Opini Terbaru
Cerita Bersambung Kerumunan adalah Neraka [9]
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
~ CICILAN ~
Senja yang menawan tak berarti lagi baginya. Cahaya keemasan di ujung senja menimbulkan nyeri di ulu hati.
Tiga bulan lebih Mudra tidak memegang uang karena perputaran dana bergulir mengalami kemacetan. Satu orang saja dalam kelompok pemanfaat dana bergulir gagal bayar, maka bisa dipastikan kelompok itu harus tanggung renteng membayar atau terhenti kegiatan produksinya. Apalagi di masa pagebluk seperti ini, nasib kelompok usaha di Desa sedang jatuh ke dasar mata air. Berteriak dari kedalaman pun tak ada guna.
"Aku mau menagih cicilannya tetapi wajahnya kalau ditagih pasti bermuka masam. Berbeda sekali kalau mengajukan pinjaman, wajahnya secerah matahari, dan memelas seperti kelinci," keluh Mudra pada Bu Raisa Kepala Desa.
"Ketika aku menagihnya, disuguhi air putih di gelas kecil seukuran mainan anak PAUD, itu sudah lumayan. Pernah, aku dibawakan parang sebelum kaki saya masuk ke pintu rumah."
Raisa terperanjat. Sambil berjalan memasuki ruangan kerja BUM Desa, ia berkata "Jangan guyon!"
"Aku tidak bergurau, bu Raisa, Rontek itu sakti. Orang-orang bergunjing kalau ia sering bersemadi di pinggir mata air purba di bagian timur Desa kita..."
"Bagaimana kalau kamu bermeditasi juga, tembus alam lain supaya Rontek mau bayar cicilan?"
Mudra tak langsung menjawab. Berdiri di jendela, menghadap ke mata air purba, tertegun melihat sepinya pengunjung wisata, lalu melangkah ke luar ruangan.
"Saya akan coba, bu Raisa, sekalian saya bersiap dan pamit pulang,...", kata Mudra perlahan.
***
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar