Opini Terbaru

Between Facts and Norms, Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (2): Pengantar dari Jürgen Habermas

Gambar
PENGANTAR Jürgen Habermas  | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse

Konstitusionalisme Deliberatif dan Judicial Review

Tulisan ini merupakan translasi dari tulisan Chiara Valentini, Senior Researcher in Philosophy of Law, Department of Legal Studies and Alma Human AI, University of Bologna (Italy).

Source: Chiara Valentini, “Deliberative constitutionalism and judicial review”, Revus [Online], 47 | 2022, Online since 20 March 2022, connection on 25 July 2022. URL: http://journals.openedition.org/revus/8030; DOI: https://doi.org/10.4000/revus.8030

This is a copy of an Indonesian translation of “Deliberative constitutionalism and judicial review” (2022), Chiara Valentini, Revus [Online], Translated by Anom Surya Putra.

Please cite as: Chiara Valentini, 2022. "Konstitusionalisme Deliberatif dan Judicial Review." Blog Anom Surya Putra. Juli 2022.

------------

Abstrak

Konstitusionalisme deliberatif merupakan bidang yang muncul yang menggabungkan teori konstitusi –-dan penekanannya pada batasan hukum untuk kekuasaan politik-– dengan teori demokrasi deliberatif -– dan idea-idea tentang deliberasi politik sebagai sumber keabsahan demokrasi. Kombinasi ini menciptakan kerangka kerja baru untuk menjawab pertanyaan yang muncul tentang keabsahan dalam demokrasi konstitusional. Artikel ini berkontribusi pada area penelitian yang berkembang tersebut dengan mengeksplorasi potensinya untuk mengatasi keabsahan judicial review. Pertama, artikel ini berpendapat bahwa potensi tersebut terletak pada integrasi teori konstitusi dengan pendekatan sistemik demokrasi deliberatif dan idea-idea yang berakar dalam sistem deliberatif. Kedua, artikel ini mengacu pada integrasi untuk mempertanggungjawabkan keabsahan judicial review sebagai institusi yang tertanam –-dan dibentuk secara–- deliberatif, representatif, sistem.

Kata kunci: konstitutionalisme, demokrasi deliberatif, judicial review, representasi


1. Pengantar

“Konstitusionalisme Deliberatif” (selanjutnya disebut KD) adalah paradigma baru yang berupaya menggabungkan konstitusionalisme dan teori demokrasi deliberatif dalam istilah baru, dua bidang yang berpotensi dalam ketegangan.[1] Konstitusionalisme secara tradisional berkaitan dengan hambatan hukum pada politik mayoritas, dijustifikasi oleh perlindungan hak sebagai standar keabsahan (legitimation) tertinggi. Teori demokrasi deliberatif telah memantapkan dirinya sebagai kumpulan cara pandang yang mempertahankan bahwa "deliberasi publik" di antara "warga negara yang bebas dan setara adalah inti dari pengambilan keputusan politik yang absah dan pemerintahan yang mengatur dirinya sendiri (self-government)."[2] KD bertujuan untuk membawa idea-idea dan standar ini dari satu bidang ke yang lain. Pemupukan silang semacam itu berusaha menciptakan kerangka kerja baru untuk “mengarahkan kembali perdebatan yang sudah berlangsung lama” pada kedua bidang.[3] Dengan karya Worley, Levy, Kong, dan lainnya[4], KD berupaya mengembangkan pendapat yang lebih lengkap tentang institusi-institusi hukum sebagai komponen kunci dari pengaturan demokrasi deliberatif dan, di sisi lain, deliberasi demokratis sebagai bagian dari tatanan konstitusional. Dalam istilah ini, KD mengembangkan –-dan membangun-– berbagai penglihatan tentang hubungan antara demokrasi deliberatif dan konstitusionalisme yang diberikan oleh Habermas, Rawls, Nino, Michelman, Sunstein, dan lainnya[5]. Dengan demikian, KD memantapkan dirinya sebagai paradigma meta-teoritis yang “mampu menyatukan teori-teori konstitusi lainnya tentang keabsahan pengaturan kekuasaan publik”[6].

Tujuan saya adalah memberikan kontribusi pada paradigma yang muncul ini, dengan mengeksplorasi potensinya untuk memperdalam pemahaman kita tentang judicial review, yaitu kekuatan hakim untuk meninjau konstitusionalitas Undang-undang yang dihasilkan oleh representasi politik. Faktanya, keabsahan kekuasaan ini relatif diabaikan oleh literatur KD[7] saat ini, kecuali ambisi untuk membawa perubahan perspektif tentang peran peradilan dalam sistem demokrasi konstitusional.

Memang, para pendukung KD secara eksplisit berusaha untuk mengatasi keabsahan judicial review dalam istilah baru: “daripada berfokus pada pertanyaan apakah judicial review tidak absah karena menggagalkan kehendak demokrasi, kami mengklaim bahwa judicial review absah sejauh itu memfasilitasi deliberasi demokratis, baik di dalam institusi-institusi kekuasaan publik –-termasuk peradilan-– dan dalam masyarakat yang lebih luas.”[8] Meskipun tidak sepenuhnya dikembangkan oleh literatur KD, klaim ini menetapkan pendekatan baru untuk judicial review, mengalihkan keprihatinan dari ketegangan antara ajudikasi dan deliberasi demokratis untuk integrasi keduanya ke dalam struktur yang lebih kompleks: yang pertama (the former) –-melalui judicial review-– menjadi konstitutif dari yang berikutnya (the latter) dan sebaliknya (vice versa), dalam pengaturan institusi dan sosial yang lebih luas.

Perkembangan teori demokrasi deliberatif saat ini berjalan ke arah yang sama dalam merancang peradilan dan ajudikasi di antara berbagai institusi dan kegiatan yang terlibat dalam deliberasi demokratis. Saya merujuk, di sini, pada "pentingnya sistemik" (systemic turn)[9] dalam teori demokrasi deliberatif, yang mengedepankan idea-idea tentang "satu bagian yang dapat dikenali, dibedakan, tetapi sampai tingkat tertentu saling bergantung, seringkali dengan fungsi-fungsi terdistribusi dan pembagian kerja, terhubung sedemikian rupa sebagai cara untuk membentuk keseluruhan yang kompleks.”[10]

Sejalan dengan itu, teori demokrasi deliberatif mengalami perubahan cara pandang, tidak lagi terfokus pada satu forum atau momen-momen deliberasi tunggal yang menghadirkan kapasitas deliberatif tertinggi. Teori demokrasi delibratif saat ini menjadi komprehensif, mencakup seluruh jajaran forum dan kegiatan yang bersama-sama melakukan fungsi deliberatif.[11] Pendekatan ini bergantung pada idea-idea deliberasi yang luas, konsepsi keabsahan interaktif, evaluasi tingkat-sistem[12] dan, juga, penjelasan sistemik tentang representasi politik.[13] Secara keseluruhan, elemen-elemen ini menunjuk pada “keadaan demokrasi deliberatif” baru yang menantang kita untuk mempertimbangkan kembali tempat dan peran peradilan.[14] KD memungkinkan kita untuk memenuhi tantangan ini, menyediakan kerangka kerja untuk membawa penjelasan sistemik demokrasi deliberatif ke dalam teori konstitusi untuk mempertajam pandangan kita tentang praktik konstitusional dan judicial review. Atau saya akan menyusun argumen lebih lengkap.

Analisis saya akan berlanjut sebagai berikut. Di bagian kedua, saya akan menguraikan prinsip-prinsip utama KD dan pertanyaan judicial review. Pada bagian ketiga, saya akan menyajikan pendekatan sistemik untuk demokrasi deliberatif. Di bagian keempat, saya akan menyatukan pendekatan ini dan KD, untuk mengusulkan versi sistemik KD (selanjutnya disebut Konstitusionalisme Deliberatif versi Sistemik; KDS) dan membahas keabsahan judicial review sebagai bagian dari sistem representasi deliberatif. Pada bagian kelima, saya akan menyimpulkan secara singkat.

2. Konstitusionalisme Deliberatif

KD berusaha untuk menggabungkan wawasan dari konstitusionalisme dan teori demokrasi deliberatif dalam istilah baru, yang memungkinkan pandangan yang lebih lengkap tentang praktik konstitusional daripada yang dapat diberikan oleh salah satu teori saja. Dengan ini, KD bertujuan untuk membawa “pada klaim normatif umum teori demokrasi deliberatif, institusi-institusi dan fokus hukum (legal) secara khusus”[15] dan, pada saat yang sama, mempertimbangkan konstitusi, dan ketentuan hukumnya --mengenai hak dan pemisahan kekuasaan-– relevan pada deliberasi demokratis.[16] Ini menciptakan kerangka kerja untuk melakukannya. KD bukan hanya tentang menggabungkan komponen-komponen teoretis yang berbeda, tetapi lebih menyatukannya untuk menghasilkan sesuatu yang baru.[17] KD menyediakan alat analisis untuk menangkap pertimbangan aktor-aktor kekuasaan yudisial dan kekuasaan komunikatif (parlemen), dan warga negara, berdampak pada hukum konstitusi. Pada saat yang sama, KD dapat memahami berbagai peran yang dimainkan hukum (konstitusi) dalam deliberasi tersebut. Dari perspektif terpadu seperti itu, kita dapat mengorientasikan kembali perdebatan dalam teori konstitusi dan teori demokrasi deliberatif yang telah menyatu pada pokok pembahasan yang berbeda.

Untuk waktu yang lama, “poros yudisial-legislator”[18] telah menjadi inti perdebatan konstitusionalis, yang berkaitan dengan keabsahan demokratis judicial review. Para aktor deliberasi politik dan aktor deliberatif telah dilemparkan sebagai mitra ajudikasi dan peradilan, untuk dibatasi dan/atau didukung oleh hukum. Sementara itu, perdebatan dalam demokrasi deliberatif terutama berkaitan dengan aspek dan nilai deliberasi politik, yang dipahami sebagai inti normatif sistem demokrasi dan standar dasar keabsahan. Hukum dan aktor hukum (legal actors) umumnya dibiarkan di latar belakang, sebagai pendukung atau berpotensi kontra-deliberatif.

