia menyadari bahwa utang bukan hanya tentang uang, tetapi tentang harga diri, keadilan, dan warisan leluhur.

"Aku akan membantumu," kata Mudra, tekadnya bulat. "Aku akan mencari tahu kebenaran, aku akan meluruskan sejarah."

"Terima kasih," kata Ni Grenjeng, senyum tipis terukir di wajahnya. "Tapi ingat, Mudra, kebenaran itu pahit. Akan ada rintangan, dan marabahaya."

"Aku siap menghadapinya," jawab Mudra, matanya menatap tajam ke pantulan Ni Grenjeng. "Aku tidak akan menyerah."

Bayangan Ni Grenjeng perlahan menghilang, meninggalkan Mudra dengan tekad baru. Ia bangkit, melangkah meninggalkan mata air purba, menuju rumah Rontek untuk menjelaskan semua konflik pada masa lalu antara Ni Grenjeng dan leluhur Rontek.

***

18. MIMPI DI TEPIAN JURANG

Pagi itu, Mudra terbangun dengan perasaan aneh, seolah semalam ia melayang di angkasa. Sebuah kalimat berputar di kepalanya: "Kamu percaya hari ini jam 6 sore di permukaan bulan?" Ponselnya bergetar, pesan dari Vanua: "Hari ini jadwalku bersua denganmu. Aku sedang menuju Desa Gayam, perjalanan dari Kampung Tujuh Yogyakarta."

Mudra tersenyum, membayangkan pertemuan ini. "Kita akan bertemu secepatnya, Vanua," balasnya, mengetik pesan di layar ponsel. Dalam hatinya, ia merasakan ada sesuatu yang berbeda tentang pertemuan kali ini, seolah bukan sekadar percakapan biasa.

Hujan turun deras saat Mudra melaju dengan motornya menuju kafe di ujung desa. Ia ingin mentraktir Vanua, sebagai cara untuk memperdalam hubungan mereka dan berbincang tentang tarot, ilmu yang diwarisi dari neneknya. Tarot bukan sekadar alat peramal nasib bagi Mudra, tetapi jendela ke alam bawah sadar, cara untuk memahami diri sendiri dan orang lain.

"Hujan, kau musuhku," gumamnya, menatap hujan yang menyamarkan pandangannya. "Tapi kau juga saksi bisu, bagaimana kerumunan bubar, namun kehangatan dari 'neraka' tetap berkumpul."

Di dalam kafe remang-remang, Mudra menggenggam kartu tarot di tangannya. Saat Vanua tiba, mereka langsung tenggelam dalam percakapan tentang filosofi tarot dan makna di balik kartu-kartu yang dibentangkan.

"Aku pertama kali mengenal tarot di usia sembilan belas," ujar Mudra. "Nenekku yang mengajarkannya, sebagai cara untuk memahami makna kesendirian dan kerumunan."

Vanua mengangguk, tertarik dengan kisah Mudra dan bagaimana tarot menjadi medium untuk menyelami batin manusia. Ia melihat refleksi dari pencariannya sendiri dalam kata-kata Mudra, dan di sana, ia menemukan sesuatu yang tak bisa dijelaskan—sebuah ketertarikan yang lebih dari sekadar ketertarikan intelektual.

Usai perbincangan di kafe, mereka kembali ke rumah Mudra. Langkah mereka ringan, diiringi hujan yang mulai reda. Waktu seolah melambat saat mereka memasuki rumah sederhana itu. Vanua merebahkan diri di kasur Mudra, membiarkan pikirannya mengembara di antara filosofi tarot, kisah-kisah nenek Mudra, dan makna yang tersembunyi dalam setiap pertemuan mereka.

Tanpa disadari, mereka telah terlelap dan masuk ke dalam mimpi yang sama. Di dalam alam bawah sadar itu, mereka melayang di antara gedung-gedung tinggi, berpakaian rapi seperti arsitek mimpi. Di tebing Desa Gayam, spanduk besar bertuliskan "THE FOOL" berkibar tertiup angin.

"Siapa yang dimaksud The Fool?" tanya Mudra, merasa deja vu.

"Mungkin kita," jawab Vanua, menggenggam kartu tarot di tangannya. "Tubuh kita berawal dari kepolosan, dari ketidaktahuan."

Mereka berjalan di tepi jurang, mengenakan kostum warna-warni yang cerah, hati mereka dipenuhi kebebasan. Seekor anjing putih kecil, Westie, mengikuti mereka, simbol kesetiaan dan petualangan.

"Apakah ini jawaban kita atas pagebluk?" tanya Vanua, menatap kartu "The Fool" di tangannya.

"Ya," jawab Mudra. "Kita didorong untuk menyendiri, mengisolasi diri dalam mimpi, tetapi justru menemukan keberanian, berpikiran lebih terbuka."

Mereka berbincang tentang filosofi tarot—tentang lompatan keyakinan, cara menikmati perjalanan tanpa takut jatuh, hidup di tepian, dan berpikir di luar kebiasaan. Suara tanpa wujud terdengar menggema di langit mimpi mereka: "Ikuti kebahagiaan sejatimu. Jelajahi jalur keajaiban baru. Yakini akan lompatan keyakinan."

Tiba-tiba, mereka tersentak bangun. Hujan deras mengguyur atap rumah Mudra, genset mulai menderu. Mereka saling bertatapan, menyadari bahwa mimpi itu bukan sekadar bunga tidur, melainkan pesan dari alam bawah sadar, atau mungkin dari sesuatu yang lebih besar.

"Apa makna dari mimpi ini?" tanya Vanua, suaranya pelan.

"Aku tidak tahu," jawab Mudra, mengusap pelipisnya. "Tapi aku merasa kita diminta untuk mengambil langkah baru, melampaui ketakutan dan keraguan kita."

Mereka merenungkan simbol dalam mimpi itu—The Fool yang melambangkan awal yang baru, anjing putih sebagai simbol kesetiaan dan perlindungan, serta suara tanpa wujud yang mengajak mereka menemukan kebahagiaan sejati. Mereka menyadari bahwa mimpi itu bukan hanya tentang mereka, tetapi juga tentang Desa Gayam dan Kampung Tujuh, tentang orang-orang yang mencari makna di tengah dunia yang berantakan.

"Kita harus kembali mengurus desa," kata Mudra, tekadnya bulat. "Kita harus menggunakan apa yang kita pelajari dari mimpi ini untuk membantu warga."

"Tapi bagaimana caranya?" tanya Vanua.

"Dengan menjadi diri kita sendiri," jawab Mudra. "Dengan menjadi The Fool yang berani, Westie yang setia, dan suara tanpa wujud yang membimbing."

Mereka berdua bangkit dari kasur, bersiap untuk kembali ke dunia nyata. Saat mereka berjalan menuju pintu gerbang Desa Gayam, melintasi pinggir hutan barat yang keramat, mereka merasakan sesuatu yang aneh. Suara-suara lirih terdengar di antara pepohonan, seperti bisikan gaib yang mencoba menarik perhatian mereka.

"Apa itu?" bisik Vanua, matanya membelalak.

"Aku tidak tahu," jawab Mudra, menggenggam erat jaketnya. "Tapi aku merasa kita tidak sendirian."

Tiba-tiba, seekor burung gagak hitam besar terbang rendah di atas kepala mereka, mengeluarkan suara parau yang mengganggu. Mereka saling berpandangan, merasakan firasat buruk.

"Kita harus berhati-hati," kata Mudra. "Aku merasa ada bahaya yang mengintai."

Rasa was-was menuntun langkah mereka, merayap di antara bisikan angin dan bayang yang mengintai. Entah apa yang menanti di balik gerbang Desa Gayam, namun dalam dada mereka, asa telah membara, siap melawan segala kemungkinan yang menghadang.

***

19. SANG PENYIHIR

Pinggiran Hutan Barat yang keramat diselimuti kabut purba, menyelubungi pohon-pohon tua yang menjulang seperti penjaga bisu dari dunia lain. Udara dingin merayap di kulit Mudra, tetapi ada sesuatu yang lebih kuat dari sekadar cuaca yang menariknya ke sini.

"Aku merasa ada sesuatu yang menunggu kita di sini," kata Mudra, tatapannya tajam menembus kabut.

Vanua mengangguk. "Bisikan sunyi membawa kita ke tempat ini. Seperti ada sesuatu yang harus kita temukan."

Di antara pepohonan, berdiri sebuah gapura bambu tua yang membentuk lengkungan alami. Cahaya remang-remang menyelusup di sela-selanya, menyoroti sosok berjubah merah dan kuning yang berdiri tegak di depan altar batu. Sosok itu, tinggi dan penuh wibawa, memegang tongkat kayu berukir yang berpendar dengan cahaya keemasan. Lehernya dihiasi pentagram perak yang berkilau samar di bawah rembulan.

"Siapa dia?" bisik Mudra.

"Penyihir," jawab Vanua. "Seorang penjaga batas antara dunia nyata dan dunia gaib."

Mereka melangkah mendekat, perlahan, seakan takut mengganggu keseimbangan magis yang menyelimuti tempat ini. Penyihir itu mengangkat tongkatnya, menggambar simbol angka delapan di udara—simbol ketakterhinggaan.

"Seperti Yang di Atas, Terjadi Pula di Bawah," suara Penyihir menggema, menggetarkan dedaunan, seolah-olah alam ikut berbisik dalam mantra kuno itu. "Dunia atas dan dunia bawah, langit dan bumi, semua terhubung dalam satu kesatuan. Ini adalah Hukum Korespondensi, Mudra. Apa yang terjadi di alam semesta, tercermin dalam dirimu, dan sebaliknya."

Mudra terdiam. Kata-kata itu menggema dalam pikirannya, mengingatkannya pada mimpi-mimpi yang selalu berulang, pada simbol angka delapan yang pernah ia gambar tanpa sadar di masa kecilnya.

"Kau The Magician, Mudra," kata Penyihir, tatapannya tajam namun penuh pengertian.

"Aku?" Mudra hampir tidak percaya.

"Kau memiliki kekuatan untuk mewujudkan keinginan," lanjut Penyihir itu. "Seperti saat kau menggerakkan warga untuk menghidupkan kembali desa di tengah pagebluk. Kau telah memahami keseimbangan, antara kekuatan duniawi dan spiritual."

Vanua mendekat, matanya memancarkan keingintahuan. "Dan elemen-elemen itu? Air, udara, api, dan tanah?"

"Kau telah menguasainya dalam tindakanmu, sadar ataupun tidak," Penyihir menjelaskan. "Air dalam intuisi dan empati, lalu kau pakai untuk membaca perasaan orang lain. Udara dalam kecerdasan dan komunikasi, lantas kau gunakan untuk memimpin. Api dalam tekadmu, lalu kau gunakan untuk membawa perubahan. Dan tanah dalam kesabaran serta kerja nyatamu, kau gunakan untuk membangun kembali desa."

Mudra menatap altar batu di hadapannya. Keempat simbol elemen—cawan, pedang, tongkat, dan logam—tersusun rapi.

"Dan lilin-lilin hitam itu?" tanya Vanua, menunjuk ke sudut altar.

"Cahaya di dalam kegelapan," jawab Penyihir. “Seperti dirimu, Mudra. Kau yang dahulu takut pada kerumunan, kini justru harus menjadi pemimpinnya.”

"Dan bagaimana dengan kartu ini?" tanya Vanua, tiba-tiba mengeluarkan kartu Tarot dari sakunya. Kartu itu bergambar seorang laki-laki dengan satu tangan menunjuk ke langit dan satu tangan ke bumi.

Penyihir tersenyum. "The Magician. Inilah saatnya kau memahami takdirmu, Mudra. Kau bukan lagi pengembara yang mencari jawaban. Kau telah menjadi jembatan antara realitas dan kemungkinan, antara dunia nyata dan dunia gaib."

Tiba-tiba, empat sosok kecil muncul dari balik altar—peri hutan, peri api, peri air, dan peri angin. Mereka menari mengelilingi Mudra, seakan menguatkan keberadaannya di antara elemen-elemen dunia.

Cahaya angka delapan di udara semakin terang, kehangatannya meresap ke dalam tubuh Mudra. Ia merasakan kekuatan baru mengalir di dalam dirinya, sebuah pemahaman mendalam tentang keseimbangan dan perannya dalam kehidupan.

"Lalu, apa yang harus aku lakukan?" tanya Mudra.

"Terimalah peranmu," jawab Penyihir. "Bimbing orang-orang di sekitarmu, bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai pemimpin yang memahami keterhubungan antara mereka. Kerumunan bukan neraka, Mudra. Kerumunan adalah sumber energi yang besar, dan tugasmu adalah mengarahkannya pada cahaya, bukan membiarkannya tersesat dalam kegelapan."

Mudra menarik napas dalam-dalam. Ia menatap Vanua, yang selama ini selalu menjadi cermin bagi ketakutannya, sekaligus sahabat dalam pencariannya. Vanua mengangguk, seolah mengerti bahwa perjalanan mereka baru saja memasuki babak baru.

"Jadilah lentera bagi sesama," kata Penyihir untuk terakhir kalinya, sebelum sosoknya perlahan memudar, meninggalkan jejak cahaya di antara pepohonan. "Dan ingatlah, kekuatan sejati bukan terletak pada sihir, tetapi pada keberanian untuk bertindak."

Mudra mengangguk. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak lagi ragu. Ia siap menerima perannya, bukan sebagai seseorang yang takut pada kerumunan, tetapi sebagai seseorang yang mampu menuntun mereka.

Di sampingnya, Vanua tersenyum tipis. "Aku kira aku tahu kenapa aku harus kembali ke sini."

Mudra menoleh. "Kenapa?"

Vanua menatap jauh ke dalam hutan yang kini tampak lebih terang. "Karena takdir kita tak pernah benar-benar terpisah dari desa ini. Kita bukan sekadar saksi. Kita bagian dari perubahan itu sendiri."

Mereka berjalan meninggalkan altar, membawa cahaya baru dalam hati mereka.

***

20. IBU BUMI

Sari bukan sekadar perempuan desa biasa. Ia adalah pegiat literasi dan penjaga Keris Pasopati, pusaka leluhur yang diwariskan turun-temurun dalam keluarganya. Keris itu memiliki pamor Adeg, diyakini membawa perlindungan serta membuka jalan bagi keberuntungan material. Meski tampak tegar, di balik keteguhannya tersimpan kerinduan mendalam akan sosok ibu yang telah tiada. Kehangatan, nasihat, dan kasih sayang ibunya selalu menjadi sumber kekuatannya, tetapi kini ia harus mencari kekuatan itu dalam dirinya sendiri.

Di tengah krisis pangan yang melanda Desa Gayam selama pagebluk, kepemimpinan Sari diuji. Persediaan makanan semakin menipis, dan warga mulai cemas. Sari mengorganisir distribusi bahan pangan dengan adil, memastikan setiap keluarga mendapat bagian yang cukup.

"Sari, warga mulai khawatir. Stok beras semakin sedikit," lapor seorang pemuda desa.

"Kita akan atur distribusinya dengan baik. Dahulukan keluarga yang paling membutuhkan," jawab Sari dengan suara tegas.

"Tapi bagaimana jika tetap tidak cukup?"

"Kita cari alternatif. Lahan kosong bisa kita manfaatkan untuk menanam bahan pangan. Hutan pun menyimpan banyak sumber daya jika kita mau mencarinya."

Keberanian dan kepemimpinan Sari tidak hanya terlihat dalam mengelola bahan pangan. Ia juga memimpin sekelompok pemuda desa untuk menembus blokade dan membawa masuk persediaan makanan dari desa tetangga. Tindakan berani ini membuat warga semakin menaruh hormat kepadanya.

Selain itu, Sari berusaha menjaga ketahanan mental dan intelektual warga desa. Ia mendirikan perpustakaan kecil di rumahnya, mengumpulkan buku-buku dari berbagai sumber. Di masa sulit ini, ia menyelenggarakan kegiatan mendongeng bagi anak-anak, diskusi buku untuk remaja dan dewasa, serta lokakarya menulis dan membaca puisi. Ia percaya bahwa pengetahuan dan literasi dapat menjadi penerang di tengah kegelapan ketakutan dan kebingungan.

"Sari, kenapa repot-repot mendirikan perpustakaan? Bukankah lebih baik kita fokus mencari makan?" tanya seorang warga.

"Pengetahuan juga penting. Kita harus tetap waras di tengah kesulitan," jawab Sari.

"Tapi siapa yang mau membaca?"

"Anak-anak butuh hiburan, orang dewasa butuh informasi. Kita harus menjaga harapan tetap menyala."

Namun, di balik semua keberaniannya, Sari sering merasa kesepian dan kehilangan arah. Ia merindukan kehadiran ibunya—tempat ia mencari perlindungan dan nasihat. Setiap kali kebingungan melanda, ia pergi ke petilasan desa, tempat ia merasa dekat dengan roh leluhur. Di sana, ia membersihkan dan merawat Keris Pasopati, berharap mendapat petunjuk tentang bagaimana menggunakan pusaka itu dengan bijak.

"Apakah aku layak memegang tanggung jawab ini?" bisiknya dalam hati. "Ibu, beri aku petunjuk. Aku ingin menjadi pemimpin yang baik untuk desa ini."

Di bawah pohon beringin tua, Sari bermeditasi, mencari jawaban atas kegelisahan hatinya. Ia memejamkan mata, membiarkan pikirannya mengembara dalam keheningan. Tiba-tiba, ia merasakan kehangatan menyelimuti tubuhnya, seperti kehadiran yang lembut dan penuh kasih. Saat membuka mata, di hadapannya berdiri sosok seorang perempuan anggun dengan aura keemasan.

"Ibu Bumi..." bisik Sari, hatinya bergetar.

Ibu Bumi, sang Dewi Agung, berdiri di atas singgasana akar yang kokoh, dikelilingi oleh bunga-bunga liar yang bermekaran. Rambutnya yang panjang terurai seperti air terjun, dihiasi dengan mahkota bunga berwarna-warni. Gaunnya hijau berkilauan seperti dedaunan yang diterpa sinar matahari pagi. Di tangannya, ia memegang tongkat kayu yang kuat, simbol kekuasaannya atas alam.

"Sari," suara Ibu Bumi lembut namun berwibawa. "Aku merasakan kegelisahanmu. Aku tahu kau merasa kehilangan dan tak berdaya. Tapi ingat, anakku, kau adalah bagian dari alam ini. Kekuatan yang kau cari ada di dalam dirimu."

Sari menelan ludah, suaranya bergetar saat ia menjawab, "Ibu Bumi, aku merasa tersesat. Warga lebih percaya pada desas-desus tentang dedemit dibandingkan pada usaha yang kulakukan. Aku ingin membantu mereka, tapi bagaimana jika aku gagal?"

Ibu Bumi tersenyum penuh kasih. "Tak ada yang bisa mengendalikan keyakinan orang lain, Sari. Yang bisa kau lakukan adalah tetap berjalan dengan keyakinanmu sendiri. Cahaya selalu ada di tengah kegelapan, dan pengetahuan adalah cahaya yang akan menghalau bayang-bayang ketakutan."

"Tapi bagaimana jika aku tidak cukup kuat? Bagaimana jika aku membuat keputusan yang salah?"

"Pemimpin sejati bukanlah mereka yang tak pernah ragu, tetapi mereka yang berani melangkah meski ragu-ragu. Keberanian bukan berarti tak pernah takut, melainkan tetap maju meski ketakutan itu ada. Kau memiliki Keris Pasopati, bukan hanya sebagai senjata, tetapi sebagai simbol keberanian dan kebijaksanaan. Gunakanlah dengan hati yang tulus."

Sari menunduk, tangannya menggenggam Keris Pasopati erat-erat. Ia merasakan getaran energi dari pusaka itu, seolah memberikan kekuatan baru. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan pesan Ibu Bumi meresap dalam jiwanya.

"Terima kasih, Ibu Bumi. Aku akan menjalankan tugasku dengan sebaik mungkin."

"Ingatlah, Sari, kau tidak sendirian. Leluhurmu, alam semesta, dan aku selalu bersamamu. Jadilah cahaya bagi desamu, karena ibu bukan sekadar sosok yang melahirkan, tetapi juga kekuatan yang merawat dan melindungi."

Ibu Bumi perlahan memudar, meninggalkan jejak cahaya yang berpendar lembut di udara. Sari membuka matanya, mendapati dirinya masih duduk di bawah pohon beringin. Cahaya fajar mulai menyingsing di ufuk timur, menyinari desa yang masih terlelap.

Ia bangkit dengan langkah yang lebih mantap. Hari ini, ia bukan hanya Sari pegiat literasi atau penjaga Keris Pasopati. Hari ini, ia adalah bagian dari Ibu Bumi, penjaga kehidupan, pelindung desa, dan pembawa harapan.

***

21. PERTEMUAN MUDRA DAN SARI

Kabut tipis menyelimuti Desa Gayam, menyembunyikan sebagian rumah dan jalan setapak. Udara dingin menyusup hingga ke sumsum, membawa serta keheningan yang aneh. Mudra duduk di beranda rumahnya, matanya kosong menatap kabut yang menggantung di cakrawala. Pikirannya melayang, mencoba merangkai kepingan peristiwa yang telah terjadi.

Di dalam rumah, Vanua masih tertidur lelap di atas kasur dengan napas yang teratur. Aroma dupa cendana bercampur dengan dingin pagi menciptakan suasana yang mistis. Mudra menghela napas, merasa gelisah tanpa alasan yang jelas. Ia tahu ada sesuatu yang belum selesai, sesuatu yang masih mengendap di dasar pikirannya.

Tak ingin larut dalam kebimbangan, Mudra memutuskan untuk mencari ketenangan di petilasan desa. Tempat itu selalu menjadi peraduan batinnya ketika kebingungan melanda. Langkahnya pelan menyusuri jalan setapak, hingga akhirnya tiba di bawah pohon beringin tua yang berdiri kokoh di petilasan.

Di sana, ia melihat Sari duduk bersila dengan mata terpejam. Tangan kanannya menggenggam erat buku kuno, sementara di hadapannya, tergeletak sebuah keris Pasopati berbalut kain merah.

"Kau tahu aku akan datang?" tanya Mudra perlahan.

Sari membuka matanya, tersenyum samar. "Desa ini menyimpan banyak luka, dan kita semua memiliki bagian dalam menyembuhkannya."

Mudra duduk di hadapan Sari, menatap wajahnya yang tampak tenang, namun menyimpan kesedihan yang sulit dijelaskan.

"Aku merasa kehilangan arah," ujar Mudra. "Banyak yang harus dilakukan, tapi aku tak tahu harus mulai dari mana."

Sari mengangguk pelan. "Kadang, kita perlu berhenti sejenak untuk mendengar suara yang berbisik di antara riuh dunia. Jawaban itu mungkin ada di sekeliling kita, tapi kita terlalu sibuk untuk memperhatikannya."

Perlahan, Sari meraih keris Pasopati dan menyodorkannya ke arah Mudra. "Keris ini bukan sekadar pusaka. Ia adalah penjaga keseimbangan. Di tanganku, ia hanya sebuah warisan. Tapi di tangan orang yang tepat, ia bisa menjadi alat untuk mengembalikan harmoni."

Mudra mengamati keris itu dengan saksama, merasakan getaran halus yang mengalir dari bilahnya.

"Kau percaya benda ini bisa membantuku?"

"Bukan bendanya yang membantumu," jawab Sari. "Tapi bagaimana kau memahami makna di baliknya."

Malam itu, Sari akhirnya bertemu dengan Vanua di rumah Mudra. Sebuah pertemuan yang telah lama dinantikan, di tengah situasi desa yang kian mencekam. Ketiganya duduk melingkar di ruang tengah, ditemani cahaya lampu minyak yang temaram.

"Aku banyak mendengar tentangmu," kata Sari, menatap Vanua dengan rasa ingin tahu. "Mudra sering bercerita tentang perjalananmu di Kampung Tujuh."

Vanua tersenyum tipis. "Aku juga penasaran denganmu. Sepertinya kau adalah sosok yang sangat dihormati di desa ini."

Percakapan mereka mengalir, membahas banyak hal—tentang pandemi, tentang ketakutan warga, hingga tentang simbol dan makna di balik peristiwa yang mereka alami.

"Kerumunan itu seperti neraka," ujar Vanua, menggelengkan kepala. "Aku lebih suka kesunyian."

"Aku mengerti," kata Sari. "Terlalu banyak suara, terlalu banyak emosi yang bercampur. Itu bisa melelahkan."

Mudra menatap mereka berdua. "Tapi kita tak bisa terus bersembunyi dari kerumunan. Desa ini membutuhkan kita. Jika kita tak mengarahkan mereka, siapa yang akan melakukannya?"

Sari menghela napas. "Aku setuju. Kita perlu cara untuk menyeimbangkan semuanya. Bukan dengan menghindari, tapi dengan memahami bagaimana energi itu bekerja."

Vanua tiba-tiba menatap mereka dengan mata berbinar. "Bagaimana kalau kita pergi ke Kampung Tujuh? Rumah bambuku cukup tersembunyi. Kita bisa menyusun strategi di sana."

Mudra dan Sari saling bertukar pandang. Kampung Tujuh memang dikenal penuh misteri, namun juga bisa menjadi tempat yang tepat untuk berpikir tanpa gangguan.

"Baiklah," kata Mudra akhirnya. "Kita berangkat besok pagi."

Keesokan harinya, kabut tipis masih menyelimuti Desa Gayam saat mereka bertiga bersiap untuk pergi. Jalan setapak yang mereka lalui menuju Kampung Tujuh terasa lebih sepi dari biasanya. Suara burung hantu terdengar samar, seolah memberikan pertanda yang sulit dimengerti.

Saat mereka tiba di tepi desa, Sari berhenti sejenak, menatap ke arah pohon beringin tempat ia biasa bermeditasi. "Aku merasa kita akan menghadapi sesuatu di sana," gumamnya.

"Aku juga," jawab Mudra, merasakan firasat yang sama.

Vanua, yang berada di depan, menoleh ke arah mereka. "Mungkin ini bukan sekadar perjalanan biasa. Tapi apapun yang terjadi, kita akan menghadapinya bersama."

Mereka melanjutkan perjalanan. Kabut semakin menebal.

***

22. RAJA BATU

Vanua berdiri di depan rumah bambunya, menatap Kampung Tujuh yang dahulu tenang, kini dipenuhi kecemasan. Panen yang gagal, bencana alam yang merusak ladang, dan wabah penyakit yang merenggut nyawa, semuanya seperti gejala dari ketidakseimbangan yang lebih besar. Tapi ada satu hal yang lebih mencemaskan: kehadiran sosok misterius yang disebut Raja Batu.

Mereka bergegas menuju balai desa, tempat para tetua berkumpul. Bu Ros, kepala desa Kampung Tujuh, berdiri di tengah ruangan dengan wajah penuh keprihatinan.

"Vanua, Mudra, Sari, kami sangat membutuhkan bantuan kalian," katanya dengan suara berat. "Tanah ini semakin tidak subur, hujan turun tanpa henti, dan orang-orang sakit tanpa sebab yang jelas. Kami khawatir sesuatu telah mengganggu keseimbangan desa."

Sari melangkah maju, tatapannya penuh keyakinan. "Kita harus melakukan ritual penyatuan," katanya mantap. "Kekuatan spiritual dan duniawi harus bersatu. Keseimbangan telah terganggu, dan kita harus memanggil kembali harmoni yang hilang."

Bu Nita, seorang tetua desa yang dihormati, mengangguk setuju. "Ritual besar di petilasan desa adalah satu-satunya cara untuk memulihkan tanah ini dan mengusir penyakit yang merajalela."

Vanua menatap rumah bambunya dan kebun lebahnya. "Aku akan mengorbankan rumah dan kebunku. Jika ini bisa menyelamatkan desa, aku siap."

Penduduk desa berbisik-bisik, lalu Raka, seorang pemuda desa, maju dan berkata, "Aku akan membantu Vanua. Apapun yang dibutuhkan."

Dengan tekad kuat, mereka bersiap untuk ritual. Sari memimpin persiapan spiritual, sementara Mudra dan Vanua mengatur logistik. Malam itu, petilasan desa dipenuhi warga. Suara doa mengalun, menciptakan suasana khidmat.

Sari berdiri di tengah, memegang Keris Pasopati yang bersinar redup. "Malam ini, kita menyatukan kekuatan. Pengorbanan ini bukan hanya untuk desa, tetapi juga untuk keseimbangan alam."

Vanua menatap rumah bambunya yang akan dikorbankan, air mata menggenang di pelupuk matanya. "Ini adalah rumahku, tempat kedamaian dan kehidupan. Aku akan mengorbankannya demi desa ini."

Api unggun berkobar tinggi, dan dari dalam kobaran api, sosok besar muncul. Raja Batu berdiri di hadapan mereka, memancarkan aura kebijaksanaan dan kekuatan. Wajahnya tegas namun hangat, tubuhnya kokoh seperti gunung, dan di tangannya tergenggam tongkat Ankh, simbol kehidupan abadi.

Warga desa terpana. Tanah yang retak mulai menyatu kembali, tanaman yang layu mulai tegak, dan hawa dingin yang menyerang mulai berangsur menghilang.

"Aku akan selalu mengawasi kalian," kata Raja Batu. "Tapi ingatlah, desa ini akan tetap makmur hanya jika kalian bersatu dan menjaga keseimbangan. Jangan biarkan ketakutan menguasai hati kalian."

Bu Ros memimpin warga untuk mempersembahkan sesajen sebagai tanda syukur. Burung kutilang dilepaskan ke langit, ikan-ikan lele dilepas ke sungai. Udara malam dipenuhi rasa syukur dan harapan baru.

Tiba-tiba, Raja Batu mengangkat tangannya. Dari dalam tanah, muncul sebuah pusaka: Tombak Ki Saka Bumi.

Bu Ros terkejut. "Aku pernah melihat tombak ini," gumamnya. "Dulu ditemukan oleh seorang pengemis dan dijual tanpa mengetahui nilainya. Aku membelinya kembali tanpa sadar bahwa ini adalah pusaka desa."

Raja Batu menyerahkan tombak itu kepada Bu Ros. "Dengan Keris Pasopati di tangan Sari dan Tombak Ki Saka Bumi di tanganmu, desa ini akan tumbuh lebih kuat. Gunakan dengan bijak."

Warga desa bersorak, merasakan energi baru dalam diri mereka. Mereka kini percaya bahwa dengan persatuan, keberanian, dan kebijaksanaan, mereka bisa menghadapi segala tantangan.

"Disiplin, logika, dan pengaturan yang baik adalah kunci keberhasilan," kata Raja Batu sebelum menghilang ke dalam cahaya.

Vanua menatap sisa rumah bambunya yang telah terbakar dalam ritual. Ada rasa kehilangan, tetapi juga kelegaan. "Aku rela berkorban, demi desa ini," bisiknya.

Sari menggenggam Keris Pasopati erat-erat, merasa lebih kuat dari sebelumnya. "Dengan ini, kita akan menjaga keseimbangan."

