Opini Terbaru

Between Facts and Norms, Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (2): Pengantar dari Jürgen Habermas

Gambar
PENGANTAR Jürgen Habermas  | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse

Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (8): Penerapan Teori Tindakan Komunikatif pada Hukum Positif


Serial tulisan ini membahas buku filsafat hukum dan sosiologi hukum "Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy" (Antara Fakta dan Keabsahan Normatif: Kontribusi untuk Teori Diskursus Hukum dan Demokrasi), karya Jürgen Habermas (Massachusetts Institute of Technology, 1996). 

Buku Habermas dalam bahasa Inggris tersebut awalnya berjudul Faktizität und Geltung: Beiträge zur Diskurstheorie des Rechts und des demokratischen Rechtsstaats, Frankfurt a.M. 1992. Habermas menulis pembahasan lengkap mengenai filsafat hukum, sosiologi hukum dan demokrasi deliberatif. Mahasiswa, praktisi hukum, ilmuwan sosial hukum dan politisi partai politik perlu membaca dan menimbang-nimbang buku ini dalam praksis berhukum kontemporer.

Please cite as: Putra, Anom Surya. “Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (8): Penerapan Teori Tindakan Komunikatif pada Hukum Positif.” Blog Anom Surya Putra, Juli 2022.

------------------------------------

Penerapan Teori Tindakan Komunikatif pada Hukum Positif

Salam Restorasi. 

Pembaca yang budiman kita akan melanjutkan pembahasan pemikiran hukum Jürgen Habermas. Tema ini kali merupakan kelanjutan dari pembahasan "Struktur Komunikatif Koordinasi Sosial." Tema tersebut diuraikan oleh William Rehg dalam pengantar buku Between Facts and Norms karya Habermas, untuk memperjelas penerapan Teori Tindakan Komunikatif pada dua hal yakni penerapan pada koordinasi sosial secara umum dan hukum modern.  

Kebutuhan untuk Hukum Positif

Untuk memahami hukum modern dalam kerangka kerja yang disediakan oleh Teori Tindakan Komunikatif Habermas, kita perlu mengenalkan beberapa komplikasi. Ilustrasi tentang kebijakan mengatasi banjir pada pembahasan sebelumnya tentang Struktur Komunikatif Koordinasi Sosial dan  Tindakan-Tutur Kegagalan Aplikasi SDGs Desa setidaknya merupakan ilustrasi yang pembaca refleksikan pada pembahasan kali ini.

William Rehg mengilustrasikan kategori-kategori dasar tentang tiga aspek modernitas yang diperlukan untuk mengikuti pemikiran Habermas tentang penerapan Teori Tindakan Komunikatif pada hukum positif.

Pertama, karena masyarakat modern itu pluralistis, resolusi konflik harus terjadi pada setiap sub-kelompok, masing-masing memiliki pemahaman-diri yang agak berbeda dan serangkaian asumsi latar belakang bersama.

Kedua, pluralisasi modern telah melahirkan proses yang disebut Max Weber sebagai "hilangnya pesona dunia" atau "kekecewaan dunia" (disenchantment of the world). Untuk tujuan kita dalam memahami pemikiran modern dari Habermas, ini mengacu pada hilangnya "kanopi suci" (sacred canopy), fakta bahwa pluralisasi telah meruntuhkan, atau setidaknya memecah-belah, otoritas agama dan pandangan dunia bersama.

Ketiga, masyarakat modern telah membangun diferensiasi kompleks bidang-bidang fungsional yang ditentukan oleh tugas-tugas khusus reproduksi sosial (ekonomi, sistem pendidikan, politik, dan sebagainya).

Pluralisasi dan kekecewaan dunia telah merusak cara-cara yang mana komunitas dapat menstabilkan diri mereka sendiri dari latar belakang dan otoritas bersama yang telah menghilangkan isu dan asumsi tertentu dari berbagai tantangan. Masyarakat modern menyaksikan semakin beragamnya kelompok dan subkultur, masing-masing memiliki tradisi, nilai, dan pandangan dunianya sendiri yang berbeda. Akibatnya, semakin banyak konflik harus diselesaikan dengan mencapai kesepakatan eksplisit tentang berbagai masalah yang dapat diperebutkan, di bawah kondisi dasar bersama untuk mencapai kesepakatan tersebut, semakin berkurang. Bidang kehidupan yang mana faktisitas dan validitas pernah menyatu berada di bawah pengawasan kritis yang semakin meningkat, faktisitas dan validitas semakin terpecah, karena hal itu menggerakkan proses rasionalisasi masyarakat. Artinya, anggota komunitas semakin dipaksa untuk memisahkan bidang validitas yang berbeda, misalnya, untuk membedakan pertanyaan ilmiah dari iman, keadilan dan moralitas dari penilaian estetika, dan sebagainya, suatu perkembangan yang coba ditangkap oleh Weber dengan konsepnya tentang diferensiasi "ruang-ruang nilai".

Penggunaan alasan komunikatif yang semakin terdiferensiasi di Dunia-Kehidupan dikaitkan dengan ketiga aspek modernitas di atas, diferensiasi fungsional subsistem semi-independen yang mana tindakan strategis memperoleh kepentingan yang lebih besar untuk koordinasi sosial. Ekonomi kapitalis mungkin merupakan contoh yang paling jelas dari hal ini. Pembeli dan penjual bertindak "strategis" daripada komunikatif, sejauh mereka membuat keputusan sesuai dengan kepentingan mereka sendiri dan kondisi pasar eksternal. Koordinasi sosial yang muncul atas dasar ini dicapai bukan dengan mencapai kesepakatan tentang klaim validitas tetapi "di belakang para aktor," melalui mekanisme pasar anonim yang diciptakan oleh keterkaitan konsekuensi tindakan yang sebagian besar tidak diinginkan. Dalam bahasa fungsionalis, ekonomi mewakili tingkat integrasi sosial yang terjadi melalui "media pengarah nonlinguistik" dari uang. Media ini membebaskan pelaku pasar dari kebutuhan untuk mencapai konsensus substantif, sehingga -secara teori, setidaknya- mereka dapat dengan mudah mengejar keuntungan dan kepercayaan pribadi mereka sendiri terhadap efek agregat keseluruhan pasar untuk mendistribusikan barang dan jasa secara merata dan efisien.