KD berusaha untuk melampaui pandangan terbatas tersebut. Ini bertujuan untuk pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungan antara deliberasi demokratis dan hukum konstitusi dan cara keduanya membentuk satu sama lain. Dalam hal ini, KD menghidupkan kembali dan memajukan untaian teori konstitusi yang berusaha mengembangkan “penjelasan tentang demokrasi deliberatif dalam konteks kerangka konstitusi liberal”[19]. KD berusaha menjawab banyak pertanyaan yang masih terbuka di sepanjang jalan ini, mengenai “apakah dan jika demikian, bagaimana cita-cita deliberatif konsisten dengan batasan konstitusional pada keputusan demokratis, seperti pemisahan kekuasaan, Undang-undang, dan judicial review.”[20]

KD menarik keprihatinan kita pada pertanyaan-pertanyaan seperti itu dan, lebih jauh lagi, mengejar jawaban yang lebih lengkap untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Di satu sisi, KD berusaha melampaui pendekatan tradisional teori demokrasi deliberatif terhadap konstitusionalisme, yang dicirikan oleh “pandangan umum” yang “mengabaikan banyak hal yang secara institusional berbeda tentang konstitusi”[21]. Memang, "sejauh ada teori konstitusi demokratis deliberatif yang mapan, teori itu tetap abstrak dan sebagian besar tidak tertambat dari 'tradisi legal dan konstitusional tertentu'."[22] Di sisi lain, KD bertujuan untuk menyusun kembali pendekatan teori konstitusionalis untuk deliberasi demokratis. Faktanya, teori-teori semacam itu secara tradisional berfokus pada prinsip-prinsip kesetaraan dan kebebasan, mengesampingkan pertanyaan tentang sifat deliberasi demokratis dan cara hukum konstitusi dapat “berkontribusi dan membangun –-atau kadang-kadang menggagalkan-– bentuk-bentuk demokrasi yang lebih deliberatif.”[23]

Inti dari KD adalah untuk melampaui pandangan sepihak dari demokrasi konstitusional, dengan menyatukan dua urutan pertanyaan.[24] Yang pertama menyangkut kontribusi deliberasi demokratis untuk produksi dan penerapan hukum (law), mulai dari pembuatan konstitusi hingga hubungan antara kekakuan konstitusional dan deliberasi publik. Pertanyaan urutan kedua menyangkut bagaimana hukum (konstitusi) berdampak pada deliberasi demokratis dengan “menyaring” preferensi dan kepentingan yang menjadi objek deliberasi dan/atau dengan “telescoping”, yaitu memodelkan diskursus publik.[25]

Analisis ini kemudian mencakup tingkat deliberasi tatanan-pertama –-deliberasi demokratis yang secara langsung memengaruhi kepentingan warga negara-– dan tingkat deliberasi tatanan-kedua –-deliberasi tentang musyawarah, menimbang deliberasi tatanan-pertama seharusnya terungkap.[26] Dengan ini, KD berusaha untuk menghargai hukum bertindak di atas deliberasi –-untuk mendukung dan/atau mengendalikannya –-dan di dalam deliberasi-– sebagai bagian dari objek/kerangkanya. Pandangan terhadap hukum ini juga berlaku terhadap judicial review dan pertanyaan-pertanyaan yang disengketakan tentang keabasahan yang ditimbulkannya.

2.1. Pertanyaan Judicial Review

Kekuasaan yudisial untuk menguji konstitusionalitas undang-undang sangat kontroversial karena menimbulkan ketegangan antara negara hukum (rule of law) dan negara rakyat (rule of people) di dalam demokrasi konstitusional. Dengan demikian, kekuatan ini telah tunduk pada kepentingan teoretis yang berkembang[27] di samping pengaruh ajudikasi konstitusional pada evolusi sistem hukum kontemporer. Secara deskriptif, analisis hukum konstitusi sebagian besar berpusat pada tindakan Mahkamah Konstitusi dan dampak tindakannya pada doktrin hukum. Secara normatif, analisis ini telah memainkan peran penting dalam menilai perkembangan aktual dan masa depan sistem konstitusi. Secara khusus, penilaian ini telah dipengaruhi oleh fokus mendasar dengan apa yang disebut “kesulitan kontra-mayoritas”[28] yang diduga diangkat oleh judicial review, yang mana peradilan, sebagai lembaga non-representatif, dapat bertentangan dengan kehendak parlemen (legislative), sebagai institusi representatif. Kesulitan ini membuat keabsahan demokrasi dari judicial review menjadi kontroversial, menimbulkan banyak pertanyaan yang disengketakan. Beberapa menyangkut posisi peradilan dalam sistem konstitusi dan batas-batas ruang lingkup tindakan peradilan itu, yang lain berkaitan dengan cara judicial review harus dilakukan dalam batas-batas tersebut.

Para pendukung KD berusaha untuk mengatasi kesulitan kontra-mayoritas dan pertanyaan-pertanyaan ini dengan memanfaatkan “wawasan demokrasi deliberatif yang dapat menghilangkan beberapa kekuatan dari dilema keabsahan konstitusional.”[29]

Wawasan ini dapat menjelaskan proses dan forum yang mana judicial review dan demokrasi tidak akan saling bertentangan, tetapi bersatu dalam praktik deliberatif yang lebih luas. Dengan ini, keprihatinan bergeser dari sejauh mana “judicial review membuat frustrasi kehendak demokrasi” ke seberapa jauh “memfasilitasi deliberasi demokratis, baik di dalam institusi-institusi kekuasaan publik –-termasuk peradilan-– dan di dalam masyarakat yang lebih luas.”[30] Intinya adalah untuk menilai judicial review sebagai membawa deliberasi demokratis dalam peradilan, dan peradilan sebagai forum deliberasi demokratis bersama institusi-institusi politik dan masyarakat secara keseluruhan.

Dengan demikian, KD dapat memajukan untaian teori konstitusi yang mapan[31] yang diilhami oleh aspek-aspek tradisi konstitusionalisme liberal, dan republikan.[32] Setelah “pentingnya deliberatif (deliberative turn)”[33] dalam teori politik, antara tahun 1980-an dan 1990-an, untaian konstitusionalis ini mengusulkan pendekatan yang saling melengkapi hubungan antara judicial review dan demokrasi deliberatif, dengan yang pertama (the former) meningkatkan yang terakhir (the latter). Pandangan ini –-sebut saja pandangan “peningkatan yudisial (judicial enhancement)”-– juga telah disebabkan oleh ketidakpuasan terahdap solusi “monistik” dan “hak-fundasionalis”[34] terhadap kesulitan kontra-mayoritas, yang telah membagi teori konstitusi untuk waktu yang lama. Yang pertama (the former) membela pandangan mayoritas tentang demokrasi dan melihat judicial review absah selama mendukung proses dan keputusan politik mayoritas. Yang terakhir (the latter) mengidentifikasi hak sebagai fundasi demokrasi dan memprioritaskan judicial review, dan penegakan yudisial terhadap hak-hak, di atas politik mayoritas. Kedua solusi tersebut mengatasi ketegangan antara politik mayoritas dan judicial review dengan memberikan prioritas yang satu di atas yang lain. Mencoba menengahi kedua solusi ekstrem ini, pandangan “peningkatan yudisial” telah merancang judicial review dan proses politik sebagai elemen yang diperlukan dan pelengkap dari demokrasi konstitusional yang mana hak-hak dan kedaulatan rakyat membentuk satu sama lain melalui deliberasi demokratis.[35] Dari sini, berikut ini “pembagian kerja antara institusi-institusi deliberatif partisipatoris dan institusi deliberatif berkeahlian (expert deliberative institution)”[36] berdasarkan “kriteria deliberasi dualistik”[37] keabsahan demokratis, yang mengharuskan institusi politik menjadi representasi deliberatif rakyat dan peradilan menjadi forum untuk deliberasi yang terampil, meningkatkan deliberasi politik.

Dengan demikian, "pandangan peningkatan yudisial" telah berfokus pada poros peradilan-legislator (courts-legislatures), meninggalkan pengaturan yang lebih luas yang mana keduanya berinteraksi. KD akhirnya berusaha untuk menerangi pengaturan ini dengan ide-ide dan standar yang dipinjam dari teori demokrasi deliberatif. Saya mengikuti jalan pemikiran ini, dengan alasan bahwa pendekatan tertentu, yang saat ini muncul dalam teori demokrasi deliberatif –-pendekatan sistemik-– dapat membantu KD untuk memajukan pandangan “peningkatan yudisial” dan menjelaskan hubungan antara judicial review dan demokrasi deliberatif.

Bello Hutt telah memperingatkan kemungkinan ini, mengklaim bahwa “pandangan peningkatan yudisial” tidak sesuai dengan pendekatan sistemik.[38] Pertama, idea-idea judicial review sebagai bentuk deliberasi yang melengkapi dan meningkatkan deliberasi politik yang demokratis pada akhirnya berpusat pada peradilan sebagai deliberator dari jenis khusus, yang layak mendapatkan posisi unggul yang tidak dijustifikasi atau dijustifikasi dalam sistem deliberatif.[39] Sistem semacam ini menyatukan beberapa institusi yang terlibat dalam usaha deliberatif, menantang supremasi peradilan. Kedua, dalam sistem deliberatif yang demokratis, setiap orang harus berkontribusi pada deliberasi tetapi kelompok yang dibatasi dan terisolasi secara politik –-seperti peradilan-– tidak berhak memiliki keputusan akhir. Ajudikasi tidak representatif secara demokratis dan karenanya tidak boleh menang atas pertimbangan aktor-aktor representatif.[40]

Kekhawatiran ini sangat penting untuk tujuan kita. Yang pertama –-sebut saja “keprihatinan supremasi (supremacy concern)”–- berfokus pada ketegangan antara dimensi otoritatif judicial review dan sifat dialogis dari deliberasi demokratis. Yang kedua –-sebut saja “keprihatinan keterwakilan” (representativeness concern)–- berfokus pada ketegangan antara sifat peradilan yang tidak representatif dan peran konstitutif perwakilan politik dalam sistem demokrasi deliberatif. Tidak diragukan lagi, pandangan “peningkatan yudisial” menyisakan ruang untuk ketegangan-ketegangan ini. Ini cenderung menekankan peran peradilan di panggung konstitusional, mendasarkan keabsahan peradilan dalam meningkatkan dampak keputusan peradilan yang otoritatif dan terampil pada deliberasi demokratis. Dan itu juga cenderung menekankan akuntabilitas non-elektoral dan isolasi politik peradilan.[41] Meskipun demikian, pandangan ini tidak bertentangan dengan pendekatan sistemik terhadap demokrasi deliberatif. Sebaliknya, pendekatan ini memberikan idea-idea dan standar yang memperkaya pandangan seperti itu, memungkinkan untuk mengatasi kekhawatiran tentang supremasi yudisial dan keterwakilan. Sebelum memperluas klaim ini, izinkan saya menguraikan secara lebih rinci pendekatan sistemik.

