Opini Terbaru
Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (6): Struktur Komunikatif Koordinasi Sosial
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Please cite as: Putra, Anom Surya. “Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (6): Struktur Komunikatif Koordinasi Sosial.” Blog Anom Surya Putra, Juli 2022.
------------------------------------
Struktur Komunikatif Koordinasi Sosial
Salam Restorasi.
Pembaca yang budiman kita akan melanjutkan pembahasan pemikiran hukum Jürgen Habermas dengan tema Struktur Komunikatif Koordinasi Sosial. Tema ini kelanjutan dari pembahasan "Teori Pasca-Metafisis Nalar." Setelah memahami pasca-metafisis nalar, pembahasan kali akan bergeser ke salah satu penerapan Teori Tindakan Komunikatif yakni penerapan Teori Tindakan Komunikatif pada koordinasi sosial secara umum, sedangkan penerapan Teori Tindakan Komunikatif Habermas pada hukum modern akan dibahas pada serial selanjutnya.
Kita mulai pembahasan penerapan Teori Tindakan Komunikatif pada koordinasi sosial secara umum, bertajuk struktur komunikatif koordinasi sosial, dengan mengikuti uraian William Rehg dalam pengantar buku Between Facts and Norms karya Habermas.
Rekonstruksi Teoritis
Bab pertama Between Facts and Norms dapat dibaca sebagai rekonstruksi teoretis Habermas yang membahas karakter paradoksal hukum dan peran khusus hukum dalam masyarakat modern. William Rehg menyatakan, rekonstruksi teoritis ini memiliki sejumlah jalinan erat: bukan hanya suatu teori abstrak tentang validitas/kesahihan, tetapi juga teori ambisius tentang modernitas. Habermas mencoba merekonstruksi kebangkitan hukum modern dengan struktur gandanya.
William Rehg mengilustrasikan kategori-kategori dasar yang dibutuhkan untuk mengikuti pemikiran Habermas, daripada menelusuri seluk beluk pemikiran Habermas selangkah demi selangkah.
Koordinasi Sosial Dipengaruhi Bahasa
Pertama-tama harus disadari, Teori Tindakan Komunikatif melibatkan pandangan khusus tentang koordinasi sosial yang dipengaruhi melalui bahasa. Dengan menimbang teori pragmatisme Amerika dan Teori Tindakan Tutur (speech-act) J.L. Austin dan John Searle, Habermas mempertimbangkan bahwa pendekatan bahasa "formal-pragmatis" merupakan pendekatan yang paling memadai untuk teori sosial. Pendekatan ini melampaui analisis semantik dan sintaksis makna, dan tata bahasa, untuk menguji struktur-struktur umum yang memungkinkan pembicara yang kompeten benar-benar terlibat dalam interaksi yang sukses, sekaligus melibatkan lebih dari sekadar mengetahui cara membentuk kalimat-kalimat gramatikal.
Secara khusus, pembicara yang kompeten tahu cara mendasarkan interaksi mereka pada klaim-klaim validitas yang akan diterima oleh pendengar mereka atau yang dapat, bila perlu, ditebus dengan alasan-alasan yang baik. Seperti telah diuraikan sebelumnya, hal ini melibatkan ketegangan antara faktisitas dan validitas sejauh klaim pada validitas yang diangkat di sini dan saat ini (here and now), dan mungkin dibenarkan menurut standar-standar lokal, pada akhirnya hampir melampaui komunitas tertentu.
Setidaknya demikian halnya dengan klaim-klaim kebenaran dan klaim-klaim moral. Sebagaimana dipahami oleh para partisipan yang terlibat dalam interaksi dan diskursus, klaim-klaim kebenaran adalah klaim-klaim tentang dunia objektif yang dimiliki semua manusia, dan klaim-klaim moral berkaitan dengan norma-norma untuk hubungan antarpribadi yang harus diterima secara rasional oleh orang dewasa yang otonom dari perspektif keadilan dan rasa hormat terhadap orang.
Jika klaim tersebut sahih, maka setiap pembicara yang kompeten harus, dalam kondisi yang sesuai, dapat menerima klaim tersebut berdasarkan alasan-alasan yang baik. Ketika suatu klaim ditentang, sebenarnya membawa penerimaan rasional seperti itu membutuhkan aktor untuk beralih ke diskursus yang mana, tekanan-tekanan tindakan telah sedikit banyak dinetralisir, para aktor dapat mengisolasi dan menguji klaim-klaim yang disengketakan hanya berdasarkan argumen.
Yang pasti, tidak semua jenis klaim-klaim mengantisipasi persetujuan audiens universal. Perbedaan antara jenis-jenis diskursus bisa sangat penting dalam hal ini. Misalnya, klaim-klaim tentang apa yang baik untuk kelompok (atau orang) tertentu, atau tentang pemahaman-diri otentik kelompok tertentu, mungkin hanya ditujukan kepada individu yang bersangkutan dan mereka yang mengenalnya dengan baik. Diskursus semacam itu, yang disebut Habermas sebagai "etis," berbeda baik dalam tema maupun ruang lingkup audiens dari diskursus "moral" yang berkaitan dengan norma-norma keadilan universal. Tetapi bahkan klaim-klaim etis yang lebih terbatas ini mengandaikan orientasi pada saling pengertian, yang bagi Habermas adalah konstitutif dari tindakan komunikatif. Orientasi untuk mencapai pemahaman tentang klaim-klaim validitas berfungsi sebagai mekanisme integrasi sosial karena didasarkan pada harapan bersama, cara menafsirkan situasi, dan sebagainya.