Selain uang dan reproduksi ekonomi yang dikendalikannya, "integrasi sistem" juga dilakukan melalui media kekuasaan dalam organisasi yang terstruktur secara formal. Dalam administrasi birokrasi, misalnya, kekuasaan atasan yang bertingkat secara hierarkis terhadap bawahan memengaruhi realisasi tujuan kolektif yang terkoordinasi. Kewenangan untuk mengeluarkan perintah yang mengikat berarti bahwa atasan tidak harus meyakinkan bawahan tentang kelayakan setiap tugas yang diberikan kepada mereka, sehingga mengurangi kebutuhan akan konsensus eksplisit. Meskipun ini sama sekali bukan keseluruhan cerita tentang bagaimana organisasi birokrasi sebenarnya berfungsi, ini menunjukkan bagaimana organisasi hierarkis setidaknya mengurangi beberapa beban yang terlibat dalam mencapai kesepakatan eksplisit.

Memecahkan Koordinasi Sosial

Hukum modern dimaksudkan untuk memecahkan masalah koordinasi sosial yang muncul di bawah kondisi di atas, yaitu, di satu sisi, pluralisasi masyarakat telah memecah identitas bersama dan mengikis sumber daya kehidupan substantif untuk konsensus dan, di sisi lain, tuntutan fungsional material reproduksi menuntut peningkatan jumlah area yang mana individu dibiarkan bebas untuk mengejar tujuan mereka sendiri sesuai dengan dikte rasionalitas tujuan. Solusinya adalah membatasi perlunya kesepakatan pada norma-norma umum yang membatasi dan mengatur bidang-bidang pilihan bebas. Oleh karena itu karakter ganda hukum: di satu sisi, hak-hak hukum dan Undang-undang harus menyediakan sesuatu seperti lingkungan sosial yang stabil yang mana orang dapat membentuk identitas mereka sendiri sebagai anggota dari tradisi yang berbeda dan secara strategis dapat mengejar kepentingan mereka sendiri sebagai individu; di sisi lain, Undang-undang ini harus keluar dari proses diskursif yang membuatnya dapat diterima secara rasional bagi orang-orang yang berorientasi pada pencapaian pemahaman atas dasar klaim validitas (kesahihan).

Elemen Dasar Konsep Hukum Modern

Kita sekarang memiliki elemen-elemen dasar dalam konsep hukum modern Habermas: (a) penjelasan tentang ciri-ciri tertentu dari masyarakat modern; (b) perbedaan antara tindakan komunikatif dan strategis; dan (c) penjelasan tindakan komunikatif dalam hal klaim validitas yang harus dibuktikan dalam diskursus dari jenis yang berbeda. William Rehg menegaskan, perhatikan ciri terakhir ini yang melampaui penjelasan Kant, yang pada akhirnya mensubordinasikan hukum ke moralitas. Sementara Kant mengambil validitas moral yang dapat diuniversalkan sebagai model hukum yang sahih, Habermas mengusulkan seperangkat diskursus yang lebih kompleks yang mendasari pembuatan hukum yang sahih. Padahal, pendekatan diskursus inilah yang menjadi kunci argumentasinya bahwa demokrasi dan supremasi hukum terhubung secara internal.

Namun, sebelum mengambil argumen ini di bagian selanjutnya, kita harus mencatat bahwa ada juga ketegangan eksternal antara faktisitas dan validitas, khususnya ketegangan antara klaim tatanan hukum konstitusional-demokratis dan cara-cara yang mana bentuk-bentuk kekuatan sosial benar-benar mengganggu, dan merusak kondisi untuk pembuatan Undang-undang yang absah. Bagi para teoretikus dengan kesadaran sosiologis Habermas, tidak ada konsep hukum modern yang masuk akal yang dapat mengabaikan ketegangan eksternal antara fakta dan norma ini, dan justru kegagalan untuk menghargai ketegangan inilah yang mengarah pada keberpihakan tertentu dalam banyak teori politik kontemporer. 

William Rehg menandaskan, buku Between Facts and Norms (sekitar pembahasan pada Bab 2 Sosiologi Hukum versus Filsafat Keadilan) memberi kita gambaran tentang arah Habermas, dengan memetakan timbunan-timbunan beberapa alternatif terkemuka yang sebelumnya telah kandas. Terhubung dengan pembahasan Bab 2 dalam Between Facts and Norms itu, maka pada pembahasan berikutnya, kita akan mengikuti uraian William Rehg yang secara singkat menunjukkan jalur Habermas di antara dua alternatif utama: teori keadilan John Rawls dan teori sistem Niklas Luhmann.*

NEXT


Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

Day 15 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 13 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 12 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 2 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 1 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (3): Memulihkan Sosiologi Hukum

Permendagri No. 114/2014 tentang Pembangunan Desa Tidak Berlaku, Lex Posterior Derogat Legi Priori

Proyek Perubahan Citra Diri Pendamping Desa oleh Ibe Karyanto (Adaptasi Pasca MoT-ToT)

Day 5 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)