Opini Terbaru

Between Facts and Norms, Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (2): Pengantar dari Jürgen Habermas

Gambar
PENGANTAR Jürgen Habermas  | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse

Cerita Bersambung Kerumunan adalah Neraka [2]

~ PETILASAN ~


Sari, demikianlah nama asli perempuan itu, geram membaca berita pada time line di Twitter. Ratusan cuitan hanya berisi pesan-pesan dungu berlanggam Lockdown.

Berhari-hari sebelumnya ia mencari kabar dari para filsuf tentang bencana kasat mata atau pagebluk. Demi menahan anaknya agar tidak bersendagurau dengan kematian, sepulang dari reruntuhan kota.

Semua pesan para filsuf begitu terang benderang, kita sedang mengalami masa yang tidak dikenal selama empat ratus tahun terakhir. Prediksi apapun hanya membuang usia, waktu dan tenaga. Carilah jawabannya di petilasan Desa. Hutan gayam.

Gelap gulita tempat petilasan ini. Beruntung cahaya dari telepon cerdas memberinya keberanian untuk berjalan kaki sendirian. Pohon gayam berbaris rapi menemaninya dalam sepi. Burung pungguk kembali bertengger di pucuk pohon gayam setelah sekian lama berkelana ke Desa Penari.

Selewat pukul nol dan tanpa menunggu teguran dari burung pungguk, Sari bergegas mencari pusat komunikasi tanpa batas dengan semesta. 

Kakinya tersandung batu vulkanik berukuran dua kali dua meter. Tempat keramat berpola segi empat. Petilasan Ni Grenjeng di hutan gayam yang angker. Tiap malam Selasa Kliwon, petilasan ini biasanya beraroma kembang dan dupa. Kali ini aroma itu tumbang.

"Bau sekali tempat ini. Bau alkohol, antiseptik, dan sabun." Gugus tugas bencana pagebluk menyemprot tanpa ampun semua tempat dengan campuran vodka. Maklum, alkohol murni sudah ludes dari toko Desa.

Sari duduk berkhidmat. Bersila teratai. Menata jari manis bertemu jempol, sikap mudra yang paling ia sukai untuk memudahkan fokus batin. Wajahnya semakin berkilau. Kepalanya menengadah ke langit. Seperti sikap para leluhur Desa tatkala mencari jawaban atas bencana pagebluk.

Langit di Desa tampak bersih. Bulan sedang tiarap. Awan menyingkir ke bagian timur, menjulang tinggi seperti buncahan erupsi Merapi.

Ritual dimulai. Sambil mengucap mantram konsolidasi dedemit, Sari meletakkan keris Pasopati di sebelah kanan dengkulnya.

Telepon cerdas ia taruh tepat di sisi kiri keris Pasopati.

"Apuranen sun angetang, dedemit ing tanah Jawi..." Berdesis bibir tipis Sari. Mengeluarkan getaran yang melayukan hasrat. 

Samar-samar, ia merasa melihat hologram perjudian antara rakyat jelita dengan rakyat jelata. Rakyat jelita berebut tempat persembunyian. Menimbun aset dan menyekapnya di ruang bawah tanah. 

Sekian ratus detik berikutnya mereka memasang status di media sosial, "Kerja di rumah." Sedangkan rakyat jelata berebut cabe, mie goreng dan telur di pasar becek. 

Mereka bergegas menyimpan makanan di bawah kasur. Berlanjut dengan adegan berlari menjauh dari kenyataan sambil berteriak di jalanan, "Aku dirumahkan."

Perasaan Sari campur aduk. Ia berusaha menangkap makna yang lugas, tapi selalu gagal. Suara rakyat jelita dan rakyat jelata bersahut-sahutan. Lelucon tak lagi bernada canda.

Gerak kelebatan sinar hologram semakin cepat. Kini berganti dengan pusaran deras dari mata air purba. Angin puting beliung mengangkat ribuan debit mata air purba itu setinggi pohon kelapa. Dan menghempasnya kembali ke bumi tanpa tumpah meruah ke jalanan. Hujan abu turun dari langit, turut merawat keheningan.

Kedua tangan Sari bergerak sendiri dan menyentuh keris Pasopati. Meraba lurusnya keris itu dari sisi pinggirnya yang tajam. Bilah keris beralih warna. Hitam kebiru-biruan.

Sinar hijau kebiru-biruan memelesat ke atas pohon gayam.

Gelap gulita.

***

NEXT



Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

Konstitusionalisme Deliberatif dan Judicial Review

Day 10 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 16 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 6 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 4 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 8 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 7 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (2): Pengantar Buku Sosiologi Hukum

Day 17 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)