Buku sosiologi hukum ini menyajikan visi ilmiah sosiologi hukum berdasarkan diskusi tentang pencapaian utama dari spesialisasi sosiologi hukum. Karya Mathieu Deflem ini mengungkapkan nilai-nilai studi sosiologi hukum dengan menyatukan tema-tema teoritis dan empiris.
This is a copy of an Indonesian translation of “Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition” (2008), Mathieu Deflem, University of South Carolina, Translated by Anom Surya Putra.
Source: Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition, by Mathieu Deflem (Cambridge University Press, 2008) https://deflem.blogspot.com/2008/01/socoflaw.html
Please cite as: Deflem, Mathieu. 2008. "Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (7): Fajar Ilmu-ilmu Sosial." Blog Anom Surya Putra, Juli 2022.
-----------------
Bagian I Fundasi Teoritis Sosiologi Hukum
1. Hukum dan Kemunculan Ilmu-ilmu Sosial
Fajar Ilmu-ilmu sosial
|
Mathieu Deflem |
Terlalu banyak para ilmuwan di luar kontur keilmuan dan pendidikan hukum yang telah membahas peran hukum dalam masyarakat. Meskipun dibatasi pada para pendahulu asal-usul sosiologi abad ke-19, ikhtisar ini hanya dapat membuat sketsa beberapa episode dalam masa pemikiran sosial pra-sosiologi tentang hukum. Titik masuk yang sangat berguna ke dalam asal-usul pemikiran sosial awal tentang hukum memancar dari kritik mengenai konsepsi hukum alam, kebalikan paling ekstrim dari bentuk pemikiran sosial dan sosiologis yang paling dasar sekalipun. Hukum alam merupakan gagasan bahwa hukum tidak ada hubungannya dengan cara kerja aktual tentang masyarakat, tetapi sebaliknya merupakan refleksi konsep-konsep universal tentang kebenaran dan keadilan yang begitu mendalam dan mendasar bagi eksistensi hukum yang memancar dari alam itu sendiri. Dengan demikian, teori-teori hukum alam menghalangi esensi pemikiran sosial tentang asal-usul, kondisi, dan efek hukum sebagai realitas sosial. Kembali pada konsepsi hukum Aristoteles dalam Yunani kuno dan dibawa ke masyarakat Barat melalui pemikiran abad pertengahan, seperti filsafat St. Thomas Aquinas, teori hukum alam mendominasi pemikiran hukum di Eropa dalam jangka waktu lama. Hanya berdasarkan analisis dan kritik terhadap prinsip-prinsip keadilan dan ketertiban yang konon terkandung dalam hukum alam, pemikiran sosial tentang hukum dapat berkembang.
Terobosan Pencerahan sejak abad ke-18 dan seterusnya akan membuka dunia hukum pada refleksi pemikiran kritis-analitis. Pencerahan mengacu pada periode dan gerakan dalam filsafat (Eropa), termasuk tapi tidak terbatas pada etika tetapi juga seni dan pengetahuan, yang menempatkan kemampuan manusia pada pemikiran dan kritik pada pusat kehidupan intelektual. Ringkasan terbaik dalam kata-kata filsuf Jerman abad ke-18 Immanuel Kant, Pencerahan didefinisikan sebagai penggunaan rasionalitas secara publik berbasis kemampuan pemikiran (Kant 1784). Pemikiran Pencerahan sangat penting berpotensi mengungkap kondisi sosial dan historis yang bergantung pada institusi sosial yang ada seperti politik dan hukum. Daripada hanya berasumsi bahwa hukum merefleksikan kondisi alam yang tidak dapat diubah, hukum dapat menjadi objek untuk dipelajari dalam hal pembentukan masyarakatnya dalam periode dan masyarakat tertentu. Dengan demikian, pemikiran Pencerahan tidak hanya menghilangkan asumsi stabilitas hukum, tetapi juga dapat mengarah pada suatu saran bahwa hukum dapat diorganisir untuk melayani tujuannya secara lebih baik dengan mengingat keadaan sosial yang berkaitan dengannya.