3. Pendekatan Sistemik untuk Demokrasi Deliberatif

Menurut pendekatan sistemik, demokrasi kontemporer harus dianalisis dan ditangani sebagai sistem deliberatif: “entitas kompleks yang mana berbagai institusi, asosiasi, dan situs kontestasi menyelesaikan pekerjaan politik.”[42] Ini juga termasuk jaringan informal, yayasan, sekolah, dan peradilan.

Tentu saja, sistem yang relevan di sini adalah yang “didefinisikan secara luas oleh norma, praktik, dan institusi demokrasi” dan terdiri dari tiga elemen dasar: pertama, ruang publik yang dibatasi secara minimal.[43] Kedua, ruang yang diberdayakan, yang mana keputusan kolektif yang mengikat ditempuh melalui kegiatan peradilan, bersama “legislatif, partai politik, kabinet, organisasi antar pemerintah, dan sebagainya.”[44] Ketiga, mekanisme transmisi antar ruang-ruang tersebut, yang bekerja secara “bidirectional” sehingga deliberasi dalam ruang yang diberdayakan dapat menajamkan kepentingan dan preferensi yang ada, dan sebaliknya (vice versa).[45] Berbagai subjek yang bertindak di ruang-ruang ini –-terutama mereka yang bertindak di ruang yang diberdayakan, termasuk peradilan-– harus memenuhi standar keabsahan yang dibangun di sekitar idea-idea kapasitas deliberatif. Ini adalah kapasitas untuk mengakomodasi deliberasi yang otentik, inklusif, dan konsekuensial.[46] Deliberasi dikatakan otentik bila dapat “menimbulkan refleksi” tanpa paksaan, “menghubungkan klaim dengan prinsip yang lebih umum, dan menunjukkan timbal balik.”[47] Termasuk dalam pengertian luas berbagai kepentingan, ide, dan posisi diizinkan sehingga orang menghadapi pluralitas pandangan.[48] Hal ini bersifat konsekuensial bila memiliki “dampak terhadap keputusan kolektif atau hasil sosial.”[49]

Berbagai subjek dan proses yang mengisi ruang-ruang yang berbeda dari sistem menunjukkan kapasitas deliberatif dalam istilah yang berbeda dan pada tingkat yang berbeda-beda. Selain itu, subjek dan proses mungkin tidak memiliki kapasitas deliberatif yang diperlukan untuk melakukan tindakan-tindakan keabsahan (legitimate actions), tetapi subjek dan proses mungkin meminjam aspek kapasitas tersebut dari subjek dan proses lain. Memang, keabsahan subjek dan proses harus dinilai berdasarkan posisinya  dalam sistem yang terstruktur sehingga dapat menghubungkan artikulasi yang berbeda.

Melihat demokrasi deliberatif dengan cara ini memiliki dua keuntungan. Secara deskriptif, cara ini menangkap kompleksitas demokrasi kontemporer dan memungkinkan kita untuk menilai distribusi kerja deliberatif di antara subjek dan proses tanpa harus mengasumsikan supremasi satu komponen di atas yang lain. Dalam hal ini, teori demokrasi deliberatif bergantung pada ide-ide “deliberasi terdistribusi,”[50] “diferensiasi institusional,”[51] dan “beberapa momen deliberatif.”[52]

Secara normatif, idea-idea sistem deliberatif memperhatikan seluruh rangkaian aktor, proses, dan situs, yang melakukan kegiatan deliberasi institusional dan non-institusional. Ini menarik keprihatinan kita pada saling ketergantungan mereka dan bagaimana hal ini mempengaruhi keabsahan mereka. Dalam istilah ini, ide tersebut memandu analisis kita untuk menilai kapasitas deliberatif dari setiap komponen sistem dalam hubungannya dengan komponen lain.[53] Koneksi ini berfungsi sebagai “sabuk transmisi” kapasitas deliberatif[54] sehingga komponen sistem dapat melengkapi atau menggantikan satu sama lain.[55] Keabsahan deliberatif, dengan demikian, juga tergantung pada posisi dan peran yang dimiliki komponen tertentu dalam sistem dalam kaitannya dengan komponen lain.[56] Dengan ini, sikap sistemik menangkap aspek kunci dari keabsahan demokrasi yang terkait dengan lintas-pemupukan kapasitas deliberasi.[57] Bagian-bagian yang berbeda dari sistem deliberasi dalam cara yang berbeda, dan momen, untuk praktik yang lebih luas, tetapi tidak satupun dari mereka, per se, menghabiskan praktik seperti itu. Mereka mengintegrasikan satu sama lain dan, dalam hal ini, mereka berkontribusi pada pemenuhan fungsi dasar sistem.[58] Fungsi epistemik, mengenai produksi preferensi dan keputusan yang diinformasikan sehubungan dengan fakta, melalui diskusi terbuka dan transparan, dan keterbukaan semua pertimbangan dan alasan yang relevan. Fungsi etis, menyangkut terciptanya sikap saling menghormati antar anggota masyarakat demokratis. Fungsi demokrasi, menyangkut masuknya berbagai kepentingan dan tuntutan sebagai hal vital bagi deliberasi demokratis. Pendekatan sistemik, kemudian, memungkinkan untuk "penerapan bernuansa" dari fungsi-fungsi tersebut, "memodulasi relevansi dan bobotnya"[59] dalam menanggapi aspek sistem yang sedang diuji.

Vermeule membela pandangan serupa tentang tatanan konstitusional. Menurut pandangan ini, tatanan konstitusional adalah “sistem dari sistem”[60] yang memiliki “sifat-sifat yang muncul” yang mungkin berbeda “dari sifat-sifat komponennya.” Di sisi lain, komponen tunggal mungkin memiliki sifat yang tidak ditampilkan oleh sistem secara keseluruhan.[61] Dari perspektif ini, tatanan konstitusional adalah sistem dua tingkat: tingkat pertama yang mana komponen tunggal dari sistem beroperasi; dan tingkat kedua yang mana komponen-komponen tersebut saling berhubungan secara sistemik. Struktur seperti itu dicirikan oleh “efek sistem”, sehingga komponen tunggal –-pada tingkat pertama-– menampilkan sifat mereka sendiri dan melakukan aktivitasnya sendiri, sedangkan pada tingkat sistemik komponen-komponen tersebut disatukan menjadi satu kesatuan kompleks yang menampilkan aspek-aspek berbeda dan beroperasi dalam istilah yang berbeda.[62]

Dengan mendeteksi efek-efek ini, pandangan sistemik terhadap tatanan konstitusional membantu kita untuk menghindari pembuatan “klaim yang tidak valid”[63] tentang hukum dan teori konstitusi terutama yang berkaitan dengan aspek-aspek penting dari keabsahan tatanan konstitusional yang terkait dengan pembedaan antara tatanan dan komponennya. Lebih khusus, ini memungkinkan kita untuk menghargai bahwa keabsahan tatanan mungkin bergantung pada kondisi yang berbeda dari kondisi keabsahan yang berlaku untuk komponen kelembagaan tatanan itu. Memang, “bila tatanan konstitusional itu demokratis, entah bagaimana didefinisikan, itu tidak berarti bahwa setiap institusi yang membentuknya harus dibentuk secara demokratis. Tatanan keseluruhan mungkin demokratis hanya karena satu atau lebih lembaga komponennya dirancang untuk bertindak dengan cara yang tidak demokratis, untuk memeriksa kecenderungan demokrasi yang merusak diri sendiri.”[64]

Dengan pemikiran ini, izinkan saya kembali ke KD dan judicial review.

4. Membingkai Kembali Pertanyaan Judicial Review

Catatan yang ada tentang sistem deliberatif belum sepenuhnya membahas peran peradilan, tetapi mereka menyediakan beberapa elemen untuk melakukannya. Mereka memandang peradilan sebagai agen deliberatif yang ditempatkan dalam ruang yang diberdayakan dari sistem deliberatif, yang berinteraksi dengan agen deliberatif lainnya[65] dalam praktik deliberasi demokratis yang lebih luas. Dalam sistem tersebut, aktivitas legislator berbeda dengan aktivitas “hakim, pemerintahan (eksekutif), dan masyarakat umum”[66]: struktur dan fungsi masing-masing keadaan memiliki berbagai macam hambatan dalam deliberasi. Namun, semua pengaturan berbagi beberapa hambatan inti membangun "ketidakberpihakan dalam deliberasi publik" dan mengejar timbal balik. Timbal balik, di sini, berarti pencarian “alasan yang dapat dijustifikasi bersama-sama” dan ketegangan terhadap “keputusan yang saling mengikat berdasarkan alasan tersebut.”[67] Batasan timbal balik seperti itu, dalam ranah yudisial, bermuara pada seperangkat standar pengambilan keputusan dan mekanisme, beralih dari kewajaran argumentatif ke mekanisme dialogis dan dengar pendapat publik.[68]

Aspek ini sangat relevan untuk tujuan kita. Dalam sistem, kegiatan deliberatif mungkin terungkap dalam domain yang berbeda di bawah batasan yang berbeda, tetapi mereka pada akhirnya diintegrasikan ke dalam praktik kesatuan. Pendekatan sistemik menarik keprihatinan kita pada keutuhan praktik ini, dan, dengan ini, menawarkan elemen baru yang berharga dalam menganalisis hubungan antara judicial review dan deliberasi demokratis.[69]

Pertama, dibutuhkan pada analisis ini di luar sumbu “peradilan-legislator” untuk mencakup berbagai aktor dan lokasi yang terlibat dalam deliberasi demokratis dan menempatkan peradilan dalam ruang lingkupnya. Saya merujuk, misalnya, pada kegiatan deliberatif dari cabang pemerintahan (eksekutif) dan/atau warga negara[70], dan cara mereka berinteraksi dengan peradilan dan deliberasi yudisial.

Kedua, pendekatan sistemik menyoroti saling ketergantungan antara yudisial dan komponen lain dari sistem deliberatif, dalam praktik kesatuan. Ini menyoroti kapasitas deliberatif, dan keabsahan, dari semua komponen tersebut adalah hasil dari interaksi sistemik.

