Buku sosiologi hukum ini menyajikan visi ilmiah sosiologi hukum berdasarkan diskusi tentang pencapaian utama dari spesialisasi sosiologi hukum. Karya Mathieu Deflem ini mengungkapkan nilai-nilai studi sosiologi hukum dengan menyatukan tema-tema teoritis dan empiris.
This is a copy of an Indonesian translation of “Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition” (2008), Mathieu Deflem, University of South Carolina, Translated by Anom Surya Putra.
Source: Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition, by Mathieu Deflem (Cambridge University Press, 2008) https://deflem.blogspot.com/2008/01/socoflaw.html
Please cite as: Deflem, Mathieu. 2008. "Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (4): Sosiologi Hukum, Klasifikasi Awal." Blog Anom Surya Putra, Juli 2022.
-----------------
Pembaca yang budiman telah mengenal pengantar Sosiologi Hukum pada tulisan sebelumnya yakni "Isi Buku Sosiologi Hukum" dan "Pengantar Buku Sosiologi Hukum" yang ditulis oleh Mathieu Deflem. Bagian ini masih membahas pengantar Sosiologi Hukum namun dengan tema yang berbeda yakni Sosiologi, Masyarakat dan Hukum. Beberapa sub-pembahasan dipisahkan agar pembaca tidak terlalu tersita waktu untuk memahami tema Sosiologi, Masyarakat dan Hukum. Sub-pembahasan berturut-turut adalah "Memulihkan Sosiologi Hukum," "Sosiologi Hukum, Klasifikasi Awal", dan "Ikhtisar Tema dan Struktur" dan "Tujuan Penulisan Buku".
Pengantar:
Sosiologi, Masyarakat, Hukum
Sosiologi Hukum: Klasifikasi Awal
|
Mathieu Deflem |
Sebelum analisis mengenai pencapaian teoritis dan pencapaian substantif-utama dari sosiologi hukum dapat tersusun, maka kekhususan sosiologis dari sosiologi hukum perlu dibingkai dalam konteks intelektual dan kelembagaan. Kekhususan awal yang berguna untuk membahas hal ini dapat diberikan berdasar karya Max Weber, yang, dalam tradisi terbaik pemikiran sosiologis Jerman, Weber telah menjelaskan peran sosiologi diantara disiplin ilmu lain dan dengan demikian menentukan tempat sosiologi hukum secara relatif terhadap sistem pengetahuan lain tentang hukum. Secara khusus, mengikuti tipologi berdasarkan karya Weber (1907) seperti yang dijelaskan oleh Anthony Kronman (1983: 8-14), tiga pendekatan studi hukum dapat dibedakan. Pertama, perspektif internal hukum mempelajari hukum dalam istilahnya sendiri, sebagai bagian dari cara kerja hukum itu sendiri, untuk berkontribusi pada konsistensi internal hukum dengan menawarkan landasan intelektual dan pelatihan praktis dalam hukum. Perkembangan keilmuan hukum atau ilmu hukum (jurisprudence) berkesesuaian dengan pengetahuan yang berorientasi pada efisiensi tersebut.[3] Kedua, melampaui perspektif aturan tentang hukum (the legal perspective of law), perspektif moral atau filsafat tentang hukum terlibat dalam pencarian berorientasi normatif untuk mencari pembenaran akhir hukum berdasar prinsip moral dan mengkritik kondisi hukum yang ada agar memenuhi standar normatif. Filsafat hukum memberikan model-model yang berorientasi-evaluasi pemikiran hukum. Ketiga, perspektif eksternal tentang hukum terlibat dalam studi hukum empiris yang didorong secara teoritis untuk memeriksa karakteristik sistem hukum yang ada, termasuk negara dan pembangunan, sebab dan akibat, serta fungsi dan tujuan institusi dan praktik hukum. Dalam ambisi untuk mengkaji karakteristik hukum, perspektif eksternal berbagi orientasi pada analisis. Analisis semacam itu perlu dibingkai dalam kontur kegiatan disiplin sosiologi untuk menentukan jenis pertanyaan yang dapat diajukan. Dengan demikian orang dapat membedakan berbagai ilmu sosial yang mempelajari hukum dalam salah satu dimensi yang relevan, baik itu sejarah, budaya, politik, ekonomi, atau sosial.