Terobosan penting pertama dengan pembahasan hukum alam disajikan dalam tulisan-tulisan filsuf politik Prancis Baron de Montesquieu (1689–1755).[1] De Montesquieu berpendapat bahwa hukum terkait dengan budaya masyarakat dan ditentukan oleh berbagai keadaan eksternal, termasuk kondisi sosial dan alam serta anteseden sejarah. Aturan hukum (laws) bukanlah baik atau buruk dalam arti absolut, tetapi dapat dievaluasi dari segi tingkat relatif keadilan dan moralitasnya. Dari konsepsi ini, de Montesquieu melangkah lebih jauh, dan sebagai seorang kritikus monarki absolut Prancis, de Montesqiueu merupakan salah satu filsuf pertama yang memperdebatkan konstitusi hukum yang demokratis. Untuk memastikan bahwa hukum akan mencerminkan kehendak rakyat, de Montesquieu secara khusus berpendapat bahwa dua prinsip penting perlu dijamin. Pertama, atas dasar prinsip pembagian kekuasaan, lokasi kekuasaan tidak boleh terlalu terpusat, tetapi harus tersebar di seluruh pusat kekuasaan (raja) dan badan-badan perwakilan perantara, seperti parlemen, kelompok-kelompok relawan, kelompok, dan gereja. Kedua, atas dasar prinsip pemisahan kekuasaan, pelaksanaan kekuasaan harus dikhususkan secara fungsional ke dalam tiga cabang pemerintahan: (1) cabang kekuasaan legislatif untuk mengesahkan undang-undang; (2) cabang kekuasaan eksekutif untuk menegakkan dan menjalankan hukum; dan (3) cabang kekuasaan yudisial untuk menafsirkan dan menerapkan hukum. Filsafat de Montesquieu secara historis berpengaruh bagi banyak bentuk pemerintahan demokratis, dan juga menjadi dasar prinsip otonomi hukum yang memandu banyak cara kerja hukum dan status profesi hukum (lihat Bab 9). Namun, dalam konteks ikhtisar sejarah ini, lebih penting untuk menekankan dalam pemikiran de Montesquieu bahwa hal itu membuka kemungkinan pemikiran yang tidak terkekang pada dimensi sosial hukum dan pada akhirnya akan membuka jalan bagi analisis nyata, dengan sarana ilmiah, hukum sebagai institusi sosial.
Sama halnya berdebat melawan ekses yang dibawa oleh pemerintahan absolut, Mazhab Hukum Klasik dan, khususnya, hukum pidana penting dibahas dalam konteks ini karena ide-idenya menunjukkan pembenaran atas hak dan hukum bergeser dari kekuasaan utama monarki dan aristokrasi ke pertumbuhan klas borjuasi yang semakin meningkat.[2] Dengan menunjukkan perkembangan pemikiran sosial itu sendiri yang telah dipengaruhi oleh kondisi-kondisi masyarakat yang menjadi keprihatinannya, Mazhab Klasik muncul bersamaan dengan kebangkitan kapitalisme.
Pengaruh kapitalisme paling baik diamati dalam gagasan fundamental Mazhab Klasik bahwa perilaku manusia dipandu oleh prinsip rasionalitas ekonomi yang dipahami sebagai hasil pertimbangan biaya dan manfaat alternatif-alternatif tindakan. Menyertai konsepsi ini adalah gagasan bahwa orang itu bebas dan karena itu harus bertanggung jawab atas tindakan mereka. Di bawah kondisi tersebut, hukum seharusnya menekankan persyaratan proses yang wajar untuk menetapkan kesalahan atau tidak, dengan campur tangan pemerintah yang minim dan fungsi pencegahan utama yang ditetapkan terhadap hukuman.
Di antara pendukung utama Mazhab Klasik adalah Cesare Beccaria dan Jeremy Bentham. Meskipun saat ini sebagian besar dikenal di kalangan ilmuwan kriminologi tentang teori kejahatan dan peradilan pidananya, kedua pemikir mengembangkan teori hukum yang lebih komprehensif yang merupakan bagian dari kemajuan menuju pengembangan ilmu sosial hukum yang otentik. Filsuf politik Italia Cesare Beccaria (1738-1794) terkenal karena tulisannya (pamflet) tahun 1764, Dei Delitti e delle Pene, yang mengutuk hukuman mati.[3] Alasan di balik argumen ini adalah pendapat Beccaria bahwa hukuman mati tidak memiliki efek jera terhadap pelanggar lain, baik secara potensial maupun aktual, karena bukan beratnya hukuman tetapi kepastian hukuman yang menentukan efek jeranya.