Ketiga, pendekatan sistemik mengungkapkan dua tingkatan yang menjadi tumpuan kegiatan yudisial dalam deliberasi demokratis. Tingkat sistemik yang mana kegiatan-kegiatan itu –-di samping pembuatan Undang-undang dan banyak lainnya-– merupakan deliberasi demokratis sebagai praktik yang membuat kegiatan-kegiatan itu tetap bersama. Dan tingkat khusus yang mana kegiatan yudisial dan kegiatan tertentu lainnya terjadi, dalam domain mereka sendiri dan di bawah batasan mereka sendiri.[71] Dengan membedakan tingkat ini, pandangan sistemik mengungkap perbedaan mendasar, yang sangat penting untuk memahami dan membenarkan institusi hukum dan yang, sebagaimana Saya telah berargumentasi di tempat lain, juga berlaku untuk ajudikasi dan judicial review.[72] Saya merujuk pada perbedaan antara tingkat yang mana suatu praktik terbentuk dan tingkat yang mana contoh-contoh praktik itu terjadi.[73] Secara deskriptif, perbedaan ini relevan karena menangkap kompleksitas praktik yang menyatukan aktivitas dan aktor yang berbeda, meskipun saling berhubungan. Secara normatif, kompleksitas ini bergantung pada justifikasi praktik-praktik tersebut. Memang, seperti yang dikemukakan oleh Rawls dan Hart tentang sanksi dan properti,[74] adalah satu hal untuk menyelidiki alasan yang membenarkan tindakan tertentu sebagai bagian dari praktik tertentu; itu adalah hal lain untuk menyelidiki alasan praktik itu sendiri.[75] Mengatasi suatu praktik mengharuskan kita untuk menyelidiki tujuan pembenaran umumnya, dengan menguraikan alasan praktik itu sendiri.[76] Mengatasi contoh-contoh tertentu dari suatu praktik mengharuskan kita untuk menyelidiki tujuan langsung dari contoh-contoh tersebut dan untuk menjelaskan alasan terjadinya dan termasuk dalam ruang lingkupnya. Sikap sistemik menangkap celah ini dengan tepat. Dalam istilah deskriptif, ini memungkinkan kita untuk memperbaiki analisis kita dan menghindari "perangkap" yang dihasilkan dari mengabaikan "efek-efek sistem."[77] Saya merujuk, di satu sisi, pada "kekeliruan pembagian (fallacy of division)" yang terjadi ketika kita menilai tatanan konstitusional sebagai tatanan demokratis dan, oleh karena itu, kita menilai komponen-komponenya sebagai tindakan demokratis juga. Di sisi lain, saya merujuk pada “kekeliruan komposisi (fallacy of composition)” yang terjadi ketika kita menilai suatu komponen sebagai tindakan yang tidak demokratis, oleh karena itu, kita menilai seluruh tatanan konstitusional sebagai tidak demokratis. Atas dasar ini, kita dapat membingkai ulang analisis normatif tentang kesulitan kontra-mayoritas. Pertanyaan utamanya bukan lagi apakah peradilan harus bertindak secara demokratis, melainkan apakah, dan bagaimana, peradilan dapat menjadi komponen sistem demokrasi bahkan jika, dan kapan, mereka bertindak secara tidak demokratis. Seperti disebutkan sebelumnya, pendekatan sistemik memungkinkan kita untuk menghindari membuat kesalahan dengan berargumen “dari premis bahwa tatanan konstitusional secara keseluruhan harus demokratis hingga kesimpulan bahwa peradilan yang tidak demokratis pasti tidak diinginkan.”[78]

Dalam semua hal ini, versi KD yang menanamkan idea-idea sistem deliberatif --Konstitusionalisme Deliberatif versi Sistemik (KDS)-– dapat mendefinisikan kembali analisis kita tentang judicial review dan deliberasi demokratis. Singkatnya, ini menyoroti judicial review yang tertanam dalam –-dan dibentuk oleh-– praktik deliberasi daripada kegiatan eksternal yang hanya meningkatkan deliberasi: ini merupakan sifat konstitutif dari deliberasi demokratis dan kita harus mengatasinya menurut keadaan itu.

Di sini, dua tantangan muncul. Pertama, kita perlu menyempurnakan idea-idea ajudikasi dan judicial review sebagai bagian dari sistem deliberasi yang menyatukan aktor dan aktivitas yang berbeda. Ini mencakup penanganan “keprihatinan supremasi (supremacy concern)” yang disebutkan sebelumnya. Kedua, kita perlu menyempurnakan idea-idea ajudikasi sebagai bagian dari sistem deliberasi demokratis, yang mengharuskan kita untuk mengatasi “masalah keterwakilan (representativeness concern).” Izinkan saya membuat sketsa dua jalur yang mungkin untuk menghadapi tantangan ini dari perspektif KDS.

4.1. Ajudikasi dan Deliberasi

Tantangan pertama menyangkut idea-idea ajudikasi sebagai bagian dari praktik deliberatif yang berlangsung dalam suatu sistem. Sebagaimana tercatat, aspek otoritatif dari ajudikasi, khususnya dalam judicial review, bertentangan dengan idea-idea peradilan sebagai komponen dari suatu sistem yang sejalan dengan komponen lain dalam kerja deliberatif. Memang, ajudikasi merupakan upaya dari jenis yang khas. Bila kita mendefinisikan deliberasi "minimal" berarti "komunikasi timbal balik yang melibatkan penimbangan dan refleksi pada preferensi, nilai-nilai, dan kepentingan mengenai hal-hal yang menjadi keprihatinan bersama,"[79] ajudikasi adalah usaha deliberatif.[80] Secara internal, itu terungkap sebagai proses menimbang-nimbang alasan. Secara eksternal, ia bekerja sebagai proses pemberian-alasan, membenarkan keputusan peradilan dengan argumen yang ditujukan kepada orang lain. Namun, sistem deliberatif tampaknya membutuhkan sesuatu yang lebih, yaitu kerjasama deliberatif, atau dialog. Dan untuk memasuki dialog dengan warga negara dan badan-badan institusional lainnya, peradilan harus melampaui pertimbangan dan pemberian alasan. Peradilan juga harus transparan sehubungan dengan proses pengambilan keputusannya –-setidaknya dalam beberapa fase-– serta inklusif dan reseptif sehubungan dengan alasan dan argumen dari komponen institusi dan non-institusi masyarakat lainnya. Ini tidak berarti bahwa peradilan harus memutuskan hanya berdasarkan alasan dan argumen tersebut, tetapi peradilan harus mempertimbangkannya dan melakukan “dialog konstitusional” dengan institusi dan warga negara lain.[81] Sejalan dengan itu, perkembangan praktik yudisial saat ini mengarah pada penanaman mekanisme dialogis.

Seperti yang diamati oleh Gargarella, serangkaian praktik konstitusionalisme dialogis muncul, meskipun dengan beberapa kesulitan: penggunaan notwithstanding clause di Kanada; “pelibatan yang berarti” yang didorong oleh Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan; dan adopsi dengar pendapat publik di Argentina dan Brasil.[82] Secara khusus, “Dialog telah menjadi sinonim dengan model perlindungan hak-hak Persemakmuran, diperjuangkan sebagai sarana untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian dari perlindungan konstitusional dan parlemen terhadap hak-hak melalui fasilitasi tanggapan parlemen terhadap penetapan yudisial atas hak-hak.”[83] Lebih khusus lagi, seperti yang ditunjukkan oleh Young, klausul Kanada meskipun mengizinkan legislator bertindak “notwithstanding” atas putusan yudisial tentang hak-hak. Lebih jauh lagi, aturan perundang-undang tersebut mengizinkan pembatasan legislatif yang proporsional atas beberapa hak-hak Piagam (Charter rights). Klausul notwithstanding telah mengilhami mekanisme hukum perlindungan hak di banyak sistem Persemakmuran, seperti di Selandia Baru dan Inggris. Model yang muncul dari mekanisme-mekanisme ini dicirikan oleh “empat ciri instituisonal yang esensial.”[84] Ciri pertama adalah Piagam Hak dengan status konstitusional atau berdasarkan undang-undang. Kedua, ketentuan “pengujian hak-hak yang diperintahkan legislasi (mandatory rights review of legislation) oleh percabangan kekuasaan politik (the political branches) sebelum diundangkan”, dan ketiga adalah pengujian konstitusionalitas yudisial (judicial constitusional review) produk legislasi. Yang keempat adalah bahwa "notwithstanding dari peran yudisial ini," terdapat kekuatan legislatif untuk "memiliki keputusan akhir tentang hukum pertanahan dengan suara mayoritas lebih dari separuh (ordinary majority vote)." Seperti yang dicatat Young, “mekanisme ini membantu menggabungkan kontrol hukum dan politik atas hak, tujuannya adalah untuk memaksimalkan manfaat dan meminimalkan kelemahan.”[85]

Tentu saja, mekanisme ini dapat ditingkatkan. Meskipun demikian, mereka menunjukkan potensi dialogis dari judicial review, yang, dari perspektif KDS, sangat relevan: kita tidak bisa membahas judicial review sebagai bagian dari sistem deliberatif bila kita tidak menilai dimensi dialogisnya.

Pada saat yang sama, kita tidak dapat menghindari berurusan dengan dimensi otoritatifnya. Memang, ajudikasi adalah kegiatan yudisial dan aspek penting dari yurisdiksi adalah kekuatan untuk membuat keputusan dengan efek yang mengikat.[86] Judicial review yang tidak membahas kedua aspek (atau) kehilangan salah satu ciri khasnya, berisiko tidak akurat secara deskriptif sebagaimana secara normatif juga tidak memadai.[87]

Pada akhirnya, kedua dimensi tersebut sama pentingnya bagi pemahaman kita tentang hubungan antara ajudikasi dan deliberasi demokratis.[88] Oleh karena itu, upaya-upaya teori konstitusi saat ini berusaha untuk melemahkan ketegangan di antara keduanya.