Mudra menatap desa yang kini lebih hidup. "Kita akan membangun masa depan yang lebih baik. Dan mungkin suatu hari nanti, desa ini akan menjadi tempat yang dihormati, bukan hanya oleh kita, tapi juga oleh dunia."

***

23. SEGITIGA EROS

Di balik kebersamaan dan keberhasilan mereka di Kampung Tujuh, ada benih konflik emosional yang mulai tumbuh di hati Sari. Malam itu, ketika seluruh desa telah terlelap, ia berjalan seorang diri, mencari ketenangan di bawah langit yang bertabur bintang. Perasaan yang selama ini ia pendam mulai menyesakkan dada. Antara Mudra dan Vanua, ada sesuatu yang tak bisa ia pahami sepenuhnya, sesuatu yang membuat hatinya gamang.

Langkahnya tanpa sadar membawanya ke depan rumah bambu Vanua. Dari celah jendela yang sedikit terbuka, ia melihat kehangatan yang tak pernah ia duga. Di dalam, Mudra dan Vanua duduk berdekatan di atas tikar anyaman, saling menatap dengan penuh pengertian. Vanua menyandarkan kepalanya di bahu Mudra, dan Mudra mengusap rambutnya dengan lembut. Suara mereka lirih, namun cukup bagi Sari untuk menangkap maknanya.

"Mudra, aku tak pernah merasa seutuh ini," bisik Vanua. "Kau selalu ada di saat aku paling membutuhkan."

Mudra tersenyum, mengeratkan genggamannya pada tangan Vanua. "Aku pun begitu. Kau telah menjadi bagian dari hidupku yang tak tergantikan."

Sari menahan napas. Hatinya bergetar, matanya memanas. Ia menyadari bahwa rasa yang ia simpan untuk Mudra bukan sekadar kekaguman, melainkan cinta. Namun, apa yang baru saja ia saksikan membuatnya tersadar bahwa ia mungkin terlambat. Ia melangkah mundur perlahan, meninggalkan tempat itu dengan perasaan campur aduk.

Di kebun bunga yang sunyi, ia berusaha memahami perasaannya. Ia mencintai Mudra, namun ia juga menyayangi Vanua sebagai sahabat. Ia tak ingin merusak apa yang telah mereka bangun bersama. Namun, bisakah ia mengabaikan gejolak di hatinya begitu saja?

***

Pagi harinya, Sari akhirnya mengumpulkan keberanian untuk berbicara dengan Mudra dan Vanua. Mereka bertiga duduk di beranda rumah bambu, ditemani secangkir teh hangat yang mengepul di udara dingin.

"Ada sesuatu yang harus kubicarakan dengan kalian," kata Sari, suaranya bergetar halus. "Aku... aku merasa ada perasaan yang tumbuh dalam diriku. Perasaan terhadap Mudra."

Vanua menatap Sari dengan mata yang sulit ditebak. Tidak ada kemarahan di sana, hanya pemahaman yang mendalam. "Aku tahu," katanya akhirnya. "Aku bisa merasakannya sejak awal."

Mudra menarik napas panjang. "Sari, aku tak ingin kita terpecah karena ini. Aku tak ingin kehilangan salah satu dari kalian."

Sari mengangguk. "Itulah yang kutakutkan. Aku tidak ingin perasaan ini menghancurkan persahabatan kita. Aku hanya ingin kita jujur satu sama lain."

Vanua tersenyum lembut. "Kita telah melalui banyak hal bersama. Aku tak ingin sesuatu yang indah ini berubah menjadi sesuatu yang menyakitkan."

Mereka bertiga terdiam, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tidak ada jawaban pasti, tidak ada jalan keluar yang mudah. Namun, satu hal yang mereka yakini: mereka akan menghadapi ini bersama, dengan kejujuran dan ketulusan.

***

Beberapa waktu sebelumnya, sebelum perjalanan mereka ke Kampung Tujuh, tepat setelah Mudra dan Sari bertemu di petilasan Desa Gayam, rasa rindu yang tak tertahankan mulai tumbuh di hati Mudra. Seiring waktu, perasaan itu semakin dalam, merayap seperti akar yang mencari air di tanah tandus.

Suatu malam, saat desa diliputi keheningan, Mudra melangkah menuju rumah Sari. Rembulan menyinari jalannya, seakan mengiringi hatinya yang dipenuhi keraguan dan harapan.

Saat Sari membuka pintu, mata mereka bertemu dalam keheningan yang berbicara lebih banyak dari kata-kata. "Mudra," bisik Sari. "Ada apa malam-malam begini?"

Mudra menatapnya dengan intens. "Aku tak bisa lagi menyangkal perasaanku. Hatiku merindukanmu, seperti ombak yang selalu kembali ke pantai."

Sari terdiam, merasakan kehangatan yang aneh di dadanya. "Aku juga, Mudra," katanya lirih. "Setiap malam, bayanganmu hadir dalam mimpiku."

Mereka saling mendekat, membiarkan keheningan berbicara. "Biarkan malam ini menjadi milik kita," kata Mudra, suaranya penuh kelembutan. "Biarkan kita berbagi perasaan yang selama ini kita pendam."

Di bawah sinar rembulan yang temaram, mereka berbagi cerita, tawa, dan kehangatan yang tak butuh definisi. Dalam dekapan malam, mereka menemukan sebuah ruang yang hanya mereka berdua mengerti—sebuah kenyataan yang tak ingin mereka lepaskan, namun juga tak tahu bagaimana harus dijalani.

***

24. NYI LORONG

Peristiwa aneh terjadi di Kampung Tujuh. Pohon beringin di petilasan desa, yang selama ini dianggap sebagai penjaga keseimbangan alam, tiba-tiba layu dan mati. Warga desa panik, merasa perlindungan dari leluhur dan alam telah hilang. Suasana menjadi tegang, seakan ada sesuatu yang mengintai dalam bayang-bayang.

Bu Ros segera memanggil Sari, Mudra, dan Vanua ke balai desa. Dengan wajah penuh kecemasan, ia berkata, "Ada sesuatu yang salah. Energi desa kita terasa berubah. Aku merasa ada kekuatan gelap yang mulai merayap."

Sari menatap sisa-sisa pohon beringin yang menghitam di kejauhan. "Ini bukan kejadian biasa," gumamnya. "Alam sedang memberikan tanda."

Vanua yang memiliki kepekaan spiritual merasakan sesuatu yang berbeda. "Ada kehadiran yang mengganggu keseimbangan. Aku merasa kita sedang diawasi."

Mudra mengepalkan tangannya. "Kita harus mencari tahu sumbernya. Kita tak bisa membiarkan desa ini jatuh dalam ketakutan."

Mereka bertiga sepakat untuk mencari jawaban. Malam itu, di bawah rembulan yang samar, mereka berjalan menuju hutan terlarang di perbatasan desa. Tempat itu selalu dikaitkan dengan dunia gaib, dan kini, mereka harus menyingkap misterinya.

Di tengah perjalanan, udara terasa semakin berat. Pepohonan bergoyang pelan meskipun tak ada angin. Suara-suara asing berbisik di antara dedaunan. Dan tiba-tiba, dari kegelapan, muncul seorang perempuan tua dengan jubah hitam panjang yang seolah menyatu dengan bayangan malam.

"Kalian terlalu jauh masuk," suaranya serak, namun mengandung kekuatan yang tak terbantahkan. "Aku adalah Nyi Lorong, penjaga keseimbangan di tempat ini."

Sari, Mudra, dan Vanua saling berpandangan, menyadari bahwa mereka telah memasuki wilayah yang lebih besar dari sekadar hutan biasa.

"Kami hanya ingin tahu mengapa pohon beringin di desa kami mati," kata Mudra, mencoba tetap tenang.

Nyi Lorong menatap mereka tajam. "Karena manusia telah melupakan janji mereka pada alam. Keseimbangan telah terganggu. Kalian menanam ketakutan, dan kini panenlah kehancuran."

Sari maju selangkah. "Kami tidak bermaksud merusak keseimbangan. Kami ingin memperbaiki kesalahan kami. Tolong beritahu kami apa yang harus dilakukan."

Nyi Lorong menghela napas panjang. "Jika kalian ingin memulihkan keseimbangan, kalian harus menghadapi bayangan ketakutan kalian sendiri. Ikuti aku."

Mereka bertiga mengikuti Nyi Lorong lebih jauh ke dalam hutan. Mereka tiba di sebuah tanah lapang yang dipenuhi bebatuan berbentuk aneh, seolah menjadi saksi bisu sejarah panjang desa ini. Nyi Lorong berdiri di tengah lingkaran batu, mengangkat tangannya ke langit, dan mulai mengucapkan mantra dalam bahasa kuno.

Tiba-tiba, angin bertiup kencang. Bayangan hitam muncul dari dalam tanah, berputar-putar di sekitar mereka. Suara-suara asing bergema, menembus sanubari.

"Ini adalah ketakutan kalian," kata Nyi Lorong. "Hadapi atau kalian akan jatuh dalam kegelapan."

Sari melihat bayangan ibunya yang telah lama tiada, menatapnya dengan penuh kecewa. Vanua melihat dirinya sendiri, sendirian di dunia yang tak berujung, tenggelam dalam keheningan abadi. Mudra melihat kerumunan yang menghakiminya, mencapnya sebagai pemimpin yang gagal.

"Tidak," bisik Sari, air matanya mengalir. "Ibu, aku tidak akan menyerah. Aku tahu aku masih bisa melindungi desa ini."

Vanua mengepalkan tangannya. "Aku tidak takut sendirian. Aku akan menemukan jalanku."

Mudra menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak akan membiarkan ketakutan mengendalikan diriku. Aku akan terus berjuang."

Bayangan-bayangan itu bergetar, lalu menghilang ke dalam kegelapan.

Nyi Lorong tersenyum samar. "Kalian telah membuktikan diri. Ingatlah, ketakutan terbesar kita bukan berasal dari luar, tetapi dari dalam diri kita sendiri."

Ia menyerahkan sebuah kantung kecil berisi serbuk putih kepada Sari. "Taburkan ini di akar pohon beringin. Itu akan mengembalikan kesuburannya. Namun, ingatlah, keseimbangan bukan hanya tugas para leluhur, tetapi tanggung jawab kalian semua."

Mereka kembali ke desa, membawa pesan dan harapan baru. Keesokan paginya, mereka menaburkan serbuk itu di akar pohon beringin yang mati. Perlahan, ranting-rantingnya mulai bergetar, daun-daun hijau muda mulai tumbuh.

Bu Ros dan warga desa menyaksikan dengan takjub. "Ini adalah keajaiban," bisik seorang warga.

"Bukan keajaiban," kata Sari, menatap pohon itu dengan penuh keyakinan. "Ini adalah keseimbangan yang kembali. Ini adalah pengingat bahwa kita harus selalu menjaga hubungan kita dengan alam."

Warga desa berjanji untuk lebih menghormati tanah yang mereka pijak, menjaga tradisi, dan hidup selaras dengan alam. Petilasan desa kembali berdiri kokoh, dan Kampung Tujuh pun perlahan menemukan kembali harmoni yang sempat terguncang.

Namun di dalam hutan, di antara bayangan pepohonan yang tinggi, Nyi Lorong tetap berjaga, mengawasi. Keseimbangan telah kembali, tapi dunia gaib tak akan pernah sepenuhnya diam. Ia tahu, akan tiba saatnya manusia kembali diuji. Dan ketika saat itu datang, ia akan ada di sana, menunggu, menjaga batas antara yang nyata dan yang tak terlihat.

***

25. KI RAJENDRA

Senja merayap turun, menyelimuti Kampung Tujuh dengan bayang-bayang yang semakin panjang. Di bawah naungan pohon akasia yang rindang, Sari, Mudra, dan Vanua duduk membentuk lingkaran, wajah mereka diliputi kegelisahan. Bu Ros telah mempertemukan mereka dengan Ki Rajendra, seorang guru tarot dan pemikir spiritual yang memilih menyendiri, menjauh dari hiruk-pikuk dunia luar. Tidak dikenal di dunia media sosial tapi dihormati di media dedemit. Mereka mencari jawaban atas kegelisahan yang menghantui desa, sebuah ketidakpastian yang menjelma menjadi ancaman yang tak kasat mata.

Ki Rajendra duduk bersila di hadapan mereka, tangannya perlahan-lahan mengocok dek tarot yang tampak lusuh namun memancarkan energi misterius. Mata tuanya menatap mereka satu per satu, seolah bisa menembus lapisan ketakutan yang mereka simpan dalam hati.

"Setiap perjalanan meninggalkan jejak," ujar Ki Rajendra, suaranya dalam dan berat. "Tarot bukan ramalan. Tarot adalah cermin. Ia hanya akan menunjukkan apa yang sudah ada di dalam diri kalian."

Sari menelan ludah, lalu bertanya, "Jika begitu, apakah tarot bisa membantu kami memahami apa yang sedang terjadi di desa ini?"

Ki Rajendra mengangguk pelan. Ia mengambil satu kartu dan meletakkannya di atas meja kayu di antara mereka. Kartu itu bergambar sosok yang berdiri di tepi jurang, memegang tas kecil dan bunga putih, dengan seekor anjing putih di sampingnya.

"The Fool," bisik Mudra, matanya menajam. "Sama seperti dalam mimpi kami."

Ki Rajendra tersenyum tipis. "Kalian berada di awal perjalanan yang besar. The Fool tidak bodoh. Ia polos, ya, tetapi juga berani. Ia melangkah tanpa rasa takut, karena ia tahu bahwa keberanian sejati adalah menerima ketidakpastian."

Vanua mendengus sinis. "Keberanian? Aku melihat desa ini semakin jatuh dalam ketakutan. Jika keberanian bisa menyelesaikan masalah, kami tak akan berada di sini."

Ki Rajendra mengangkat alisnya. "Keberanian bukan sekadar bertindak tanpa takut, Nak Vanua. Keberanian adalah melihat ketakutan itu dan tetap memilih untuk melangkah maju. Apa yang benar-benar kau takuti? Kerumunan? Atau ketidakmampuanmu menghadapi dirimu sendiri dalam kerumunan itu?"

Vanua terdiam, seolah kata-kata itu menelanjangi pikirannya yang paling dalam. Sari menatap Ki Rajendra dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Lalu, apa yang harus kami lakukan?"

Ki Rajendra mengambil kartu kedua dan meletakkannya di sebelah kartu The Fool. Kartu itu adalah The Tower—sebuah menara yang tersambar petir, dengan dua sosok manusia terjun ke dalam kehancuran.

"Keseimbangan sedang runtuh," ujar Ki Rajendra. "Apa yang selama ini kalian percaya telah berubah. Alam telah memberi tanda, roh-roh mulai gelisah, dan desa kalian berada di persimpangan jalan. Kalian harus memutuskan, apakah akan membiarkan kehancuran itu terjadi, atau akan membangun sesuatu yang baru dari puing-puingnya."

Mudra mengepalkan tangannya. "Kami tidak akan membiarkan desa ini hancur. Kami sudah berusaha keras untuk mempertahankannya."

Ki Rajendra mengangguk. "Lalu, bersiaplah. Kalian harus berhadapan dengan kekuatan yang lebih besar daripada sekadar manusia. Nyi Lorong adalah ujian pertama. Tapi masih ada sesuatu yang lebih besar menunggu di depan."

Sari menarik napas dalam-dalam. "Apa yang bisa kami lakukan?"

Ki Rajendra mengambil kartu ketiga dan membaliknya. The Magician. Seorang pria muda dengan satu tangan menunjuk ke langit dan satu tangan menunjuk ke bumi, dengan simbol empat elemen di hadapannya.

"Kalian memiliki semua yang kalian butuhkan," katanya. "Kalian hanya harus belajar menggunakannya. Sari dengan kebijaksanaannya, Mudra dengan kepemimpinannya, Vanua dengan keberaniannya. Tapi kalian harus belajar untuk bekerja sama, bukan hanya sebagai sekutu, tetapi sebagai bagian dari satu kesatuan."

Hening menyelimuti mereka. Angin berdesir lembut, membawa aroma tanah dan daun kering. Malam mulai menjelang, dan di kejauhan, suara burung hantu terdengar, seolah menjadi pengingat bahwa kegelapan belum pergi sepenuhnya.

Ki Rajendra bangkit, meraih tongkat kayunya, lalu menatap mereka sekali lagi. "Pergilah ke petilasan lagi. Taburkan abu dari pohon beringin yang mati di tempat yang paling sunyi di desa kalian. Jika roh leluhur masih bersama kalian, mereka akan memberi tanda."

"Dan jika mereka tidak memberi tanda?" tanya Vanua.

Ki Rajendra tersenyum samar. "Maka, bersiaplah menghadapi apa pun yang datang. Karena itu berarti kalian harus berjuang sendiri."

Dengan pesan itu, mereka berpamitan pada Ki Rajendra. Desa mereka sedang diuji, dan mereka tidak punya pilihan selain menghadapi ketakutan mereka sendiri—baik ketakutan yang terlihat maupun yang tersembunyi dalam hati mereka sendiri.

***

26. KEKUATAN KERUMUNAN

Ki Rajendra meletakkan kartu The Fool kembali ke dalam tumpukannya dengan gerakan yang tenang. Kemudian, ia menarik satu kartu lagi dari dek Tarotnya dan membaliknya. Kali ini, gambar yang muncul adalah sosok yang berdiri tegak di depan meja altar yang dipenuhi berbagai simbol: tongkat, cawan, pedang, dan pentakel. Tangannya terangkat, satu menunjuk ke atas, seolah menarik energi dari langit, dan yang lain menunjuk ke bawah, menyalurkannya ke bumi.

"Sekarang," kata Ki Rajendra dengan senyum yang lebih dalam, "mari kita lihat pesan dari kartu berikutnya yang hadir untuk kalian: The Magician."

Sari dan Mudra mencondongkan tubuh ke depan, tertarik dengan kartu tersebut. Vanua, meskipun masih tampak sedikit ragu, ikut mengamati dengan saksama.

"Kartu ini," lanjut Ki Rajendra, "muncul sebagai pesan bahwa kekuatan yang kalian cari sebenarnya telah ada dalam diri kalian sendiri. The Magician mengajarkan tentang pentingnya menyeimbangkan elemen-elemen alam dan memanfaatkan kekuatan yang tersembunyi di sekitar kita untuk menciptakan perubahan yang positif."

Mudra bertanya dengan antusias, "Keajaiban seperti apa yang Anda maksud, Ki Rajendra?"

"Keajaiban tidak selalu berupa sesuatu yang ajaib dalam artian supranatural, Mudra," jawab Ki Rajendra, matanya menatap jauh seolah melihat sesuatu yang tak kasat mata. "Keajaiban ada di sekitar kita dalam bentuk keberanian untuk bertindak, kekuatan untuk percaya, dan kebijaksanaan untuk memilih dengan hati. The Magician menantang kalian untuk menemukannya dalam setiap langkah yang kalian ambil."

Ki Rajendra kemudian menjelaskan lebih lanjut, "Kartu ini juga mengajarkan Hukum Korespondensi: 'Seperti di atas, begitu pula di bawah; di dalam, begitu pula di luar.' Kita semua terhubung—dengan alam semesta, dengan energi, dan dengan sesama makhluk hidup. The Magician menantang kalian untuk menggunakan sumber daya kalian secara bijaksana dan harmonis."

Ia menunjuk pada sosok dalam kartu. "Lihatlah posturnya. Ia bertindak seperti penangkal petir—satu tangan terangkat ke langit untuk menerima inspirasi dari Yang Ilahi, dan tangan lainnya menunjuk ke bumi untuk menyalurkan kekuatan itu menjadi tindakan nyata. Terkadang, kemampuannya menghasilkan keajaiban yang tampak mustahil, karena ia percaya pada kekuatannya sendiri."

Vanua, yang mendengarkan dengan penuh perhatian, akhirnya bertanya, "Apa yang membuat The Magician begitu kuat, Ki Rajendra? Bukankah ia terlihat seperti sosok yang berdiri sendiri, tanpa bergantung pada siapa pun?"

Ki Rajendra tersenyum bijak. "Kekuatan The Magician bukan hanya berasal dari dirinya sendiri, tetapi juga dari pemahamannya akan keterhubungan dengan dunia. Ia percaya pada dirinya sendiri dan tidak takut mengambil risiko. Tetapi ia juga tahu kapan harus bekerja dengan orang lain. Kekuatan sejati bukan hanya tentang bertindak sendiri, tetapi tentang memahami kapan harus bersinergi."

Mudra dan Sari saling bertukar pandang, merasakan semangat baru yang membara dalam diri mereka. Kata-kata Ki Rajendra seolah membuka mata mereka terhadap potensi yang selama ini tersembunyi. Kekuatan untuk mengatasi ancaman di desa mereka mungkin tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam diri mereka sendiri dan dari persatuan mereka sebagai sebuah komunitas.

Vanua, yang selama ini meyakini bahwa "neraka adalah orang lain," mulai merasakan bahwa mungkin ada sesuatu yang lebih dalam. Mungkin, dalam kerumunan yang bersatu dengan tujuan yang jelas dan keyakinan yang kuat, justru bisa muncul kekuatan yang luar biasa. Kerumunan yang selama ini ia hindari justru bisa menjadi alat untuk mengalahkan kegelapan.

"Ki Rajendra," Vanua memulai dengan suara pelan, "bagaimana jika kerumunan itu sendiri yang menjadi masalahnya? Di desa kami, kebersamaan yang dulu menjadi kekuatan, kini terasa seperti ancaman. Ketakutan dan kecurigaan telah mengubahnya menjadi neraka."

Ki Rajendra mengangguk, matanya menatap Vanua dengan penuh pengertian. "Kerumunan bisa menjadi neraka jika kehilangan arah dan keseimbangan. Seperti yang kau katakan, ketakutan dan kecurigaan bisa merusak harmoni dan kepercayaan. Namun, seperti yang diajarkan oleh The Magician, setiap masalah memiliki solusinya. Kekuatan untuk mengubah kerumunan menjadi sesuatu yang positif ada di tangan kalian."

"Bagaimana caranya, Ki?" tanya Sari, suaranya penuh harap.

"Pertama-tama, kalian harus menemukan kembali individualitas dan rasionalitas di dalam kerumunan. Ingatlah bahwa setiap orang memiliki kekuatan dan kebijaksanaan masing-masing. Jangan biarkan diri kalian larut dalam emosi kolektif yang negatif. Gunakan akal sehat dan intuisi kalian untuk membedakan antara kebenaran dan desas-desus," jelas Ki Rajendra.

"Bangun kembali harmoni dan kepercayaan di antara anggota komunitas. Lakukan komunikasi yang terbuka dan jujur, dengarkan pendapat dan kekhawatiran orang lain, dan carilah solusi bersama. Ingatlah, kita semua terhubung, dan hanya dengan bekerja sama kita bisa mengatasi masalah ini," lanjutnya.

"Alihkan energi kolektif negatif menjadi energi positif. Fokus pada tujuan bersama, yaitu melindungi desa dan menemukan kedamaian. Gunakan kekuatan batin kalian, kebijaksanaan, dan keseimbangan untuk menciptakan perubahan positif. Ingatlah, seperti di atas, begitu pula di bawah; di dalam, begitu pula di luar. Jika kalian bisa mengubah energi di dalam diri kalian, kalian juga bisa mengubah energi di sekitar kalian," tambah Ki Rajendra.

"Terakhir, jangan biarkan rasa takut menguasai kalian. Hadapi ancaman eksternal dengan keberanian dan keyakinan. Ingatlah, The Magician percaya pada dirinya sendiri dan berani mengambil risiko. Gunakan kekuatan yang ada di dalam diri kalian untuk melindungi desa dan menemukan jalan keluar dari 'neraka' ini," pungkas Ki Rajendra.

Ki Rajendra menutup perbincangan. Malam semakin larut, tetapi cahaya hati Sari, Mudra, dan Vanua, telah menyala. 

***

27. KEHENINGAN DALAM KERUMUNAN

Ki Rajendra menyentuh setumpuk kartu, seolah membelai benang-benang takdir yang terjalin rumit. Dengan khidmat, dibukanya sebuah kartu, menampilkan seorang wanita bermahkota bulan, duduk di antara pilar-pilar bisu, menggenggam gulungan rahasia. Wajahnya laksana danau tenang, menyimpan misteri di balik riak kerumunan yang tak pernah benar-benar sunyi.

"The High Priestess," bisik Ki Rajendra, suaranya mengalun lirih, "hadir membawa sunyi di tengah hingar. Ia adalah penjaga gerbang jiwa. Bayang-bayang kerumunan tak mampu menjangkau, sebuah benteng terakhir dari riuhnya dunia luar."

Sari, Mudra, dan Vanua menatap kartu itu, terpana oleh aura keheningan yang terpancar, seolah bisikan angin malam yang membawa rahasia kuno. Di mata Vanua, kerumunan yang selama ini tampak sebagai lautan riuh, kini terlihat memiliki kedalaman sunyi yang tak terduga, sebuah labirin jiwa yang tersembunyi di balik wajah-wajah yang berdesakan.

"Jadi," kata Vanua dengan suara lirih, "kerumunan bukan hanya bising dan menyesakkan? Ada sesuatu yang lain, sesuatu yang tersembunyi di baliknya?"

Ki Rajendra mengangguk. "Setelah The Magician  membakar semangat dengan api tindakan, The High Priestess hadir sebagai embun penyejuk. Ia mengajak kita menelisik ke dalam diri, mencari kebijaksanaan di balik tabir keramaian yang memekakkan telinga. Di tengah desas-desus yang menyesatkan, ia adalah kompas yang menuntun ke lorong-lorong sunyi kalbu, di mana kebenaran bersembunyi di balik bayang-bayang."

Mudra menatap kartu itu lebih dalam. "Jadi, ini tentang keheningan di dalam diri? Tapi bagaimana bisa keheningan menaklukkan kerumunan yang sudah berubah menjadi neraka?"

Ki Rajendra tersenyum tipis. "Di dalam kerumunan yang bergejolak, The High Priestess mengajarkan tentang pentingnya mendengarkan suara sunyi intuisi. Ia adalah penjaga mimpi dan rahasia, tempat bagi akar ketakutan dan kekacauan bersembunyi. Untuk memahami 'neraka' kerumunan, kita harus menyelami samudra tak sadar kolektif, mencari permata kebenaran di dasar kelamnya. Sebab, dalam setiap kerumunan, ada aliran energi yang tak terlihat. Jika kau cukup hening, cukup peka, kau bisa merasakannya, dan dari sanalah kau bisa mengendalikan kekacauan."

"Tapi aku tidak percaya pada intuisi," sahut Vanua. "Aku percaya pada logika dan tindakan. Kerumunan hanya akan semakin liar jika kita diam. Kita harus melawan, harus bertindak!"

"Benarkah demikian?" Ki Rajendra menatap Vanua tajam, namun dengan kelembutan yang tidak menghakimi. "Lihatlah apa yang terjadi selama ini. Semakin kau mencoba melawan kerumunan dengan keributan, semakin keras pula mereka menentangmu. Mereka adalah cermin bagi ketakutan dan kemarahan yang kau bawa dalam dirimu. Tapi jika kau berhenti melawan, jika kau mendengarkan, kau akan mulai memahami. Dan ketika kau memahami, kau akan tahu cara menuntun mereka, bukan menghancurkan mereka."

Sari mengangguk pelan, matanya berbinar karena pemahaman baru. "Jadi, rahasia untuk mengatasi kerumunan bukan hanya tentang menghadapi mereka secara langsung, tetapi juga tentang memahami arus yang mengalir di dalamnya. Keheningan bisa menjadi cara untuk menyentuh jiwa mereka yang paling dalam, untuk membawa perubahan dari dalam, bukan dari luar."

Ki Rajendra tersenyum lebih lebar. "Benar, Sari. The High Priestess menantang kita untuk melihat melampaui ilusi kerumunan, menggali kebenaran yang terkubur di bawah lapisan opini yang saling bertabrakan. Ia mengajak kita merenungkan potensi tanpa batas yang tersembunyi di dalam diri, mengingatkan bahwa kita adalah pulau-pulau sunyi di tengah lautan keramaian, masing-masing dengan misteri dan kekuatan yang unik."

Mudra menghela napas panjang, membiarkan kata-kata itu meresap dalam pikirannya. "Jadi, kadang melawan bukanlah pilihan terbaik. Kadang kita harus mundur sejenak, bukan untuk menyerah, tapi untuk melihat lebih luas."

"Tepat sekali," Ki Rajendra menegaskan. "Untuk menaklukkan 'neraka' kerumunan, kita tak perlu pedang atau perisai, atau bahkan kata-kata yang lantang. Cukup dengan duduk diam, mendengarkan bisikan sunyi di kalbu, dan membiarkan kebijaksanaan The High Priestess menuntun kita melewati badai, menemukan ketenangan di tengah kekacauan."

Mereka terdiam sejenak, membiarkan malam yang sunyi berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang bisa mereka ucapkan. Rembulan yang menggantung di langit seakan memahami pergolakan batin mereka, membiarkan sinarnya membelai mereka dengan lembut. Di dalam hati masing-masing, sesuatu mulai bergeser. Kerumunan yang sebelumnya tampak sebagai ancaman, kini tampak sebagai sesuatu yang lebih kompleks, lebih dalam, lebih manusiawi.

Jalan keluar dari neraka bukanlah dengan melarikan diri dari kerumunan, tetapi dengan menemukan keheningan di tengah neraka-kerumunan.

***

28. MERAWAT KERUMUNAN

Setelah keheningan panjang yang tercipta dari kebijaksanaan The High Priestess, Ki Rajendra menutup matanya sesaat. Seolah merasakan ritme alam yang bergerak di sekelilingnya, ia menghembuskan napas panjang, lalu meraih kartu berikutnya dengan gerakan yang penuh hormat. Kartu itu dibalik, menampilkan sosok seorang wanita anggun yang duduk di atas singgasana berhias emas. Ia mengenakan mahkota bintang dan memegang tongkat kerajaan di tangannya. Di sekelilingnya, taman yang rimbun dan penuh kehidupan membingkai sosoknya, seolah alam pun tunduk pada kehadirannya.

"The Empress," ucap Ki Rajendra pelan, seolah memperkenalkan seorang tokoh besar yang telah lama dinantikan. "Ia adalah simbol kesuburan, kelimpahan, dan kebijaksanaan yang tumbuh dari pengalaman. Seperti bumi yang selalu memberi, ia adalah sumber kehidupan yang terus mengalir."

Sari menatap kartu itu dalam-dalam, merasakan sesuatu yang mengalir di dalam dirinya. "Jadi, ini tentang kelahiran kembali? Tentang bagaimana kita bisa menumbuhkan sesuatu setelah kehancuran?"

Ki Rajendra mengangguk. "Benar, Nak Sari. Setelah perjalanan dalam kegelapan, selalu ada fajar yang menyingsing. The Empress mengajarkan kita bahwa tidak semua yang jatuh berarti berakhir. Sebaliknya, dari tanah yang hancur, kita bisa menanam sesuatu yang baru. Namun, tanah itu harus diolah dengan benar, dengan kasih sayang, kesabaran, dan kesadaran."