Distingsi tipe-ideal antara perspektif internal (berorientasi efisiensi), moral (berorientasi evaluasi), dan eksternal (berorientasi analisis) dalam studi hukum tidak berarti tidak ada hubungan di antara satu sama lain. Perspektif eksternal yang berorientasi-analisis tentang hukum, misalnya, memberikan informasi bahwa perspektif moral dapat dan digunakan untuk mengembangkan refleksi tentang hukum, meskipun mungkin tidak sesering yang diharapkan oleh para ilmuwan sosial. Perspektif internal hukum juga dapat berguna untuk memberikan informasi yang dapat menjadi subjek untuk dianalisis pada perspektif eksternal, meskipun ada kasus bahwa pengetahuan teknis hukum tidak dapat menjadi pengganti analisis. Di antara berbagai disiplin ilmu yang menyelesaikan hukum secara eksternal, hubungan semacam itu dapat dan telah dikembangkan untuk saling memperkaya berbagai perspektif dari ilmu-ilmu sosial dan perilaku serta ilmu-ilmu humaniora. Terletak di dalam dimensi eksternal, pendekatan sosiologis selanjutnya harus diperjelas mengingat sifat pluralis dari teorisasi sosiologis.
Beralih ke pokok bahasan sosiologi hukum, apakah yang akan kita bicarakan ketika kita berbicara tentang hukum? Meskipun definisi hukum memberikan landasan perdebatan di antara berbagai tradisi teoretis dalam sosiologi, strategi minimalis dapat diikuti untuk memahami hukum secara sosiologis yakni hukum sebagai kategori aturan tertentu dan praktik sosial yang terkait dengannya. Definisi hukum dalam komunitas sosiologis selanjutnya akan bervariasi dan menyusut atau meluas karena hukum dipahami lebih tepat dalam kontur perspektif teoretis tertentu, tetapi suatu fokus pada aturan dan praktik akan selalu ada atau setidaknya tersirat. Konsepsi ganda hukum ini menggabungkan perspektif Emile Durkheim (1895) tentang fakta sosial yang melibatkan kondisi dan keadaan material dan non-material (ideal atau budaya), suatu distingsi analitis yang membuka daripada membatasi analisis dan memungkinkan proposisi yang lebih tepat tentang cara komponen variabel berhubungan. Karya Durkheim juga mengarah pada penentuan status aturan dan praktik-praktik hukum berdasarkan teorinya tentang integrasi normatif (Durkheim 1893a, 1893b). Sebagai aturan, hukum mengacu pada kompleks terlembagakannya norma-norma, yang dimaksudkan untuk mengatur interaksi sosial dan mengintegrasikan masyarakat. Praktik hukum mengacu pada keseluruhan peran, posisi, interaksi, dan organisasi yang terlibat dengan norma-norma itu dengan cara yang bervariasi.
Dimensi normatif yang inheren dari hukum tidak boleh dikacaukan dengan evaluasi moralnya. Norma adalah resep tentang cara interaksi sosial harus diatur atau cara masyarakat harus diatur, sehingga norma selalu mengacu pada pernyataan ideal. Tetapi sebagai norma yang dilembagakan, aturan hukum memiliki keberadaan faktual yang melampaui cita-cita apapun. Norma hukum ada dalam latar-keadaan (setting) konkret masyarakat sosio-historis dan tidak pernah hanya abstraksi. Demikian pula, praktik hukum juga akan mengandung elemen-elemen normatif, misalnya dengan mendefinisikan legitimasi hukum melalui perilaku pelanggaran-aturan atau dengan membenarkan hukum melalui penegakan aturan/ketentuannya. Dari sudut pandang analitis, studi hukum sebagai aturan (cita-cita atau budaya) dan praktik (materi) selalu berorientasi pada penyelidikan dimensi faktual hukum. Dualitas hukum ini menyiratkan bahwa hukum, seperti aspek masyarakat lainnya, merupakan masalah normatif dengan dimensi faktual. Karena dualitas hukum inilah organisasi dan fungsi hukum dapat dipelajari dari berbagai perspektif sebagaimana telah ditentukan oleh Weber. Bagi Durkheim, kemampuan untuk mendekati hukum sebagai elemen masyarakat yang ada secara faktual (hukum sebagai fakta sosial), terlepas dari tujuan normatif hukum dan pemahamannya sendiri secara moral, identik dengan sosiologi hukum.