Menantang pandangan peradilan sebagai "gangguan legalis dari penalaran moral yang mendalam,"[89] Mendes menjelaskan ajudikasi sebagai bentuk deliberasi, terlepas dari aspek otoritatifnya. Dalam istilah konseptual, “hukum bersifat deliberatif sejauh memungkinkan untuk menimbang berbagai alasan untuk tindakan.”[90] Dalam istilah institusional, itu adalah deliberatif sejauh “hakim berunding satu sama lain dalam ajudikasi kolegial.”[91] Hubungan ini sebagian besar menyangkut bagaimana deliberasi menjadi bagian dari ajudikasi, melalui dinamika penalaran dan keputusan yang dianut dalam peradilan. Di luar hubungan-hubungan ini, kemudian, ada juga hubungan-hubungan tentang bagaimana ajudikasi menjadi bagian dari --dan berkontribusi pada-– deliberasi demokratis. Keterkaitan tersebut didasarkan pada praktik dialogis, yang memungkinkan adanya kontestasi dan masukan terhadap keputusan yudisial, sehingga argumentasi dan putusan peradilan menjawab dan membangun argumentasi dan putusan diberikan oleh aktor institusional atau warga negara lainnya. Dan sebaliknya (vice versa).[92]

Terlepas dari keterkaitan ini, dapat dikatakan bahwa ajudikasi tidak sepenuhnya deliberasi dan tidak dapat dimasukkan sebagai bagian dari sistem deliberasi karena kesenjangan mendasar antara ajudikasi dan deliberasi.[93] Kesenjangan menyangkut tujuan kegiatan tersebut: titik ajudikasi adalah untuk memutuskan dan menyelesaikan masalah, sedangkan deliberasi tidak perlu berusaha untuk mencapai keputusan.[94] Selain itu, melalui uji materi, ajudikasi dilengkapi dengan keputusan akhir, yang memungkinkan peradilan memiliki keputusan akhir tentang masalah konstitusional.

Pendekatan sistemik menawarkan beberapa sumber daya untuk mengatasi poin-poin ini.

Pertama, idea-idea deliberasi politik sebagai kegiatan yang tidak bertujuan memutuskan, menimbulkan beberapa pertanyaan. Bahkan, “elemen keputusan” tampaknya sangat penting dalam deliberasi politik: “politik menuntut keputusan otoritatif yang memerintahkan kepatuhan. Keputusan memaksa deliberasi dengan tindakan praktis yang perlu dipilih oleh suatu kelompok atau komunitas politik.”[95] Deliberasi menghadirkan aspek keputusan yang dimiliki bersama oleh ajudikasi dan kegiatan lainnya –-seperti pembuatan hukum-– yang terungkap dalam ruang pemberdayaan sistem. Aspek ini mencirikan aktivitas tersebut dalam berbagai cara, di bawah batasan yang berbeda, dan pada tingkatan yang berbeda-beda. Dalam hal ini, mungkin ada kesenjangan antara ajudikasi dan deliberasi politik. Namun, kesenjangan seperti itu tidak berarti bahwa ajudikasi tidak dapat menjadi bagian dari praktik deliberatif yang demokratis yang berasal dari sistem. KDS mempertajam pandangan kita tentang aspek ini, untuk membedakan aktivitas dari praktik –-poin langsung dari yang pertama (the former) dari titik keseluruhan yang terakhir (the latter)-– dan, pada saat yang sama, untuk memahami bagaimana mereka membentuk satu sama lain secara rekursif (memanggil dirinya sendiri; pen.-).

Kedua, memutuskan tidak sama dengan memiliki keputusan akhir.[96] Secara sistemik, praktik deliberasi demokratis bermuara pada serangkaian kegiatan yang berbeda tetapi saling berhubungan dengan fungsi-fungsi di atas –-epistemik, etis, dan demokratis. Kegiatan tersebut disusun sedemikian rupa sehingga mengintegrasikan inisiatif badan legislatif dengan pengawasan Mahkamah Konstitusi dan partisipasi warga negara dalam proses pengambilan keputusan tentang isu-isu yang relevan dengan publik. Kegiatan-kegiatan ini menginstansiasi pertukaran komunikatif di bawah batasan yang berbeda dan dengan cara yang berbeda, yaitu dengan memberlakukan Undang-undang, meninjau kembali Undang-undang, mengambil bagian dalam juri publik, dan sebagainya. Berbagai aktor yang terlibat dalam pertukaran itu menjalankan kompetensi yang berbeda, dalam batas-batas yang berbeda. Menetapkan batas-batas ini membutuhkan identifikasi “siapa” yang kompeten untuk campur tangan pada masalah tertentu, pada waktu tertentu. Dalam kasus peradilan, identifikasi tersebut bermuara untuk menentukan apakah aktor peradilan kompeten untuk mengadili suatu masalah dan, oleh karena itu, apakah masalah itu dapat dibenarkan. Kriteria justiciability tergantung pada pandangan tatanan demokrasi konstitusional yang mana peradilan beroperasi dan hubungan antara peradilan dan legislator. Pandangan deliberatif demokratis adalah pendasaran untuk kriteria justiciability yang berbeda, tergantung pada versi tertentu dari teori yang kita pertimbangkan. Apa kesamaan dari versi yang berbeda adalah bahwa pandangan deliberatif demokratis memberikan kriteria "berorientasi deliberatif (deliberatively-oriented)" dari justiciability yang tidak menyelesaikan kompetensi yudisial sekali dan untuk keseluruhan. Sebaliknya, pandangan deliberatif demokratis mengizinkan ruang lingkup kompetensi peradilan untuk disesuaikan, dari waktu ke waktu, berdasarkan kemungkinan bahwa peradilan berkontribusi pada deliberasi demokratis pada tingkat sistemik dan sejauhmana mereka dapat melakukannya. Dalam hal ini, kita dapat menilai kapasitas deliberasi peradilan sebagai kapasitas tingkat kedua, yaitu sebagai kemampuan untuk mengambil bagian dalam praktik deliberasi demokratis bersama dengan aktor lain, dalam term sistemik, meskipun mereka tidak memiliki kapasitas tatanan-pertama menjadi aktor deliberatif itu sendiri. Dalam hal demikian, batas-batas justiciability pada dasarnya bergantung pada kemungkinan mendukung deliberasi demokratis melalui ajudikasi. Dalam batas-batas tersebut, maka, peradilan dapat beroperasi untuk berkontribusi pada deliberasi yang demokratis secara sistemik, melalui interaksi dengan aktor lain dan, khususnya, dengan aktor legislatif. Menetapkan persyaratan yang mana mereka harus beroperasi mengharuskan kita untuk menentukan "bagaimana" badan yudisial harus menjalankan kompetensinya dan menangani masalah yang termasuk dalam lingkup tindakan keabsahannya. Kriteria ajudikasi tergantung pada landasan pandangan hukum konstitusi dan idea-idea ajudikasi yang berada dan berhubungan dengan deliberasi demokratis. Dari perspektif konstitusionalisme deliberatif, hukum dan ajudikasi dapat berkontribusi pada deliberasi demokratis dengan mendukung/mengamankan kondisi dan hasil dari proses komunikatif yang melaluinya deliberasi itu berlangsung. Dalam kerangka KDS, khususnya, ajudikasi dapat memberikan kontribusi ini meskipun kontribusi itu sendiri bukan merupakan kegiatan deliberatif. Dalam istilah sistemik, ajudikasi dapat menjadi komponen dari sistem demokrasi deliberatif sejauh mendukung praktik deliberatif yang mana judicial review berinteraksi dengan tindakan deliberatif politik.

Keputusan yang dihasilkan melalui judicial review, memang, harus dianggap sebagai produk interaksi-interaksi, terutama yang melibatkan peradilan dan legislatif. Yang terakhir mengambil keputusan yang menentukan isi dan bentuk Undang-undang yang ditinjau oleh yang pertama (the former). Dengan ini, mereka menyelesaikan, dari waktu ke waktu, batas –-dan isi-– judicial review. Hasil judicial review kemudian memengaruhi, dari waktu ke waktu, keabsahan Undang-undang dan pilihan legislatif yang diperlukan untuk menggantikan Undang-undang yang inkonstitusional.

Dalam istilah ini, keputusan peradilan tidak “final.” Sebaliknya, mereka adalah bagian dari serangkaian keputusan yang terintegrasi dalam praktik yang berlangsung dari waktu ke waktu. Seperti yang disoroti KDS, satu-satunya contoh dari praktik ini, yang mana ajudikasi tertanam, mungkin (tidak) mengakibatkan peradilan –-seperti halnya legislatif-- menyelesaikan masalah tertentu.[97] Namun, sifat seperti itu berkaitan dengan contoh-contoh tertentu dan harus dipahami dan ditangani dengan tepat, dengan mengakui bahwa hal itu adalah bagian dari praktik yang lebih luas yang mana kegiatan yudisial, parlemen (legislatif), dan deliberatif lainnya membentuk dan membatasi satu sama lain, dalam suatu sistem. Keabsahan demokratis kegiatan yudisial, parlemen dan deliberatif lainnya bergantung pada pemupukan-silang kapasitas deliberatif. Dan pemupukan-silang semacam itu terjadi mengingat pembagian kerja deliberatif yang mengatur interaksi mereka. Perhatikan bahwa pembagian kerja seperti itu, dari perspektif sistemik, mengikuti kriteria diferensiasi di antara tugas-tugas deliberatif terintegrasi yang tidak menyiratkan supremasi satu agen deliberatif atas yang lain, atau fakta bahwa agen ini "lebih tahu," tetapi yang hanya mengikuti dari distribusi tugas-tugas dalam komunitas deliberatif.[98]

Dalam istilah ini, KDS melampaui pandangan “peningkatan yudisial” dan kriteria legitimasi deliberatif dualistiknya. Tidak ada dua jalur legitimasi yang terpisah –-satu untuk peradilan dan satu lagi untuk aktor politik dan deliberatif-– tetapi dua jalur yang pada akhirnya saling bergantung, disatukan dalam jalur sistemik. Dalam jalur ini, aktor deliberatif yang berbeda dituntut untuk secara sistematis memenuhi standar keabsahan yang berorientasi deliberatif. Pemenuhan tersebut muncul dari pemupukan-silang kapasitas deliberatif di "dua tempat, baik dengan kekurangan deliberatif, masing-masing dapat menutupi kekurangan yang lain."[99] Poin ini sangat penting dalam menilai legitimasi tindakan peradilan, terutama di forum Mahkamah Konstitusi. Tindakan-tindakan ini tidak dikecualikan dari kriteria keabsahan yang membutuhkan latihan kapasitas deliberatif yang sistematis: tindakan-tindakan ini harus berkontribusi pada praktik deliberasi demokratis. Namun, menilai apakah tindakan ini menunjukkan tingkat kapasitas deliberatif yang diperlukan mengharuskan kita untuk juga mempertimbangkan tindakan deliberatif yang dapat melengkapi, atau tidak, kemungkinan kekurangan yudisial.[100]

Meskipun demikian, masalah pemberian ajudikasi sebagai bagian dari sistem deliberasi demokratis mungkin bukan pada peradilan yang memutuskan, tetapi lebih pada sifat (yang diduga) non-representatif dari keputusan peradilan. Dalam sistem demokrasi, keabsahan keputusan dan tindakan yang diambil oleh badan legislatif didasarkan (juga) pada kualitas perwakilan yang dipilih secara demokratis. Untuk peradilan, basis representatif diduga tidak ada, karena mereka adalah badan independen non-elektoral. Namun, dari perspektif KDS, kurangnya keterwakilan seperti itu dapat dipertanyakan, seperti yang akan saya kemukakan di bawah ini.