Mudra menyandarkan punggungnya pada batang pohon, merenung. "Tapi bagaimana dengan kerumunan? Kita sudah belajar dari The High Priestess bahwa kita harus memahami arus yang mengalir di dalamnya. Tapi kerumunan tetaplah kerumunan. Ia bisa menjadi neraka yang menyesakkan, tempat bagi orang-orang yang kehilangan identitasnya, menjadi bagian dari massa yang kehilangan akal sehat."

Vanua mengangguk setuju. "Ya. Kerumunan bisa menindas. Mungkin karena ketika kita terjebak dalam kebisingan kolektif, kita kehilangan kendali atas siapa diri kita sebenarnya. Kita menjadi produk dari ekspektasi orang lain, bukan dari diri kita sendiri."

Ki Rajendra tersenyum kecil, lalu menunjuk ke arah kartu di hadapannya. "Itulah mengapa The Empress hadir. Ia bukan sekadar penguasa, bukan sekadar simbol kekuasaan. Ia adalah sosok yang mampu mengelola, menyeimbangkan, dan merawat kehidupan di sekitarnya. Kerumunan memang bisa menjadi neraka, tetapi hanya jika tidak ada yang merawatnya. Kerumunan bisa menjadi tanah yang tandus, penuh dengan gulma kebencian, ketakutan, dan kekacauan. Namun, jika ada seseorang yang cukup bijak untuk mengolahnya, tanah itu bisa berubah menjadi taman yang subur."

Sari mulai mengerti arah pembicaraan itu. "Jadi, yang kita perlukan bukan hanya pemahaman tentang bagaimana menghindari atau menghadapi kerumunan, tetapi bagaimana kita bisa mengolahnya menjadi sesuatu yang lebih baik?"

"Tepat sekali," jawab Ki Rajendra. "The Empress  tidak memerintah dengan tangan besi seperti The Emperor. Ia tidak membentuk massa dengan kekerasan atau dogma. Ia membiarkan tanahnya berkembang dengan alami, memberi ruang bagi setiap benih untuk bertumbuh. Ia adalah pemimpin yang memahami bahwa setiap orang memiliki tempatnya sendiri dalam kehidupan ini, dan tugasnya bukanlah untuk memaksa, tetapi untuk membimbing."

Mudra menatap api unggun yang redup di depan mereka. "Mungkin ini jawaban dari pertanyaan kita selama ini. Kita terlalu sibuk melihat kerumunan sebagai ancaman, sebagai sesuatu yang harus dilawan atau dihindari. Kerumunan tidak selalu harus menjadi neraka. Ia bisa menjadi keluarga, bisa menjadi komunitas, bisa menjadi kebun yang kita rawat bersama."

Vanua masih terlihat ragu. "Tapi bagaimana kita bisa memastikan bahwa kerumunan itu tidak berubah menjadi monster kolektif yang kehilangan akal? Bukankah sejarah sudah membuktikan bahwa massa yang tidak terkendali bisa menjadi alat penghancur? Revolusi-revolusi yang lahir dari massa, terkadang justru melahirkan tirani yang lebih buruk dari sebelumnya."

Ki Rajendra menatapnya dalam-dalam, lalu tersenyum. "Itulah sebabnya The Empress tidak hanya melambangkan kesuburan, tetapi juga keseimbangan. Ia tahu kapan harus memberi dan kapan harus menarik diri. Ia tidak membiarkan dirinya terseret dalam pusaran kekacauan. Ia memahami bahwa manusia bukan sekadar individu yang berdiri sendiri, tetapi juga bagian dari ekosistem yang lebih besar. Jika kau ingin menghindari neraka dalam kerumunan, kau harus belajar bagaimana menjadi The Empress. Bukan berarti menjadi penguasa dalam arti literal, tetapi menjadi seseorang yang bisa menyeimbangkan antara dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya."

Sari, Mudra, dan Vanua terdiam. Kata-kata Ki Rajendra menggema di dalam pikiran mereka. The Empress bukan hanya tentang kepemimpinan, bukan hanya tentang penguasaan, tetapi tentang merawat, menumbuhkan, dan mengelola sesuatu dengan penuh kesadaran.

"Jadi," kata Sari akhirnya, "bisa dikatakan bahwa untuk keluar dari neraka kerumunan, kita harus berhenti melihat diri kita sebagai korban dari massa, dan mulai melihat diri kita sebagai bagian dari tanah yang bisa kita suburkan. Kita harus bertanggung jawab atas peran kita dalam komunitas, bukan hanya sebagai individu yang bertahan, tetapi sebagai individu yang ikut membentuk sesuatu yang lebih baik." Sari lancar menyatakan hal ini setelah mengingat kesamaan antara Ibu Bumi dan The Empress.

Ki Rajendra tersenyum penuh kebanggaan. "Kalian mulai memahami. Dunia ini tidak hanya tentang melawan atau menghindari, tetapi juga tentang menciptakan. The Empress  mengingatkan kita bahwa kehidupan selalu bisa diperbarui, selalu ada kesempatan untuk menanam benih baru, untuk mengubah tanah yang kering menjadi tanah yang subur. Dan ketika kalian sudah bisa mengolah tanah itu, ketika kalian sudah bisa menciptakan taman yang rimbun, maka tidak akan ada lagi neraka. Yang ada hanyalah rumah."

Di bawah cahaya bulan yang semakin meredup, mereka bertiga menatap kartu The Empress dengan pemahaman yang baru. Mungkin, cara untuk mengatasi 'kerumunan adalah neraka' bukanlah dengan melawannya secara membabi buta, tetapi dengan merawatnya, menumbuhkannya, dan mengarahkannya menuju sesuatu yang lebih baik.

***

29. BENTENG KERUMUNAN

Ki Rajendra meletakkan kartu The Empress dengan gerakan penuh hormat, seolah melepaskan kehangatan musim semi. Kini, tangannya yang keriput menjangkau kartu berikutnya, menghadirkan aura yang berbeda, seolah pergantian musim dari kelembutan ke ketegasan. Gambar yang muncul adalah sosok pria dewasa yang duduk dengan gagah di atas takhta batu, laksana gunung karang yang kokoh. Ia mengenakan jubah merah, warna keberanian dan otoritas, memegang tongkat kerajaan dan bola dunia, simbol kekuasaan dan tanggung jawab yang dipikulnya. Wajahnya laksana pahatan batu, menunjukkan ketenangan dan otoritas, namun menyimpan kebijaksanaan di balik garis-garis tegasnya.

"Sekarang," kata Ki Rajendra dengan nada mantap, suaranya berat seperti gema langkah kaki di lantai batu. "Kita akan melihat pesan dari kartu The Emperor."

Mudra menatap kartu itu dengan rasa hormat, merasakan aura kepemimpinan yang memancar kuat. Sosok dalam gambar itu memancarkan kekuatan dan ketegasan, sesuatu yang menurutnya sangat dibutuhkan oleh Desa Kampung Tujuh dan Desa Gayam saat ini, laksana benteng yang melindungi dari badai. Sari pun mengamati dengan saksama, mencoba memahami pesan yang tersirat di balik ketegasan The Emperor, mencari celah kelembutan di balik tembok kekuasaan. Vanua, yang selama ini lebih banyak mengamati dari pinggir, merasakan adanya kebutuhan akan struktur dan keteraturan setelah kekacauan yang mereka alami, seperti pengelana yang mencari peta di tengah labirin. Wajah dalam kartu itu mirip Raja Batu yang pernah muncul di Kampung Tujuh.

"Kartu ini," Ki Rajendra memulai, "bisa melambangkan seorang pemimpin—seseorang yang bertanggung jawab dan adil, seperti pilar yang menopang atap rumah. The Emperor atau Sang Kaisar mengajarkan kita untuk mengamati situasi dengan tenang, seperti elang yang mengawasi dari puncak gunung, dan mempertimbangkan pilihan dengan saksama."

Ia melanjutkan, "Kartu The Emperor juga memberikan tanda-tanda simbolik bahwa ada seseorang yang sedang dipertimbangkan untuk naik klas, diangkat dalam kelompok, atau mengambil peran baru dengan prospek yang lebih baik. Jika kalian menjadi tumpuan dalam keluarga atau masyarakat, jika kalian harus menjadi penengah dan penjaga perdamaian, kartu ini melambangkan peran itu. Kepemimpinan bukan hanya soal memegang kekuasaan, tetapi juga menjaga keseimbangan, memastikan setiap orang mendapat tempat dan tujuan."

Ki Rajendra menunjuk gambar dalam kartu. "Lihatlah The Emperor. Ia berdiri tegak, yakin dengan kemampuannya untuk mengendalikan keadaan. Ia melambangkan struktur, ketertiban, dan hukum—kekuatan yang dibutuhkan untuk mengimbangi aliran bebas dari The Empress. Jika Desa Kampung Tujuh dan Desa Gayam butuh perubahan, butuh kestabilan, maka kita harus menemukan sosok yang bisa menegakkan aturan dengan adil tanpa kehilangan hati nurani."

Mudra merenung, memikirkan Bu Ros, kepala desa mereka. Sosoknya yang tegas namun adil sangat cocok dengan deskripsi The Emperor. Mungkin, untuk membangun kembali Kampung Tujuh dan Desa Gayam setelah kekacauan yang disebabkan oleh ketakutan akan kerumunan, mereka membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan terstruktur, seperti fondasi yang kokoh untuk bangunan yang kuat.

Sari berkata dengan hati-hati, suaranya lembut namun penuh pertanyaan. "Apakah ini berarti kita membutuhkan seseorang untuk mengambil alih dan membuat aturan yang ketat, Ki Rajendra? Bagaimana dengan kebebasan dan kebersamaan yang baru saja kita temukan?"

"Keseimbangan adalah kunci, Sari," jawab Ki Rajendra. "The Emperor bukan hanya tentang kekuasaan dan aturan, tapi juga tanggung jawab dan keadilan. Ia ada untuk menciptakan struktur yang stabil agar semua orang bisa berkembang. The Emperor bisa menjadi kekuatan penyeimbang yang mencegah kerumunan menjadi liar dan destruktif. Ia adalah pemimpin yang mampu mengarahkan energi kerumunan menuju tujuan yang positif dan membangun."

Vanua, yang selama ini menghindari segala bentuk otoritas, bertanya dengan nada skeptis. "Tapi bukankah kekuasaan seringkali menjadi sumber masalah dalam kerumunan? Bukankah aturan yang terlalu ketat justru bisa menindas?"

"Benar, ada risiko dalam setiap bentuk kekuasaan," jawab Ki Rajendra. "Tapi pemimpin sejati tidak menggunakan kekuasaannya untuk menindas. Ia melindungi, membimbing, dan mengambil keputusan sulit demi kepentingan semua orang. Mungkin ini saatnya memperkuat kembali struktur kepemimpinan di Desa, memastikan bahwa aturan yang kita sepakati bersama dijalankan dengan adil. Jika tidak ada struktur yang jelas, kita akan terus berada dalam ketakutan dan ketidakpastian."

Ki Rajendra melanjutkan, "The Emperor mengajarkan kita untuk memiliki visi yang jelas dan bertindak dengan tegas. Ia tidak takut mengambil risiko demi keyakinannya dan mampu fokus pada tujuan dengan tekad yang kuat. Ini saatnya bagi Kampung Tujuh untuk memiliki pemimpin yang bisa melihat gambaran besar, yang mampu mengambil keputusan sulit, dan yang bisa mengembalikan ketertiban serta rasa aman di tengah masyarakat."

Mudra merasakan ada beban tanggung jawab yang tiba-tiba menghimpit pundaknya. Sebagai salah satu pemuda yang dihormati di desa, apakah ia memiliki potensi untuk menjadi "The Emperor" bagi komunitasnya di Desa Gayam? Apakah ia mampu memimpin dengan adil dan bijaksana, menyeimbangkan antara kebebasan individu dan kebutuhan akan struktur dan ketertiban dalam kerumunan?

Sari menatap Mudra, seolah bisa membaca pikirannya. Ia melihat potensi kepemimpinan dalam diri pemuda itu—ketulusannya untuk melindungi desa, kemampuannya untuk mendengarkan berbagai pendapat. Mungkin, Desa Gayam tempat tinggal Mudra itu memang membutuhkan sosok "The Emperor" yang akan membimbing mereka menuju masa depan yang lebih stabil dan aman. Kerumunan tidak lagi menjadi ancaman, tetapi justru menjadi sumber kekuatan yang terorganisir dan terarah.

***

30. MENJINAKKAN KERUMUNAN

Ki Rajendra menarik napas dalam sebelum meraih kartu berikutnya. Tangannya yang kokoh namun berkeriput meletakkan kartu The Empror dengan hormat, seolah mengakui peran kepemimpinan yang kuat. Lalu, dengan gerakan perlahan, ia membalik kartu baru. Di hadapan mereka kini terbentang sosok seorang pria tua berwibawa yang duduk di atas bangku batu, mengenakan jubah merah dengan sulaman emas, di dadanya tersemat lambang bintang perak. Di satu tangan, ia menggenggam tongkat bertingkat tiga, sementara tangan lainnya terangkat dalam gestur ajaran, dua jari menunjuk ke langit dan dua lainnya ke bumi.

"The High Priest," ujar Ki Rajendra, suaranya rendah namun bergema dalam ruangan, "penjaga pengetahuan dan pemimpin spiritual. Ia adalah jembatan antara dunia manusia dan dunia yang lebih tinggi, mengajarkan disiplin dan tradisi kepada mereka yang mencarinya."

Sari, Mudra, dan Vanua menatap kartu itu dengan perasaan bercampur aduk. Setelah pembahasan tentang The Emperor, kini mereka dihadapkan dengan figur lain yang juga berhubungan dengan kepemimpinan. Namun, kali ini bukan kepemimpinan berbasis kekuasaan dan aturan, melainkan ajaran, keyakinan, dan struktur spiritual.

"Apa perbedaan utama antara The Emperor dan The High Priest?" tanya Mudra, matanya tetap terfokus pada kartu.

Ki Rajendra tersenyum tipis. "The Emperor membangun dunia dengan aturan dan batasan yang jelas, ia menjaga ketertiban dengan disiplin. Tapi The High Priest... ia tidak memerintah, ia membimbing. Ia tidak membuat hukum, tetapi menafsirkan kebenaran yang lebih tinggi."

Vanua menyandarkan tubuhnya ke belakang, menyilangkan tangan di dadanya. "Jadi, apakah kita sedang membahas seorang pemimpin spiritual? Atau ini lebih tentang kontrol sosial yang terselubung?"

Ki Rajendra mengangguk, mengerti skeptisisme Vanua. "The High Priest bisa menjadi dua hal. Ia bisa menjadi pembimbing yang penuh kebijaksanaan, mengajarkan manusia tentang nilai-nilai luhur. Namun ia juga bisa menjadi simbol sistem yang menghambat kebebasan berpikir, institusi yang memaksa manusia tunduk pada dogma tanpa bertanya. Itulah tantangannya. Ia bisa membangun komunitas yang berlandaskan pemahaman dan keharmonisan, tetapi ia juga bisa menjadi rantai yang mengikat seseorang dalam aturan yang tak lagi relevan."

Sari merenung sejenak, lalu berkata, "Desa kita pernah memiliki pemimpin spiritual, orang yang menjadi tempat bertanya ketika ada kebingungan. Tapi setelah semua kekacauan ini, siapa yang bisa dipercaya untuk menjadi bimbingan tanpa jatuh ke dalam penguasaan?"

Ki Rajendra menatapnya dalam-dalam. "Pertanyaan yang bagus, Sari. Kartu The High Priest juga melambangkan sistem kepercayaan, institusi-institusi yang menciptakan struktur dalam kehidupan kita. Sekolah, komunitas, bahkan tradisi yang diwariskan turun-temurun. Kadang, kita menemukan kebijaksanaan di dalamnya, kadang kita terperangkap olehnya. Maka, pertanyaannya adalah: apakah kalian siap menciptakan struktur baru yang lebih sesuai dengan zaman kalian, tanpa kehilangan akar dan makna dari masa lalu?"

Mudra menghela napas. "Aku masih ragu. Aku paham bahwa desa ini membutuhkan kepemimpinan, aturan, dan juga panduan moral. Tapi aku tidak ingin desa ini menjadi tempat bagi orang yang merasa terikat oleh ajaran yang mereka sendiri tidak pahami. Bukankah ini bisa berakhir seperti sistem lama, yang mana orang-orang hanya mengikuti karena takut, bukan karena mengerti?"

Vanua menimpali dengan nada tajam, "Inilah yang selalu membuatku tidak percaya pada hierarki dan aturan yang terlalu kaku. Kita selalu bicara soal kebebasan, tapi di sisi lain kita membangun lebih banyak batasan. Jika aturan dan kepercayaan selalu berujung pada pengekangan, bagaimana kita bisa hidup tanpa merasa terjebak dalam 'neraka' yang kita ciptakan sendiri?"

Ki Rajendra menatap mereka satu per satu, membiarkan kata-kata itu menggantung di udara. "Kerumunan adalah neraka, seperti yang kalian katakan, bukan? Tapi pikirkan lagi. Apakah benar-benar kerumunan yang menjadi neraka? Ataukah kekacauan yang tidak terkendali, ketidaktahuan, dan ketakutan yang membuatnya demikian? The High Priest hadir bukan untuk membatasi, tetapi untuk mengajarkan bagaimana kerumunan itu dapat menemukan harmoni, bagaimana kekacauan dapat diubah menjadi tatanan tanpa kehilangan kebebasan."

Sari menundukkan kepala, menyadari bahwa ada benarnya juga. Desa Gayam dan Kampung Tujuh selama pandemi Covid-19 sudah lama terpecah karena ketakutan, karena tidak adanya arah yang jelas. Jika mereka bisa menciptakan sistem yang adil, yang tidak menekan tetapi membimbing, mungkin mereka bisa mengubah kerumunan yang selama ini dianggap neraka menjadi komunitas yang saling mendukung.

Mudra lalu berkata, "Jadi, ini bukan hanya tentang membangun aturan, tetapi juga tentang bagaimana kita memahami tujuan dari aturan itu sendiri. Bukan hanya tentang mengontrol, tetapi juga membimbing."

Ki Rajendra tersenyum. "Tepat. Aturan tanpa makna hanya akan menjadi beban. Tapi aturan yang lahir dari pemahaman, yang disepakati bersama, bisa menjadi jalan menuju harmoni. Kalian sendiri yang harus menemukan keseimbangan itu."

Vanua, meskipun masih skeptis, mulai memahami sudut pandangnya. "Jadi, kita harus bertanya pada diri sendiri, apakah kita menciptakan sistem yang membangun atau yang justru menjebak kita? Karena terkadang, bahkan niat baik bisa berubah menjadi rantai yang mengikat."

"Benar," jawab Ki Rajendra. "Dan kalian harus ingat, The High Priest tidak memberikan semua jawaban. Ia hanya memberi kalian kunci untuk menemukannya sendiri."

Hening sejenak. Mereka bertiga memandang satu sama lain, menyadari bahwa ini bukan sekadar diskusi tentang desa mereka, tetapi juga tentang bagaimana mereka ingin menjalani hidup mereka sendiri.

Malam semakin larut, tetapi pikiran mereka semakin terang. Kerumunan bisa menjadi neraka, tetapi dengan kebijaksanaan dan pemahaman, mungkin neraka itu bisa dijinakkan, bahkan diubah menjadi sesuatu yang bermakna.

***

31. PERSIMPANGAN PILIHAN

Setelah perbincangan panjang tentang The High Priest, malam itu mereka bertiga tidak langsung kembali ke rumah. Pikiran mereka masih dipenuhi oleh perdebatan yang tak kunjung selesai. Langit bertabur bintang, tetapi ada sesuatu yang mengganggu hati mereka, seperti kabut yang menghalangi cahaya rembulan.

Mudra berjalan lebih dulu, diikuti oleh Sari dan Vanua yang berjalan berdampingan di belakangnya. Ki Rajendra berjalan santai di depan Mudra. Mereka tiba di kebun di pinggir desa, tempat bunga-bunga liar bermekaran dalam keheningan. Angin berembus lembut, membawa aroma tanah basah dan dedaunan. Di bawah pohon besar yang menaungi mereka, Ki Rajendra kembali membalik kartu berikutnya.

Sebuah kartu bergambar sepasang kekasih muncul. Seorang pria dan wanita berdiri di taman yang dipenuhi bunga, sementara di atas mereka, seorang malaikat memandang dengan tangan terulur, seolah memberkati ikatan mereka. Sang pria dan wanita saling menatap, dan di antara mereka, ada api kecil yang berkobar, simbol gairah dan keputusan yang harus diambil.

"The Lovers," ucap Ki Rajendra perlahan. "Kartu ini bukan hanya soal cinta. Ia juga tentang pilihan. Sebuah persimpangan yang akan menentukan jalan hidup seseorang."

Sari menatap kartu itu dengan perasaan yang bercampur aduk. "Jadi ini bukan hanya soal romansa?"

"Tidak," jawab Ki Rajendra, menggeleng pelan. "Dalam sejarah Tarot, The Lovers selalu melambangkan keputusan besar. Seringkali, ini adalah pilihan antara hati dan pikiran, antara nafsu dan tanggung jawab, antara sesuatu yang mudah dan sesuatu yang benar."

Mudra menatap kartu itu dalam-dalam, merasakan sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. "Apakah ini tentang pilihan yang harus kita buat di desa? Atau tentang sesuatu yang lebih personal?"

Vanua menatapnya tajam. "Atau mungkin keduanya?"

Keheningan yang panjang menyelimuti mereka. Tidak ada yang ingin mengatakan apa yang sebenarnya ada di benak masing-masing, tetapi udara di sekitar mereka terasa tegang, seperti sebelum badai datang. Segitiga eros antara Mudra, Sari, dan Vanua diam-diam merayap ke pikiran yang menghentak kesadaran untuk tetap saling mencintai di antara mereka.

Ki Rajendra menghela napas. "Dalam kerumunan, seringkali kita dihadapkan pada dilema moral. Kerumunan bisa menyatukan, tetapi juga bisa memaksa kita untuk memilih sesuatu yang bertentangan dengan nurani kita. Kartu ini ingin bertanya: apakah kalian siap menghadapi konsekuensi dari pilihan yang kalian buat?"

"Dan apa yang terjadi jika kita memilih jalan yang salah?" tanya Sari, suaranya lebih pelan dari biasanya.

Ki Rajendra menatapnya dalam. "Tidak ada jalan yang sepenuhnya salah atau benar. Setiap pilihan akan membawa konsekuensinya sendiri. Tapi ingatlah, apa yang kalian pilih bukan hanya berdampak pada diri sendiri, tetapi juga pada orang lain. Pada kerumunan. Dan seperti yang kalian katakan sebelumnya, kerumunan bisa menjadi neraka jika dibiarkan tanpa kendali."

Mudra menghela napas dalam-dalam, pikirannya kembali ke semua yang telah terjadi. Keputusan tentang bagaimana mereka memimpin desa, membentuk aturan baru, dan menghadapi ketakutan kolektif yang telah lama berakar. Dan juga, ada keputusan lain yang lebih personal, yang tidak bisa ia abaikan.

Sari dan Vanua…., batin Mudra.

Sejak awal, ia tahu ada sesuatu yang tumbuh di antara mereka bertiga. Sari dengan ketenangan dan kebijaksanaannya. Vanua dengan keberanian dan kebebasannya. Dan dirinya, yang selalu berada di tengah-tengah, mencoba menyeimbangkan segala sesuatu, tetapi pada akhirnya harus memilih.

Sari akhirnya angkat bicara, suaranya nyaris berbisik. "Kadang aku merasa kita bertiga terjebak dalam sesuatu yang lebih besar dari kita. Seperti takdir yang mempermainkan kita, memaksa kita untuk memilih arah yang akan mengubah segalanya."

Vanua tertawa kecil, tetapi tidak ada keceriaan dalam suaranya. "Lucu, bukan? Kita selalu berbicara tentang kebebasan, tentang bagaimana kita ingin keluar dari jerat aturan yang membelenggu. Tapi pada akhirnya, kita sendiri yang terjebak dalam keputusan yang harus diambil."

Mudra menatap mereka berdua, hatinya terasa berat. "Jika aku memilih salah satu dari kalian, apakah itu berarti aku harus kehilangan yang lain?"

Ki Rajendra tersenyum tipis. "Terkadang, cinta tidak sesederhana memilih satu dan meninggalkan yang lain. Tetapi cinta juga bukan sesuatu yang bisa kita biarkan tanpa arah. Karena jika dibiarkan begitu saja, ia bisa menjadi bagian dari kerumunan yang tak terkendali, berubah menjadi neraka yang baru."

Keheningan kembali menyelimuti mereka. The Lovers bukan hanya tentang cinta, tetapi tentang keputusan yang membawa konsekuensi besar: menjaga keseimbangan dari segitiga eros yang melanda Mudra, Sari, dan Vanua. 

***

32. KEMENANGAN BERDARAH

Ki Rajendra dengan perlahan membalik kartu berikutnya, mengungkapkan gambar seorang pria berseragam baja, berdiri gagah di atas kereta perang emas dan perak, ditarik oleh dua ekor kuda: satu hitam, satu putih.

"The Chariot," ujar Ki Rajendra dengan nada berat. "Simbol kemenangan, disiplin, dan kendali atas kekuatan besar."

Mudra, Sari, dan Vanua menatap kartu itu dengan sorot mata penuh pertanyaan. Setelah pembahasan panjang tentang The High Priest dan sistem yang membimbing manusia, kini mereka dihadapkan pada kartu yang berbeda, yang tampak lebih berkaitan dengan pergerakan dan ambisi.

"Apa yang membedakan The Chariot dari pemimpin sebelumnya yang telah kita bahas?" tanya Mudra.

Ki Rajendra menarik napas dalam. "Jika The Emperor menetapkan aturan dan The High Priest memberi ajaran, The Chariot adalah sosok yang bertindak. Ia tidak hanya memahami dunia, tetapi juga mengendalikan kekacauan dengan kekuatan kemauannya."

Vanua mengangkat alis. "Jadi ini tentang ego? Keinginan untuk menang di atas segalanya?"

"Bukan sekadar ego, tetapi kepercayaan diri dan kendali," jawab Ki Rajendra. "Lihatlah dua kuda itu. Satu melambangkan keteraturan dan akal, yang lainnya melambangkan kekacauan dan emosi. The Chariot tidak menekan salah satu—ia menyeimbangkan keduanya, mengarahkannya ke tujuan yang diinginkan. Bagi desa kita, ini berarti penguasaan diri, fokus, dan kemampuan untuk melampaui rintangan."

Sari menyandarkan dagunya pada tangan, merenungkan kata-kata itu. "Tapi bagaimana jika seseorang terlalu keras mengendalikan? Bukankah itu bisa berujung pada kehancuran?"

Ki Rajendra tersenyum tipis. "Itulah ujian dari kartu ini. Apakah seseorang akan menggunakan kekuatan dan kendalinya untuk membawa perubahan yang baik, atau justru membiarkan ambisinya membakar segalanya?"

Suasana hening sejenak. Angin berdesir dari jendela yang terbuka, membawa aroma tanah basah dan bunga liar. Di luar, anjing melolong panjang, seperti firasat buruk yang menggantung di udara.

Tiba-tiba, ketukan keras menggema di pintu. Seorang lelaki tua dengan mata liar berdiri di ambang pintu, napasnya terengah. "Ki Rajendra! Sesuatu terjadi di gerbang desa! Makhluk dari hutan datang!"

Tanpa menunggu lebih lama, Mudra, Sari, dan Vanua bergegas mengikuti lelaki itu ke arah gerbang. Di bawah cahaya rembulan yang remang-remang, mereka melihatnya—sosok tinggi, kurus, dengan wajah yang hampir tidak bisa dibedakan dari bayangan. Makhluk itu berdiri di tengah jalan, tubuhnya diselimuti kabut hitam yang bergulung-gulung.

"Kuntilanak?" bisik Sari.

"Bukan," sahut Vanua, mengamati lebih dekat. "Lebih tua dari itu. Lebih… haus."

Makhluk itu menggeram, lalu mengangkat tangannya yang panjang dan kurus. Angin berputar kencang, dan mereka bisa merasakan tekanan aneh di dada mereka. Mudra menggenggam erat tongkat kayu di tangannya, mencoba mengendalikan ketakutan yang mulai menyelinap.

Ki Rajendra maju selangkah. "Ini ujian bagi kita," katanya dengan tenang. "Kartu The Chariot telah muncul. Sekarang adalah waktunya untuk menghadapi ketakutan kita dan mengambil kendali."

Mudra menarik napas dalam. Ia melangkah maju, menatap mata kosong makhluk itu. "Kami tidak takut padamu. Kami yang mengendalikan desa ini, bukan bayangan masa lalu."

Makhluk itu mengeluarkan raungan rendah, tetapi langkahnya mulai mundur. Tanah di sekitarnya bergetar, lalu sosok itu lenyap, seperti kabut yang diusir oleh matahari.

Namun, sebelum mereka sempat menghela napas lega, dari bayang-bayang pepohonan muncul lebih banyak sosok. Hantu-hantu berselubung kabut, matanya kosong namun penuh kelaparan, mulai merayap mendekati desa. Angin dingin berhembus kencang, membuat api obor bergetar seolah hampir padam.

"Mereka tidak akan mundur begitu saja," ujar Vanua sambil menghunus belati kecil dari ikat pinggangnya. "Kita harus melawan."

Sari meraih secarik kain putih dari sakunya, lalu mencelupkannya ke dalam minyak dupa yang dibawanya. "Api suci bisa mengusir mereka," katanya, lalu menyalakan kain itu dengan obor.

Mudra mengambil posisi di samping mereka, memegang tongkatnya erat. "Jika kita harus bertarung, maka kita bertarung bersama."

Makhluk-makhluk itu menyerbu, melayang dengan kecepatan mengerikan. Sari melemparkan kain yang terbakar ke arah mereka, dan ketika api suci menyentuh kabut hitam mereka, terdengar jeritan melengking yang menusuk telinga. Vanua bergerak cepat, menebas salah satu sosok dengan belatinya yang telah diolesi ramuan pelindung. Mudra, dengan keberanian yang baru ditemukan, mengayunkan tongkatnya, menghantam bayangan-bayangan yang berusaha mengelilinginya.

Ki Rajendra berdiri tegak di tengah kekacauan, mengangkat tangannya ke langit. Ia menggumamkan mantra kuno, dan dari tanah muncul lingkaran cahaya biru yang berpendar, membentuk batas perlindungan di sekitar mereka. "Bawa mereka ke dalam lingkaran!" serunya.

Satu per satu, mereka memancing makhluk-makhluk itu ke dalam batas cahaya. Begitu mereka memasuki lingkaran, tubuh mereka mulai melebur seperti asap yang tertiup angin. Dengan raungan terakhir yang menggema di udara malam, makhluk-makhluk itu akhirnya lenyap, meninggalkan ketenangan yang sempat hilang dari desa.

