Opini Terbaru

Between Facts and Norms, Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (2): Pengantar dari Jürgen Habermas

Gambar
PENGANTAR Jürgen Habermas  | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse

Cerita Bersambung Kerumunan adalah Neraka [8]

 ~ KAMPUNG TUJUH ~


Rasa cemas berlebihan menyebar pada masing-masing orang di Kampung Tujuh. Rasa cemas itu dirasakan oleh Vanua.

Sepanjang malam angin berdesing cepat dan tanah yang dipijaknya seolah dilapisi permadani dingin yang tebalnya tak lebih dari lima sentimeter. Dalam kesunyian di Desa, tak lama setelah Vanua berjalan ke rumah warga, ia mendengar berita warga meninggal.

Tubuhnya terasa panas-dingin setiap kali mendengar berita orang meninggal. Sakit kepala bertubi-tubi menyerang tanpa ampun pula ketika berita media daring memuat berita tentang ribuan orang meninggal seketika. 

Nafsu makan berkurang drastis karena khawatir makanan itu tidak bersih dari virus. Panik melanda jiwanya.

Kecemasan berlebihan itu semakin meluas pada Bu Ros, Lurah Kepala Desa. “Aku cemas besok diberhentikan sebagai pemerintah Desa”. “Aku tidak tahu cara bekerja secara daring, yang aku tahu hanya bekerja di balai Desa”. Belum lagi banyak warga mendadak pulang ke kampung untuk berkumpul dengan keluarga daripada mati sendirian di perantauan. Berulang kali Bu Ros menghibur pemudik yang berteriak sedu-sedan karena tak punya harapan.

Vanua menatap bangunan bisu di pinggir taman. Ia membakar dupa cendana. 

Pada saat Vanua merasakan puncak dari rasa ketidaknyamanan, ia merasa perlu bermeditasi. Vanua ingin cepat menyadari suara “ke-Aku-an” yang menyatakan: “Aku cemas”, “Aku bakal sakit”, dan “Aku akan mati terkena virus”. Ketidaknyamanan itu disadari telah menjadi miliknya sendiri. Bukan mlik orang lain.

Pikiran telah menciptakan bayangan “si Aku” yang merayap perlahan menggerogoti keadaan fisik dan psikologisnya. Masuk semakin dalam menuju kedalaman. Tampak hadir kunang-kunang. Kunang-kunang menghampiri "si Aku Vanua" pada kedalaman. Napas tiada lagi terasa.

Vanua mengalami sikap nyaman dalam ketidaknyamanan. Ia berusaha keras mencari sebab-sebab ketidaknyamanan. Ia biarkan suara batinnya menggelora.

“Aku bakal sakit karena tidak cuci tangan dan belum minum madu Kampung Tujuh sebagai penguat imunitas.”

“Aku akan miskin karena selama ini aku malas belajar teknologi digital.”

Ketidakmampuan dirinya beradaptasi tanpa sadar dijadikan sebagai penyebab dari seluruh ketidaknyamanan. 

"Aku berterima kasih kepadamu, kunang-kunang," ujar Vanua dalam batin. Kunang-kunang tidak mempertanyakan, “Aku bakal sakit” atau “Aku akan miskin”. Tetapi mereka sekedar merasakan dan menyadari ketidaknyamanan itu.

Tiga jam Vanua bermeditasi. Tarikan napas serasa yang pertama sekaligus yang terakhir. Bermeditasi membuatnya terhenti mencari penyebab segala kecemasan. Inilah cara alam semesta bekerja. Mengajari bersikap pasif-responsif atas ketidaknyamanan melalui batinnya. 

Meditasi membuat Vanua seperti genangan air, eksistensinya tumbuh halus, melar dan akhirnya meluber. 

Vanua menatap taman dengan keheningan. Diri terasa penuh. Semesta mengalir di dalam aliran darahnya. 

Tapi entah mengapa, Vanua merasa dirinya berjalan bolak-balik dari masa lalu yang menyakitkan, melesat ke masa depan yang penuh kecemasan, dan kembali ke masa sekarang sebagaimana apa adanya. 

***

NEXT




Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

Konstitusionalisme Deliberatif dan Judicial Review

Day 10 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 16 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 6 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 4 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 8 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 7 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (2): Pengantar Buku Sosiologi Hukum

Day 17 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)