4.2. Ajudikasi dan Representasi

Tantangan kedua yang muncul dalam kerangka KDS adalah apakah ajudikasi merupakan bentuk deliberasi demokratis atau tidak, yaitu apakah kita dapat memahami ajudikasi sebagai bentuk deliberasi representatif. Faktanya, teori demokrasi deliberatif kontemporer telah memberi ruang bagi idea-idea bahwa representasi mendukung deliberasi demokratis dan, dalam istilah seperti itu, merupakan elemen konstitutif dari sistem demokrasi yang kompleks, setidaknya sehubungan dengan beberapa aktor dan ruang institusional.

Representasi adalah, dalam istilah umum, untuk “menyajikan dalam arti tertentu sesuatu yang bagaimanapun tidak hadir, secara harfiah atau fakta.”[101] Dengan representasi politik kita memahami membuat “hadir dalam proses pembuatan kebijakan publik suara, opini, dan perspektif yang tidak hadir." Bentuk representasi ini bersifat demokratis ketika “berlaku pada suara, pendapat, dan perspektif –-yaitu kehendak-– rakyat, membuat keputusan politik yang responsif terhadapnya.”[102]

Secara tradisional, pada kenyataannya, representasi demokratis bermuara pada hubungan "responsif" antara representatif dan yang diwakili[103] dengan yang pertama (the former) menjadi wakil yang bertindak untuk yang terakhir (the latter), sebagai "delegasi" atau "pengurus" tergantung pada apakah mereka diarahkan oleh yang diwakili atau tidak.[104] Dalam hubungan seperti itu, mekanisme akuntabilitas didasarkan pada pemilihan umum dan perwakilan menjalankan pengujian berdasarkan kepentingan dan pandangan pemilih[105] meskipun mereka mungkin mengambil pandangan independen yang merefleksikan pandangan mereka tentang masyarakat yang adil.[106]

Peradilan, sebaliknya, umumnya dipahami sebagai lembaga non-perwakilan. Mereka tidak ditunjuk melalui Pemilu dan tidak bertanggung jawab secara elektoral. Lebih jauh lagi, peradilan tidak melakukan penilaian yang bergantung, tetapi merupakan institusi independen yang dapat menahan tekanan politik: justru karena alasan ini, kita mempercayakan mereka dengan tugas melakukan supervisi badan legislatif.[107]

Dari perspektif sistemik, ini adalah pandangan parsial, reduktif, representasi demokrasi dalam demokrasi deliberatif. Memang, pergantian sistemik telah membawa pendekatan sistemik untuk representasi demokratis, juga: “fertilisasi silang membantu menjelaskan sifat perwakilan yang berubah, demokrasi, dan kekuatan politik yang sah,” serta interaksi di dalamnya.[108]

Keterwakilan, dari perspektif ini, harus dinilai di luar karakteristik perwakilan tunggal untuk juga mempertimbangkan posisi mereka dalam sistem deliberatif. Dan kriteria Pemilu harus digabungkan dengan kriteria yang berorientasi pada pertimbangan yang diterapkan –-secara sistemik-– baik untuk perwakilan elektoral maupun non-elektoral. Keabsahan yang terakhir, khususnya, harus ditangani dengan menilai posisi mereka dalam sistem perwakilan yang “harus dinilai secara normatif secara keseluruhan.”[109]

Karena itu, kita harus menanyakan posisi apa yang dapat kita berikan kepada peradilan dalam sistem perwakilan, dan kriteria apa yang dapat kita adopsi untuk menilai kontribusi mereka terhadap sistem tersebut. Menjadi, pada umumnya, badan non-pemilihan dan independen, idea-idea tentang hubungan responsif dengan konstituen tidak berlaku.

Ide alternatif representasi, bagaimanapun, dapat membantu kita. Seperti yang telah saya catat dalam karya-karya lain,[110] kita dapat merujuk pada idea-idea Pettit tentang hubungan indikatif antara yang diwakili dan yang mewakili, yang mana yang terakhir (the latter) "mewakili" yang pertama (the former).[111] Dalam hubungan semacam ini, yang mewakili tidak diharuskan untuk melacak preferensi yang diwakili dan untuk bertindak atas dasar preferensi tersebut. Sebaliknya, mereka adalah indikator bagaimana yang diwakili akan memutuskan atau bertindak bila mereka berada di posisi yang mewakili. Setelah pemilihan atau penunjukan, yang diwakili tidak mengontrol apa yang diputuskan dan dilakukan oleh yang mewakili, tetapi mereka dapat melakukan kontrol ex ante, melalui pemilihan perwakilan dan penetapan batasan pada keputusan dan tindakan mereka di masa depan.[112] Dasar dari hubungan ini adalah kedekatan antara yang mewakili dan yang diwakili. Kedekatan yang dapat dipahami dalam hal kemiripan atau konvergensi.

Dalam kasus pertama, yang mewakili menyerupai –-menampilkan beberapa properti-– yang diwakili. Dalam pengertian ini, kedekatan adalah dasar dari hubungan yang deskriptif sejauh peradilan mencerminkan, setidaknya dalam beberapa hal, anggota komunitas atau kelompok tertentu dalam komunitas.

Dalam kasus kedua, yang mewakili berdiri sebagai indikator, yaitu mereka bertindak sebagai yang diwakili akan bertindak bila mereka berada dalam posisi untuk melakukannya. Dalam pengertian ini, kedekatan merupakan dasar dari suatu hubungan yang bersifat deskriptif sejauh komunitas –-atau kelompok-kelompok tertentu di dalam masyarakat-– mengakui diri mereka sendiri dalam tindakan peradilan berdasarkan serangkaian tujuan mendasar yang ditetapkan oleh konstitusi.[113] Dalam istilah lain, yang mewakili adalah indikator sejauh fakta bahwa mereka memiliki pemikiran tertentu “menawarkan alasan untuk pengharapan” bahwa yang diwakili “akan memiliki pemikiran yang sama.”[114]

KDS menyediakan kerangka kerja yang mana hubungan indikatif, dalam kedua bentuk, menjadi bagian dari sistem perwakilan deliberatif dan harus dicirikan sesuai. Pertama, didasarkan pada apa yang dapat kita definisikan sebagai “kedekatan deliberatif”: kemiripan antara badan deliberatif dan masyarakat dan/atau konvergensi antara yang mewakili dan yang diwakili pada serangkaian tujuan yang ditetapkan oleh konstitusi. Suatu konvergensi yang harus diwujudkan secara deliberatif, yaitu melalui praktik deliberasi yang berlangsung secara sistemik, melibatkan peradilan bersama institusi lain dan masyarakat luas.[115] Kedua, kedekatan delibratif tersebut juga tergantung pada kapasitas deliberasi peradilan. Sebenarnya, ini adalah kapasitas yang memungkinkan peradilan untuk mengambil bagian dalam praktik deliberasi yang mana mereka bertindak sebagai perwakilan indikatif. Ketiga, mekanisme akuntabilitas, dalam kasus peradilan dalam sistem perwakilan, deliberatif, didasarkan pada mekanisme seleksi menurut kriteria keahlian profesional serta pada pemberian alasan yudisial dan praktik dialogis.[116] Dalam istilah ini, kita dapat merancang peradilan sebagai proksi-proksi deliberatif dari konstitusi, komunitas deliberatif. Melalui interaksi dengan perwakilan lain, mereka membentuk praktik representasi demokratis yang lebih luas, tetapi tindakan indikatif mereka, per se, tidak menghabiskan praktik itu atau menampilkan masing-masing dan semua aspeknya.

Mengenai bagaimana peradilan berkontribusi pada praktik ini –-tindakan yang harus mereka lakukan sebagai perwakilan deliberatif-– kita dapat memanfaatkan perkembangan terkini dalam teori konstitusi, yang mencirikan perwakilan yudisial dalam istilah “argumentatif”,[117] “refleksif”,[118] atau “berprinsip”.[119] Saya tidak bisa memikirkan implikasi yang berbeda dari ide-ide ini di sini. Saya hanya dapat mencatat bahwa, dari perspektif KDS, mereka saling melengkapi –-bukan saling eksklusif-– yang mana peradilan dapat bertindak sebagai perwakilan deliberatif dari komunitas konstitusional.

5. Kesimpulan

Artikel ini berusaha untuk berkontribusi pada KD, paradigma baru yang menggabungkan teori demokrasi deliberatif dan konstitusionalisme dalam istilah baru, untuk menghidupkan kembali dan memajukan upaya yang sebelumnya dilakukan ke arah yang sama oleh Rawls, Michelman, Nino, dan lainnya.

Saya berpendapat bahwa KD dan pendekatan sistemik terhadap demokrasi deliberatif harus diintegrasikan untuk mempertajam analisis judicial review dan ikatannya dengan demokrasi deliberatif. Integrasi ini memungkinkan kita untuk menilai judicial review sebagai institusi deliberatif dan representatif, sejauh tertanam dalam –-dan dibentuk secara-– deliberatif, representatif, sistem. Hal ini tidak menyajikan semua aspek sistem. Juga tidak melakukan semua fungsi sistem. Tujuannya mungkin berbeda dari sistem secara keseluruhan. Namun, itu adalah komponen konstitutif dari sistem dan berkontribusi pada fungsinya. Dan kita harus menilai keabashannya sesuai keadaan tersebut, dengan mempertimbangkan kapasitas deliberatif yang ditransmisikannya ke –-dan meminjam dari-– komponen sistemik lainnya. Jika kita ingin menangani kerja deliberatif yang dilakukan oleh peradilan melalui judicial review dengan benar, kita tidak dapat memisahkan kerja deliberatif dari praktik dan sistem yang terpaut dengannya. Sebaliknya, kita perlu menilai tempatnya di dalam diri mereka. Versi sistemik KD menyediakan kerangka kerja untuk melakukannya.*

CATATAN KAKI:

1 For an overview of this emerging paradigm, see Kong & Levy 2018a: 626; Levy, Kong, Orr, & King 2018; Worley 2009.

2 Bohman 1998: 401.

3 Kong & Levy 2018b: 3.

4 See the works cited in notes 1, 2, 3 and Bello Hutt 2020: 69.

5 See footnote 31.

6 Kong & Levy 2018a: 626. As pointed out by Bello Hutt 2020, “Nowadays, deliberative constitutionalism is explicitly presented as a clear and distinct idea that keeps” the tensions internal to the concepts of constitutionalism and democracy “at bay.”