Mereka berdiri di tempatnya selama beberapa saat, meresapi apa yang baru saja terjadi.

"Kamu berhasil," ujar Vanua, suaranya lebih lembut dari biasanya. "Kamu mengendalikan rasa takutmu."

Mudra mengangguk, tetapi ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Kemenangan ini tidak terasa seperti akhir, melainkan hanya awal dari sesuatu yang lebih besar.

Ki Rajendra menatap mereka bertiga. "The Chariot bukan hanya tentang menang, tetapi juga tentang perjalanan. Malam ini, kalian telah mengambil langkah pertama. Tapi perjalanan kalian masih panjang. Akan ada lebih banyak ujian, lebih banyak bayangan yang harus kalian hadapi. Dan pada akhirnya, hanya mereka yang memiliki kendali atas dirinya yang akan bertahan."

Sari menggenggam tangannya sendiri, merasakan detak jantungnya yang masih berpacu. "Kalau begitu, kita harus terus maju. Apa pun yang menunggu di depan, kita akan menghadapinya bersama."

***

33. KERUMUNAN ELPIJI HIJAU

Malam di Desa Kampung Tujuh terasa berat. Kabut tipis menyelimuti tanah, sementara api unggun di tengah balai desa berkedip-kedip, seolah berjuang untuk tetap hidup. Di dalam lingkaran cahaya obor, Ki Rajendra membalik kartu berikutnya. Kali ini, gambar seorang wanita berambut cokelat yang duduk dengan tenang di samping seekor singa besar muncul di hadapan mereka.

"Kartu Strength," ujar Ki Rajendra, suaranya dalam dan mantap. "Ini bukan kekuatan otot, bukan kekuatan senjata, tetapi kekuatan yang lebih dalam—kekuatan untuk menjinakkan kekacauan tanpa harus menghancurkannya."

Mudra, Sari, dan Vanua menatap kartu itu dengan penuh perhatian. Setelah pertempuran melawan makhluk-makhluk gaib beberapa waktu lalu, kini mereka dihadapkan pada tantangan yang lebih nyata—kerumunan yang mulai tak terkendali.

"Apa hubungannya dengan desa kita?" tanya Sari, matanya penuh tanya. "Kami butuh cara untuk mengatasi kekacauan yang muncul dari kerumunan, bukan hanya menghadapi satu atau dua makhluk gaib."

Ki Rajendra tersenyum tipis. "Justru itu. Kartu ini adalah kunci untuk memahami kerumunan. Kerumunan itu liar, seperti singa dalam kartu ini. Ia bisa buas, bisa menakutkan. Tetapi jika kita tahu cara mendekatinya, jika kita memiliki ketenangan dan keteguhan hati, kita bisa menjinakkannya tanpa harus memukulnya."

Vanua mendengus, menyilangkan tangannya. "Tapi kerumunan adalah neraka. Bagaimana kita bisa menjinakkan sesuatu yang terus-menerus menciptakan kekacauan? Aku lebih memilih menghindarinya."

Ki Rajendra menatap Vanua dengan penuh pengertian. "Lari dari kerumunan bukan solusi, Nak Vanua. Karena sejauh apa pun kau berlari, kau akan tetap berada di dalamnya. Kerumunan bukan hanya sekelompok orang. Ia adalah kekuatan kolektif, ketakutan bersama, harapan bersama. Jika kau terus menolak keberadaannya, ia akan semakin liar, semakin tak terkendali. Tapi jika kau bisa berdiri di tengahnya dengan ketenangan, kau akan melihat bahwa kau bisa mengendalikannya."

Mudra mengangguk pelan. "Seperti pemimpin sejati... yang tak menindas, tapi juga tak membiarkan diri ditelan oleh massa."

Ki Rajendra tersenyum. "Tepat. Lihatlah wanita dalam kartu ini. Ia tidak memegang rantai atau cambuk. Ia hanya menggunakan keberanian, ketenangan, dan ketulusannya untuk menjinakkan singa. Begitu pula dengan kerumunan. Jika kau mencoba melawannya dengan paksa, ia akan melawan balik. Tapi jika kau menghadapi dengan kepala dingin dan hati yang teguh, kau bisa mengarahkannya ke jalan yang benar."

Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara ribut. Balai desa gemetar oleh gelombang suara orang-orang yang berteriak, saling bersahutan dalam ketegangan. Seseorang datang berlari dari arah pasar, napasnya tersengal.

"Bu Ros! Warga mulai berkumpul di depan balai desa! Mereka menuntut jawaban soal kelangkaan gas elpiji hijau!" seru lelaki itu dengan panik.

Mudra, Sari, dan Vanua saling bertukar pandang. Sepertinya mereka tidak punya banyak waktu untuk sekadar memahami makna kartu. Mereka harus menerapkannya sekarang.

Mereka bertiga berjalan ke depan balai desa, mendapati puluhan orang telah berkumpul. Para pedagang gas elpiji berteriak menuntut kepastian pasokan, sementara para pembeli yang kesulitan mendapatkan gas saling berebut mencari solusi. Seorang pria paruh baya mengangkat tangannya dengan marah.

"Kami butuh kejelasan! Kalau begini terus, kami harus masak pakai kayu bakar lagi!"

"Persediaan gas di gudang sudah hampir kosong!" teriak seorang pedagang. "Kami tak bisa jual jika tak ada pasokan dari distributor!"

"Kalau tidak segera ada tindakan, harga gas akan semakin melonjak!" tambah seorang ibu dengan wajah gusar.

Kerumunan semakin riuh. Beberapa orang mulai saling dorong, frustrasi dengan situasi yang semakin sulit.

"Ini yang aku maksud!" ujar Vanua lirih. "Mereka bagaikan kawanan singa yang siap menerkam."

Sari menarik napas dalam. Ia mengingat kata-kata Ki Rajendra. Tidak melawan dengan kekerasan, tetapi juga tidak mundur.

Ia melangkah maju, berdiri di hadapan kerumunan, lalu mengangkat tangan. "Saudara-saudara, aku tahu kalian marah. Aku tahu kalian punya banyak pertanyaan. Tapi kita tidak akan menemukan jawaban jika kita hanya berteriak satu sama lain!"

Beberapa orang masih berseru, tetapi sebagian mulai diam, memperhatikan Sari yang berbicara dengan tenang, tanpa ketakutan.

Mudra menambahkan, "Jika kalian butuh jawaban, mari kita bicarakan dengan kepala dingin. Kerumunan ini bukan musuh. Kita di sini bukan untuk saling menjatuhkan, tapi untuk mencari jalan keluar bersama."

Kerumunan mulai melembut. Riuh rendah suara mulai berkurang, digantikan oleh keheningan yang mengandung harapan. Vanua, yang awalnya skeptis, melihat sendiri bagaimana pendekatan yang tenang bisa mengubah gelombang emosi yang tadinya tak terkendali.

Setelah beberapa saat, mereka mulai berdiskusi, bukan lagi berteriak. Seorang perwakilan pedagang gas elpiji maju dan mengusulkan agar mereka bersama-sama mencari solusi dengan distributor, sementara warga lain bersepakat untuk menekan pemerintah desa agar mendesak pihak terkait. Masalah-masalah dibahas, bukan hanya dikeluhkan. Malam yang tadinya diwarnai oleh ketegangan berubah menjadi ruang untuk pemecahan masalah.

Di sudut, Ki Rajendra memperhatikan dari kejauhan, tersenyum puas. Kartu The Strength telah berbicara malam ini, bukan dalam bentuk pertempuran fisik, tetapi dalam bentuk penguasaan diri dan keberanian menghadapi ketakutan terbesar: kerumunan itu sendiri.

Saat semua orang mulai bubar dengan perasaan yang lebih ringan, Vanua menatap Mudra dan Sari dengan mata penuh pemahaman baru. "Mungkin kerumunan tidak selalu harus menjadi neraka," gumamnya. "Jika kita bisa menuntunnya ke arah yang benar... kerumunan bisa menjadi kekuatan yang berguna."

Mudra tersenyum, menepuk bahu Vanua. "Itulah inti dari kartu ini. Menjinakkan, bukan menghancurkan."

***

34. PENCARIAN DI TENGAH KESEPIAN

Malam merayap pelan di Kampung Tujuh, menyelimuti jalanan desa dengan kesunyian yang tidak biasa. Warung-warung tutup lebih awal, suara tawa para wisatawan yang biasanya menghangatkan sepanjang hari kini lenyap. Papan pengumuman bertuliskan "TEMPAT WISATA DITUTUP SEMENTARA - COVID-19" terpasang di pintu masuk jalur pendakian Gunung Api Purba.

Di balai desa, suasana panas. Para pedagang dan pemilik warung berkumpul, wajah mereka menyiratkan keputusasaan. Sumber penghidupan mereka telah terhenti seketika.

"Bu Ros, kami harus bagaimana? Kami menggantungkan hidup dari wisatawan!" seru Pak Samin, pemilik warung kopi di jalur pendakian.

"Kami paham situasi ini sulit," jawab Bu Ros, kepala desa, berusaha tetap tenang. "Tapi kita harus mengikuti aturan dari pemerintah. Pandemi ini bukan main-main."

"Lalu kami mau makan apa?!" seorang ibu penjual suvenir menimpali. "Sudah dua bulan sepi, sekarang ditutup total! Kami butuh solusi!"

Dari sudut ruangan, Mudra mengamati. Matanya tajam membaca dinamika emosi yang mendidih. Ia tahu, sekadar menenangkan tidak akan cukup. Ia mengalihkan pandangannya ke Ki Rajendra yang duduk di sudut, membolak-balik kartu Tarot.  

"The Hermit," gumamnya seraya membalikkan sebuah kartu. Kartu itu menampilkan seorang pertapa tua, berdiri sendiri di puncak gunung, hanya ditemani lentera di tangannya.

Sari menyipitkan mata. "Apa artinya, Ki?"

Ki Rajendra tersenyum tipis. "Saat dunia menolak kita, terkadang kita harus menarik diri untuk menemukan jawabannya sendiri."

Vanua mendengus, menendang batu kecil di lantai. "Jadi maksudmu kita hanya diam? Menunggu tanpa kepastian?"

"Tidak," jawab Ki Rajendra, menatapnya dalam-dalam. "Tapi kita juga tidak bisa berteriak dan berharap dunia berubah seketika. Kadang, dalam kesunyian, kita menemukan jalan baru. Seperti pertapa yang naik ke gunung untuk mencari kebenaran, kita pun harus mencari cara baru bertahan."

***

Pagi hari di Kampung Tujuh, berita penutupan tempat wisata menyebar luas. Para pedagang gas elpiji yang biasa memasok warung-warung di jalur pendakian kini kehilangan pelanggan. Kelangkaan gas hijau semakin memperburuk keadaan, menciptakan ketegangan baru. Antrian di kios gas menjadi panjang, dengan pembeli yang mulai kehilangan kesabaran.

"Sisa tabung hanya sedikit! Siapa cepat dia dapat!" teriak pemilik kios.

"Aku sudah antre dari subuh! Jangan curang!" seorang ibu berseru, matanya melotot.

Kerumunan mulai berdesak-desakan. Saling dorong. Saling lempar makian.

Mudra melangkah maju. Ia mengangkat tangannya, berusaha menenangkan. "Saudara-saudara, tolong dengarkan! Tidak ada gunanya kita saling bertengkar! Kita harus mencari solusi!"

Namun, suara kemarahan terlalu kuat. Tangannya mengepal. Ia ingat pesan Ki Rajendra. Kekuatan The Hermit bukan dalam suara, tapi dalam pemahaman. Ia menghela napas dalam, memilih tidak membalas kemarahan dengan amarah.

Sari menghampirinya. "Mereka butuh kepastian. Dan kita harus menemukannya."

Vanua, yang selama ini skeptis, menatap kerumunan dengan wajah serius. "Kalau mereka terus seperti ini, mereka akan menghancurkan diri sendiri. Kita harus mencari cara lain."

Malam itu, Mudra, Sari, dan Vanua berkumpul di rumah Ki Rajendra. Mereka berbicara panjang lebar, mencari solusi di tengah keterbatasan.

"Kita harus berpikir seperti The Hermit," kata Ki Rajendra akhirnya. "Kita tidak bisa menunggu bantuan dari luar. Kita harus menciptakan sendiri jalannya."

Sari mengangguk. "Bagaimana kalau kita mengajukan proyek kerja alternatif? Membantu warga beralih dari pariwisata ke sektor lain sementara waktu?"

Vanua menyeringai. "Seperti apa?"

"Misalnya," lanjut Mudra, "memanfaatkan lahan tidur untuk pertanian sayur dan jamur. Atau mengembangkan industri kecil berbasis desa."

Mereka saling berpandangan. Ada harapan kecil yang mulai tumbuh.

***

Seminggu kemudian, dengan dukungan Bu Ros, mereka mengajukan program darurat: pelatihan hidroponik, pembuatan kerajinan tangan, hingga distribusi gas yang lebih adil. Prosesnya tidak mudah, tetapi perlahan, Desa Kampung Tujuh mulai beradaptasi.

Kerumunan masih ada, tetapi bukan lagi neraka. Mereka bukan lagi massa yang marah, melainkan kumpulan individu yang mencari jalan keluar bersama.

Di puncak bukit, di jalur pendakian yang sepi, Ki Rajendra berdiri sendiri, menatap desa dari kejauhan. Ia tersenyum tipis. The Hermit telah bicara. Dan mereka telah menemukan cahayanya.

***

35. PESAN DARI GUNUNG API PURBA

Langit di atas Kampung Tujuh dipenuhi awan tipis yang bergerak perlahan, seolah mengikuti tarian takdir yang tidak terlihat. Di kejauhan, siluet Gunung Api Purba berdiri megah, menandakan bahwa tanah ini telah menyimpan sejarah dan misteri jauh sebelum manusia pertama kali menapakkan kaki di sana. Malam sebelumnya, Ki Rajendra telah membalik kartu berikutnya—Wheel of the Year—sebuah simbol perubahan, siklus kehidupan, dan kejutan yang datang tanpa peringatan.

"Gunung ini menyimpan lebih dari sekadar legenda," kata Ki Rajendra dengan suara berat. "Di dalamnya, ada keseimbangan antara yang lama dan yang baru, antara kehancuran dan penciptaan. Roda takdir tidak pernah berhenti berputar, dan kita semua adalah bagiannya."

Mudra, Sari, dan Vanua mengamati jalan setapak yang mengarah ke puncak gunung. Sejak pandemi, gunung ini ditutup dari para wisatawan, tetapi bagi mereka bertiga, ada sesuatu yang lebih dari sekadar pelarangan administratif. Seolah-olah gunung ini sendiri menanti orang-orang yang siap memahami pesan yang tersembunyi di balik bebatuannya.

Di sepanjang perjalanan menuju lereng gunung, mereka menemukan sesuatu yang tidak biasa. Pohon-pohon dengan daun berkilau kehijauan, anggrek dengan warna yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, serta jamur bercahaya samar yang tumbuh di celah-celah bebatuan vulkanik.

"Ini... tanaman yang sangat langka," gumam Sari, jemarinya menyentuh daun lebar dengan guratan keperakan. "Beberapa dari ini bahkan tidak pernah tercatat dalam buku botani biasa."

Ki Rajendra mengangguk. "Gunung ini telah lama dianggap sebagai tempat bertemunya energi bumi dan langit. Tidak heran jika tanaman yang tumbuh di sini memiliki sifat unik. Beberapa bahkan dipercaya memiliki khasiat penyembuhan yang luar biasa."

Vanua menghela napas panjang. "Jadi, apakah pandemi ini bagian dari roda takdir? Apakah penutupan gunung ini juga bagian dari keseimbangan yang harus kita terima?"

Ki Rajendra tersenyum samar. "Setiap kejadian memiliki maknanya sendiri. Mungkin dengan ditutupnya gunung ini, alam sedang memulihkan dirinya. Tapi kita di sini bukan untuk mengganggu, melainkan untuk memahami."

Setelah berjalan lebih jauh, mereka menemukan sesuatu yang lebih mengejutkan—arca-arca batu Shiwa yang tersembunyi di antara akar pohon tua. Beberapa tertutup lumut, sementara yang lain masih utuh dengan ukiran yang begitu detail. Salah satu arca menunjukkan Shiwa dalam bentuk Mahakala, sang pengendali waktu, yang memegang roda kehidupan.

"Arca ini..." bisik Mudra, merasakan aura yang kuat di sekitarnya. "Apa mungkin ini ada hubungannya dengan kartu Wheel of the Year?"

Ki Rajendra mengangguk. "Shiwa adalah penghancur dan pencipta. Ia memutar roda kehidupan, sama seperti kartu ini. Kehidupan, kematian, dan kelahiran kembali... semua berjalan dalam satu lingkaran yang tak terputus."

Sari menatap arca itu dengan takjub. "Jadi, gunung ini bukan hanya tempat wisata biasa. Ia adalah pusat energi, tempat di mana alam, manusia, dan spiritualitas bertemu."

Mereka bertiga berdiri di depan arca-arca itu, merasakan betapa kecilnya diri mereka di hadapan siklus kehidupan yang begitu besar. Dalam hening, mereka memahami bahwa setiap perubahan, baik atau buruk, adalah bagian dari takdir yang harus diterima dan dijalani.

Saat mereka hendak melanjutkan perjalanan, angin berhembus lebih kencang, membawa bisikan yang terdengar seperti suara dari masa lalu. Di antara kabut tipis yang menyelimuti, sesosok bayangan muncul dari balik arca. Seorang pria tua dengan jubah hitam panjang, wajahnya keriput namun matanya berkilau penuh wibawa.

"Kalian yang datang ke tanah ini, apakah kalian mencari kebijaksanaan atau kehancuran?" suaranya menggema di udara.

Mudra menelan ludah, sementara Vanua merasakan bulu kuduknya berdiri. Ki Rajendra melangkah maju, menundukkan kepala dengan hormat. "Kami datang untuk memahami, bukan untuk merusak. Kami ingin mengetahui pesan yang disimpan oleh gunung ini."

Penjaga gaib itu mengangkat tangannya, dan tiba-tiba, tanah di sekitar mereka bergetar. Batu-batu melayang di udara, membentuk lingkaran di sekitar mereka. "Jika kalian memang pantas mendapatkan pengetahuan ini, buktikan bahwa hati kalian bersih. Jawab pertanyaanku. Apakah yang lebih berbahaya—takdir yang terus berputar, atau manusia yang mencoba melawannya?"

Sari menatap Ki Rajendra, mencari jawaban. Mudra akhirnya berkata, "Bukan takdir yang berbahaya, tetapi manusia yang tidak siap menerimanya. Mereka yang melawan perubahan dengan ketakutan akan menghancurkan diri mereka sendiri."

Sang penjaga menatap Mudra dalam-dalam, lalu tersenyum tipis. "Kau memahami siklus kehidupan. Maka, lanjutkan perjalanan kalian. Tetapi ingat, siapa pun yang mencoba menguasai gunung ini untuk kepentingan diri sendiri, akan menghadapi murka dari alam."

Saat mereka melanjutkan perjalanan, suara langkah kaki terdengar dari arah lain. Sekelompok orang berbaju rapi dengan peralatan survei berdiri di dekat puncak. Salah satu dari mereka, seorang pria dengan jas dan kacamata hitam, menatap mereka dengan dingin.

"Gunung ini memiliki potensi ekonomi yang besar," katanya tanpa basa-basi. "Kami berencana membuka kembali jalur wisata, menambah fasilitas, bahkan membangun resor kecil. Ini akan membawa kemajuan bagi desa kalian."

Vanua mengepalkan tangannya. "Kemajuan? Atau kehancuran? Gunung ini bukan hanya tempat wisata. Ia adalah bagian dari keseimbangan yang harus dijaga."

Pria itu tersenyum sinis. "Semua hal bisa dikendalikan dengan sistem yang tepat. Kita bisa menata ulang alam tanpa harus merusaknya."

Ki Rajendra melangkah maju. "Roda takdir tidak bisa diatur oleh tangan manusia. Alam punya caranya sendiri untuk menyeimbangkan kehidupan. Jika kalian mencoba mengambil lebih dari yang diberikan, roda itu akan berbalik melawan kalian."

Angin berhembus semakin kencang, seolah gunung itu sendiri marah. Awan berkumpul di langit, dan suara gemuruh terdengar di kejauhan. Sang penjaga gaib kembali muncul, kali ini lebih tegas. "Mereka yang tamak akan menghadapi akibatnya. Pergilah dari tempat ini, atau bersiaplah menerima takdir kalian."

Pria berkacamata itu tampak ragu, tetapi akhirnya mengangkat tangannya memberi isyarat mundur kepada timnya. "Baiklah. Tapi ini belum selesai."

Saat mereka pergi, Vanua menghela napas lega. "Mereka akan kembali. Aku yakin itu."

Ki Rajendra mengangguk. "Tetapi kita telah mendapatkan peringatan. Kita harus menjaga gunung ini, bukan hanya sebagai tempat suci, tetapi sebagai bagian dari kehidupan yang lebih besar."

***

36. KEADILAN DI TANAH COKELAT

Langit Kampung Tujuh tampak muram, seolah memahami bahwa ketegangan yang menggelayuti desa semakin memuncak. Gunung Api Purba menjulang di kejauhan, menyimpan lebih dari sekadar tanah subur—ia menyimpan sejarah, legenda, dan kini menjadi pusat pertentangan yang membara.

Sejak dahulu, tanah vulkanik Gunung Api Purba menghasilkan cokelat terbaik, dengan cita rasa khas yang tidak ditemukan di tempat lain. Para petani di Kampung Tujuh telah merawat kebun kakao ini selama bertahun-tahun, menjaga warisan nenek moyang mereka dengan penuh dedikasi. Namun, kini masa depan mereka terancam.

Kelompok pengusaha besar, yang dipimpin oleh seorang pria bernama Surya Darma, telah datang membawa janji investasi besar. Mereka ingin membangun pabrik cokelat skala industri, menjanjikan kesejahteraan bagi desa. Tapi harga yang harus dibayar terlalu tinggi—hak kepemilikan tanah harus dialihkan kepada perusahaan mereka.

Di balai desa, penduduk berkumpul dalam kerumunan yang gaduh. Sebagian mendukung investasi, tergiur oleh janji kemakmuran. Sebagian lagi menolak, takut kehilangan kendali atas tanah mereka.

"Ini kesempatan emas! Kita bisa meningkatkan kesejahteraan desa!" seru salah satu warga yang mendukung proyek itu.

"Tapi dengan menyerahkan tanah kita? Apa yang tersisa untuk anak-cucu kita nanti?" balas seorang petani kakao dengan nada tajam.

Sari, Mudra, dan Vanua berdiri di tengah perdebatan. Mereka tahu keputusan ini tidak bisa diambil sembarangan. Keadilan harus ditegakkan, tetapi apa yang benar dalam situasi ini?

***

Malam itu, udara di Kampung Tujuh berubah. Kabut turun lebih cepat dari biasanya, dan suara gemuruh terdengar dari arah gunung. Para petani yang menjaga kebun cokelat mengaku melihat bayangan hitam melintas di antara pepohonan.

"Ada sesuatu yang tidak beres..." bisik Vanua.

Ki Rajendra, yang diam-diam mengamati situasi, akhirnya bersuara. "Penjaga gaib gunung tidak berkenan. Mereka tidak ingin tanah ini dieksploitasi berlebihan. Jika manusia tidak menyeimbangkan keinginannya dengan kehendak alam, bencana akan datang."

Seolah menanggapi kata-kata itu, angin bertiup kencang. Dari dalam kabut, muncul sesosok pria tua berjubah abu-abu. Sorot matanya tajam, dan tongkat kayu di tangannya bersinar redup.

"Kalian yang datang ke tanah ini, apakah mencari kebaikan atau keserakahan?" suaranya menggema, membuat seluruh kerumunan terdiam.

Sari melangkah maju. "Kami hanya ingin keadilan bagi desa ini. Tapi kami tidak tahu jalan mana yang harus kami pilih."

Sang penjaga gaib menatap mereka satu per satu. "Keadilan bukanlah tentang memilih siapa yang menang atau siapa yang kalah. Keadilan adalah tentang keseimbangan. Jika manusia rakus, alam akan melawan. Jika manusia bijak, alam akan memberi lebih dari yang mereka butuhkan."

Tiba-tiba, tanah bergetar. Suara gemuruh terdengar dari arah kebun cokelat, dan para petani berteriak ketakutan. Pohon-pohon bergoyang hebat, seolah ingin mencabut akarnya sendiri.

Pagi hari, ketika semua orang masih diselimuti ketakutan, Surya Darma datang bersama sekelompok orang berpakaian seragam. Mereka adalah keamanan perusahaan, dikirim untuk memastikan proyek berjalan tanpa hambatan.

"Mulai hari ini, tanah ini resmi menjadi bagian dari perusahaan kami," katanya dengan nada penuh percaya diri. "Kami sudah memiliki tanda tangan dari beberapa pemilik lahan."

Mudra melangkah maju, matanya menyala dengan kemarahan. "Itu tidak berarti kau bisa mengambil semuanya! Tanah ini lebih dari sekadar angka dalam kontrak!"

"Kami hanya ingin kemajuan," balas Surya dengan nada dingin. "Bukankah kita semua menginginkan hidup yang lebih baik?"

Sebelum perdebatan berlanjut, suara gemuruh kembali terdengar. Kali ini, tanah di sekitar mereka benar-benar bergerak. Dari dalam hutan, muncul sosok-sosok gaib—makhluk-makhluk penunggu gunung.

Salah satu makhluk itu, tinggi dan berbulu lebat, bersuara dalam nada berat, "Kalian manusia selalu berpikir kalian bisa memiliki segalanya. Tapi gunung ini tidak bisa kalian kuasai tanpa izin kami. Jika kalian memaksa, bersiaplah menerima akibatnya."

Para penjaga perusahaan mundur ketakutan, sementara Surya Darma mencoba tetap tenang. "Ini... ini omong kosong. Kami bekerja dengan hukum manusia, bukan takhayul!"

Tiba-tiba, angin kencang berhembus, menggulingkan tenda dan peralatan yang mereka bawa. Langit yang tadinya cerah mendadak gelap.

Ki Rajendra mendekati Surya dan berkata dengan tegas, "Jika kau tidak mundur sekarang, alam sendiri yang akan menghakimimu. Pilihlah dengan bijak."

Surya Darma terdiam. Wajahnya pucat, tangannya gemetar. Dengan cepat, ia memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mundur.

Setelah kepergian para pengusaha, penduduk desa berkumpul kembali di balai desa. Mereka sadar bahwa keadilan bukan sekadar menang atau kalah, tetapi tentang menjaga keseimbangan.

"Kita harus menemukan cara lain untuk mengembangkan desa tanpa merusak warisan kita," kata Sari.

Ki Rajendra tersenyum. "Dan kalian telah menemukan jawabannya. Keadilan sejati adalah saat manusia dan alam bisa hidup berdampingan. Jika kalian terus menjaga tanah ini dengan hati yang murni, roda takdir akan berputar di pihak kalian."

Langit Kampung Tujuh perlahan kembali cerah. Tanah cokelat Gunung Api Purba tetap menjadi milik mereka yang mencintainya, dan keseimbangan yang rapuh kembali terjaga... untuk sementara.

***

37. PEMBALIKAN TAKDIR

Kabut menyelimuti Kampung Tujuh pagi itu, lebih pekat dari biasanya, seolah alam sendiri enggan menunjukkan jalan. Para petani cokelat berkumpul di balai desa, masih dibayangi peristiwa semalam ketika para penjaga gaib gunung mengusir Surya Darma dan orang-orangnya. Namun, meskipun ancaman eksploitasi tanah mereka berhasil ditolak, ketegangan belum sepenuhnya mereda.

"Kita menang semalam, tapi sampai kapan?" tanya salah seorang petani.

"Benar. Jika mereka kembali dengan kekuatan hukum, apa yang bisa kita lakukan?" tambah yang lain.

Sari, Mudra, dan Vanua saling berpandangan. Mereka tahu, kemenangan mereka bukanlah akhir, melainkan awal dari ujian baru. Ketika semua orang terdiam, Ki Rajendra melangkah maju, mengeluarkan satu kartu Tarot dan membaliknya perlahan di atas meja kayu.

Kartu itu memperlihatkan seorang pria tergantung terbalik di pohon, dengan ekspresi tenang dan lingkaran cahaya di kepalanya.

"The Hanged Man. Lelaki yang digantung terbalik."

"Apa artinya, Ki?" tanya Vanua dengan dahi berkerut.

Ki Rajendra tersenyum tipis. "Ini adalah kartu pengorbanan dan pembalikan perspektif. Kadang kita harus berhenti, membiarkan diri kita terjebak dalam keadaan sulit untuk melihat solusi dari sudut yang berbeda. Kemenangan sejati tidak selalu datang dari perlawanan, tetapi dari penerimaan dan kebijaksanaan."

Mudra mengangguk, mulai memahami makna di balik kata-kata gurunya. "Jadi kita harus mencari cara lain untuk mempertahankan tanah ini tanpa terus-menerus berperang?"

Ki Rajendra mengangguk. "Dan itu berarti ada pengorbanan yang harus dilakukan. Pertanyaannya, siapa yang bersedia menggantungkan dirinya demi masa depan desa ini?"

Sore itu, Sari, Mudra, dan Vanua memutuskan untuk mendaki Gunung Api Purba. Mereka merasa ada sesuatu yang harus mereka temukan di sana, jawaban yang lebih dalam daripada sekadar menolak atau menerima perubahan.

Saat mencapai puncak, mereka melihat sebuah arca tua—sebuah patung Shiwa yang hampir terkubur oleh akar pohon tua. Di sekelilingnya, pohon-pohon tampak tumbuh lebih subur, seolah dilindungi oleh kekuatan gaib.

"Dulu, tempat ini adalah pusat meditasi para leluhur," kata Mudra sambil menyentuh ukiran di arca tersebut.

"Mungkin di sinilah kita bisa menemukan jawaban," sahut Sari.

Tanpa berpikir panjang, mereka bertiga duduk bersila di depan arca, memejamkan mata, dan membiarkan diri mereka larut dalam ketenangan gunung.

Dalam keheningan meditasi, mereka merasakan sensasi aneh. Dunia di sekitar mereka terasa berubah. Seolah-olah mereka tidak lagi berada di Kampung Tujuh, melainkan di masa lalu, saat para leluhur pertama kali menetap di sini.

Mereka melihat seorang pemuda—mirip dengan Mudra—tergantung terbalik di sebuah pohon, tubuhnya tak bergerak, tetapi wajahnya penuh ketenangan. Di sekelilingnya, para tetua desa berdiri dengan tangan terkatup, melakukan ritual untuk merestui tanah yang kini mereka tinggali.

"Pengorbanan bukan berarti kehilangan," suara seorang tetua bergema di udara. "Tetapi memahami bahwa untuk melindungi sesuatu, kadang kita harus menyerahkan ego kita."

Sejenak, pemandangan itu menghilang, dan mereka kembali ke puncak gunung. Namun, kini mereka memiliki pemahaman baru.

