Opini Terbaru

Between Facts and Norms, Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (2): Pengantar dari Jürgen Habermas

Gambar
PENGANTAR Jürgen Habermas  | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse

Cerita Bersambung Kerumunan adalah Neraka [10]

~ NI GRENJENG ~


Dengan perasaan antara percaya dan tidak yakin akan kegunaan meditasi untuk penagihan cicilan hutang, Mudra berlatih sikap Sadar Pasif-Responsif. Bangun pagi. Duduk di kasur. Maklum, ia tak punya matras meditasi seperti kaum meditasi klas menengah perkotaan. Kalau ia meditasi di teras rumah, bakal dikira mengamalkan pesugihan. Kecurigaan semacam ini biasa terjadi di wilayahnya.

Ia hanya menyadari napas di ujung hidungnya. Batin menerima apa adanya. 

Sikap jengkel pada peminjam dana bergulir berlompatan selama meditasi. Wajah Rontek membayang di alam bawah sadarnya.

"Dasar monyet..., " katanya dalam batin. Pikiran yang melompat tak beraturan itu sering terjadi pada dirinya selama bekerja. 

Alam bawah sadar telah merebut jiwanya. Kini semua kejengkelan tampak jelas selama meditasi. Seperti Monyet berwarna coklat, melompat-lompat bergelantungan di pepohonan Gunung Merapi.

Tiga puluh menit Mudra berjuang menyadari seluruh kejengkelannya. Ia berhasil menerima sikapnya selama ini sebagaimana apa adanya. Cukuplah Mudra mencatat dalam batin atas suara atau visualisasi atas perasaannya kepada Rontek.

"Aku terima perlakuan Rontek kepadaku, sebagai MONYET yang berlompatan di pikiranku. Ya, hanya kuterima sebagai pikiran..."

Semakin kedalam keheningan diri, Mudra masuk ke alam visual meditation. Arwah Ni Grenjeng! Sosok arwah itu berjalan di tepian sumber mata air purba. Persis seperti film drama korea yang mistis.

"Aku tahu rapal mantramu, wiridmu, karena aku sudah disini ratusan tahun. .... Aku lelah dimanipulasi manusia di sekitar sini. Disuruh menjaga supaya tak ada korban tenggelam.....Tapi perilaku mereka hanya memanfaatkanku."

Mudra terdiam tanpa komentar.

Lanjutnya, "Yang kubutuhkan hanya kejernihan batin mereka supaya aku kembali ke alam asal. Yang Tak Dikenal."

*** 

NEXT



Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

Konstitusionalisme Deliberatif dan Judicial Review

Day 10 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 16 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 6 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 4 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 8 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 7 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (2): Pengantar Buku Sosiologi Hukum

Day 17 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)