7 Sejauh ini, literatur baru tentang Konstitusionalisme Deliberatif belum memberikan analisis judicial review yang lengkap dan sistematis dan tidak ada bab yang dikhususkan untuk topik ini di dalam "the Handbook of Deliberative Constitutionalism" (Bächtiger, Dryzek, Mansbridge, & Warren 2018).

8 Kong & Levy 2018a: 634.

9 Idea "sistem deliberatif telah dikenalkan oleh  Mansbridge 1999: 211. For a “manifesto” of the systemic approach, see Mansbridge et al. 2012: 1–26. Untuk rekonstruksi kritis, lihat Owen and Smith 2015.

10 Mansbridge et al. 2012: 4.

11 Mansbridge et al. 2012: 22. Idea mendasar tentang pendapat ini ada dalam idea Habermas tentang demokrasi deliberatif "dua jalur", lebih lanjut lihat Habermas 2015.

12 Bello Hutt 2017.

13 Mansbridge 2003; Kuyper 2015; Bohman 2012; Mansbridge & Rey 2015.

14 Bello Hutt 2017: 77.

15 Kong & Levy 2018a: 625.

16 Kong & Levy 2018b: 2.

17 13 Kong & Levy 2018b: 1.

18 Kong & Levy 2018a: 625.

19 Worley 2009: 431, mengacu pada karya-karya Ackerman, Nino, Habermas, Sunstein, and Michelman.

20 Freeman 2000: 417.

21 Kong & Levy 2018b: 2.

22 Kong & Levy 2018b: 2.

23 Kong & Levy 2018b: 7.

24 Kong & Levy 2018a: 629.

25 Kong & Levy 2018b.

26 Kong & Levy 2018a: 630; Levy & Orr 2016.

27 Friedman 2002.

28 Bickel 1962.

29 Kong & Levy 2018a: 626.

30 Kong & Levy 2018a: 634.

31 Saya merujuk pada teori-teori dari Ely 1980, Habermas 2015, Ackerman 1991, Michelman 1987, Rawls 1993, Eisgruber 2001, Friedman 1993, Nino 1998, Sunstein 1996, and Alexy 2005.

32 Untaian pendapat ini menyatukan berbagai teori yang berbeda, dipengaruhi juga oleh Habermas 2015 and Rawls 1993. Sebagaimana ditulis oleh Floridia 2018: 35, teori-teori ini telah dipengaruhi oleh ---dan juga terbantu untuk membangun-– teori deliberatif demokratis.

33  Lihat, berbagai karya antar lain, Dryzek 1990; Bohman 1994; Cohen 1989; Gutmann and Thompson 1996.

34 A distinction by Ackerman 1991.

35 Lihat, keseluruhan idea sebelumnya, Habermas 2015, dan idea-idea jurisgenesis dalam Michelman 1987.

36 Bello Hutt 2017: 81.

37 Bello Hutt 2017: 81.

38 Bello Hutt 2017: 81.

39 See also Bello Hutt 2018.

40 Bello Hutt 2017: 96.

41 Sebagaimana telah disoroti, dalam berbagai term oleh Rawls 1993, Sunstein 1996, Eisguber 2001, Michelman 1987, and Nino 1998.

42 Mansbridge et al. 2012.

43 Dryzek 2009: 1385.

44 Kuyper 2016.

45 Kuyper 2016: 312.

46 Dryzek 2009: 1399.

47 Dryzek 2009: 1382.

48 Kuyper 2016: 313.

49 Dryzek 2009: 1382.

50 Goodin 2005.

51 Bohman 2007.

52 Parkinson 2006.

53 Parkinson 2006.

54 Kuyper 2016: 308.

55 Mansbridge et al. 2012: 3.

56 Owen and Smith 2015 berkomentar bahwa analisis ini mungkin tidak cukup. Memang, itu dapat dilengkapi dengan menilai bagaimana keutamaan atau kelemahan sistemik mempengaruhi komponen sistem dan bagaimana komponen ini berhubungan dengan keseluruhan sistem.

57 Mansbridge et al. 2012: 5.

58 Mansbridge et al. 2012: 22.

59 Mansbridge et al. 2012: 12.

60 Vermeule 2011: 3.

61 Vermeule 2011: 5.

62 For this distinction, see Rey 2020.

63 Vermeule 2011.

64 Vermeule 2011: 4.

65 Peradilan secara eksplisit teridentifikasi sebagai komponen sistem deliberatif, sebagai contoh ditulis oleh Mansbridge et al. 2012, as well as Dryzek 2009, 1384–1385.

66 Krause 2008.

67 Krause 2008, menjelaskan pendapat Gutmann and Thompson 2000.

68 Tentang dengar pendapat publik, lihat Gargarella 2019; Tushnet 2016.

69 Seperti yang ditunjukkan oleh Bello Hutt 2017, memberikan upaya awal untuk menjelaskan peran pengadilan dalam sistem deliberatif. Dia mengambil rute yang berbeda dari yang saya uraikan dalam makalah ini.

70 Sunstein 2017; Tushnet 2016; Gargarella 2014; Gargarella 2019.

71 See Krause 2008.

72 Valentini 2019a.

73 Rawls 1955: 3 menjelaskan idea praktis sebagai "segala bentuk aktivitas yang ditentukan oleh sistem aturan yang mendefinisikan jabatan, peran, gerakan, hukuman, pertahanan, dan sebagainya, dan yang memberi aktivitas itu strukturnya."

74 Rawls 1955; Hart 1959.

75 Hart 1959: 3.

76 Sebagaimana dituliskan oleh Rawls 1955 and Hart 1959.

77 Vermeule 2011: 55.

78 Vermeule 2011: 56.

79 Bächtiger, Dryzek, Mansbridge, & Warren 2018.

80 Contra Bello Hutt 2018.

81 On dialogic accounts, see Tushnet 2009 and Gargarella 2014.

82 Gargarella 2019: 68.

83 Young 2018: 126.

84 Gardbaum 2013: 30–31.

85 Young 2018: 127.

86 Kyritsis 2017: 119, dengan mengacu pada pengadilan yang bertindak sebagai "otoritas praktis" dalam term yang ditulis oleh Raz 1986.

87 As argued by Kyritsis 2017. Lihat juga Tremblay 2005: 617.

88 See Klatt 2019.

89 Mendes 2013.

90 Mendes 2013: 53.

91 Mendes 2013: 53. Tentang deliberasi internal/eksternal dalam ajudikasi, lihat juga Ferejohn and Pasquino 2002: 21–36.

92 Tentang praktik-praktik dialogis, lihat Gargarella 2019. Tentang “hubungan-hubungan eksternal,” lihat juga Ferejohn and Pasquino 2002.

93 Bello Hutt 2017.

94 Bello Hutt 2017: 83.

95 Mendes 2013: 14.

96 “Deliberasi politik memertahankan keputusan” (Mendes 2013: 15). Friedman (1993: 644) menunjukkan bahwa “idea-idea tentang finalitas yudisial secara serius melebih-lebihkan dampak dari keputusan yudisial […] Keputusan yudisial adalah kata penting dalam topik apa pun. Tapi itu belum tentu kata terakhir.”

97 Selain itu, mahkamah konstitusi dapat memutuskan namun tidak menyelesaikan suatu masalah, sebagaimana diamati Bickel (1962) dalam rangka memberikan ajudikasi –dan judicial review– yang dicirikan oleh sifat-sifat “pasif”.

98 Mansbridge 2009: 386.

99 Mansbridge 2009: 3.

100 Pandangan ini dekat dengan kumpulan pendapat bahwa pengadilan saat ini sebagai bagian dari skema institusional “kerjasama” (Kyritsis 2017) atau “keseimbangan” (Klatt 2019). Namun, pandangan ini mengandalkan idea-idea peradilan sebagai lembaga non-perwakilan, yang saya tantang dalam makalah ini.

101 Pitkin 1972: 8.

102 Valentini 2019b drawing on Dovi 2018.

103 Pettit 2010.

104 Pettit 2010; Pitkin 1972.

105 Kyritsis 2017: 128.

106 Kyritsis 2017: 129.

107 Kyritsis 2017: 129; lihat juga Harel 2019.

108 Kuyper 2016: 322; lihat juga Bohman 2012.

109 Mansbridge 2011: 621.

110 Valentini 2019b.

111 Pettit 2010.

112 Mansbridge 2009.

113 Pettit 2010.

114 Pettit 2010: 427–428.

115 Tentang nilai representatif dari praktik ini dalam suatu sistem, lihat Bohman 2012; Kuyper 2016.

116 Pettit 2010; Mansbridge 2009.

117 Alexy 2005; Kumm 2019: 281.

118 Rosanvallon 2011.

119 Eisgruber 2001.

DAFTAR PUSTAKA

Ackerman, B. (1991). We the People, Volume 1: Foundations. Belknap Press.

Alexy, R. (2005). Balancing, Constitutional Review and Representation. International Journal of Constitutional Law, 3(4), 572–581.

Bächtiger, A., Dryzek, J., Mansbridge, J., & Warren, M. (2018). Deliberative Democracy: An Introduction. In A. Bächtiger, J. Dryzek, J. Mansbridge, & M. Warren (Eds.), The Oxford Handbook of Deliberative Democracy (pp. 1–34). Oxford University Press.

DOI : 10.1093/oxfordhb/9780198747369.013.50

Bello Hutt, D. (2017). Deliberation and Courts: The Role of the Judiciary in a Deliberative System. Theoria, 64(152), 77–103.

Bello Hutt, D. (2018). Measuring Popular and Judicial Deliberation: A Critical Comparison. International Journal of Constitutional Law, 16(4), 1121–1147.

Bello Hutt, D. (2020). The Deliberative Constitutionalism Debate and a Republican Way Forward. Jurisprudence, 12(1), 69–88.

DOI : 10.1080/20403313.2020.1785259

Bickel, A. (1962). The Least Dangerous Branch: The Supreme Court at the Bar of Politics. Yale University Press.

