Opini Terbaru

Between Facts and Norms, Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (2): Pengantar dari Jürgen Habermas

Gambar
PENGANTAR Jürgen Habermas  | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse

Cerita Bersambung Kerumunan adalah Neraka [5]

~ MAHAR ~


"Bu Lurah ingat tidak, waktu utusan istana syuting vlog di rumah saya? Bukankah ada adegan mereka menaksir pamor keris Desa yang saya rawat itu? Nah, setelah syuting vlog, utusan istana ingin memberi mahar untuk keris Pasopati. Tapi rupanya kesibukan utusan istana dan saya sama-sama lupa soal mahar ini."

Pamor keris Pasopati itu memang luar biasa. Pamor Adeg dengan ornamen bersulur-sulur tegas ke atas. Konon keris itu buatan Mpu Singkir. Energinya aktif untuk mengatasi bencana angin, bencana air, bencana api, pagebluk, tapi kurang dahsyat untuk menjaga stabilitas berebut pendapatan.

"Lho, kejadian itu sudah lama sekali, kan?"

"Benar, Bu Raisa. Seingat saya sekitar tiga tahun yang lalu. Tapi terus terang, utusan istana itu bilang, kalau saya membutuhkan sesuatu dan rela melepas keris itu, ia siap mengirim uang secepatnya. Gaji staf BUM Desa selama tiga bulan akan terpenuhi. Tidak perlu hutang. Toh, keris Pasopati ini kan aset Desa."

Bu Raisa dan Mudra tidak langsung menjawab. Dari wajah mereka terkesan seolah begitu banyak syarat untuk melangkah pada masa pagebluk. Mereka merasa hidup pada saat takut untuk hidup. 

Di sekeliling mereka hanya ada marabahaya. 

Kegilaan mereka berdua mengurusi pagebluk di Desa bagaikan hujan, tapi mereka sungguh lemah seperti dedaunan pohon gayam.

"Dan sebelum saya pingsan di petilasan hutan gayam, ada bisikan agar kita melepas keris Pasopati untuk kepentingan yang lebih agung. Jika istana menginginkan mawar, mereka tidak mungkin lari dari duri tajam. Sekarang kita menepi di rumah masing-masing dalam penderitaan, tapi itulah usaha terbesar kita. Ketika saya terbangun dari pingsan, Ratu Vanua dari alam lain menitip pesan melalui mimpi. Hutan gayam, mata air purba, dan gelandangan adalah sebuah harapan."

***

NEXT



Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

Konstitusionalisme Deliberatif dan Judicial Review

Day 10 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 16 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 6 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 4 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 8 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 7 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (2): Pengantar Buku Sosiologi Hukum

Day 17 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)