Usulan reformasi hukum lain yang disarankan oleh Beccaria mengisyaratkan sistem yang lebih manusiawi ––seperti proporsionalitas hukuman relatif terhadap kejahatan yang dilakukan dan sifat publik dari proses hukum–– juga diilhami, bukan oleh cita-cita humanistik apa pun, tetapi oleh orientasi utilitarian yang merenungkan sifat perilaku manusia yang pada dasarnya berakar pada pengejaran kepentingan pribadi. Oleh karena itu, untuk menghindari kondisi kekerasan habis-habisan, warga negara terlibat dalam hubungan kontrak timbal-balik yang mana warga negara setuju untuk melepaskan sebagian dari kebebasannya untuk menjamin hidup berdampingan secara damai. Dipengaruhi oleh gagasan tatanan sosial sebagai kontrak, Beccaria dengan demikian membela gagasan bahwa fungsi utama negara adalah menegakkan hukum yang membatasi pengejaran kepentingan pribadi tanpa batas. Agar undang-undang berlaku efektif, undang-undang tersebut perlu dipublikasikan sehingga diketahui secara luas dan melibatkan bentuk hukuman yang cepat dan khusus yang meningkatkan biaya secara relatif terkait dengan pelanggaran hukum yang dianggap sebagai pelanggaran ketentuan kontrak sosial.
Menawarkan formulasi kerangka utilitarian yang lebih sistematis, filsuf Inggris Jeremy Bentham (1748-1832) mengembangkan filsafat politik dan hukum berdasarkan prinsip rasionalitas ekonomi bahwa perilaku manusia dipandu oleh pencarian kesenangan dan penghindaran rasa sakit.[4] Bentham awalnya dilatih sebagai advokat dan diterima di kantor hukum (bar), tetapi ia menjadi kritikus terkemuka sistem hukum Inggris yang eksis pada waktu itu dan berusaha untuk mereformasi hukum berdasarkan filsafat utilitariannya. Dalam karyanya, Bentham menerapkan filsafat utilitariannya terhadap hukum untuk menyatakan bahwa sistem hukum harus didasarkan pada prinsip untuk memberikan kebahagiaan sebesar mungkin kepada sebanyak mungkin orang. Melengkapi teori perilaku manusia yang dipandu oleh perhitungan hedonis untuk memaksimalkan utilitas perspektif individual, maka berdasarkan perhitungan sosial, teori masyarakat memaksimalkan utilitas dari sudut pandang agregat. Untuk memastikan masyarakat yang egaliter, Bentham berpendapat, hukum harus diterapkan secara adil dan setara untuk semua orang, persyaratan proses hukum harus dipatuhi sebelum seseorang dapat dinyatakan bersalah atau tidak bersalah, dan bukti harus diselidiki. Selain itu, diskresi yudisial harus diminimalkan dengan membatasi kekuasaan hakim hanya pada penentuan seseorang yang bersalah dan tidak bersalah, sedangkan hukuman harus didasarkan pada perhitungan tentang kesenangan, rasa sakit, dan keadaan yang meringankan terkait dengan pelanggaran hukum dan hukumannya. Dalam kepeduliannya terhadap efek hukum, peran hukum yang benar-benar dimainkan dan dapat dimainkan dalam masyarakat, dan fungsi hukum sebagai aspek kebijakan dan instrumen rekayasa sosial, karya Bentham mengkhianati suatu perubahan menuju ilmu sosial hukum, atau disebut Bentham (1792), “hukum sebagaimana adanya”.
Kritik yang memuncak terhadap sistem politik absolutis Eropa akan terus diungkapkan oleh para filsuf dan pemikir sepanjang abad ke-19. Dalam mayoritas kasus, karya-karya mereka ditandai dengan orientasi normatif yang berbeda, namun juga mengandung arah yang lebih empiris dan teoretis. Dengan demikian, karya-karya ini membuka jalan bagi pengembangan filsafat politik dan penerapannya terhadap pengembangan sistem pemerintahan modern, di satu sisi, serta elaborasi ilmu-ilmu sosial, di sisi lain. Karya Alexis de Tocqueville dan Henry Maine penting untuk dibahas dalam konteks ini karena memberikan jembatan penting antara pemikiran klasik dan modern dan juga memberikan perhatian eksplisit pada peran hukum.