Saat malam tiba, mereka kembali ke desa dan menemui Ki Rajendra.

"Kami sudah menemukan jawabannya," kata Sari.

Mudra melanjutkan, "Gunung ini tidak hanya bisa dilindungi dengan perlawanan. Kita harus menjadikannya tempat yang memiliki nilai lebih bagi semua orang, tanpa merusak keseimbangannya."

Ki Rajendra tersenyum. "Dan bagaimana caranya?"

Vanua menjawab, "Dengan menjadikannya pusat wisata spiritual dan penelitian botani. Kita biarkan dunia tahu bahwa Gunung Api Purba adalah rumah bagi tanaman langka dan situs meditasi kuno. Dengan begitu, ia akan dihormati, bukan dieksploitasi."

Keesokan harinya, mereka kembali ke puncak gunung untuk berbicara dengan penjaga gaib. Kali ini, mereka datang bukan untuk meminta perlindungan, melainkan untuk menawarkan perjanjian.

Sebuah suara bergema dari dalam hutan. "Kalian telah memahami makna sejati dari pengorbanan. Gunung ini akan tetap menjadi rumah bagi mereka yang menghormatinya. Jika kalian benar-benar ingin melindunginya, jadikanlah ia tempat pembelajaran, bukan tempat penguasaan."

Keseimbangan baru pun terjalin. Tanah Kampung Tujuh tidak hanya selamat dari ancaman eksploitasi, tetapi juga berkembang menjadi pusat kebijaksanaan dan perlindungan bagi alam.

Dan di bawah langit malam yang bertabur bintang, mereka bertiga menyadari satu hal: kadang-kadang, untuk maju, seseorang harus terlebih dahulu belajar untuk diam, melihat dari sudut yang berbeda, dan merelakan apa yang harus direlakan.

Gunung Api Purba akan tetap berdiri kokoh, bukan karena kekuatan, tetapi karena kebijaksanaan yang menuntun mereka menjaga keseimbangan dunia.

***

38. GAMELAN DAN BAYANGAN KEMATIAN

Bulan pucat menggantung di langit, mengintip di antara celah-celah awan yang bergerak malas. Angin dingin menyapu tanah, membawa bisikan dari masa lalu. Di tengah pandemi Covid-19 yang belum mereda, penduduk desa bersiap untuk sebuah perhelatan istimewa—pementasan seni gamelan yang telah lama mereka rindukan. Namun, di balik denting saron dan gong yang akan segera bergema, ketegangan mengintai di setiap sudut.

Balai desa yang biasanya menjadi tempat pertemuan kini disulap menjadi panggung sederhana. Kursi-kursi diatur berjarak, masker wajib dikenakan, dan hanya sedikit warga yang diizinkan menonton langsung. Sebagian besar penduduk harus puas menyaksikan acara ini melalui siaran langsung dari layar kecil di rumah mereka.

“Kita harus tetap menjalankan tradisi, tetapi dengan cara yang lebih aman,” ujar Sari sambil memastikan semua alat musik telah disterilkan.

Mudra mengangguk, tetapi matanya memandang ke kejauhan. “Aku tahu ini penting, tapi aku tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa kita sedang bermain dengan sesuatu yang lebih besar dari kita.”

Vanua, yang sibuk menyesuaikan mikrofon, mendengus. “Kau terlalu khawatir. Gamelan ini bukan hanya seni, tapi juga do’a. Ia telah melalui banyak zaman, termasuk saat wabah melanda. Kita hanya perlu menghormati prosesnya.”

Namun, di antara mereka, ada suara lain yang lebih skeptis. Beberapa orang desa menolak acara ini dengan alasan bahwa pertemuan apa pun, sekecil apa pun, adalah undangan bagi malapetaka.

“Kita tidak bisa mengambil risiko!” teriak seorang pria tua yang dikenal sebagai Pak Wirya. “Kematian mengintai di mana-mana. Apa kalian ingin menjadi penyebab kehancuran desa ini?”

“Apa kau ingin kita berhenti hidup juga?” balas seorang pemuda yang mendukung acara ini. “Kalau kita tidak melakukan apa-apa, kita akan mati dalam diam!”

Ketegangan semakin terasa. Dalam suasana penuh ketidakpastian ini, Ki Rajendra muncul, membawa satu kartu tarot di tangannya.

Di bawah lampu minyak yang berkedip-kedip, Ki Rajendra membalik kartu itu di hadapan mereka. Sosok berkuda dengan tengkorak menyala terpampang jelas, membawa bendera dengan mawar putih.

“Ini adalah kartu Death, bukan tentang kematian fisik, tetapi perubahan besar yang tak bisa dihindari,” katanya perlahan. “Pandemi ini telah mengubah dunia, dan kita tidak bisa hidup seperti dulu lagi. Tapi itu bukan berarti kita harus menyerah.”

Sari mengerutkan kening. “Lalu, apa yang harus kita lakukan?”

“Yang lama harus mati agar yang baru bisa tumbuh,” jawab Ki Rajendra. “Tradisi gamelan kita harus tetap hidup, tapi dalam bentuk yang berbeda. Jika kita bertahan pada cara lama, maka kita benar-benar akan kehilangan semuanya.”

Orang-orang terdiam. Bahkan Pak Wirya yang keras kepala tampak berpikir dalam. Mereka tahu bahwa ini bukan hanya tentang sebuah pertunjukan. Ini adalah tentang cara mereka bertahan di dunia yang telah berubah.

Malam itu, acara tetap berlangsung. Namun, berbeda dari biasanya, tidak ada tepuk tangan, tidak ada sorak-sorai. Semua orang duduk dalam diam, mendengarkan bunyi gamelan yang menggema di udara.

Ketika genderang mulai ditabuh, alunan tembang "Dedhemit in Tanah Jawi" mengalir, membawa suasana magis yang menyelimuti Kampung Tujuh. Melodi gamelan membangun aura mistis, seolah membuka gerbang antara dunia nyata dan dunia tak kasat mata. Para penonton yang hadir merasakan getaran energi yang tak biasa, seolah-olah arwah leluhur ikut menyaksikan pertunjukan ini.

Setelah itu, tembang "Singgah-Singgah" mengalun, nada-nadanya lebih lembut, tetapi tetap menyimpan makna mendalam tentang perjalanan manusia dalam kehidupan dan kematian. Lagu ini mengingatkan bahwa semua yang hidup harus melewati perubahan, bahwa tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri.

Namun, di balik harmoni itu, sesuatu mulai terjadi.

Bayangan-bayangan bergerak di antara pepohonan di sekitar balai desa. Sebagian besar penonton mengira itu hanyalah permainan cahaya, tetapi beberapa orang yang lebih peka merasakan hawa dingin menjalari punggung mereka. Salah satu pemain gamelan tiba-tiba merasakan tangannya berat, seolah ada sesuatu yang menariknya. Ia menoleh ke samping dan melihat sesosok bayangan tinggi berdiri di balik tirai panggung.

Vanua, yang melihat kejadian itu, berbisik kepada Mudra, “Kau merasakan itu?”

Mudra mengangguk. “Ada sesuatu di sini… sesuatu yang mendengarkan.”

Sari menutup mata sejenak, menarik napas dalam. Ia lalu melangkah maju, mendekati panggung, dan mulai melantunkan do’a dalam bahasa Jawa kuno. Angin malam bertiup semakin kencang, membawa serta suara yang terdengar seperti bisikan dari dunia lain.

Tiba-tiba, gong terakhir berbunyi lebih nyaring daripada seharusnya, seolah ada tangan lain yang ikut memukulnya. Seorang sesepuh desa yang duduk di barisan depan menundukkan kepala dan berbisik, “Para leluhur telah datang.”

Di kejauhan, di antara pepohonan yang bergoyang, angin berbisik lembut, membawa suara yang tak terlihat—suara dari mereka yang telah pergi, tetapi tidak pernah benar-benar hilang.

Sesaat setelah gamelan berhenti, suara gemuruh kecil terdengar dari dalam bumi, seperti napas panjang yang terpendam. Para penonton saling berpandangan, sebagian merasa takut, sebagian merasa bahwa mereka baru saja menyaksikan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar pertunjukan. Dan di dalam bayang-bayang malam, ada kekuatan lama yang bangkit kembali, mengawasi mereka dengan diam.

***

39. PENJAGA HARMONI

Malam di Kampung Tujuh masih diselimuti suasana mistis setelah pertunjukan gamelan yang penuh keheningan. Namun, perubahan belum berakhir. Seperti pesan kartu tarot Temperance, keseimbangan harus dicapai. Desa ini telah melalui banyak ujian: pandemi, kelangkaan bahan pokok, konflik di antara warganya sendiri. Kini, tantangan baru hadir dalam bentuk modernisasi yang mengancam akar budaya mereka.

Pagi itu, warga desa berkumpul di balai desa untuk membahas langkah selanjutnya. Sejak pandemi melandai, beberapa investor dari kota mulai melirik Kampung Tujuh sebagai destinasi wisata budaya. Salah satu daya tarik utama yang mereka incar adalah pementasan gamelan, tetapi dengan sentuhan modern: tata panggung yang lebih megah, sistem suara canggih, bahkan kemungkinan menggabungkan musik tradisional dengan teknologi digital.

Namun, tidak semua warga setuju dengan ide ini.

“Ini kesempatan besar bagi desa kita!” kata Raka, pemuda yang selama ini bersemangat mempromosikan Kampung Tujuh sebagai destinasi wisata.

“Kita tidak bisa begitu saja mengubah esensi dari tradisi,” bantah Pak Wirya, yang masih terlihat skeptis setelah pertunjukan semalam. “Gamelan bukan sekadar hiburan, ini adalah do’a, persembahan bagi leluhur.”

Sari, yang selama ini berusaha menjadi penengah, akhirnya angkat bicara. “Bagaimana jika kita mencari jalan tengah? Kita bisa menerima perubahan, tetapi tetap mempertahankan inti dari tradisi kita.”

Ki Rajendra, yang selama ini diam, mengeluarkan satu kartu dari dek tarotnya. Semua mata tertuju pada gambar seorang wanita bersayap emas, berdiri di antara air dan tanah, menuangkan air dari satu cawan ke cawan lainnya.

Temperance,” katanya dengan suara tenang. “Keseimbangan. Kita tidak harus memilih salah satu jalan secara mutlak. Kita harus mencari harmoni di antara dua dunia.”

Pak Wirya menghela napas berat. “Dan bagaimana caranya?”

“Dengan memahami esensi dari apa yang kita pertahankan dan apa yang kita ubah,” jawab Ki Rajendra. “Kita bisa menerima wisatawan, tetapi mereka harus menghormati aturan yang telah ada. Kita bisa menggunakan teknologi, tetapi tidak sampai menghilangkan nilai spiritual dari gamelan.”

Malam harinya, ketika Sari dan Mudra berjalan menyusuri jalan setapak menuju balai desa, mereka merasakan sesuatu yang berbeda. Udara terasa lebih berat, angin seolah berbisik. Vanua yang mengikuti di belakang mereka, berhenti tiba-tiba.

“Kalian dengar itu?” bisiknya.

Sari mengangguk. “Seseorang memanggil kita.”

Mereka bertiga mengikuti suara samar yang terdengar seperti lantunan tembang kuno. Suara itu membawa mereka ke pelataran balai desa yang kini sepi. Di tengah lingkaran batu yang biasa digunakan untuk berdoa sebelum pertunjukan, berdiri sesosok perempuan bersayap emas, sosok yang persis seperti yang ada di kartu Temperance.

“Kalian mencari keseimbangan,” suara perempuan itu terdengar lembut, tetapi penuh kekuatan. “Namun keseimbangan bukan hanya tentang manusia. Alam dan dunia tak kasat mata pun harus diperhitungkan.”

“Siapa kau?” tanya Vanua, matanya membelalak.

“Aku adalah penjaga harmoni di tanah ini. Aku datang karena kalian memanggil keseimbangan, tetapi keseimbangan tidak bisa hanya diperbincangkan. Ia harus diwujudkan.”

Sari menelan ludah. “Bagaimana caranya?”

Sosok itu tersenyum tipis. “Buktikan bahwa kalian layak menjaga keseimbangan.”

Tiba-tiba, tanah di bawah mereka bergetar. Bayangan-bayangan muncul dari pepohonan, membentuk sosok-sosok samar yang mengingatkan pada arwah leluhur. Dari arah lain, terdengar suara langkah kaki berat. Sosok-sosok besar dengan mata merah menyala muncul dari kegelapan.

“Dedemit…” bisik Mudra.

“Kalian harus menenangkan dua pihak ini,” kata perempuan bersayap emas. “Arwah leluhur merasa tradisi mereka akan dilupakan. Sementara para dedemit adalah cerminan dari ketakutan manusia terhadap perubahan.”

Vanua menggeram. “Bagaimana kita bisa menenangkan mereka?”

“Dengan menyeimbangkan dua sisi di dalam diri kalian,” jawab perempuan itu. “Kalian adalah perwakilan manusia. Jika kalian bisa menemukan jalan tengah, maka desa ini juga akan menemukannya.”

Sari menatap dua kelompok roh yang kini berhadapan. Para leluhur menggumamkan do’a, sementara dedemit menggeram, seolah menuntut sesuatu.

Mudra melangkah ke tengah. “Kami tidak akan melupakan tradisi,” katanya kepada arwah leluhur. “Kami hanya ingin membuatnya lebih dikenal. Kami ingin lebih banyak orang memahami keindahan budaya kita.”

Salah satu arwah, seorang pria tua berjubah putih, menatap mereka dalam. “Dan bagaimana kau bisa memastikan bahwa mereka akan menghormati tradisi ini?”

Sari menjawab, “Dengan menetapkan aturan yang jelas. Setiap wisatawan harus memahami makna dari gamelan, bukan hanya menikmatinya sebagai hiburan. Mereka harus merasakan spiritualitasnya.”

Arwah-arwah itu berbisik satu sama lain, mempertimbangkan jawaban tersebut.

Sementara itu, Vanua berhadapan dengan para dedemit. “Aku tahu kalian adalah bayangan ketakutan kami,” katanya dengan suara mantap. “Tapi kami tidak bisa terus hidup dalam ketakutan. Kami harus bergerak maju.”

Salah satu dedemit, yang paling besar di antara mereka, mendekat. “Dan bagaimana jika perubahan menghancurkan yang lama?”

“Tidak semua yang lama harus hilang,” jawab Mudra. “Tapi tidak semua yang baru harus ditolak.”

Hening. Kemudian, angin berhembus lebih tenang.

Perempuan bersayap emas mengangguk. “Kalian telah menemukan keseimbangan. Ingatlah pelajaran ini.”

Dengan cahaya yang lembut, sosoknya menghilang. Arwah leluhur pun memudar ke dalam kegelapan, dan para dedemit perlahan-lahan melebur ke dalam bayangan malam.

Keesokan harinya, keputusan dibuat. Kampung Tujuh akan membuka diri bagi wisatawan, tetapi dengan peraturan ketat. Setiap pengunjung harus mengikuti upacara pembuka sebelum menyaksikan pertunjukan gamelan, sebagai bentuk penghormatan pada leluhur. Teknologi akan digunakan hanya untuk meningkatkan pengalaman tanpa mengubah esensi spiritual gamelan.

Pak Wirya, yang awalnya paling keras menentang perubahan, kini berdiri bersama Raka. “Aku masih tidak sepenuhnya setuju,” katanya, “tapi aku mengerti bahwa kita harus beradaptasi.”

Raka tersenyum. “Dan aku belajar bahwa tidak semua yang baru itu lebih baik dari yang lama.”

Ki Rajendra tersenyum puas. “Kalian telah belajar dari kartu Temperance. Keseimbangan bukanlah tentang memilih satu sisi, tetapi menemukan titik tengah yang tepat.”

Malam itu, Kampung Tujuh kembali dipenuhi suara gamelan. Namun kali ini, alunan nada bukan hanya sekadar musik. Itu adalah bukti bahwa harmoni bisa ditemukan, bahkan di tengah perbedaan.

Di langit, seberkas cahaya keemasan tampak melintas sejenak sebelum menghilang ke dalam bintang-bintang. Sebuah tanda bahwa keseimbangan telah dicapai… untuk sementara.

***

40. MALAM PENGHAKIMAN

Udara yang lembab membawa bisikan keresahan, menyusup ke rumah-rumah warga. Masalah yang selama ini ditutup-tutupi kini meledak di hadapan mereka—usaha simpan pinjam BUM Desa Kampung Tujuh mengalami kemacetan. Banyak warga yang kesulitan membayar pinjaman mereka, terutama setelah pandemi menghancurkan sumber penghasilan utama desa.

Pagi itu, balai desa penuh sesak. Wajah-wajah cemas menghiasi ruangan. Para pedagang kecil, petani, hingga pengelola warung kopi berkumpul, saling berbisik tentang masa depan yang tak pasti.

"Saya sudah berusaha, tapi jualan saya menurun drastis," ujar Pak Ruban, seorang penjual hasil bumi.

"Kami para perajin cokelat gunung juga mengalami penurunan pesanan," sahut Bu Ranti. "Padahal, kami mengandalkan hasil penjualan untuk membayar cicilan."

Di sisi lain ruangan, para pengurus BUM Desa, termasuk Raka dan Pak Wirya, berusaha meredakan situasi. "Kami sedang mencari solusi terbaik," kata Raka. "Tapi kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa jika banyak pinjaman macet, dana simpan pinjam bisa bangkrut."

Pak Wirya menggeleng. "Jika kita membiarkan ini terus berlarut, BUM Desa bisa kehilangan modalnya. Harus ada jalan keluar."

Di tengah kericuhan itu, Ki Rajendra berdiri, menarik napas dalam. "Ada sesuatu yang lebih dalam di sini," katanya pelan. "Bukan hanya tentang uang. Ada sesuatu yang mengikat kalian dalam bayangan." Ia mengeluarkan satu kartu dari dek tarotnya, memperlihatkan The Shadow Side.

Kartu itu menampilkan sosok menyeramkan, bayangan yang membuat sepasang manusia meringkuk ketakutan. "Ini bukan sekadar masalah ekonomi," lanjut Ki Rajendra. "Ketakutan telah menguasai kalian. Ketakutan kehilangan harta, kehilangan kehormatan, dan kehilangan harapan. Kalian membiarkan bayangan itu mengendalikan kalian."

Warga mulai berbisik.

"Maksud Anda… ada yang tak kasat mata yang mempengaruhi kami?" tanya Sari.

Ki Rajendra mengangguk. "Bukan hanya tak kasat mata, tapi juga ada di dalam hati kalian sendiri. Bayangan ini adalah keserakahan, kebingungan, dan ketakutan yang selama ini kita hindari."

Seketika angin bertiup kencang. Lampu minyak di balai desa berkelap-kelip, dan suara gemuruh terdengar dari luar.

Malam itu, Sari, Mudra, dan Vanua berkumpul di halaman rumah Ki Rajendra. "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Mudra.

"Bayangan ini harus dihadapi," jawab Ki Rajendra. "Jika tidak, ia akan semakin mengakar di desa ini. Kalian harus mencari sumbernya."

Dengan hati-hati, mereka menuju ke gudang tua di pinggir desa, tempat catatan hutang BUM Desa disimpan. Begitu mereka tiba, hawa dingin menyergap mereka. Pintu gudang terbuka sedikit, seolah mengundang mereka masuk.

Sari menghela napas. "Kita harus masuk."

Di dalam, cahaya bulan menyoroti lemari kayu tua yang dipenuhi dokumen. Tetapi di antara tumpukan itu, ada sesuatu yang aneh—bayangan gelap melayang di udara, membentuk sosok tinggi dengan mata merah membara.

"Kalian… takut…" suara berat menggema di dalam ruangan.

Vanua menelan ludah. "Apa ini?"

"Aku adalah hasil dari keinginan dan ketakutan kalian," jawab sosok itu. "Kalian yang membiarkan diriku tumbuh, ketika kalian mengambil lebih dari yang bisa kalian bayar. Kalian yang membiarkan diriku berkembang, ketika kalian membiarkan ketamakan masuk ke dalam hati kalian."

Sari merapatkan genggamannya. "Kami tidak bisa terus hidup dalam bayangan ini. Kami harus menghadapi kenyataan."

Bayangan itu tertawa dingin. "Kenyataan? Kenyataan adalah utang yang tak terbayar. Kenyataan adalah keserakahan yang ditutupi dengan kata-kata manis. Aku adalah hasil dari keputusan kalian sendiri."

Mudra melangkah maju. "Jika kau adalah bayangan dari ketakutan kami, maka kami harus melawanmu. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan kesadaran."

Ia meraih setumpuk catatan hutang dan mulai membacanya dengan lantang. "Pak Ruban berutang karena panennya gagal. Bu Ranti kesulitan karena penjualan cokelat menurun. Tapi apakah mereka serakah? Tidak. Mereka adalah korban dari keadaan. Kami akan mencari solusi bersama, bukan dengan menyerah pada ketakutan."

Sari ikut menambahkan, "Kami akan merevisi sistem pinjaman. Kami akan mencari solusi, bukan mencari kambing hitam."

Bayangan itu bergetar, suaranya melemah. "Tidak… ini tidak boleh…"

Tiba-tiba, cahaya terang melesat dari jendela, seakan menyapu bayangan itu. Sosok itu mengerang sebelum akhirnya melebur ke dalam kegelapan.

Keesokan harinya, balai desa kembali dipenuhi warga. Tapi kali ini, suasana lebih tenang. Raka berdiri di depan, membawa beberapa lembar dokumen.

"Kami telah merancang sistem pembayaran ulang yang lebih fleksibel," katanya. "Kita tidak akan menutup usaha simpan pinjam ini, tetapi kita juga tidak bisa membiarkan hutang menumpuk tanpa solusi. Bagi yang masih kesulitan, kita akan mencari alternatif—seperti program kerja sama baru untuk meningkatkan pemasukan desa."

Pak Ruban mengangguk. "Jadi… kami masih punya kesempatan?"

"Tentu," jawab Raka. "Kita semua pernah terjebak dalam bayangan, tapi sekarang kita tahu cara menghadapinya."

Ki Rajendra tersenyum di sudut ruangan. "Bayangan hanya memiliki kekuatan jika kita memberinya tempat. Kini, Kampung Tujuh telah memilih untuk berdiri dalam cahaya."

Hari itu, matahari bersinar lebih cerah dari biasanya. Mereka sepakat untuk meninggalkan sementara Kampung Tujuh. “Malam ini malam Anggara Kasih, Selasa Kliwon, aku ingin kembali menuju Desa Gayam, biasanya di sana banyak yang melakukan tirakat,” kata Mudra.     

***

41. MENARA YANG RUNTUH

Perjalanan mereka akhirnya tiba di Desa Gayam terasa berat. Langit gelap menggantung rendah di atas hutan yang mereka lalui, angin bertiup dingin membawa firasat buruk. Mudra berjalan di depan, sementara Vanua, Sari dan Ki Rajendra mengikutinya dalam diam. Jalanan setapak di Desa Gayam yang biasanya mudah dilewati kini terasa lebih sulit, seolah alam pun menolak kehadiran mereka.

“Kalian merasa ada yang aneh?” bisik Vanua, matanya menyapu pepohonan yang meranggas.

“Angin ini...,” jawab Sari pelan. “Terasa seperti membawa suara.”

Mereka berhenti sejenak, mendengarkan lebih saksama. Dari kejauhan, samar-samar terdengar bunyi gemuruh—seperti suara bangunan yang runtuh.

Ki Rajendra menghela napas dalam. “Sepertinya kita sudah terlambat.”

Saat mereka mencapai gerbang Desa Gayam, yang mereka lihat bukanlah desa yang mereka kenal. Rumah-rumah yang dulu berdiri kokoh kini porak-poranda. Pusat desa, yang dulu ramai dengan pedagang dan warga, kini dipenuhi puing-puing dan abu. Di tengah reruntuhan, berdiri sebuah menara batu yang retak, lambang kejayaan desa yang kini tinggal kenangan.

“Apa yang terjadi di sini?” tanya Mudra, matanya membelalak ngeri.

Dari balik reruntuhan, seorang lelaki tua muncul. Kepala Desa Gayam yang selama ini mereka hormati, kini tampak lusuh dan penuh debu. Matanya memancarkan kesedihan yang mendalam.

“Mereka datang,” katanya lirih. “Mereka mengambil apa yang bukan milik mereka.”

Ki Rajendra mendekat. “Siapa yang datang?”

Kepala Desa menatapnya dengan mata kosong. “Orang-orang yang ingin menguasai desa ini. Mereka berpikir bisa membangun kembali Desa Gayam dengan cara mereka sendiri. Mereka mendirikan menara ini sebagai simbol kekuatan, tapi mereka tidak tahu bahwa tanah ini tidak menerima pemaksaan.”

Sari memandangi menara yang nyaris roboh. Batu-batunya hangus, seolah terbakar dari dalam. “Ini bukan kehancuran biasa.”

Kepala Desa Gayam mengangguk. “Saat menara ini selesai dibangun, petir menyambarnya. Seakan alam menolak kehadirannya. Setelah itu, orang-orang mulai menghilang. Ada yang pergi dengan ketakutan, ada yang... lenyap begitu saja.”

Malam itu, mereka duduk mengitari api unggun di tengah reruntuhan balai desa. Ki Rajendra mengambil dek tarotnya, lalu menarik satu kartu.

The Tower,” katanya pelan.

Semua terdiam.

“Kartu ini menandakan kehancuran yang tak terhindarkan,” lanjut Ki Rajendra. “Ketika sesuatu dibangun di atas dasar yang salah, ia pasti akan runtuh.”

Mudra mengepalkan tangannya. “Jadi, kehancuran ini sudah ditakdirkan?”

“Bukan ditakdirkan,” koreksi Ki Rajendra. “Tapi sudah diperingatkan. Desa ini berusaha berubah terlalu cepat tanpa menghormati keseimbangan lama. Kalian ingat bagaimana Kampung Tujuh belajar menyeimbangkan tradisi dan modernitas? Desa Gayam tidak mendapatkan kesempatan itu.”

Vanua bangkit berdiri, menatap menara yang menjulang angkuh. “Kalau begitu, kita harus memperbaiki kesalahan ini.”

Tiba-tiba, angin berputar kencang. Asap dari api unggun berputar ke langit, membentuk bayangan samar. Dari reruntuhan menara, terdengar suara gemuruh, seolah ada sesuatu yang bergerak di dalamnya.

Sari menarik napas. “Sesuatu sedang bangkit.”

Kepala Desa menundukkan kepalanya. “Mereka yang terjebak di antara dunia.”

Sebuah suara bergema dari dalam menara. Suara berat, penuh amarah. “Kalian datang untuk menghancurkan kami lagi?”

Dari dalam bayangan, sosok-sosok bermunculan—orang-orang yang telah hilang. Mata mereka kosong, tubuh mereka separuh nyata, seolah tertahan di antara dunia manusia dan arwah.

Mudra menelan ludah. “Mereka bukan lagi manusia.”

Ki Rajendra mengangkat tangannya, mengisyaratkan agar semua tetap tenang. “Kami tidak datang untuk menghancurkan. Kami datang untuk mengembalikan keseimbangan.”

Salah satu sosok, seorang pria yang dulunya adalah kepala pekerja pembangunan menara, maju. “Kami membangun ini untuk kejayaan. Tapi yang kami dapat hanya kehancuran.”

Vanua menatapnya tajam. “Apakah itu kejayaan, jika kau harus menghancurkan tanahmu sendiri?”

Pria itu terdiam.

Ki Rajendra melanjutkan, “Menara ini tidak boleh berdiri di atas keserakahan. Jika kalian ingin bebas, kalian harus meruntuhkan apa yang telah kalian buat.”

Sosok-sosok itu saling berpandangan. Lalu, satu per satu, mereka mengangkat tangan. Angin semakin kencang, dan menara mulai bergetar. Batu-batu jatuh, kilat menyambar dari langit.

Sari menggenggam tangan Mudra, berbisik, “Ini adalah pembersihan.”

Dengan satu gemuruh besar, menara itu runtuh. Puing-puingnya menyatu dengan tanah, seolah menolak untuk pernah dibangun kembali.

Saat fajar menyingsing, hanya tersisa dataran kosong di tempat menara pernah berdiri. Orang-orang yang hilang pun lenyap, meninggalkan ketenangan yang baru.

Kepala Desa menghela napas lega. “Mungkin, ini kesempatan kita untuk memulai kembali. Kali ini, dengan cara yang benar.”

Ki Rajendra mengangguk. “Bangunlah desa ini dengan hati, bukan dengan keserakahan. Maka ia akan bertahan.”

Mudra, Sari, dan Vanua saling berpandangan.  Di langit, matahari bersinar lebih terang. Era baru telah dimulai.

***

42. MATA AIR PURBA

Fajar menyingsing di Desa Gayam, menyapu puing-puing menara yang telah runtuh dengan cahaya keemasan. Namun, meskipun tanda-tanda kehancuran masih tampak, desa ini perlahan mulai berbenah. Kepala Desa dan beberapa warga berkumpul di bekas lokasi menara, membahas masa depan desa mereka.

Ki Rajendra menatap tanah yang kini kosong, lalu berkata, "Desa ini memiliki sesuatu yang jauh lebih berharga daripada menara itu."

Mudra mengernyit. "Apa maksud Ki Rajendra?"

Kepala Desa menghela napas, lalu menunjuk ke arah mata air seukuran lapangan sepak bola yang berada di tengah desa. "Di bawah tanah Desa Gayam, terdapat ribuan debit air purba yang telah bertahan selama ribuan tahun. Sumber kehidupan ini telah lama menjadi rahasia yang dijaga oleh para tetua."

Vanua memandangi sumur itu dengan kagum. "Jadi, air di sini bukan sekadar sumber bagi warga, tapi juga bagian dari keseimbangan alam yang lebih besar?"

Kepala Desa mengangguk. "Itulah sebabnya kami selalu berhati-hati dalam mengelola air ini. Namun, baru-baru ini, sebuah perusahaan air minum ingin berinvestasi di desa ini. Mereka menawarkan dana bantuan sosial sebesar 10 milyar per tahun untuk pengembangan desa."

Sari menatap Pak Wirya dengan waspada. "Dan sebagai gantinya, mereka ingin menguasai sumber air ini?"

Pak Wirya mengangguk pelan. "Mereka bilang ingin membantu desa, membangun infrastruktur, sekolah, dan layanan kesehatan. Tapi harga yang harus kita bayar adalah menyerahkan hak atas air ini kepada mereka."

Warga Desa Gayam terpecah. Sebagian merasa bahwa menerima investasi itu adalah kesempatan emas untuk memperbaiki kondisi desa yang porak-poranda. Namun, sebagian lain khawatir bahwa eksploitasi air ini akan menghancurkan keseimbangan alam dan merampas hak generasi mendatang.

"Kita butuh uang itu! Kita bisa membangun kembali desa kita," seru salah satu warga.

"Tapi apa jadinya jika mereka mengambil lebih banyak dari yang mereka janjikan? Apa yang akan kita wariskan pada anak cucu kita?" balas seorang warga lain.