DOI : 10.12987/9780300173338

Bohman, J. (1994). Public Deliberation: Pluralism, Complexity and Democracy. MIT Press.

Bohman, J. (1998). Survey Article: The Coming of Age of Deliberative Democracy. Journal of Political Philosophy, 6(4), 400–425.

Bohman, J. (2007). Democracy Across Borders. MIT Press.

DOI : 10.7551/mitpress/2327.001.0001

Bohman, J. (2012). Representation in the Deliberative System. In J. Parkinson & J. Mansbridge (Eds.), Deliberative Systems: Deliberative Democracy at the Large Scale (pp. 72–94). Cambridge University Press.

Cohen, J. (1989). Deliberation and Democratic Legitimacy. In A. Hamlin & P. Pettit (Eds.), The Good Polity (pp. 17–34). Basil Blackwell.

Dovi, S. (2018). Political Representation. In E.N. Zalta (Ed.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy. <https://plato.stanford.edu/archives/fall2018/entries/political-representation/>. 

Dryzek, J.S. (1990). Discursive Democracy. Cambridge University Press.

DOI : 10.1017/9781139173810

Dryzek, J.S. (2009). Democratization as Deliberative Capacity Building. Comparative Political Studies, 42(11), 1379–1402.

DOI : 10.1177/0010414009332129

Eisgruber, C. (2001). Constitutional Self-Government. Harvard University Press.

DOI : 10.4159/9780674034464

Ely, J.H. (1980). Democracy and Distrust. Harvard University Press.

DOI : 10.2307/j.ctv102bj77

Ferejohn, J. & Pasquino, P. (2002). Constitutional Courts as Deliberative Institutions, Towards an Institutional Theory of Constitutional Justice. In W. Sadurski (Ed.), Constitutional Justice, East and West (pp. 21–36). Kluwer Law International.

Floridia, A. (2018). The Origins of the Deliberative Turn. In A. Bächtiger, J. Dryzek, J. Mansbridge, & M. Warren (Eds.), The Oxford Handbook of Deliberative Democracy (pp. 35–54). Oxford University Press.

Freeman, S. (2000). Deliberative Democracy: A Sympathetic Comment. Philosophy & Public Affairs, 29(4), 371–418.

Friedman, B. (1993). Dialogue and Judicial Review. Michigan Law Review, 91(4), 577–682.

DOI : 10.2307/1289700

Friedman, B. (2002). The Birth of an Academic Obsession: The History of the Countermajoritarian Difficulty, Part Five. Yale Law Journal, 112(2), 153–259.

Gardbaum, S. (2013). The New Commonwealth Model of Constitutionalism: Theory and Practice. Cambridge University Press.

DOI : 10.2139/ssrn.302401

Gargarella, R. (2014). “We the People” Outside of the Constitution: The Dialogic Model of Constitutionalism and the System of Checks and Balances. Current Legal Problems, 67(1), 1–47.

DOI : 10.1093/clp/cuu008

Gargarella, R. (2019). Why Do We Care About Dialogue? In K.G. Young (Ed.), The Future of Social and Economic Rights (pp. 212–232). Cambridge University Press.

Goodin, R.E. (2005). Sequencing Deliberative Moments. Acta Politica, 40(2), 182–196.

DOI : 10.1057/palgrave.ap.5500098

Gutmann, A. & Thompson, D. (1996). Democracy and Disagreement. Belknap Press.

Gutmann, A. & Thompson, D. (2000). Why Deliberative Democracy is Different. Social Philosophy and Policy, 17(1), 161–180.

DOI : 10.1017/S0265052500002570

Habermas, J. (2015). Between Facts and Norms. Polity.

DOI : 10.7551/mitpress/1564.001.0001

Harel, A. (2019). Why Legislatures Owe Deference to the Courts. Revus, 38, 7–20. https://journals.openedition.org/revus/5079.

DOI : 10.4000/revus.5079

Hart, H.L.A. (1959). The Presidential Address: Prolegomenon to the Principles of Punishment. Proceedings of the Aristotelian Society, 60(1), 1–26.

Klatt, M. (2019). Judicial Review and Institutional Balance: Comments on Dimitrios Kyritsis. Revus, 38, 21–38. http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3281101.

DOI : 10.2139/ssrn.3281101

Kong, H.L. & Levy, R. (2018a). Deliberative Constitutionalism. In A. Bächtiger, J.S. Dryzek, J. Mansbridge, & M. Warren (Eds.), The Oxford Handbook of Deliberative Democracy (pp. 626–640). Oxford University Press.

Kong, H.L. & Levy, R. (2018b). Fusion and Creation. In R. Levy, H.L. Kong, G. Orr, & J. King (Eds.), The Cambridge Handbook of Deliberative Constitutionalism (pp. 1–14). Cambridge University Press.

Krause, S.R. (2008). Civil Passions: Moral Sentiment and Democratic Deliberation. Princeton University Press.

DOI : 10.1515/9781400837281

Kumm, M. (2019). On the Representativeness of Constitutional Courts: How to Strengthen the Legitimacy of Rights Adjudicating Courts without Undermining their Independence. In C. Landfried (Ed.), Judicial Power: How Constitutional Courts Affect Political Transformations (pp. 281–291). Cambridge University Press.

Kuyper, J. (2015). Democratic Deliberation in the Modern World: The Systemic Turn. Critical Review, 27(1), 49–63.

Kuyper, J. (2016). Systemic Representation: Democracy, Deliberation, and Nonelectoral Representatives. American Political Science Review, 110(2), 308–324.

Kyritsis, D. (2017). Where Our Protection Lies: Separation of Powers and Constitutional Review. Oxford University Press.

DOI : 10.1093/oso/9780199672257.001.0001

Levy, R. & Orr, G. (2016). The Law of Deliberative Democracy. Routledge.

Levy, R., Kong, H.L., Orr, G., & King, J. (Eds.) (2018). The Cambridge Handbook of Deliberative Constitutionalism. Cambridge University Press.

Mansbridge, J. (1999). Everyday Talk and the Deliberative System. In S. Macedo (Ed.), Deliberative Politics (pp. 211–239). Oxford University Press.

Mansbridge, J. (2003). Rethinking Representation. American Political Science Review, 97(4), 515–528.

DOI : 10.1017/S0003055403000856

Mansbridge, J. (2009). A Selection Model of Representation. Journal of Political Philosophy, 17(4), 369–398.

Mansbridge, J. (2011). Clarifying the Concept of Representation. American Political Science Review, 105(3), 621–630.

DOI : 10.1017/S0003055411000189

Mansbridge, J. & Rey, F. (2015). The Representative System. Unpublished paper presented at the 13th National Congress of the Association Française de Science Politique, Aixen-Provence.

Mansbridge, J. et al. (2012). A Systemic Approach to Deliberative Democracy. In J. Parkinson & J. Mansbridge (Eds.), Deliberative Systems: Deliberative Democracy at the Large Scale (pp. 1–26). Cambridge University Press.

Mendes, C.H. (2013). Constitutional Courts and Deliberative Democracy. Oxford University Press.

DOI : 10.1093/acprof:oso/9780199670451.001.0001

Michelman, F.I. (1987). Law’s Republic. Yale Law Journal, 97(8), 1493–1537.

Nino, C.S. (1998). The Constitution of Deliberative Democracy. Yale University Press.

Owen, D. & Smith, G. (2015). Survey Article: Deliberation, Democracy, and the Systemic Turn. Journal of Political Philosophy, 23(2), 213–234.

Parkinson, J. (2006). Deliberating in the Real World: Problems of Legitimacy in Deliberative Democracy. Oxford University Press.

DOI : 10.1093/019929111X.001.0001

Pettit, P. (2010). Varieties of Public Representation. In I. Shapiro, S. Stokes, E.J. Wood, & A. Kirshner (Eds.), Political Representation (pp. 61–89). Cambridge University Press.

Pettit, P. (2010). Representation, Responsive and Indicative. Constellations, 17(3), 426–434.

Pitkin, H. (1972). The Concept of Representation. University of California Press.

Rawls, J. (1955). Two Concepts of Rules. The Philosophical Review, 64(1), 3–32.

DOI : 10.2307/2182230

Rawls, J. (1993). Political Liberalism. Columbia University Press.

Raz, J. (1986). The Morality of Freedom. Clarendon Press.

DOI : 10.1093/0198248075.001.0001

Rey, F. (2020). The Representative System. Critical Review of International Social and Political Philosophy, 1–24.

DOI : 10.1080/13698230.2020.1808761

Rosanvallon, P. (2011). Democratic Legitimacy: Impartiality, Reflexivity, Proximity. Princeton University Press.

DOI : 10.1515/9781400838745

Sunstein, C.R. (1996). Legal Reasoning and Political Conflict. Oxford University Press.

Sunstein, C.R. (2017). Deliberative Democracy in the Trenches. Daedalus, 146(3), 129–139.

DOI : 10.1162/DAED_a_00452

Tremblay, L. (2005). The Legitimacy of Judicial Review: The Limits of Dialogue between Courts and Legislatures. International Journal of Constitutional Law, 3(4), 617–648

Tushnet, M. (2009). Dialogic Judicial Review. Arkansas Law Review, 61(2), 205–216.

Tushnet, M. (2016). New Institutional Mechanisms for Making Constitutional Law. In T. Bustamante & B. Gonçalves Fernandes (Eds.), Democratizing Constitutional Law (pp. 167–183). Springer.

DOI : 10.2139/ssrn.2589178

Valentini, C. (2019a). Where our Protection Lies: Separation of Powers and Constitutional Review. Jurisprudence. An International Journal of Legal and Political Thought, 1, 121-131.

Valentini, C. (2019b). The Legislative Assembly and Representative Deliberation. The American Journal of Jurisprudence, 1, 105-123.

Vermeule, A. (2011). The System of the Constitution. Oxford University Press.

DOI : 10.1093/acprof:oso/9780199838455.001.0001

Worley, J.J. (2009). Deliberative Constitutionalism. BYU Law Review, 2, 431–480.

Young, A. (2018). Dialogue, Deliberation and Human Rights. In R. Levy, J. Kong, G. Orr, & H. King (Eds.), The Cambridge Handbook of Deliberative Constitutionalism (pp. 125–138). Cambridge University Press.



Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

Day 6 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 10 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 16 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 7 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 17 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 8 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Cara Meletakkan Bukti dalam Evidence-Based Policymaking (EBP)

Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (2): Mengapa Penting Belajar Filsafat Hukum Jürgen Habermas?