Fokus sosiologis pada norma membutuhkan klarifikasi tambahan untuk mencegah kesalahpahaman. Ilmuwan hukum kritis Richard Abel (1995: 1) pernah menyindir bahwa karyanya (sosio-legal) tentang hukum berurusan dengan "segala sesuatu tentang hukum kecuali aturan." Komentar Abel mungkin provokatif terhadap pemahaman internal hukum, tetapi tidak membantu dalam mengartikulasikan konsep hukum yang berguna untuk analisis sosiologis, karena hukum juga melibatkan aturan selain praktik. Namun, status aturan atau norma hukum tidak dapat dianggap habis sepenuhnya dengan mengacu pada aspirasi internalnya. Norma hukum dirumuskan secara eksplisit untuk mengatur perilaku dan mengintegrasikan masyarakat, tetapi fungsi utama hukum ini tidak serta merta sejalan dengan konsekuensi hukum yang sebenarnya. Keseluruhan norma hukum, sebagaimana norma pada umumnya, tidak dapat didefinisikan dalam kapasitas aktualnya untuk mengatur tindakan dan mengintegrasikan masyarakat, tetapi hanya dalam hal fungsi regulasi atau integrasinya yang eksplisit. Dengan demikian, konsep sosiologi hukum tidak menghilangkan studi tentang aturan, melainkan membedakan antara tujuan norma hukum yang diproklamirkan, di satu sisi, dan cara kerja dan konsekuensi hukum yang sebenarnya, di sisi lain. Orientasi sosiologis ini berhenti baik dengan pemahaman moral meaupun pemahaman internal hukum untuk memungkinkan analisis sosiologis tentang hukum dalam berbagai dimensi yang relevan.
Lalu, apa pokok bahasan formal sosiologi? Terlepas dari bidang spesialisasi sosiologi, sosiolog selalu terlibat dalam studi masyarakat. Hanya disiplin sosiologi yang mempertahankan fokus pada masyarakat secara keseluruhan tanpa membatasi pengetahuannya pada suatu dimensi institusional masyarakat (Habermas 1981a, 1981b). Dengan demikian, sosiolog hukum akan selalu menempatkan hukum dalam konteks masyarakat. Dalam hal ini, ungkapan “hukum dan masyarakat” secara sosiologis membingungkan karena menganggap bahwa hukum bukan bagian dari masyarakat. Oleh karena itu, sosiolog hukum berpihak pada ahli teori hukum Lon Fuller (1968) bahwa akan lebih tepat untuk berbicara tentang hukum dalam masyarakat dan mendekati hukum sebagai masalah sosial yang memerlukan penjelasan sosiologis, sama seperti halnya institusi-institusi sosial dan praktik sosial lainnya.
Berangkat dari konsepsi fungsi utama hukum (integrasi sosial), hukum dapat ditempatkan secara relatif terhadap institusi sosial lainnya seperti ekonomi, politik, dan budaya. Untuk memberikan klarifikasi awal sosiologi hukum, tidaklah relevan mengutamakan institusi-institusi sosial mana yang dapat dibedakan secara sosiologis atas dasar prinsip pembedaan tertentu.
Diferensiasi hukum sebagai institusi integrasi di samping ekonomi, politik, dan budaya terbukti berhutang budi pada teori sistem empat-fungsi dari Talcott Parsons (lihat Bab 5). Namun, model di sini digunakan, bukan dalam arti fungsionalis tertentu, tetapi sebagai orientasi pemandu yang dapat menempatkan hukum di dalam masyarakat dan menentukan hubungan hukum dengan institusi-institusi sosial lainnya. Hanya untuk tujuan analitis inilah, yang memungkinkan pembahasan berbagai perspektif teoretis, model ini memengaruhi pembagian bagian pembahasan (chapters) dalam diskusi tema-tema substantif tentang hukum di Bagian III buku ini. Terkait dengan itu, buku ini juga bertumpu pada konsep sistem hukum (dan masyarakat) untuk tujuan analisis yang secara ketat membedakan hukum dari institusi sosial lain dan fungsi-fungsi masyarakat, dan, selain itu untuk membedakan komponen hukum yang bervariasi. Dari sudut pandang ini, hukum dengan demikian dapat dianalisis dari sudut pandang bagian-bagian pembentuknya dan hubungan antar bagian-bagian tersebut. Sebagai tambahan, perspektif ini mencakup komponen statis dan dinamis untuk membedakan antara struktur dan proses hukum dan institusi sosial lainnya. Sebagai struktur, hukum dapat dianalisa dari segi komposisi bagian-bagian pembentuknya dan keterhubungannya satu sama lain. Sebagai proses, hukum dapat dianalisa sudut pandang proses-proses perubahan dan kesinambungan yang memengaruhi hukum baik secara internal, antar bagian-bagian pembentuknya, maupun secara eksternal, antara hukum dan institusi-institusi lainnya.*
Video Pembahasan
CATATAN KAKI:
[3] Istilah Ilmu Hukum (jurisprudence) mengacu pada studi internal hukum (atau keilmuan hukum; legal scholarship) serta aktivitas pengambilan-keputusan hukum di pengadilan dan badan hukum yang didirikan berdasarkan keputusan seperti itu. Kecuali ditentukan lain, istilah dalam buku ini digunakan dalam arti keilmuan hukum internal (in the meaning of legal or law-internal scholarship).
Komentar