Ki Rajendra mendengarkan perdebatan itu dengan tenang, lalu mengeluarkan satu kartu tarot dari dek-nya. Ia membaliknya, menampilkan gambar The Star.

"Kartu ini adalah lambang harapan dan keseimbangan. Sumber air ini adalah anugerah bagi desa, tapi harapan tidak boleh dibeli dengan harga yang terlalu mahal," katanya.

Mudra menatap Ki Rajendra. "Jadi, apa yang harus kita lakukan?"

Ki Rajendra menatap warga satu per satu. "Keputusan ada di tangan kalian. Jika kalian memilih untuk menerima dana itu, kalian harus memastikan bahwa desa tetap memiliki kendali atas sumber air ini. Jangan biarkan keserakahan mengambil alih keputusan kalian."

Kepala Desa mengangguk. "Kita harus berunding lagi. Mungkin ada cara untuk bekerja sama tanpa kehilangan hak atas sumber air kita."

***

43. PERSIMPANGAN BAYANGAN

Malam turun di Desa Gayam, membawa kesunyian yang hanya dipecahkan oleh suara jangkrik dan gemerisik daun tertiup angin. Ki Rajendra, Mudra, Vanua, dan Sari berjalan menuju tepi hutan untuk mencari petunjuk lebih lanjut tentang mata air purba yang kini menjadi pusat perdebatan di desa. Mereka menyusuri jalan setapak berbatu yang semakin gelap, diapit oleh pepohonan tinggi yang menciptakan bayangan menyeramkan.

Tiba-tiba, mereka sampai di sebuah persimpangan dengan tiga jalan berbeda. Kabut tebal menyelimuti tempat itu, membuat mereka sulit melihat ke depan. Angin berdesir, membawa suara-suara aneh seolah berbisik dari balik pepohonan.

"Ini tidak ada di peta yang diberikan Kepala Desa," ujar Mudra sambil menatap jalan-jalan bercabang di depan mereka.

"Ini bukan sekadar persimpangan biasa," kata Ki Rajendra dengan suara berat. "Ini adalah ujian. Kita harus memilih dengan hati-hati."

Dari bayangan kabut, sosok wanita tua muncul, mengenakan jubah hitam yang berkilauan seperti langit malam. Rambutnya perak panjang, dan di tangannya terdapat obor yang menyala biru. Di sekelilingnya, tiga ekor serigala dengan mata bersinar mengintai mereka dari kegelapan.

"Kalian telah memasuki wilayah yang bukan milik kalian," suara wanita itu menggema, seolah berasal dari udara itu sendiri. "Aku Hecate, penjaga jalan dan persimpangan. Hanya mereka yang memahami arti perjalanan yang dapat melewati tempat ini."

Vanua menelan ludah. "Apa maksudmu? Kami hanya ingin mencari kebenaran tentang mata air purba itu."

Hecate tersenyum tipis. "Kebenaran selalu ada di antara kebohongan dan ilusi. Untuk menemukannya, kalian harus menjawab teka-tekiku. Jika kalian gagal, kalian akan terjebak di sini selamanya."

Ki Rajendra melangkah maju, menatap Hecate dengan penuh keyakinan. "Apa teka-tekimu?"

"Apa yang selalu mengikuti manusia, tapi tak pernah bisa disentuh? Apa yang menjadi musuh terbesar, namun juga penyelamat mereka?" tanyanya.

Sari berpikir keras. "Bayangan... dan ketakutan?"

Hecate mengangguk, matanya berkilau. "Kalian telah memahami sebagian dari jawabannya. Ketakutan adalah bayangan yang diciptakan oleh pikiran. Jika kalian ingin melewati persimpangan ini, kalian harus menghadapi ketakutan kalian sendiri."

Setelah melewati persimpangan, mereka kembali ke desa dan mendapati pemandangan yang mengerikan. Warga desa tampak linglung, wajah mereka kosong, seolah sedang berada di tempat lain. Beberapa berbicara sendiri, yang lain tertawa tanpa alasan.

"Apa yang terjadi di sini?" tanya Mudra.

Kepala Desa mendekati mereka dengan ekspresi cemas. "Sesuatu telah terjadi sejak kalian pergi. Orang-orang mulai berhalusinasi, melihat sesuatu yang tidak ada. Mereka berkata bahwa mata air purba berbisik kepada mereka, memberikan janji dan ketakutan."

"Ini ulah siapa?" Vanua bertanya tajam.

Ki Rajendra menatap langit malam. "Bukan siapa-siapa. Ini adalah hasil dari ketidakpastian dan ketakutan mereka sendiri. Seperti yang dikatakan Hecate, manusia sering kali dikuasai oleh bayangan yang mereka ciptakan sendiri."

Meskipun keadaan warga semakin memburuk, perdebatan mengenai investasi perusahaan air minum masih berlanjut. Ada yang percaya bahwa dana bantuan sosial yang dijanjikan adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan desa, sementara yang lain khawatir akan eksploitasi besar-besaran yang mengancam keberlangsungan sumber air.

"Kita tidak bisa menyerahkan mata air ini begitu saja!" seru seorang warga.

"Tapi kita juga tidak bisa membiarkan desa ini tetap miskin!" sahut yang lain.

Ki Rajendra mengeluarkan kartu tarotnya dan menarik satu. Kartu The Moon terpampang jelas di tangannya.

"Ini adalah kartu ketidakpastian dan ilusi," jelasnya. "Ketika ketakutan menguasai, kita mudah terjebak dalam keputusan yang salah. Kita harus mencari kebenaran sebelum bertindak."

Untuk mencari jawaban, Ki Rajendra, Mudra, Vanua, dan Sari memutuskan untuk pergi ke sumber mata air purba. Di bawah cahaya bulan, mereka berjalan menuju gua kecil di tepi sungai, tempat mata air itu berasal.

Saat mereka tiba, mereka melihat air jernih mengalir dari celah batu, memancarkan cahaya kebiruan yang aneh. Namun, di depan mata air itu, berdiri sesosok makhluk tinggi dengan wajah samar. Suaranya terdengar dalam pikiran mereka.

"Apa yang kalian cari di sini?"

Ki Rajendra menjawab dengan tenang, "Kebenaran."

Makhluk itu menunduk, lalu berkata, "Kebenaran bukanlah sesuatu yang bisa ditemukan dengan mudah. Air ini telah ada selama ribuan tahun, melampaui zaman manusia. Jika kalian ingin menjaganya, kalian harus bertindak bukan karena ketakutan, tetapi karena kebijaksanaan."

Mereka semua saling bertukar pandang. Jawaban atas dilema desa mereka tidak hanya terletak pada menerima atau menolak investasi, tetapi bagaimana mereka bisa mengendalikan situasi dengan kepala dingin dan hati yang bijak.

Di kejauhan, kabut di langit perlahan memudar, dan bulan bersinar lebih terang dari sebelumnya.

***

44. KEBANGKITAN DARI MATA AIR PURBA

Desa Gayam mulai berbenah. Setelah perdebatan panjang mengenai mata air purba, para tetua desa, pemuka masyarakat, dan para pemuda seperti Mudra, Vanua, dan Sari akhirnya mencapai sebuah kesepakatan: Desa Gayam akan membangun pabrik air minum kemasan sendiri, bukan menjual mata air itu kepada perusahaan luar. Dengan begitu, desa dapat mengontrol sumber daya mereka sendiri dan memastikan keuntungan digunakan untuk kesejahteraan warga.

Di bawah sinar mentari pagi yang hangat, para warga berkumpul di balai desa. Suasana dipenuhi dengan harapan dan sedikit ketegangan. Seorang perwakilan dari perusahaan air minum yang sebelumnya ingin membeli hak eksploitasi, seorang pria berkacamata dengan jas rapi, berdiri di depan warga dengan ekspresi serius.

“Kami menawarkan investasi besar, bukan hanya untuk desa ini, tapi juga untuk masa depan generasi mendatang,” katanya. “Sepuluh milyar per tahun bukan angka kecil.”

Kepala Desa Gayam menatap pria itu dengan mata tajam. “Tapi berapa lama sebelum desa ini kehilangan kendali atas sumber airnya? Kami tidak bisa menyerahkan kehidupan kami kepada pihak luar.”

Vanua, yang selama ini skeptis terhadap proyek ini, akhirnya angkat bicara. “Bukankah lebih baik kita bangun sendiri? Dengan sistem yang kita kontrol? Kita bisa memasok air ke desa-desa lain tanpa harus tunduk pada investor luar.”

Perwakilan perusahaan tersenyum tipis, lalu berkata, “Itu butuh modal besar. Kalian yakin bisa mengelola sendiri?”

Sari maju selangkah. “Kami punya BUM Desa. Jika semua warga terlibat, kita bisa mengumpulkan modal dari hasil usaha wisata dan pertanian. Tak perlu investor luar.”

Perdebatan kembali mencuat, tetapi kini dengan arah yang lebih jelas. Desa Gayam memilih untuk berdaulat atas sumber daya mereka.

***

Selain membangun pabrik air minum kemasan, warga desa juga memutuskan untuk merenovasi kawasan Mata Air Purba sebagai destinasi wisata. Dengan dana hasil usaha desa, area sekitar mata air dibangun menjadi tempat wisata yang bisa dikunjungi oleh 74.000 desa lainnya. Airnya yang jernih dan berasal dari sumber yang telah bertahan ribuan tahun menjadi daya tarik utama.

Tak hanya itu, ratusan perempuan di desa mulai membuka usaha di sekitar lokasi wisata. Mereka menjual makanan khas, pakaian tradisional, serta peralatan menyelam bagi wisatawan yang ingin merasakan kesegaran air purba. Usaha mereka berkembang pesat, menciptakan lapangan pekerjaan baru dan meningkatkan kesejahteraan warga.

Di sebuah warung kecil, seorang pedagang perempuan bernama Mbok Rini melayani pembeli dengan antusias. “Silakan, Mas, ini tape ketan khas desa. Enak dimakan sambil menikmati mata air.”

Mudra menerima bungkusan itu dan tersenyum. “Terima kasih, Mbok. Bagaimana dengan usahanya?”

“Alhamdulillah, sejak ada wisata ini, penghasilan meningkat. Dulu cuma bisa jualan di pasar, sekarang pelanggan datang sendiri.”

Untuk mendukung ekosistem ekonomi ini, desa juga mendirikan pusat pelatihan wirausaha wisata. Program ini melatih warga dalam manajemen usaha kecil, pemasaran digital, serta layanan pelanggan. Dalam setahun, omzet wisata di Desa Gayam melonjak menjadi dua milyar rupiah per tahun, memberikan dampak positif bagi seluruh masyarakat.

***

Dalam perjalanan kembali dari balai desa, Ki Rajendra mengeluarkan dek tarotnya dan menarik satu kartu. The Sun.

“Kartu ini menandakan keberhasilan, harapan, dan awal yang baru,” katanya sambil menunjukkan gambar seorang anak kecil menunggang kuda putih di bawah matahari bersinar terang. “Ini adalah waktu yang tepat untuk melangkah maju dengan keyakinan.”

Sari tersenyum. “Jadi ini pertanda baik?”

“Bukan hanya pertanda,” jawab Ki Rajendra. “Ini adalah pengingat bahwa cahaya selalu ada setelah kegelapan. Desa ini telah melewati bayang-bayang, kini saatnya bersinar.”

Meskipun banyak tantangan di depan, pembangunan pabrik air minum kemasan mulai direncanakan dengan matang. Warga desa, dengan gotong royong, mulai menata strategi distribusi, membentuk BUM Desa, dan memastikan bahwa proyek ini benar-benar membawa manfaat untuk semua.

Di langit, matahari bersinar terik, seakan memberkati langkah pertama Desa Gayam menuju kemandirian. Desa Gayam bukan hanya mempertahankan sumber daya alamnya, tetapi juga menciptakan masa depan yang lebih cerah bagi generasi mendatang.

***

45. KARMA DAN TAKDIR DESA GAYAM

Desa Gayam kini resmi memiliki perusahaan air minum kemasan sendiri. Setelah melalui berbagai pertimbangan, musyawarah desa memutuskan untuk menunjuk seorang CEO yang akan memimpin perusahaan ini. Sosok yang dipilih adalah Pak Banyu, seorang mantan pengusaha sukses yang memilih kembali ke kampung halamannya setelah bertahun-tahun berkarier di kota besar.

Di balai desa, seluruh warga berkumpul untuk menyaksikan peresmian tersebut. Ki Rajendra, yang selalu membawa dek tarotnya, menarik satu kartu sebelum acara dimulai. Kartu Karma.

“Karma adalah hukum sebab akibat,” ujar Ki Rajendra. “Apa yang kita lakukan hari ini akan membentuk masa depan desa ini. Pak Banyu, Anda telah diberi kepercayaan, dan keputusan yang Anda buat akan menjadi takdir bagi Desa Gayam.”

Pak Banyu mengangguk hormat. “Saya menerima tanggung jawab ini dengan sepenuh hati. Tapi ini bukan hanya tugas saya seorang, ini adalah usaha kita bersama. Saya ingin membangun perusahaan ini dengan prinsip keadilan, kesejahteraan, dan keberlanjutan.”

Sorak-sorai warga mengiringi pidatonya. Hari itu menandai langkah pertama menuju perubahan besar bagi Desa Gayam.

Sebagai CEO, Pak Banyu langsung menghadapi tantangan besar. Masalah pertama adalah distribusi. Meskipun pabrik telah siap, tetapi menembus pasar tidaklah mudah. Banyak desa lain sudah memiliki pemasok air sendiri, dan ada tekanan dari perusahaan besar yang tidak ingin ada pemain baru dalam industri ini.

Di ruang rapat BUM Desa, Pak Banyu, Sari, Mudra, dan Vanua duduk bersama tim pemasaran.

“Kita harus mencari cara agar produk kita berbeda,” kata Pak Banyu. “Jika kita hanya menjual air, kita akan kalah saing. Apa yang bisa membuat air dari Desa Gayam istimewa?”

Sari berpikir sejenak. “Mata Air Purba. Air ini berasal dari sumber yang telah bertahan ribuan tahun. Jika kita bisa memanfaatkan narasi ini, kita bisa menarik pasar yang lebih luas.”

Mudra menambahkan, “Kita juga bisa mengajukan sertifikasi kualitas dan keaslian sumber air. Itu bisa menjadi keunggulan dibanding produk lain.”

Pak Banyu tersenyum. “Ide yang bagus. Kita akan mengemas air ini sebagai produk premium, bukan hanya air biasa, tetapi air yang membawa sejarah dan keberlanjutan.”

Namun, sebelum rencana ini berjalan, ada tantangan baru: regulasi pemerintah. Beberapa pejabat mulai menyoroti bisnis air minum ini, mempertanyakan dampaknya terhadap lingkungan dan hak atas sumber daya air.

Tidak semua warga desa setuju dengan pembangunan pabrik air minum ini. Sebagian khawatir bahwa eksploitasi sumber air bisa merugikan petani dan masyarakat yang bergantung pada mata air untuk kebutuhan sehari-hari.

Di pertemuan desa berikutnya, seorang petani bernama Pak Rono angkat bicara. “Bagaimana jika nanti kita kehabisan air? Bagaimana jika air ini hanya menguntungkan segelintir orang, sementara warga biasa justru kesulitan?”

Pak Banyu menjawab dengan tenang, “Kami memahami kekhawatiran ini. Itu sebabnya, 20% dari keuntungan pabrik akan dialokasikan untuk pengelolaan sumber daya air, perbaikan irigasi, dan proyek kesejahteraan desa. Kita tidak akan mengeksploitasi air ini tanpa memperhitungkan dampaknya.”

Namun, seorang pemuda yang bekerja sebagai distributor air dari kota menimpali, “Tapi kita tahu bahwa bisnis seperti ini bisa lepas kendali. Bagaimana jika suatu hari kita tidak bisa mengontrolnya lagi?”

Ki Rajendra, yang sejak tadi mendengarkan, akhirnya angkat bicara. “Itulah makna dari Karma. Setiap keputusan membawa konsekuensi. Jika kita menjalankan bisnis ini dengan adil, maka kebaikan akan kembali kepada kita. Jika kita serakah, maka kehancuran akan menanti.”

Suasana menjadi hening. Warga mulai memahami bahwa keputusan ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi soal tanggung jawab moral.

***

Setelah beberapa bulan beroperasi, pabrik air minum Desa Gayam mulai menunjukkan hasil. Produk mereka diterima dengan baik di berbagai daerah, dan banyak desa lain mulai tertarik menjadi distributor.

Suatu hari, datanglah seorang investor dari kota, Mr. John Ndugal, menawarkan kemitraan besar. “Kami bisa membawa produk ini ke pasar nasional. Tapi tentu saja, ada beberapa syarat. Kami ingin mayoritas saham dalam usaha ini.”

Pak Banyu menatap pria itu dengan tajam. “Mayoritas saham berarti kendali penuh atas sumber air ini. Itu tidak bisa kami terima.”

Mr. John Ndugal tertawa kecil. “Kalian ingin bersaing dengan perusahaan besar hanya dengan modal desa? Itu mustahil.”

Sari, yang selama ini diam, akhirnya berkata, “Kami mungkin desa kecil, tapi kami punya keunikan yang tidak dimiliki perusahaan besar: keberlanjutan dan kepercayaan dari masyarakat. Kami tidak butuh modal yang mengorbankan prinsip kami.”

Mudra menambahkan, “Kami akan mencari cara lain. Kami akan mengembangkan usaha ini sendiri.”

Mr. John Ndugal mendengus kecewa. “Baiklah, tapi saya yakin suatu hari kalian akan berubah pikiran.”

Setelah kepergian investor itu, Pak Banyu menatap timnya. “Kita memilih jalan yang lebih sulit, tapi ini adalah jalan yang benar. Kita akan membuktikan bahwa bisnis bisa berjalan tanpa mengorbankan keadilan sosial.”

***

Dalam setahun, bisnis air minum kemasan Desa Gayam berkembang pesat. Mereka tidak hanya berhasil menembus pasar desa-desa lain, tetapi juga mulai menarik perhatian konsumen di kota-kota besar yang mencari produk berbasis keberlanjutan.

BUM Desa juga mulai memperluas dampak sosialnya. Selain program kesejahteraan, mereka membangun sekolah kejuruan untuk melatih generasi muda dalam kewirausahaan dan manajemen bisnis.

Di akhir tahun, warga kembali berkumpul di balai desa untuk merayakan keberhasilan ini. Pak Banyu, yang kini tidak hanya CEO tetapi juga pemimpin yang dihormati, berdiri di depan warganya.

“Kita telah membuktikan bahwa desa bisa mandiri. Bahwa kita bisa berkembang tanpa harus menyerahkan segalanya kepada orang luar.”

***

46. PINTU KOTA DEPOK

Pagi itu, suasana Desa Gayam dipenuhi dengan kehangatan perpisahan. Mudra, Vanua, Sari, dan Ki Rajendra bersiap untuk perjalanan panjang mereka ke kota Depok. Mudra mengemban amanat dari Pak Banyu agar membuka jalan distribusi air kemasan dari Desa Gayam. Perjalanan ini bukan sekadar perjalanan biasa—mereka akan menghadapi bentuk kerumunan baru yang berbeda dari yang mereka temui di desa. Kota besar adalah dunia yang penuh dengan dinamika sosial yang lebih kompleks, tantangan yang lebih tajam, dan godaan yang lebih besar.

“Di sana nanti, kalian akan melihat bagaimana ‘kerumunan adalah neraka’ dalam bentuk yang lebih ekstrem,” ujar Ki Rajendra sebelum mereka berangkat. “Namun, ingatlah bahwa setiap kerumunan memiliki celah untuk dipahami dan dikendalikan.”

Dengan semangat yang bercampur dengan sedikit kegelisahan, mereka meninggalkan Desa Gayam dan memasuki perjalanan menuju dunia baru.

Sesampainya di Depok, mereka segera menyadari bahwa kota ini bukan sekadar lebih besar—ia juga lebih padat dan lebih sibuk. Jalanan dipenuhi oleh pejalan kaki yang terburu-buru, kendaraan yang saling berebut ruang, serta pasar yang hiruk-pikuk dengan suara penjual dan pembeli yang tawar-menawar tanpa henti.

Di salah satu sudut kota, mereka melihat demonstrasi besar yang melibatkan ratusan orang. Para demonstran menuntut kebijakan baru terkait harga kebutuhan pokok. Di sisi lain, mereka melihat antrean panjang di pusat perbelanjaan, orang-orang berdesakan untuk mendapatkan diskon besar-besaran. Kerumunan di sini lebih dari sekadar kumpulan orang—mereka adalah energi yang bergerak dengan arah yang tak selalu jelas.

Sari menatap sekeliling dengan mata penuh kewaspadaan. “Kerumunan ini terasa berbeda… lebih kacau, lebih sulit dipahami.”

“Benar,” kata Mudra. “Di desa, kita menghadapi kerumunan yang terikat oleh kebiasaan dan komunitas. Tapi di kota, orang-orang hanya bergerak untuk kepentingan mereka sendiri.”

Ki Rajendra mengangguk. “Dan di sinilah kita akan belajar bagaimana menghadapi mereka.”

Malam itu, mereka berkumpul di penginapan sederhana untuk membahas strategi mereka. Ki Rajendra mengeluarkan kartu tarotnya dan menarik satu kartu. The World.

“Kartu ini menandakan bahwa kita telah menyerap semua pelajaran yang kita dapatkan sebelumnya. Kini, kita harus menerapkannya dalam kehidupan nyata,” ujar Ki Rajendra. “Jika kita ingin menghadapi kerumunan ini, kita harus memahami bagaimana dunia mereka bekerja.”

Vanua, yang selama ini skeptis tentang tarot, akhirnya bertanya, “Jadi, bagaimana cara kita menghadapi mereka?”

“Kita harus memahami pola mereka,” jawab Ki Rajendra. “Kerumunan di kota ini bergerak berdasarkan impuls, ketakutan, dan harapan. Jika kita ingin mengendalikan situasi, kita harus masuk ke dalam pola itu dan mengarahkannya.”

Sari menambahkan, “Seperti bagaimana kita menangani konflik di desa—dengan membangun keseimbangan.”

“Dan menggunakan logika untuk melihat celah dalam sistem,” tambah Mudra.

Ki Rajendra menatap mereka satu per satu. “Dan jangan lupa, kalian membawa nama Desa Gayam. Pabrik air minum dan wisata mata air purba telah membuat desa itu dikenal luas. Kalian bukan hanya sekadar pengamat di sini. Kalian adalah perwakilan dari perubahan.”

Vanua menghela napas. “Jadi kita bukan hanya menghadapi kerumunan. Kita membawa pesan.”

Ki Rajendra tersenyum tipis. “Tepat sekali. Dan sekarang, saatnya kita melihat apakah mereka siap mendengarnya.”

***

Perusahaan air minum kemasan milik Desa Gayam telah menarik perhatian beberapa pelaku bisnis di Depok. Para pelaku bisnis telah lama mengikuti perkembangan bisnis Desa Gayam melalui Instagram. Mudra memiliki janji pertemuan dengan beberapa distributor dan pemilik jaringan minimarket yang tertarik menjual produk air kemasan dari Desa Gayam.

Dalam pertemuan bisnis pertama mereka, Mudra dan Sari bertemu dengan pemilik jaringan toko yang ingin mengetahui lebih dalam tentang produk mereka. “Kami suka konsepnya,” kata seorang pengusaha, “tapi bagaimana kalian menjamin suplai yang stabil? Kami tidak bisa bekerja dengan pemasok yang produksinya naik turun.”

Mudra menatap Sari, lalu menjawab dengan tenang, “Kami memiliki sistem pengelolaan mata air yang ketat. Selain itu, keuntungan dari bisnis ini juga kembali ke desa, memastikan kesejahteraan masyarakat. Kami bukan hanya bisnis, kami adalah komunitas yang bergerak bersama.”

Pengusaha itu mengangguk. “Menarik. Kita bisa mencoba uji pasar dalam skala kecil dulu.”

Vanua, yang selama ini lebih banyak diam, akhirnya berbicara, “Kami tidak hanya menjual air minum. Kami menjual kisah tentang desa yang bangkit dan mengubah nasibnya sendiri.”

Para pengusaha tampak tertarik. Kesepakatan awal mulai terjalin, membuka jalan bagi Desa Gayam untuk merambah pasar yang lebih luas.

Di luar ruangan pertemuan, Ki Rajendra mengamati mereka dengan bangga. “Kalian sudah mulai memahami bahwa menghadapi kerumunan tidak selalu soal menentangnya. Kadang, kita harus masuk ke dalamnya dan mengarahkannya.”

Setelah pertemuan awal mereka dengan para pengusaha di Depok, Mudra, Vanua, Sari, dan Ki Rajendra mulai memahami betapa kompleksnya medan yang mereka hadapi. Depok, kota yang berdenyut dengan ritme modern, menawarkan kesempatan sekaligus tantangan besar. Kerumunan di sini tidak hanya sekadar kelompok orang yang berkumpul, tetapi kekuatan sosial yang mampu mengubah arah kebijakan dan perekonomian.

Di sepanjang jalan Margonda, antrean panjang terlihat di depan beberapa bank dan pusat perbelanjaan. Orang-orang berkumpul untuk menarik uang, membeli kebutuhan pokok, atau sekadar menikmati hiruk-pikuk kota. Di sudut lain, ada mahasiswa yang berdiskusi lantang tentang isu-isu kebijakan kampus, sementara di dekat stasiun, para pekerja migran dari desa-desa sekitar berdesakan naik ke dalam kereta.

“Lihatlah ini,” ujar Vanua sambil mengamati lautan manusia di sekitar mereka. “Kerumunan ini seperti lautan yang bisa menghancurkan atau mengangkat kapal. Kita harus tahu bagaimana menavigasi arus ini.”

Ki Rajendra mengangguk. “Kartu The World memberi kita pemahaman bahwa kita harus menguasai semua pelajaran yang telah kita dapatkan. Ini bukan tentang menolak kerumunan, tetapi belajar bagaimana beradaptasi di dalamnya.”

***

Sementara itu, pembicaraan bisnis mereka mulai menemukan rintangan. Meskipun beberapa pengusaha tertarik dengan konsep air minum kemasan dari Desa Gayam, ada juga pihak yang skeptis.

“Kenapa kami harus berinvestasi dalam produk dari desa kecil yang bahkan belum memiliki jaringan distribusi yang jelas?” tanya salah satu investor dengan nada meremehkan.

Mudra menatapnya tajam. “Karena kami membawa sesuatu yang lebih dari sekadar produk. Kami membawa keberlanjutan, keterlibatan komunitas, dan nilai sosial yang tidak dimiliki merek lain.”

Sari menambahkan, “Kami juga menawarkan narasi yang bisa menarik perhatian pelanggan. Air dari Mata Air Purba tidak hanya tentang kesegaran, tapi tentang kisah perubahan dan pembangunan desa. Konsumen modern tidak hanya membeli produk, mereka membeli cerita.”

Beberapa pengusaha mulai tertarik, tetapi tetap ada yang ragu. “Baiklah, kami bisa memberikan kesempatan uji coba. Tapi bagaimana kalian menangani logistiknya?”

Di sinilah tantangan nyata dimulai. Vanua, yang selama ini lebih banyak mengamati, akhirnya angkat bicara. “Kami bisa mulai dengan jaringan distribusi terbatas. Kami akan membuktikan bahwa ini layak sebelum memperluas skala.”

***

47. KERUMUNAN YANG TAK TERDUGA

Sore itu, mereka diundang ke sebuah acara diskusi ekonomi di salah satu kampus ternama di Depok. Topiknya adalah tantangan dan peluang bagi bisnis berbasis komunitas. Awalnya, mereka hanya berniat menjadi pendengar, tetapi suasana berubah ketika seorang panelis mencemooh usaha desa sebagai sesuatu yang “tidak relevan di dunia modern.”

“Model seperti ini hanya bisa bertahan di desa. Kota besar punya dinamika yang berbeda,” kata panelis itu dengan nada meremehkan.

Sari spontan berdiri. “Dengan segala hormat, kota besar pun bergantung pada desa-desa seperti kami. Jika pasokan makanan, air, dan sumber daya lain dari desa terhenti, kota ini akan lumpuh.”

Ruangan menjadi hening. Ki Rajendra tersenyum tipis, melihat bagaimana murid-muridnya mulai mengambil inisiatif dalam menghadapi tantangan sosial.

“Apa yang kami bawa bukan sekadar produk desa,” lanjut Mudra. “Kami membawa sistem baru yang bisa memberikan keseimbangan antara kota dan desa. Jika Depok bersedia bekerja sama dengan kami, kita bisa menciptakan ekosistem yang lebih berkelanjutan.”

Panelis itu terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Baiklah, saya ingin melihat seperti apa konsep ini bekerja dalam praktik. Kita bisa lanjutkan diskusi lebih jauh.”

Misi mereka mulai mendapatkan pengakuan. Namun, ini baru permulaan. Masih banyak tantangan yang harus dihadapi, dan mereka tahu bahwa perjalanan ke depan akan semakin sulit.

Setelah beberapa hari di Depok, mereka mulai mempersiapkan langkah berikutnya: Surabaya. Kota besar lain yang lebih luas dan lebih padat, dengan tantangan yang lebih besar.

Ki Rajendra menarik napas dalam, memandangi langit Depok yang mulai gelap. "Surabaya akan membawa gelombang yang lebih besar. Jika kita tidak cukup kuat, kita bisa tenggelam," ujarnya pelan, namun tajam.

Sari mengepalkan tangannya. "Kalau begitu, kita harus memastikan kita tahu cara berenang."

Vanua menatap jalanan yang sibuk di depan mereka. "Atau kita buat kapal sendiri."

Mudra tersenyum tipis. "Atau, kita kendalikan arusnya."

"Kita lihat siapa yang lebih siap—kita atau kerumunan yang menunggu di sana."

***

48. SURABAYA, PUSARAN BARU

Kereta api yang membawa Mudra, Vanua, Sari, dan Ki Rajendra meluncur cepat di atas rel, mendekati jantung kota Surabaya. Dari balik jendela, mereka menyaksikan bagaimana kota ini berbeda dari Depok. Surabaya, dengan pelabuhan dan pasar-pasarnya yang ramai, adalah medan yang jauh lebih luas dan kompleks. Jika Depok adalah gerbang menuju dunia urban, maka Surabaya adalah pusat pusaran di mana segala bentuk kerumunan berkumpul dan bertarung demi ruang dan pengaruh.

“Lihat itu,” ujar Vanua, menunjuk ke arah Pasar Turi yang hiruk-pikuk. “Ini bukan hanya kerumunan. Ini adalah lautan manusia yang bergerak dengan tujuan masing-masing. Jika kita tidak hati-hati, kita bisa tenggelam di dalamnya.”

Ki Rajendra mengangguk. “The World mengajarkan kita bahwa kita harus memahami dunia sebagai sebuah kesatuan. Surabaya bukan hanya tentang kepadatan, tetapi juga tentang bagaimana kita bisa menemukan keseimbangan di dalamnya.”