Ilustrasi Perselisihan dan Konsensus
Untuk mengilustrasikan pendekatan Habermas lebih lanjut, bayangkan bahwa suatu perselisihan muncul dalam suatu kelompok dan para anggotanya ingin menyelesaikannya secara konsensus berdasarkan klaim-klaim validitas. Menurut Habermas, penyelesaian konflik atas dasar kesepakatan yang beralasan melibatkan setidaknya 3 (tiga) asumsi idealisasi:
- para anggota harus berasumsi bahwa mereka memiliki arti yang sama dengan kata-kata dan ekspresi yang sama;
- mereka harus menganggap diri mereka bertanggung jawab secara rasional; dan
- mereka harus menganggap bahwa ketika mereka mencapai resolusi yang dapat diterima bersama, argumen pendukung cukup membenarkan keyakinan (yang dapat dilanggar) bahwa setiap klaim-klaim atas kebenaran, keadilan, dan sebagainya yang mendasari konsensus mereka selanjutnya tidak akan terbukti salah atau keliru.
Tidak ada konsensus lokal yang terbatas secara spatio-temporal yang dapat sepenuhnya mewujudkan idealisasi ini; namun jika mereka kemudian terbukti salah ---bila anggota menemukan bahwa suatu istilah penting dipahami dalam dua cara yang berbeda, atau mereka benar-benar menipu diri sendiri, atau mereka keliru tentang fakta atau norma tertentu--- maka ada alasan untuk mempertanyakan kesepakatan otentik dan membuka kembali diskusi. Artinya, idealisasi ini menyiratkan ketegangan antara penerimaan sosial de facto (soziale Geltung) dari konsensus kelompok dan validitas yang diidealkan (Gültigkeit) yang harus diklaim oleh konsensus semacam itu untuk dirinya sendiri bila anggota ingin menerimanya sebagai hal yang wajar.
Kesepakatan yang dicapai secara komunikatif pada prinsipnya selalu terbuka untuk ditentang, dan dengan demikian alih-alih merupakan sumber integrasi sosial yang genting. Jika sebuah komunitas ingin menjadi komunitas yang stabil, maka dibutuhkan lebih dari sekedar kesepakatan eksplisit sebagai dasar kerjasama sosial.
Kesepakatan implisit yang diwakili oleh latar belakang Dunia-Kehidupan (lifeworld) seperti itu menstabilkan kelompok yang terintegrasi secara komunikatif sejauh kelompok menghilangkan sejumlah besar asumsi dari tantangan ---seolah-olah, menggabungkan validitas dengan fakta dari latar belakang budaya tertentu. Ini karena latar belakang tidak hanya menyediakan sumber daya bersama bagi para anggotanya untuk mengelola konflik; sebagai sumber identitas bersama, latar belakang itu juga mengurangi jumlah masalah yang mungkin diperebutkan pada waktu tertentu, sehingga area interaksi sosial yang luas bertumpu pada dasar konsensus yang tidak diragukan lagi.
Jika anggota tidak dapat menyepakati cara menyelesaikan konflik tertentu, semisal pada pertanyaan sebelumnya tentang bagaimana menangani banjir yang akan datang, para anggota dapat mencoba untuk tawar-menawar. Seperti yang dipahami Habermas, cara penyelesaian konflik ini melibatkan pergeseran tertentu dalam perspektif pihak-pihak yang berkonflik dari tindakan komunikatif ke tindakan strategis. Alih-alih mencoba meyakinkan satu sama lain tentang klaim validitas mengenai strategi intrinsik yang lebih baik, masing-masing pihak mulai menawar dengan ancaman dan janji-janji dengan harapan mendorong pihak lain untuk bekerjasama dengannya dalam mengejar kebijakan mengatasi banjir yang diberikan.
Dalam istilah yang lebih umum, seorang aktor yang mengadopsi sikap strategis terutama berkaitan dengan mendapatkan jalannya dalam lingkungan sosial yang melibatkan aktor-aktor lain. Dalam banyak konteks ini dipahami oleh mereka yang terlibat bahwa sikap seperti itu sudah tepat.
Faktanya, kebutuhan akan hukum modern sebagian muncul karena, dengan pertumbuhan ekonomi pasar kapitalis, konteks yang didominasi oleh tindakan strategis menjadi semakin penting untuk koordinasi sosial.
Sebelum membahas kebutuhan akan hukum modern, untuk menajamkan ulasan kali ini, kita merefleksikan Tindakan-Tutur (speech-act) pada perbincangan populer tentang kegagalan aplikasi SDGs Desa dan setelah itu berlanjut ke penerapan Teori Tindakan Komunikatif pada hukum modern.*
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar