Opini Terbaru

Between Facts and Norms, Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (2): Pengantar dari Jürgen Habermas

Gambar
PENGANTAR Jürgen Habermas  | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse

Cerita Bersambung Kerumunan adalah Neraka [7]

~ VANUA ~

"Ia menyamakanku dengan genangan air, eksistensi yang tumbuh halus"


Vanua sedang perjalanan pulang dari Kampung Tujuh. Dia berjalan kaki sejak matahari belum bangun dari tidurnya menuju kampung yang hanya dihuni tujuh kepala keluarga itu.

Ketika Vanua berumur dua puluh tahun, ia meninggalkan kampung kelahirannya di kota Jakarta. Belasan tahun tiada jemu ia menikmati tembok di depan rumah. Kampung sempit dengan jalanan yang hanya bisa dilewati dua orang bertubuh ceking.

Suatu hari, ia terbangun bersama matahari yang meninggi, ”Engkau tak bosan memanaskan tembok depan rumahku, memancarkan sinarmu tanpa peduli kegelapan kamar dan kesunyianku.”

Saat itu awal bulan April. Berangkatlah ia menuju desa pegunungan Kampung Tujuh Yogyakarta. ”Apakah matahari di kampung sempit masih bahagia, jika aku tidak menikmati sinarnya lagi?” Vanua meyakinkan dirinya sendiri.

Setiap pagi ia menatap matahari di pucuk gunung Kampung Tujuh. Jalan berbatu sudah menjadi sarapan paginya. 

Ia membangun rumah bambu, tepat tujuh meter di atas lahan kompleks makam desa. Dekat rerimbunan pohon akasia yang daunnya manis menarik lebah. 

Sepuluh langkah dari rumah bambu ia memeriksa kotak rumah lebah yang bertengger di pohon akasia. Keringat menetes di keningnya yang licin nan halus. ”Rumah lebahku sudah berlimpah madu, tak perlu kaki panjang dan tangan terulur untuk mengunduhnya”. 

”Mbak! Turun! Mau hujan!” teriak Ros, bu lurah Kampung Tujuh, sambil melambaikan tangan kepada Vanua dari bawah. Tak jauh dari kompleks makam Kampung Tujuh.

”Iya, bu...!” teriak Vanua sambil membereskan madu, bunga dan dupa. Ia terburu-buru mendekatkan korek api kepada dupa sepanjang satu meter. Asap tipis mengepul. Harum aroma cendana. Bunga mawar dan melati mengepung dupa yang tertancap tegak di atas tanah.

Vanua menuruni jalan berbatu. Ia harus bergegas turun, sembari melirik senja di balik rerimbunan akasia. Matanya jernih dan bibirnya tiada nampak kemurungan. Ia berjalan dengan mengarahkan telapak kakinya kedalam. Langkah penari yang terlatih. 

”Kamu mengerjakan apa di rumah bambu,” tanya bu Ros. 

Vanua menjawab: ”Saya mengambil madu, bu. Nanti saya akan campur dengan jeruk nipis. Buat menambah imun.” 

Ros mengangguk tegas. Ia sangat percaya tanah di Kampung Tujuh mampu menumbuhkan tanaman perawat tubuh. Jiwanya sudah pernah melihat dengan rasa sesal kepada tubuhnya sendiri. Ia menginginkan tubuh padat berisi seperti Vanua. Diet tapi gagal. 

Empat purnama berlalu, Ros berpikir hendak melarikan diri dari tubuhnya sendiri. Tetapi kegigihan Vanua memanen madu di rumah lebah telah membuatnya lupa akan hasrat diet. 

Ia mementingkan tatapan mata enam kepala keluarga di Kampung Tujuh. Tatapan mata mereka seperti neraka bagi Ros karena mereka menanam benih harapan tertinggi kepadanya. Agar panen madu bisa mengenyangkan jiwa dan tubuh semua penghuni kampung. 

***

NEXT



Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

Konstitusionalisme Deliberatif dan Judicial Review

Day 10 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 16 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 6 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 4 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 8 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 7 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (2): Pengantar Buku Sosiologi Hukum

Day 17 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)