Sari menatap jauh ke depan, menyadari bahwa tantangan yang mereka hadapi akan jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya. Bisnis, politik, dan sosial bercampur menjadi satu dalam arus kota ini.

Kedatangan mereka ke Surabaya bertepatan dengan forum bisnis besar yang diadakan oleh para pengusaha air minum. Di sinilah mereka harus memperjuangkan agar produk Desa Gayam mendapat tempat di pasar yang sudah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar.

Di dalam gedung konferensi yang megah, mereka berdiri di antara para pemilik bisnis besar. Salah satu perwakilan dari sebuah perusahaan multinasional menatap mereka dengan skeptis. “Kalian ingin menjual air dari desa kecil ke pasar Surabaya? Kalian sadar bahwa ini bukan sekadar soal kualitas air, tetapi juga soal jaringan distribusi, perizinan, dan biaya pemasaran?”

Mudra menatapnya tanpa gentar. “Kami tahu persis tantangan yang ada. Tapi yang kami tawarkan bukan hanya air minum, melainkan konsep yang lebih luas. Produk kami membawa narasi tentang keberlanjutan dan pemberdayaan komunitas.”

Seorang pengusaha lain mengangkat alis. “Dan bagaimana kalian bisa memastikan bahwa ini bukan sekadar mimpi yang tidak akan terwujud?”

Sari melangkah maju. “Kami tidak datang dengan janji kosong. Desa Gayam sudah membangun fondasi yang kuat. Kami memiliki BUM Desa yang telah membuktikan keberhasilannya, jaringan distribusi awal yang siap berkembang, dan kemitraan dengan banyak pihak di Depok.”

Para pengusaha itu mulai tertarik, tetapi salah satu dari mereka tersenyum sinis. “Baik, kita lihat apakah kalian bisa menembus pasar yang sudah ada. Kalian mungkin tidak sadar, tapi Surabaya punya aturan main yang berbeda.”

Setelah forum bisnis, mereka mulai merasakan tekanan dari berbagai pihak. Seorang birokrat di Surabaya mempersulit perizinan mereka dengan berbagai alasan administratif.

“Kami harus mengevaluasi ulang dampak usaha kalian terhadap pasar lokal,” kata seorang pejabat dengan nada birokratis yang kaku. “Butuh waktu beberapa bulan sebelum kami bisa memberi keputusan.”

Mudra menekan rahangnya. “Berapa lama tepatnya?”

Pejabat itu mengangkat bahu. “Bisa cepat, bisa lama. Tergantung situasi.”

Di sisi lain, ada kabar bahwa perusahaan besar mulai mengintervensi distributor air lokal agar tidak bekerja sama dengan mereka. Vanua yang mencoba menghubungi beberapa distributor mendapati mereka tiba-tiba menolak bekerja sama tanpa alasan jelas.

“Ini lebih dari sekadar bisnis,” gumam Vanua. “Mereka ingin memastikan kita tidak bisa masuk ke pasar ini.”

Malam itu, setelah forum bisnis, mereka bertemu dengan sekelompok pedagang kecil yang telah lama berjuang melawan monopoli perusahaan besar. Salah satu dari mereka, seorang pria bernama Pak Rafi, mengajak mereka ke sebuah warung kopi sederhana.

“Kalian ingin masuk ke pasar Surabaya? Itu bukan perkara mudah,” ujarnya sambil menyeruput kopinya. “Banyak yang sudah mencoba, tapi akhirnya terhimpit oleh jaringan yang lebih besar.”

Ki Rajendra menatapnya dengan tenang. “Kami tidak datang untuk melawan, Pak Rafi. Kami datang untuk menawarkan jalan alternatif. Jika kita bisa membangun rantai distribusi berbasis komunitas, maka kita tidak perlu tunduk pada aturan main yang ditentukan segelintir orang.”

Pak Rafi menghela napas. “Kalian punya keberanian, aku akui itu. Tapi kalian juga harus tahu, ada kekuatan yang tidak suka dengan perubahan.”

Seorang pedagang lain, seorang ibu bernama Bu Ani, menambahkan dengan suara rendah, “Dulu ada kelompok lain yang mencoba, tapi usaha mereka dihancurkan. Tiba-tiba mereka kehilangan pelanggan, ada razia mendadak, dan bahkan toko mereka terbakar. Jangan remehkan apa yang bisa terjadi.”

Ketegangan mulai terasa di antara mereka. Vanua, yang sejak awal skeptis terhadap rencana ekspansi ini, mulai kehilangan kepercayaan diri.

“Apa kita benar-benar bisa menghadapi ini?” tanyanya. “Kita melawan sistem yang sudah ada selama puluhan tahun. Mungkin kita hanya sedang mengejar ilusi.”

Mudra menatapnya tajam. “Jika kita mundur sekarang, berarti kita menyerah tanpa mencoba. Aku lebih baik gagal dengan terhormat daripada tidak mencoba sama sekali.”

Ki Rajendra meletakkan tangannya di bahu Vanua. “Ketakutan adalah bagian dari perjalanan ini. Tapi kita sudah tahu bahwa perubahan selalu menghadapi perlawanan. Pertanyaannya, apakah kita siap untuk menghadapi dan mengatasinya?”

Sari yang selama ini diam akhirnya berbicara. “Aku tidak ingin kembali ke Desa Gayam membawa kegagalan. Kita punya tanggung jawab kepada mereka yang percaya pada kita.”

Tepat ketika mereka hendak pulang ke penginapan, sebuah peringatan datang dengan cara yang tidak terduga. Ban mobil mereka disayat seseorang, meninggalkan pesan di kaca belakang: Kalian tidak diterima di sini.

Vanua menelan ludah. “Jadi ini peringatan pertama mereka.”

Ki Rajendra mengambil napas dalam. “Kita baru saja menyentuh permukaan masalah ini. Esok kita harus lebih siap.”

***

49. KONSPIRASI DI BALIK BAYANGAN

Keesokan harinya, mereka kembali berkumpul untuk membahas langkah selanjutnya. Ki Rajendra menatap mereka dengan tatapan serius, dan tanpa berkata-kata langsung membuka kartu tarot yang telah menjadi bagian penting dari perjalanan mereka.

 “Apa yang kita hadapi bukan sekadar masalah bisnis. Kita berada di persimpangan jalan yang penuh kabut dan bayangan. Seperti kartu The Moon, kita harus mencari kebenaran dalam kegelapan.”

Mudra merenung, melihat ke luar jendela yang memantulkan cahaya redup dari matahari yang terbenam. “Bayangan... Begitu banyak yang tersembunyi di balik setiap keputusan. Kita hanya bisa melihat bagian luar dari masalah ini, tetapi ada kekuatan besar yang menggerakkan semuanya di balik layar.”

Sari, yang semakin paham akan peran mereka, menambahkan, “Kita harus menggali lebih dalam. Menyelesaikan masalah ini tidak hanya soal mengalahkan kompetisi, tetapi mengungkap siapa yang sebenarnya menarik tali di balik semua ini.”

Vanua, yang sebelumnya lebih memilih menghindar, kini merasa gelisah. “Tapi siapa yang bisa kita percayai di sini? Semua orang punya agenda. Bagaimana kita bisa tahu mana yang benar?”

Ki Rajendra meletakkan tangan di meja, menatap mereka satu per satu. “Kepercayaan bukanlah sesuatu yang diberikan begitu saja, Nak Vanua. Ini adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. Kita harus terus bergerak maju meskipun kabut semakin tebal.”

Suasana menjadi tegang, seakan-akan mereka sedang berada dalam perjalanan yang jauh lebih berbahaya daripada yang mereka bayangkan. Konflik di Surabaya mulai menunjukkan wajah gelapnya. Perusahaan besar, pengaruh politik, dan kekuatan tak terlihat sedang memainkan permainan mereka sendiri, dan mereka hanya menjadi bidak di papan catur yang lebih besar.

Surabaya bukan hanya kota yang cepat berkembang, tetapi juga tempat bagi segala potensi dan ketegangan bertemu. Pasar yang begitu padat, dengan kendaraan yang berdesakan dan para pedagang yang memperebutkan ruang, menciptakan sebuah kerumunan yang sesungguhnya. Di tengah hiruk-pikuk itu, Mudra, Vanua, Sari, dan Ki Rajendra merasa bahwa mereka tidak hanya sedang bertarung untuk masuk ke dalam pasar, tetapi juga menghadapi sesuatu yang lebih besar, lebih sulit dipahami: konspirasi yang menggerakkan kekuatan di balik bayangan.

Mereka sedang berada di pusat perdagangan air minum kemasan, dan di sinilah semuanya dipertaruhkan. Namun, mereka tidak tahu bahwa yang lebih mereka hadapi bukan sekadar pasar atau pesaing, tetapi suatu sistem yang mengikat dan tak terhindarkan.

"Kerumunan ini bukan hanya tentang banyaknya orang yang bergerak di sini," kata Ki Rajendra dengan suara rendah. "Ini adalah 'neraka' yang terjadi dalam dunia bisnis—di mana siapa pun yang tidak bisa bertahan, akan dihancurkan."

Vanua melirik sekeliling, merasakan atmosfer yang menekan. "Ini lebih dari sekadar kerumunan pasar. Ada sesuatu yang lebih gelap, lebih menakutkan di sini." Ketegangan yang dirasakannya semakin menguat, seolah ada tangan tak terlihat yang menarik mereka ke dalamnya, menjerat mereka dalam jaringan kerumunan yang penuh ketidakpastian.

Ki Rajendra mengeluarkan kartu tarot yang sudah tidak asing lagi bagi mereka. "The Tower," katanya dengan bijak. "Palu petir ini bukan hanya menimpa bangunan. Ini adalah peringatan bagi kita, bahwa dalam kerumunan, kita harus siap dengan kehancuran yang datang begitu saja. Tetapi, kehancuran ini juga membawa transformasi yang dibutuhkan untuk membangun sesuatu yang lebih kuat."

***

Mereka memasuki ruangan konferensi di sebuah hotel mewah di pusat kota. Berbagai pengusaha besar berkumpul untuk menyusun strategi baru mengenai pasokan dan distribusi air minum. Kerumunan itu begitu besar dan penuh, seperti sebuah arena bagi setiap orang untuk bersaing dan memenangkan pertempuran yang tidak hanya tentang uang, tetapi juga tentang kekuasaan dan pengaruh. Keputusan yang dibuat di sini tidak hanya akan mempengaruhi pasar, tetapi juga nasib mereka di Surabaya.

Ketika mereka mulai berbicara tentang bagaimana memasuki jaringan distribusi, Vanua merasakan ada yang tidak beres. Sebuah perusahaan besar yang diwakili oleh seorang eksekutif yang tampak licik, memandang mereka dengan pandangan merendahkan.

“Jadi kalian datang dari sebuah desa kecil dan berharap bisa mendistribusikan air ke kota besar seperti Surabaya?” tanyanya dengan nada tidak percaya. “Kalian akan menemui banyak tembok yang tidak bisa kalian tembus.”

Mudra menatapnya, menahan diri. “Kami bukan hanya datang dengan air. Kami membawa sebuah konsep—sustainable community business, sesuatu yang lebih dari sekadar produk kemasan.”

Eksekutif itu tertawa sinis. "Sustainable business? Itu hanya kata-kata indah untuk menutupi kenyataan bahwa kalian tidak punya cukup kekuatan untuk bersaing di sini. Pasar ini sudah penuh. Coba lihat saja bagaimana kita mengendalikan distribusi air kemasan di Surabaya."

Sari, yang tidak bisa menahan diri lagi, maju selangkah. “Kami tidak ingin berkompetisi hanya untuk menambah kerumunan yang sudah ada. Kami datang untuk menciptakan sesuatu yang berbeda, untuk membangun sistem distribusi yang berlandaskan pada komunitas, bukan hanya sekedar keuntungan.”

Namun, jawabannya justru memicu perdebatan sengit di ruangan itu. Pihak perusahaan besar terus menyindir, mempertanyakan keberhasilan mereka dan meremehkan kemampuan mereka. Ketegangan yang semula terpendam kini meledak menjadi pertempuran terbuka antara mereka yang ingin mempertahankan status quo dan mereka yang ingin membawa perubahan.

***

Malam itu, di sebuah warung kopi, mereka merenung. Ki Rajendra mengeluarkan kartu tarot lain, kali ini kartu Justice.

“Seperti yang terlihat di kartu ini,” katanya sambil menunjukkan gambar Themis yang memegang pedang dan neraca, “ada keadilan yang harus kita perjuangkan. Ini bukan hanya tentang menang, tetapi bagaimana kita mengatur keseimbangan di tengah kerumunan yang penuh dengan kekuasaan dan tekanan.”

Sari berpikir sejenak. “Kita harus menembus kerumunan itu dengan cara kita sendiri, bukan dengan mencoba mengikuti aturan yang sudah ada. Tapi bagaimana caranya?”

Ki Rajendra menghela napas, matanya tajam menatap mereka. “Seperti kartu ini, kita harus menghadapinya dengan ketenangan dan keadilan. Kerumunan bukan hanya tentang siapa yang lebih besar atau lebih kuat. Itu adalah tentang siapa yang mampu mengendalikan diri dan tetap pada prinsipnya.”

Mudra mengangguk, namun masih ada keraguan yang mengendap di hatinya. “Tapi sepertinya ada kekuatan yang lebih besar di belakang semua ini. Mereka tidak hanya ingin mengalahkan kita, mereka ingin mengontrol kita.”

Vanua yang selama ini diam, akhirnya berkata, “Lalu apa yang harus kita lakukan? Berlari atau melawan?”

Ki Rajendra tersenyum tipis. “Tidak ada tempat untuk berlari. Kita melawan dengan cara kita sendiri, dengan membangun sistem yang lebih adil, yang memberi kesempatan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan, bukan hanya menguntungkan segelintir orang.”

Keesokan harinya, mereka memutuskan untuk bertemu dengan beberapa komunitas yang sudah terpengaruh oleh dominasi perusahaan besar. Di sebuah kafe kecil, mereka berbicara dengan seorang pemilik warung kopi, Pak Anton, yang sudah lama menjadi korban dari permainan pasar.

“Kalian ingin mengubah Surabaya? Itu tidak mudah. Tapi kalian benar—ini bukan hanya tentang air. Ini tentang siapa yang mengendalikan hidup orang lain,” katanya dengan serius. “Perusahaan besar akan menghancurkan kalian jika kalian tidak siap.”

Namun, yang menarik adalah pertemuan mereka dengan seorang wanita muda, Clara, yang sudah bekerja sama dengan para pedagang kecil untuk menentang monopoli.

“Kita tidak perlu berperang secara terbuka. Yang perlu kita lakukan adalah menciptakan alternatif. Jika kita bisa menumbuhkan solidaritas antar komunitas, maka kita akan menciptakan keseimbangan baru,” kata Clara dengan semangat.

Ki Rajendra menyimak dengan seksama. “Solidaritas adalah kunci. Tetapi seperti dalam The Moon, kita harus melihat lebih dalam. Apa yang tampaknya jelas, mungkin bukanlah kenyataan yang sebenarnya. Kita harus mengungkapkan kebenaran yang tersembunyi di balik kabut ini.”

Vanua, yang semakin gelisah, memandang mereka semua. “Tapi, apakah kita bisa mengatasi kerumunan ini? Apakah kita bisa mengubah takdir yang sudah ditentukan oleh orang-orang besar itu?”

Ki Rajendra tersenyum lebar. “Kita tidak mengubah takdir. Kita menghadapinya dengan mata terbuka. Kita belajar dari setiap kegagalan, dari setiap konflik. Karena di dunia ini, tidak ada kemenangan yang bisa dicapai tanpa melewati kerumunan yang menghalangi.”

***

50. MENYULUT API PERTARUNGAN

Surabaya, kota yang tak pernah tidur, kini menjadi medan pertempuran yang lebih kompleks dan lebih sulit dipahami. Semakin mereka menyelami dunia pasar yang dipenuhi kerumunan yang keras dan penuh persaingan, semakin mereka merasa semakin jauh dari akar mereka. Namun di sisi lain, mereka juga mulai merasakan api yang membara di dalam diri mereka. Api yang menyala di dalam diri mereka adalah hasrat, semangat, dan tekad untuk meraih sesuatu yang lebih besar.

"Ini bukan hanya tentang air," kata Mudra dengan suara penuh tekad, menyeringai. "Ini adalah tentang perubahan, untuk menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar bisnis. Kami datang untuk membangun sistem distribusi yang berbasis komunitas, dan bukan hanya sekadar keuntungan."

Namun, semakin mereka melangkah lebih dalam, semakin terasa bahwa ini bukan hanya sebuah persaingan bisnis. Mereka merasakan adanya kekuatan yang lebih besar, yang terhubung pada sistem yang mengikat mereka dalam kerumunan yang sama.

Di malam hari yang penuh kerumunan itu, saat udara mulai dingin, mereka kembali merenung. Ki Rajendra mengeluarkan sebuah kartu tarot yang kali ini memancarkan semangat baru—Ace of Wands.

"Ini adalah energi kreatif, yang meletus dan tak bisa ditahan," kata Ki Rajendra sambil memandangi kartu tersebut. "Seperti bunga hawthorn yang bermekaran, ini adalah tentang memulai sesuatu yang baru, yang penuh gairah dan tekad. Tidak hanya untuk bertahan hidup, tetapi untuk menciptakan sesuatu yang lebih kuat."

Sari yang sejak awal mulai meragukan kemungkinan mereka, kini mulai merasakan gelombang api yang mengalir di dalam dirinya. "Mungkin ini saatnya. Saatnya untuk kita mulai sesuatu yang benar-benar baru," ujarnya dengan tekad yang baru ditemukan. "Kita harus berani mengambil risiko untuk menciptakan jalan baru di tengah kerumunan yang sudah ada."

Vanua yang awalnya masih skeptis mulai merenung. "Tapi, bagaimana kita bisa melawan kekuatan besar yang ada di belakang semuanya ini? Mereka sudah menguasai pasar dan distribusi di seluruh kota ini," katanya dengan nada penuh keraguan.

Ki Rajendra menyentuh bahu Vanua dengan lembut. "Kita tidak berusaha untuk melawan mereka dengan cara yang mereka inginkan. Kita akan melawan dengan cara kita sendiri. Kita akan menggunakan energi ini untuk mendorong kita maju, meskipun menghadapi rintangan yang tampaknya tak terhindarkan."

Esok harinya, mereka kembali ke medan pertempuran. Mereka memulai hari dengan rencana untuk memperkenalkan air dari Desa Gayam ke pasar Surabaya. Namun, rintangan demi rintangan mulai muncul. Di luar ruang konferensi, mereka menghadapi penghalang yang lebih besar. Dari pejabat pemerintah hingga perusahaan besar, semuanya tampak berusaha menjegal mereka.

“Ini bukan hanya tentang air minum. Ini tentang siapa yang mengendalikan pasokan di kota ini,” kata seorang eksekutif dari perusahaan besar yang memiliki jaringan distribusi yang kuat. “Kami telah menguasai pasar ini selama bertahun-tahun. Apa yang kalian tawarkan? Sebuah mimpi?”

Mudra menatap tajam. “Kami bukan datang untuk bersaing. Kami datang untuk menciptakan pilihan baru, bukan menambah kerumunan yang sudah ada.”

Namun, sikap para pesaing dan pihak yang berkuasa di pasar malah semakin memanas. Mereka mulai merasakan tekanan yang luar biasa. Sebuah laporan yang mencurigakan mulai menyebar, menyebutkan bahwa air yang mereka tawarkan tidak memenuhi standar kualitas yang diperlukan, meskipun semua pengujian menunjukkan sebaliknya.

Vanua memeriksa dokumen yang ada di meja. "Ada yang aneh dengan ini," katanya, menyelipkan dokumen itu ke dalam tas. "Sepertinya mereka sedang mengguncang pasar dengan berita yang dirancang untuk menggagalkan kami."

Sari, yang selama ini diam, akhirnya berbicara. “Mereka bukan hanya menghalangi kita dengan masalah kualitas. Mereka ingin mengguncang fondasi kita. Mereka ingin kita terperangkap dalam kerumunan kebohongan yang mereka ciptakan.”

Namun, ketegangan yang semakin memuncak menunjukkan bahwa ada lebih banyak yang terjadi di balik layar. Mereka mulai menerima ancaman langsung—telepon misterius yang disertai peringatan agar mereka mundur atau menghadapi konsekuensinya.

“Ini lebih besar dari yang kita kira,” ujar Ki Rajendra dengan serius. “Kerumunan yang kita hadapi di sini bukan hanya orang-orang yang bersaing untuk keuntungan, tapi juga sistem yang lebih besar yang tidak akan berhenti untuk melindungi dirinya.”

Sari menggigit bibirnya. "Apa kita harus mundur? Jika kita terus bertahan, apakah kita akan dihancurkan oleh kekuatan ini?"

Ki Rajendra menatapnya dengan tatapan yang penuh keyakinan. “Kita tidak mundur. Kita bertahan, dan kita gunakan energi kita untuk membangun apa yang kita yakini. Ingat, Ace of Wands mengajarkan kita tentang keberanian. Kita tidak hanya berjuang untuk hari ini, tapi untuk masa depan yang lebih baik.”

Vanua melihat ketegangan di wajah teman-temannya. “Tapi apakah kita cukup kuat untuk melawan sistem ini? Kita tahu siapa yang berkuasa di balik semuanya. Mereka punya lebih banyak sumber daya, lebih banyak pengaruh.”

“Yang mereka miliki hanyalah kekuatan yang sudah usang. Yang kita miliki adalah keberanian untuk berubah, untuk menciptakan jalan baru yang lebih adil. Kerumunan ini bukan tentang siapa yang lebih kuat, tetapi siapa yang memiliki kemampuan untuk bertahan dan berkembang dalam ketidakpastian ini,” jawab Ki Rajendra, matanya berkilat penuh semangat.

Hari itu, mereka bertemu dengan komunitas-komunitas yang tertindas oleh kekuasaan besar yang beroperasi di pasar. Clara, wanita muda yang sempat mereka temui sebelumnya, memberikan saran yang bijaksana.

“Kita tidak perlu berperang secara terbuka,” kata Clara dengan senyum. “Yang perlu kita lakukan adalah menyebarkan solidaritas. Jika kita bisa membangun ikatan kuat antar komunitas, maka kita akan menciptakan sebuah sistem yang bisa mengimbangi kekuasaan besar itu.”

Ki Rajendra mengangguk. “Solidaritas adalah kunci. Kita harus bekerja sama, tetapi kita juga harus berhati-hati dengan apa yang kita lihat. Apa yang tampak jelas di luar mungkin tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.”

Vanua berpikir sejenak, tatapannya penuh kekhawatiran. "Lalu, apa langkah selanjutnya? Apakah kita akan bisa menghadapi kekuatan ini dan mengubah nasib kita?"

Ki Rajendra tersenyum tipis, matanya berbinar. “Kita tidak akan mengubah nasib kita, Vanua. Kita hanya akan menyesuaikan arah kita untuk tetap bertahan. Inilah saatnya untuk melangkah dengan hati-hati, tetapi penuh semangat. Tidak ada kemenangan yang dapat diraih tanpa melalui kerumunan yang menantang kita.” 

***

51. MEMBAWA API PERTUMBUHAN

Sinar pagi merayap perlahan melalui celah-celah jendela besar di hotel pusat bisnis Surabaya. Suasana di dalam ruangan konferensi terasa tegang, dengan udara yang berat dan penuh ketidakpastian. Di meja panjang yang dikelilingi oleh eksekutif-eksekutif besar, Mudra, Vanua, Sari, dan Ki Rajendra berdiri, mempersiapkan diri untuk presentasi yang bisa menentukan masa depan mereka. Di luar sana, kerumunan pasar Surabaya mulai bergerak, menciptakan dunia yang penuh dengan peluang dan ancaman.

Mereka berada di titik yang lebih jauh dari sekadar kompetisi pasar. Keputusan yang akan diambil di sini bukan hanya tentang air minum kemasan, tetapi juga tentang apakah mereka dapat menembus jaringan kekuasaan besar yang telah lama berakar.

Seorang pria bertubuh tegap, mengenakan jas hitam dengan dasi merah, memasuki ruangan dengan langkah percaya diri. Namanya Victor, CEO dari perusahaan air minum multinasional yang sudah mendominasi pasar di Surabaya dan sekitarnya. Dengan pandangan yang tajam, dia langsung menghampiri mereka, memberi senyum tipis yang lebih terasa seperti ejekan.

“Kalian dari desa kecil, datang ke Surabaya dengan ide ‘air berbasis komunitas’? Kalian serius?” tanya Victor dengan nada sinis, matanya menilai mereka seolah-olah mereka tidak lebih dari sekedar gangguan dalam pasar yang telah dikuasainya.

Mudra mengangkat dagu, menatap Victor tanpa gentar. “Kami tidak hanya membawa produk, Victor. Kami membawa visi yang jauh lebih besar. Sebuah sistem yang mendukung pemberdayaan komunitas, bukan hanya sekadar keuntungan besar. Kami tahu pasar ini dipenuhi dengan para pemegang kekuasaan yang tak terbayangkan, tetapi kami juga tahu bahwa perubahan dimulai dengan keberanian.”

Victor tertawa sinis, tidak bisa menahan rasa meremehkan. “Keberanian? Dunia bisnis tidak butuh keberanian, Mudra. Dunia ini hanya butuh kekuatan. Kalian akan menghancurkan diri kalian sendiri dengan idealisme kosong.”

Sari, yang diam sejak awal, akhirnya tak bisa menahan diri. Dia melangkah maju, menghadapi Victor. “Kita datang bukan untuk menambah kerumunan pasar ini. Kami datang untuk membangun yang baru. Kami tahu ini akan sulit, dan kami tahu kita harus berhadapan dengan kekuatan besar. Tapi, kami percaya bahwa ada cara lain untuk bertahan—satu yang tidak didikte oleh uang dan monopoli.”

Victor menatap Sari dengan tajam, mengukur setiap kata yang keluar dari mulutnya. “Aku hanya akan mengatakan satu hal. Jangan harap kalian bisa bersaing dengan para pemain besar di pasar ini. Kalian tidak akan punya kesempatan.”

Ki Rajendra, yang sejak tadi memperhatikan perdebatan itu, menarik kartu tarot dari dalam sakunya. “Ini adalah Two of Wands,” katanya, sambil menunjukkan kartu yang menggambarkan seorang pria berdiri di tepi jurang, memegang tongkat yang penuh dengan harapan dan pilihan. “Kita ada di persimpangan, dan apa yang kita pilih saat ini bisa mengubah segalanya.”

Victor menatap kartu itu dengan jijik. “Apa kalian yakin dengan pilihan kalian? Jangan terlalu percaya pada simbolisme kartu. Ini adalah dunia yang keras. Kalian bisa memilih untuk bertahan atau mundur, dan jika kalian bertahan, kalian akan berhadapan dengan kerumunan yang tidak akan memberi ampun.”

Seiring dengan diskusi yang semakin memanas, suasana di dalam ruangan semakin panas. Pertempuran yang mereka hadapi bukan hanya tentang mendapatkan hak distribusi. Ini adalah perang yang lebih besar—perang untuk kebebasan bertindak di luar kendali sistem yang sudah mengikat mereka dalam kerumunan besar.

Setelah pertemuan itu, mereka bertemu dengan Clara, sosok aktivis muda yang selama ini berjuang untuk memperjuangkan pedagang kecil. Clara mengungkapkan bahwa perusahaan besar seperti yang dipimpin oleh Victor memiliki pengaruh yang sangat kuat di balik layar, dan mereka tidak segan-segan menggunakan kekuatan mereka untuk menghancurkan mereka yang mencoba melawan. Pertemuan berlangsung di ruang kafe tertutup, lebih dekat dengan sungai Brantas.

“Kalian mungkin belum sepenuhnya melihat kekuatan yang ada di belakang mereka,” ujar Clara sambil menatap mereka dengan serius. “Mereka akan mencoba menghancurkan kalian dari dalam. Mereka akan mengintervensi distributor, mereka akan menghancurkan reputasi kalian, dan yang lebih buruk, mereka akan menggunakan kerumunan ini untuk menenggelamkan kalian.”

Mudra memandang Clara dengan tajam. “Kita sudah tahu mereka akan melawan. Tapi kita juga tahu bahwa sistem ini bisa diubah. Kita hanya perlu melakukannya dengan cara kita sendiri.”

Vanua, yang selama ini mulai kehilangan keyakinannya, mulai menyuarakan kegelisahannya. “Apa kita bisa benar-benar menghadapinya? Apa kita benar-benar bisa mengatasi kekuatan besar yang ada di sini? Mereka memiliki segalanya, dan kita hanya memiliki sedikit keberanian.”

Ki Rajendra meletakkan tangan di bahu Vanua. “Keberanian itu sendiri adalah kekuatan, Vanua. Seperti kartu Ace of Wands, kita harus membakar semangat itu, melepaskan potensi yang kita miliki dan memperjuangkan jalan kita.”

Malam semakin larut, dan mereka menyadari bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai. Mereka tidak bisa mundur, dan mereka tidak bisa berjalan di jalan yang sama dengan yang lainnya. Dengan semua yang telah mereka pelajari dan semua tantangan yang mereka hadapi, mereka harus mengandalkan lebih dari sekadar keberanian untuk mengubah Surabaya dan pasar yang lebih luas.

Mereka mulai merencanakan langkah selanjutnya—membangun jaringan distribusi berbasis komunitas, memperkenalkan solusi alternatif yang tidak hanya bergantung pada kekuatan uang dan pengaruh, tetapi pada kekuatan kebersamaan. Di balik kekuatan besar yang tersembunyi, mereka tahu bahwa ada jalan untuk menciptakan keseimbangan baru.

Ketika mereka berjalan menuju pintu keluar yang menghadap sungai Brantas, sebuah pesan datang melalui ponsel Mudra. Isinya hanya satu kalimat: "Kami tahu apa yang kalian rencanakan. Jangan coba-coba melawan kerumunan yang sudah ada."

Dengan napas yang tertahan, mereka saling berpandangan, ancaman baru mulai beruntun menghadang, meskipun tidak disertai kiriman penggalan kepala babi.

***

52. DUKUNGAN DARI KERUMUNAN PEDAGANG KECIL

Malam itu, mereka berkumpul di sebuah warung kopi sederhana. Seorang pedagang kopi, Pak Anton, yang sudah lama berjuang melawan kekuatan besar, berbicara dengan mereka tentang perjuangannya. “Kalian mungkin tidak tahu apa yang kalian hadapi. Para pemilik perusahaan besar ini mengendalikan semuanya—dari pasokan hingga distribusi. Mereka bisa menghilangkan kita hanya dengan satu pergerakan. Jika kalian tidak siap, kalian akan menjadi bagian dari kerumunan yang tak terhindarkan itu.”

Mudra menghela napas. “Kami tahu persis tantangan yang ada. Tapi kita harus tetap berpegang pada prinsip kita. Jika kita bisa membangun jaringan distribusi berbasis komunitas, kita bisa menawarkan alternatif yang lebih adil.”

