Opini Terbaru

[Calon Buku] Hukum Komunikatif by Anom Surya Putra

Gambar
 Hukum Komunikatif Karya: Anom Surya Putra ~ Naskah (calon) buku yang ditulis dalam keadaan "chaotic", non-sistematis, sedikit mengandung aforis atau metafor, tidak bermanfaat bagi praktisi hukum, dan mungkin berguna bagi pemula yang hendak membaca "hukum" dengan cara rebahan, atau bacaan ringan bagi individu yang mati-langkah dengan dunia hukum yang digeluti selama ini ~ I. Bangun dari Tidur Panjang Secangkir kopi dan teh berdampingan di meja kecil. Gemericik air dari pahatan pancuran air menemani cairan yang tersimpan di dalam cangkir kopi dan teh. Mata sembab setelah menatap ribuan kalimat di layar komputer. Jemari bergerak secara senyap, memindahkan visual pikiran dan audio batin ke dalam rangkaian gagasan. Awal. Baru memulai. Chaotic. Bangun dari tidur yang panjang. Terlalu banyak minum kopi dan teh sungguh memicu asam lambung. Cinta yang mendalam terhadap kopi dan teh terganggu dengan asam lambung yang bergerak maraton di dalam tubuh. Kurang bijak meminum kopi...

Cerita Bersambung Kerumunan adalah Neraka [2]

~ PETILASAN ~


Sari, demikianlah nama asli perempuan itu, geram membaca berita pada time line di Twitter. Ratusan cuitan hanya berisi pesan-pesan dungu berlanggam Lockdown.

Berhari-hari sebelumnya ia mencari kabar dari para filsuf tentang bencana kasat mata atau pagebluk. Demi menahan anaknya agar tidak bersendagurau dengan kematian, sepulang dari reruntuhan kota.

Semua pesan para filsuf begitu terang benderang, kita sedang mengalami masa yang tidak dikenal selama empat ratus tahun terakhir. Prediksi apapun hanya membuang usia, waktu dan tenaga. Carilah jawabannya di petilasan Desa. Hutan gayam.

Gelap gulita tempat petilasan ini. Beruntung cahaya dari telepon cerdas memberinya keberanian untuk berjalan kaki sendirian. Pohon gayam berbaris rapi menemaninya dalam sepi. Burung pungguk kembali bertengger di pucuk pohon gayam setelah sekian lama berkelana ke Desa Penari.

Selewat pukul nol dan tanpa menunggu teguran dari burung pungguk, Sari bergegas mencari pusat komunikasi tanpa batas dengan semesta. 

Kakinya tersandung batu vulkanik berukuran dua kali dua meter. Tempat keramat berpola segi empat. Petilasan Ni Grenjeng di hutan gayam yang angker. Tiap malam Selasa Kliwon, petilasan ini biasanya beraroma kembang dan dupa. Kali ini aroma itu tumbang.

"Bau sekali tempat ini. Bau alkohol, antiseptik, dan sabun." Gugus tugas bencana pagebluk menyemprot tanpa ampun semua tempat dengan campuran vodka. Maklum, alkohol murni sudah ludes dari toko Desa.

Sari duduk berkhidmat. Bersila teratai. Menata jari manis bertemu jempol, sikap mudra yang paling ia sukai untuk memudahkan fokus batin. Wajahnya semakin berkilau. Kepalanya menengadah ke langit. Seperti sikap para leluhur Desa tatkala mencari jawaban atas bencana pagebluk.

Langit di Desa tampak bersih. Bulan sedang tiarap. Awan menyingkir ke bagian timur, menjulang tinggi seperti buncahan erupsi Merapi.

Ritual dimulai. Sambil mengucap mantram konsolidasi dedemit, Sari meletakkan keris Pasopati di sebelah kanan dengkulnya.

Telepon cerdas ia taruh tepat di sisi kiri keris Pasopati.

"Apuranen sun angetang, dedemit ing tanah Jawi..." Berdesis bibir tipis Sari. Mengeluarkan getaran yang melayukan hasrat. 

Samar-samar, ia merasa melihat hologram perjudian antara rakyat jelita dengan rakyat jelata. Rakyat jelita berebut tempat persembunyian. Menimbun aset dan menyekapnya di ruang bawah tanah. 

Sekian ratus detik berikutnya mereka memasang status di media sosial, "Kerja di rumah." Sedangkan rakyat jelata berebut cabe, mie goreng dan telur di pasar becek. 

Mereka bergegas menyimpan makanan di bawah kasur. Berlanjut dengan adegan berlari menjauh dari kenyataan sambil berteriak di jalanan, "Aku dirumahkan."

Perasaan Sari campur aduk. Ia berusaha menangkap makna yang lugas, tapi selalu gagal. Suara rakyat jelita dan rakyat jelata bersahut-sahutan. Lelucon tak lagi bernada canda.

Gerak kelebatan sinar hologram semakin cepat. Kini berganti dengan pusaran deras dari mata air purba. Angin puting beliung mengangkat ribuan debit mata air purba itu setinggi pohon kelapa. Dan menghempasnya kembali ke bumi tanpa tumpah meruah ke jalanan. Hujan abu turun dari langit, turut merawat keheningan.

Kedua tangan Sari bergerak sendiri dan menyentuh keris Pasopati. Meraba lurusnya keris itu dari sisi pinggirnya yang tajam. Bilah keris beralih warna. Hitam kebiru-biruan.

Sinar hijau kebiru-biruan memelesat ke atas pohon gayam.

Gelap gulita.

***

NEXT



Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

[Calon Buku] Hukum Komunikatif by Anom Surya Putra

OPINI Filsafat Hukum: Bagian Ke-2 Menziarahi Ius, Lex dan Codex

Day 12 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 13 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 11 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Hukum dalam Teori Tindakan Komunikatif Habermas

Ensiklopedi Filsafat Jürgen Habermas

OPINI Filsafat Hukum: Bagian Ke-3 Filsafat Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum

OPINI Filsafat Hukum: Bagian Ke-1 Berawal dari Sophia, Cinta Mendalam Yang Bijaksana