Ki Rajendra mengangguk. “Keberanian bukan hanya tentang melawan, tetapi tentang memilih jalan yang benar meski ada kerumunan yang menghalangi kita. Ini adalah saatnya untuk melihat lebih jauh dari kerumunan ini, untuk menemukan jalan keluar yang kita butuhkan.”

Mereka menghabiskan malam itu merancang strategi yang lebih matang. Ada perasaan baru yang mulai muncul—kepercayaan pada kemampuan mereka untuk melawan kekuatan besar ini, meskipun mereka tahu tantangan yang mereka hadapi sangat berat. Namun, mereka juga menyadari bahwa perubahan tidak akan datang dengan mudah.

Esoknya, mereka menyusun rencana untuk mencari mitra yang lebih kuat, melibatkan lebih banyak komunitas lokal yang terpinggirkan, dan membangun solidaritas yang lebih luas. Mereka tahu bahwa dengan mengandalkan kekuatan komunitas, mereka bisa membangun dasar yang lebih kuat dari sekadar modal besar yang dimiliki perusahaan besar.

Namun, saat mereka bersiap untuk langkah besar berikutnya, sebuah kabar buruk datang. Seorang distributor yang mereka andalkan tiba-tiba mundur, memutuskan untuk bekerja sama dengan perusahaan besar di belakang Victor. “Mereka datang dengan tawaran yang tak bisa aku tolak,” kata sang distributor, terdengar panik di ujung telepon. “Aku terpaksa menuruti mereka, Mudra. Ini lebih besar dari kita.”

Mudra merasa jantungnya berdegup kencang, sementara Vanua dan Sari menatap dengan cemas. Ki Rajendra menatap mereka dengan tenang. “Apa yang terjadi di luar sana adalah bagian dari kerumunan. Tapi bagaimana kita menghadapinya, adalah apa yang akan menentukan siapa kita.”

Kehadiran mereka di Surabaya semakin menguji kesabaran. Setiap hari adalah pertempuran—terus-menerus mencari peluang di tengah ketegangan yang memuncak di kota ini. Meskipun langkah demi langkah mereka telah memasuki wilayah yang sebelumnya mereka anggap mustahil, kini mereka berada di persimpangan yang lebih besar dari yang mereka bayangkan. Mereka tidak hanya melawan para pesaing besar, tetapi juga menghadapi kebijakan yang mengekang dan kekuatan yang lebih besar dari yang mereka harapkan.

“Kita hanya mengejar sesuatu yang tidak pernah ada. Bagaimana kita bisa menghadapi sebuah sistem yang telah sedemikian kuat?” ujar Vanua, nadanya rendah dan penuh keraguan.

Mudra yang biasanya tenang, kali ini berbicara dengan lebih keras. “Jika kita mundur sekarang, kita akan kehilangan kesempatan ini. Kita datang dengan visi besar, bukan hanya untuk kita sendiri, tetapi untuk mereka yang tidak memiliki suara. Jika kita mengalah pada kerumunan ini, kita menjadi bagian dari ketidakadilan itu.”

“Keberanian bukan hanya tentang melawan," kata Ki Rajendra, "tetapi tentang memilih dengan bijak, dengan hati yang penuh harapan. Kita perlu berani membuat keputusan yang tak terduga. Seperti dalam Two of Wands, kita harus melihat dengan lebih jelas, mengambil langkah pertama menuju tujuan yang lebih besar. Kita memerlukan keberanian untuk berlayar menuju dunia yang belum pernah kita tuju sebelumnya.”

Vanua menatap mereka dengan cemas, “Apa yang kita hadapi lebih dari yang kita bayangkan.”

Namun, tepat saat mereka merasa terpojok, sebuah kejutan datang—sebuah kelompok pedagang kecil yang sebelumnya ragu kini bersatu dan siap membantu mereka melawan dominasi perusahaan besar. Keputusan ini adalah langkah pertama yang tepat, meski masih banyak yang harus dilakukan.

***

53. KERUMUNAN SERATUS MILYAR

Setelah pertemuan terakhir dengan Victor dan para pemegang kekuasaan lainnya, Mudra, Vanua, Sari, dan Ki Rajendra merasa ada sedikit angin segar. Keputusan dari kelompok pedagang kecil untuk bersatu dan mendukung mereka bukan hanya sebuah kemenengan kecil, tetapi juga sebuah tanda bahwa harapan masih ada di tengah dunia bisnis yang gelap dan penuh perlawanan ini.

Ini baru permulaan. Kerumunan yang mereka hadapi jauh lebih besar dan lebih berbahaya daripada yang pernah mereka bayangkan. Setiap langkah mereka akan dipantau dengan cermat oleh para pesaing besar yang berusaha mengendalikan pasar ini.

“Ini bukan hanya tentang produk kita,” kata Sari, menatap layar laptop yang menunjukkan grafik distribusi dan proyeksi pasar. “Ini adalah tentang menciptakan ruang baru di pasar yang sudah padat. Tentang memberi kesempatan bagi mereka yang selama ini terabaikan.”

Vanua yang masih terombang-ambing antara harapan dan keraguan, menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan. “Tapi bagaimana kita bisa memastikan mereka akan tetap mendukung kita? Apakah mereka benar-benar siap bertarung melawan perusahaan besar yang sudah berakar kuat di sini?”

Ki Rajendra membuka sebuah map dan menatapnya dengan penuh fokus. “Ingat pesan dari Three of Wands dari dek kartu Witches Tarot. Kita harus mampu melihat gambaran besar, bukan hanya terfokus pada satu titik. Mereka yang bersatu dengan kita sekarang adalah bagian dari gambaran besar itu. Kita berada di titik awal perjalanan, dan semua yang kita rencanakan bisa berubah tergantung pada bagaimana kita menjalankan langkah pertama kita.”

Mudra mengangguk, “Kita sudah mulai mendapatkan dukungan. Sekarang saatnya kita buat mereka merasa terlibat. Mereka harus merasa bahwa mereka bukan hanya bagian dari bisnis kita, tetapi juga bagian dari perubahan yang lebih besar.”

Malam itu, mereka mengundang kelompok pedagang kecil yang telah menyatakan dukungannya. Mereka berkumpul di sebuah rumah makan kecil di pinggiran kota, tempat yang cukup jauh dari kerumunan dan hiruk-pikuk pusat kota.

Pak Rafi duduk dengan tenang di ujung meja. Wajahnya penuh dengan kerutan, tapi matanya menunjukkan keteguhan yang tidak bisa disembunyikan. Di sekeliling mereka, para pedagang lainnya mulai mengisi ruang makan, menyatukan semangat mereka.

 “Kami sudah berjuang bertahun-tahun untuk tetap bertahan di pasar ini. Kami tahu betul betapa kerasnya dunia ini. Jadi, apa yang membuat kalian yakin kami bisa mengikuti kalian?”

Vanua yang merasa lebih ragu dari sebelumnya, mendekat dan berbicara, “Kami bukan hanya menawarkan produk. Kami menawarkan kebebasan dari dominasi yang sudah berlarut-larut. Jika kita tidak bisa bersatu sekarang, maka kita hanya akan menjadi bagian dari roda giling yang sama. Kita akan hancur.”

Pak Rafi merenung sejenak. “Tapi, kalian juga harus siap dengan kenyataan. Perusahaan besar ini tidak akan diam begitu saja. Mereka akan menekan kita dengan segala cara.”

Sari kemudian berbicara, dengan suara yang lebih lembut namun penuh keyakinan. “Kami tahu ini tidak akan mudah. Tapi kita punya kesempatan untuk menulis ulang aturan main. Kita akan buat sistem distribusi yang berbasis komunitas, bukan hanya keuntungan besar yang menggerakkan pasar. Kita akan menciptakan ruang untuk kita semua bertumbuh.”

Di sisi lain, Ki Rajendra membuka kembali kartu tarot yang telah mereka kenali: Four of Wands. “Seperti yang terlihat di kartu ini, ada kesempatan untuk merayakan, tetapi itu hanya datang setelah perjuangan panjang. Ini bukan tentang sebuah pesta, tetapi tentang keberhasilan yang diperoleh setelah usaha keras dan kebersamaan.”

Para pedagang yang hadir saling bertukar pandang. Ada keraguan di antara mereka, tapi ada juga secercah harapan yang mulai tumbuh. Mungkin, mereka bisa mencapai sesuatu yang lebih besar daripada sekadar bertahan hidup dalam sistem yang menindas.

Pak Rafi kemudian berdiri dan mengangkat gelas kecilnya, “Jika kita bersatu, kita bisa menghadapi mereka. Tapi ini bukan jalan yang mudah. Kita harus siap menanggung risiko.”

Semua orang di meja itu mengangkat gelas mereka. Mereka tahu, ini adalah langkah pertama yang besar—tapi juga berbahaya. Jika mereka gagal, mereka akan kehilangan lebih banyak daripada yang mereka bisa bayangkan.

***

Hari berikutnya, kelompok pedagang kecil memulai aksi mereka. Mereka mulai berbicara tentang pentingnya mengganti distribusi yang sudah ada dengan yang lebih transparan dan adil. Namun, meskipun dukungan itu mulai tumbuh, mereka tahu bahwa ada kekuatan yang lebih besar yang terus mengintai di belakang bayangan.

Victor, yang diam-diam memantau setiap langkah mereka, menghubungi beberapa kontaknya di Surabaya. Di balik layar, perusahaan besar sudah merencanakan langkah-langkah untuk meredam upaya mereka.

Mudra, yang mendengar kabar ini, hanya tersenyum tipis. “Kita sudah tahu ini akan terjadi. Tapi kita punya sesuatu yang mereka tidak punya—kekuatan untuk berubah.”

Malam itu, mereka berempat bertemu dengan Clara, wanita muda yang sebelumnya bekerja dengan pedagang kecil. Clara membawa kabar yang mengejutkan. “Ada lebih banyak yang terjadi di belakang layar dari yang kalian kira. Perusahaan besar ini tidak hanya mengendalikan pasar—mereka juga mengendalikan kebijakan dan banyak hal lainnya. Kita perlu tahu lebih banyak tentang siapa yang benar-benar menggerakkan kekuatan di balik ini.”

Ki Rajendra menatapnya dengan serius. “Kita harus mengungkapkan kebenaran yang tersembunyi, seperti yang diajarkan oleh The Moon. Kita harus melihat lebih dalam dan berhati-hati agar tidak terjebak dalam ilusi.”

“Jadi, apakah kita siap untuk menghadapinya?” tanya Clara dengan serius.

Vanua menunduk, berpikir keras. “Kita siap. Tapi kita harus melangkah dengan hati-hati. Kita harus siap menghadapi konflik yang lebih besar lagi. Ini lebih dari sekadar bisnis.”

Ki Rajendra mengangguk, matanya berkilat penuh tekad. "Betul. Kerumunan ini bukan hanya tentang memenangkan pasar. Ini tentang memenangkan keadilan, sebuah pertempuran yang jauh lebih sulit daripada yang bisa kita bayangkan. Kita sedang menari di tepi jurang, dan satu langkah salah bisa menjerumuskan kita ke dalam kegelapan."

Clara, yang wajahnya masih memancarkan ketegangan, menatap satu per satu rekan-rekannya. "Kita tahu risikonya. Tapi, apakah kita punya pilihan? Perusahaan raksasa itu mencengkeram kota ini dengan tangan besi, menghancurkan segalanya yang kita cintai. Jika kita tidak bertindak, mereka akan merenggut masa depan kita."

Vanua, yang selama ini diam, akhirnya angkat bicara dengan suara berat. "Clara benar. Kita tidak bisa hanya duduk diam dan menyaksikan kehancuran ini. Tapi, kita harus cerdas. Mereka punya kekuatan, punya uang, punya jaringan yang luas. Kita seperti semut yang hendak melawan gajah. Kita harus menyusun rencana yang sempurna, tanpa cela."

Mudra, yang sejak awal pertemuan itu tampak gelisah, berdiri dari tempat duduknya. "Cukup! Kita tidak bisa hanya terus berbicara. Kita harus bertindak sekarang! Mereka pikir kita lemah, mereka pikir kita takut. Kita akan buktikan bahwa mereka salah!" Matanya berkobar dengan amarah yang terpendam. "Kita akan rebut kembali apa yang menjadi hak kita! Kita akan guncang fondasi kekuasaan mereka! Kerumunan ini... akan menjadi neraka bagi mereka!"

Keempatnya saling bertukar pandang, api tekad menyala di mata mereka masing-masing. Mereka tahu, jalan di depan mereka penuh dengan bahaya, penuh dengan pengorbanan. Tapi mereka juga tahu, mereka tidak sendirian. Mereka memiliki satu sama lain, dan mereka memiliki kerumunan, kekuatan yang tak terbendung dari rakyat jelata yang muak dengan ketidakadilan.

"Lalu, apa rencana kita?" tanya Clara, suaranya bergetar dengan antisipasi.

Mudra menyeringai, senyum yang dingin dan berbahaya. "Kita akan mulai dengan merebut sumber daya mereka yang paling berharga... air."

Setelah malam yang penuh ketegangan itu, Mudra, Clara, Ki Rajendra, dan Vanua mulai bergerak cepat. Mudra, dengan pengetahuan mendalam tentang Desa Gayam dan sumber airnya, menjadi penghubung penting antara desa dan para pengusaha kecil yang diwakili oleh Clara.

"Kita tidak punya banyak waktu," kata Clara, matanya berapi-api. "Perusahaan itu akan bergerak cepat untuk merebut sumber air ini. Kita harus bertindak lebih cepat dari mereka."

"Desa Gayam siap," jawab Mudra, suaranya mantap. "Kami akan mempertahankan sumber air ini dengan segala cara. Kami tidak akan membiarkan mereka mencuri masa depan kami."

Clara, dengan keahliannya dalam bernegosiasi dan membangun jaringan, berhasil meyakinkan para pengusaha kecil untuk bergabung dalam sebuah konsorsium. Mereka menyadari potensi besar dalam air bersih dari Desa Gayam, bukan hanya sebagai sumber daya, tetapi juga sebagai simbol perlawanan terhadap dominasi perusahaan raksasa.

"Ini bukan hanya tentang uang," kata salah satu pengusaha kecil, Pak Budi, dengan suara bergetar. "Ini tentang keadilan. Ini tentang membuktikan bahwa kita tidak akan lagi diinjak-injak."

Sebuah kesepakatan bersejarah pun tercapai. Para pengusaha kecil sepakat untuk menginvestasikan modal sebesar seratus milyar rupiah, sebuah jumlah yang sangat besar, untuk meningkatkan kapasitas produksi dan distribusi air bersih dari Desa Gayam. Mereka akan membangun pabrik pengemasan air minum modern, lengkap dengan teknologi canggih untuk menjamin kualitas dan kebersihan air.

Vanua, dengan keahliannya dalam logistik dan distribusi, menyusun rencana untuk memperluas jangkauan distribusi ke seluruh Jawa Timur, menargetkan pasar yang sebelumnya dikuasai oleh perusahaan raksasa.

"Kita akan buat mereka menyesal telah meremehkan kita," kata Vanua, dengan senyum sinis. "Kita akan rebut kembali pasar mereka, satu botol demi satu botol."

Ki Rajendra, dengan kebijaksanaan dan pengalamannya, bertindak sebagai penasihat, memastikan bahwa setiap keputusan diambil dengan pertimbangan matang dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan keberlanjutan.

"Kita tidak hanya berperang melawan perusahaan raksasa. Kita juga berperang melawan keserakahan dan ketidakadilan. Jangan biarkan kemenangan merusak jiwa kita."

Mereka bekerja siang dan malam, membangun disain infrastruktur digital, merancang strategi pemasaran, dan membangun jaringan distribusi. Tantangan datang silih berganti, tetapi mereka tidak gentar. Mereka tahu, mereka tidak hanya bersaing untuk keuntungan, tetapi juga untuk martabat dan masa depan Desa Gayam.

Akhirnya, kerja keras mereka membuahkan hasil. Air minum kemasan "Gayam Sejahtera" menjadi sensasi di Jawa Timur, merebut pangsa pasar dari perusahaan raksasa. Kualitas air yang tinggi, harga yang terjangkau, dan narasi perlawanan yang kuat membuat produk mereka digemari masyarakat.

Perusahaan raksasa, yang sebelumnya meremehkan mereka, kini mulai merasakan dampaknya. Keuntungan mereka menurun, dan pengaruh mereka di pasar mulai terkikis. 

Setelah keberhasilan mereka di Jawa Timur, Ki Rajendra, Mudra, Sari, dan Vanua kembali ke Desa Gayam. Mereka disambut sebagai pahlawan, sebagai orang-orang yang telah membawa harapan dan kemakmuran bagi desa mereka. Desa Gayam, yang sebelumnya terpinggirkan, kini menjadi pusat kekuatan baru, sumber inspirasi bagi komunitas lain yang berjuang melawan ketidakadilan bisnis.

***

54. EPILOG JUM’AT LEGI

Seratus purnama berlalu. Malam Jum’at Legi. Senja merayap di Desa Gayam, menyelimuti hamparan sawah dengan kabut tipis. Ki Rajendra, Mudra, Vanua dan Sari tiba di sebuah rumah tua di pinggir desa, seolah dipanggil oleh bisikan angin yang tak terlihat.

Ki Rajendra, berdiri di depan gerbang rumah, menatapnya dengan tatapan penuh arti. "Tempat ini... seolah memanggilku," gumamnya, lebih pada diri sendiri.

Mudra, dengan kotak kayu di tangannya, datang dengan langkah ragu. "Aku tidak tahu mengapa aku di sini," katanya pada Ki Rajendra, alisnya berkerut. "Tapi ada dorongan kuat yang menarikku."

Vanua, dengan mobil mewah yang terparkir di pinggir jalan, tampak gelisah. "Aku mendapat pesan aneh, sebuah undangan yang tidak jelas," katanya sambil melirik jam tangannya. "Aku harus segera pergi, tapi... sesuatu menahanku."

Sari, dengan gaun putihnya yang lusuh dan bunga layu di tangan, tiba dengan tatapan kosong. "Aku hanya mengikuti jalan ini," katanya dengan suara pelan, seolah berbicara pada angin. "Aku tidak tahu ke mana tujuanku."

Pintu rumah tua itu terbuka perlahan, seolah menyambut mereka. Mereka saling bertukar pandang, kebingungan dan kecurigaan bercampur di udara.

"Apakah ada yang tahu mengapa kita berkumpul di sini?" tanya Vanua, memecah keheningan.

Ki Rajendra menggeleng. "Aku merasa ada kekuatan kuno di tempat ini," katanya, matanya menatap rumah tua itu dengan intens.

Mudra mengangguk. "Aku merasakan hal yang sama," katanya, menggenggam kotak kayunya erat-erat. "Ada sesuatu yang tersembunyi di sini."

Sari hanya diam, menatap rumah itu dengan tatapan kosong, seolah melihat sesuatu yang tidak dilihat orang lain.

Malam tiba, dan mereka berempat mendapati diri mereka terjebak di dalam rumah itu. Pintu-pintu terkunci rapat, dan tidak ada cermin di mana pun.

"Kita tidak bisa keluar?" tanya Vanua, suaranya meninggi. "Apa maksud semua ini?"

Ki Rajendra mencoba menenangkan. "Tenanglah, ada alasan mengapa kita di sini," katanya.

"Alasan apa?" bentak Mudra. "Aku merasa seperti terperangkap dalam mimpi buruk."

Sari duduk diam di sudut ruangan, memeluk lututnya. "Aku merasa kenangan masa laluku menghantuiku di tempat ini," katanya lirih.

Mereka mulai bercerita, mengungkapkan potongan-potongan masa lalu mereka. Vanua menceritakan tentang beban utang dan tekanan bisnisnya sebelum pandemi Covid-19, Mudra tentang pengkhianatan yang menghancurkan hidupnya ketika masih kuliah, dan Sari tentang kehilangan dan kesedihan yang tak tersembuhkan. Ki Rajendra, dengan enggan, mulai membuka tabir masa lalunya yang penuh rahasia meskipun ia sangat memahami ilmu tarot.

Setiap cerita membawa mereka lebih dalam ke dalam labirin penyesalan dan ketakutan mereka. Rumah tua itu seolah menjadi wadah bagi kenangan kelam mereka.

Ketegangan di antara mereka semakin meningkat, kebenaran dan kebohongan bercampur.

"Kita tidak di sini secara kebetulan," kata Ki Rajendra, matanya menatap tajam ke arah mereka. "Ada sesuatu yang menghubungkan kita."

"Apa maksudmu?" tanya Vanua, curiga.

"Mata air purba," kata Ki Rajendra, suaranya berbisik. "Desa ini menyimpan rahasia kelam, dan kita semua terhubung dengannya."

Mudra membuka kotak kayunya, mengeluarkan gulungan kertas berisi simbol-simbol aneh. "Simbol-simbol ini... mereka mengarah ke mata air," katanya.

"Dan perusahaan air kemasan yang saat ini kukelola bersama perusahaan milik BUM Desa Gayam..." Vanua terdiam, matanya terbelalak. "Perusahaanku menyedot mata air secara berlebihan, aku tidak tahu dampaknya akan seperti ini."

Sari menatap mereka dengan tatapan sedih. "Kalian semua... kalian semua terlibat dalam kehancuran desa ini," katanya.

Mereka mulai menyadari bahwa kehadiran mereka di rumah tua itu bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari takdir yang lebih besar.

Mereka memutuskan untuk pergi ke mata air purba, mencari jawaban atas misteri desa dan masa lalu mereka. 

Di mata air, mereka menghadapi konfrontasi dengan masa lalu mereka, dengan kesalahan dan penyesalan mereka. Rumah tua, dan mata air purba, sudah menjadi satu kesatuan cerita.

Mereka berempat tiba di mata air purba, tempat airnya berputar-putar dengan kekuatan yang menakutkan, memancarkan kabut tebal yang menyelimuti area sekitarnya. Suara gemuruh air yang tak henti-hentinya bergema, menciptakan suasana yang mencekam.

"Di sinilah pusat dari segala misteri," kata Ki Rajendra, menunjuk ke pusaran air dengan tongkatnya. "Kekuatan kuno bersemayam di sini, dan kita harus menghadapinya."

"Bagaimana cara kita menghadapinya?" tanya Vanua, matanya menunjukkan ketakutan. "Air ini... terasa hidup."

Mudra membuka gulungan kertasnya dan membaca simbol-simbol yang tertulis di sana. "Simbol-simbol ini mengatakan bahwa kita harus menenangkan amarah yang terpendam di dalam air," ujarnya, suaranya bergetar.

Sari melangkah mendekati pusaran air, wajahnya pucat namun tatapannya tegas. "Aku akan berbicara dengan mereka," katanya, suaranya lirih namun penuh tekad. "Aku adalah keturunan mereka."

"Mereka? Siapa yang kau maksud?" tanya Vanua, kebingungan.

"Roh-roh yang menjaga mata air ini, Ni Grenjeng" jawab Sari, tanpa mengalihkan pandangannya dari pusaran air. "Mereka marah karena desa telah melupakan janji mereka."

Sari mulai berbicara dalam bahasa kuno, suaranya bergaung di atas suara gemuruh air. Ia memohon pengampunan, mengakui dosa-dosa masa lalu desa, dan berjanji untuk memulihkan keseimbangan.

"Kami telah melupakan jalan leluhur kami," ujarnya, air mata mengalir di pipinya. "Kami telah merusak alam, dan kami pantas mendapatkan kemarahan kalian."

Mudra, dengan tangannya yang gemetar, mulai menuliskan simbol-simbol di tanah, menciptakan lingkaran pelindung di sekitar mereka. "Simbol-simbol ini adalah jembatan antara dunia kita dan dunia mereka," katanya. "Mereka harus melihat ketulusan kita."

Vanua, dengan rasa bersalah yang membebani hatinya, mengeluarkan dokumen-dokumen perusahaannya dan melemparkannya ke dalam pusaran air. "Aku akan mengembalikan semua yang telah aku ambil," katanya, suaranya penuh penyesalan. "Aku akan memperbaiki kesalahan ini."

Ki Rajendra, dengan kebijaksanaannya, berdiri di tengah lingkaran, menjadi penghubung antara mereka dan roh-roh kuno. "Kita semua memiliki dosa masa lalu," katanya. "Tapi kita juga memiliki kekuatan untuk menebusnya."

Pusaran air mulai bergejolak, dan kabut tebal semakin pekat. Suara gemuruh air berubah menjadi raungan yang menggelegar, dan tanah di bawah kaki mereka bergetar.

"Mereka mendengar kita," kata Sari, suaranya berbisik. "Mereka marah."

"Kita harus menunjukkan bahwa kita tulus," kata Ki Rajendra, suaranya tegas. "Kita harus melepaskan ego kita, ambisi kita, dan semua yang telah merusak kita."

Vanua, dengan rasa bersalah yang mendalam, mengakui bahwa keserakahannya telah membutakan dirinya. Mudra, dengan air mata di pipinya, mengakui bahwa egonya telah menghancurkan hidupnya. Sari, dengan kepedihan yang tak tersembuhkan, mengakui bahwa kebenciannya telah membuatnya buta.

Mereka berempat, di tengah pusaran air yang mengamuk, melepaskan beban masa lalu mereka. Pengakuan dosa, penyesalan yang mendalam, menjadi persembahan yang menyentuh roh-roh kuno.

Pusaran air perlahan-lahan tenang, dan kabut tebal mulai menghilang. Suara gemuruh air mereda, dan digantikan oleh suara gemericik air yang menenangkan. Sebuah cahaya biru lembut muncul dari dasar pusaran, menyinari wajah-wajah mereka.

"Mereka menerima kita," kata Sari, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. "Mereka melihat ketulusan kita."

Ki Rajendra mengangguk. "Kedamaian telah lahir kembali di desa ini," katanya.

Mereka berempat, yang tadinya terperangkap dalam lingkaran setan masa lalu, kini menemukan kedamaian dan tujuan hidup baru. Mata air purba, yang tadinya menjadi sumber kutukan, kini menjadi simbol harapan dan penebusan.

***

Mereka kembali menuju rumah tua. Menghabiskan malam Jum’at Legi. Mereka berempat, yang tadinya asing satu sama lain, kini menjadi sahabat yang terikat oleh pengalaman yang mengubah hidup masing-masing. Mudra tetap menjaga keseimbangan cintanya di antara Sari dan Vanua. Ki Rajendra semakin mendalami ilmu tarot dengan berbagai aliran.

"Kita semua datang ke sini ternyata dengan beban masa lalu," kata Ki Rajendra, menatap wajah-wajah mereka. "Tapi kita pergi dengan hati yang ringan."

"Kita semua telah menemukan tujuan baru," kata Mudra, tersenyum. "Kita telah menemukan cara untuk menebus kesalahan kita."

"Kita semua telah menemukan kedamaian," kata Vanua, matanya berkaca-kaca. "Kedamaian yang tidak pernah kita bayangkan. Rumah tua ini mengajarkan seperti inilah neraka. Tatapan mata manusia dan dedemit adalah neraka bagi orang lain."

"Dan kita semua telah menemukan persahabatan," kata Sari, menatap mereka dengan tatapan penuh kasih. "Persahabatan yang akan bertahan selamanya."

Mereka berempat mengangkat gelas mereka, bersulang untuk masa depan yang lebih baik, untuk desa yang telah mereka selamatkan, dan untuk persahabatan yang telah mereka temukan. Rumah tua itu, dalam keheningannya, seolah ikut bersulang bersama mereka.

Kisah Ki Rajendra, Mudra, Vanua, dan Sari diwariskan dari generasi ke generasi, menjadi legenda tentang penebusan, persahabatan, dan kekuatan cinta. Ki Rajendra mengembara di berbagai pusat-pusat keilmuan tarot, sedangkan Mudra hidup bersama dengan Vanua dan Sari di Desa Gayam dan Kampung Tujuh. Mata air purba di Desa Gayam dan Gunung Api Purba di Kampung Tujuh, menjadi legenda pembebasan diri bagi mereka yang lelah menjumpai kerumunan dan neraka.

*** 

Jauh di dalam tubuh Kepala Desa Gayam dan Bu Ros Kepala Desa Kampung Tujuh, yang tampak biasa di mata manusia, bersemayam entitas kuno. Ni Grenjeng, dedemit penguasa mata air purba, telah menyusup ke dalam kedua raga itu, menjadikannya wadah untuk mengamati dan mempengaruhi dunia manusia. Bukan sebagai Kepala Desa itu sendiri, Ni Grenjeng mengintai dan merencanakan pergerakan Desa Gayam dan Kampung Tujuh dari balik tabir kesadaran-tubuh para Kepala Desa.

Matanya yang gaib, tersembunyi di balik mata manusia, mengamati setiap gerak Mudra, Clara, Ki Rajendra, dan Vanua. Ia merekam jejak tekad mereka, mendengarkan rencana yang terjalin dalam bisikan malam. Ia merasakan getaran semangat perlawanan yang membara di Desa Gayam, Kampung Tujuh, Depok dan Surabaya.

Bukan dengan suara Kepala Desa, tetapi dengan bisikan gaibnya, Ni Grenjeng menyampaikan: "Kerumunan yang mereka tangani... pernah menjadi bara api, membakar keserakahan yang merajalela." Ia melihat bagaimana aliansi terbentuk, bagaimana dana dikumpulkan, bagaimana strategi disusun oleh Mudra, Sari, Vanua dan Ki Rajendra.

Ni Grenjeng, dari balik tirai kesadaran sang Kepala Desa, memandu arus peristiwa di desa dan kota yang disinggahi mereka. Ia tidak mengambil alih kepemimpinan, tetapi ia memastikan bahwa takdir Desa Gayam dan Kampung Tujuh berjalan sesuai kehendak alam. Ia mendorong, memberi petunjuk samar melalui simbol-simbol kartu Tarot, dan menjamin bahwa setiap tindakan selaras dengan keseimbangan kosmik dedemit.

Ia menyaksikan keberhasilan Mudra dan kawan-kawan, bangkitnya Desa Gayam dan Kampung Tujuh sebagai simbol perlawanan. Ia tahu, di tengah kerumunan itu, ada kekuatan yang tak terbendung, yang akan mengguncang pondasi keserakahan.

Ni Grenjeng, dalam kesunyian jiwanya, tersenyum. Bukan senyum manusia, tetapi senyum entitas dedemit yang menyaksikan siklus kehidupan dan kematian, kehancuran dan kebangkitan. Ya! Kerumunan adalah neraka. Neraka bagi para penindas, dan fajar harapan bagi yang tertindas.

*** THE END ***

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA HINGGA AKHIR



Komentar

Srysulastry91 mengatakan…
Kedamaian itu memang terjadi saat senja
Srysulastry91 mengatakan…
Waktu terbaik dlm menemukan kedamaian adalah senja
Srysulastry91 mengatakan…
Kedamaian itu memang terjadi saat senja

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

Day 4 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 3 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 21 (The End) 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 13 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (1): Isi Buku Sosiologi Hukum

Day 19 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 18 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 7 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)