Sejarawan politik Prancis Alexis de Tocqueville (1805–1859) pernah menjadi mahasiswa hukum dan bekerja sebagai hakim pengganti sebelum ia menjadi wakil terpilih dan sempat menjabat sebagai menteri luar negeri Prancis.[5] Pada tahun 1831, ia mengunjungi Amerika Serikat atas nama pemerintah Prancis untuk mempelajari sistem penjara Amerika Serikat. Dari buku catatan yang disimpan de Tocqueville selama 9 (sembilan) bulan perjalanannya, dia menulis karyanya yang sekarang terkenal, Dcmocracy in America (Tocqueville 1835/1840). Kekaguman de Tocqueville terhadap demokrasi berakar pada gagasan bahwa hanya demokrasi yang dapat memberikan keseimbangan antara kebebasan dan kesetaraan, suatu gagasan yang mirip dengan prinsip kontrak sosial. Beberapa perhatian khusus diberikan oleh de Tocqueville pada peran hukum dan, khususnya, tempat hakim dalam sistem demokrasi Amerika Serikat. Ketika meneliti otoritas yudisial di Amerika Serikat, de Tocqueville secara khusus mencatat kekuatan hakim untuk menolak menerapkan undang-undang yang mereka anggap inkonstitusional. Dengan demikian, hakim memiliki kekuatan politik dalam memengaruhi implikasi efektif proses legislasi. Hal ini dipastikan melalui partisipasi dalam (sistem yang relatif terbatas) proses pemilihan dan sistem juri, serta beberapa tingkat partisipasi rakyat dalam sistem legislatif dan yudisial. De Tocqueville secara khusus memuji kualitas sistem juri untuk mewujudkan pendidikan hukum dan menciptakan rasa tanggung jawab kewargaan (civil) dalam memberikan kontribusi kepada masyarakat dan pemerintahnya.
Karya De Tocqueville tentang sistem demokrasi Amerika Serikat terutama dimaksudkan untuk merumuskan pedoman normatif menuju reformasi rezim politik Prancis. Namun, karena orientasi komparatifnya, ia juga memberikan dasar penting bagi studi hukum di masyarakat. Dalam konteks orientasi komparatif, karya Henry Maine (1822-1888)[6] lebih menonjol memberikan manfaat ilmiah terhadap studi hukum dari sudut pandang sejarah komparatif. Maine awalnya terlatih sebagai advokat, praktik hukum profesional, dan mengajar tentang sistem hukum Inggris. Atas dasar kuliahnya, ia menulis Ancient Law (1861) yang menelusuri hubungan antara ilmu hukum (jurisprudence) Romawi dan sistem hukum Inggris. Terhadap studi sejarah ini Maine menambahkan wawasan komparatif penting, didukung dengan pengalaman tinggal beberapa tahun di India, yang akan memungkinkan Maine untuk akhirnya mengajar ilmu hukum (jurisprudence) sejarah dan komparatif di Universitas Oxford. Meskipun tujuan dari karya sejarah dan komparatif Maine adalah untuk memperoleh wawasan tentang sistem hukum Inggris, implikasinya menawarkan jalan menuju studi hukum yang lebih sistematis. Karena dalam upaya memunculkan kualitas hukum yang berpotensi melakukan reformasi hukum sebagai instrumen perubahan sosial, Maine mempelajari hukum sebagaimana yang sebenarnya dipraktikkan oleh para profesional dan dialami oleh orang awam.
Dalam karya sejarahnya, Maine berpendapat bahwa masyarakat dari zaman sejarah yang berbeda akan berbagi karakteristik dalam sistem hukum masyarakat masing-masing bila masyarakat itu juga berbagi keadaan sosial lainnya. Jadi, misalnya, feodalisme Romawi dan, bertahun-tahun kemudian, feodalisme Inggris memiliki karakteristik dasar yang sama dalam sistem hukum masing-masing. Menurut Maine, pola yang stabil dapat diamati dalam evolusi hukum di seluruh masyarakat, khususnya dalam bentuk tiga tahap dari perkembangan primitif atas feodal ke masyarakat modern. Dalam masyarakat primitif, hukum tidak diformalkan tetapi sepenuhnya didasarkan pada struktur kekerabatan, yang biasanya patrilineal dan dibenarkan atas dasar ilham dan hak ketuhanan. Dalam perkembangan tahap kedua, hak otokratis pemimpin patriarki tunduk pada tuntutan pemimpin lain agar didasarkan pada kebiasaan masyarakat yang berlaku. Tahap ketiga perkembangan hukum diantarkan ketika, di bawah pengaruh penyebaran literasi dan tulisan, hukum menjadi lebih permanen diwujudkan dalam kitab aturan (code) tertulis. Kodifikasi hukum memungkinkan keputusan hukum untuk dibandingkan, bersifat relatif satu sama lain dan relatif terhadap kitab aturan (code) yang diterapkan, dan secara rasional terstruktur ke dalam seperangkat hukum yang koheren untuk membangun kebijakan hukum yang efisien.
Ketika bentuk hukum berubah, pendapat Maine, demikian pula substansinya. Dalam perjalanan sejarah, ketergantungan keluarga secara bertahap berkurang demi tanggung jawab, hak, dan kewajiban individu, sebagaimana dimanifestasikan dalam meningkatnya relevansi praktik kontrak dan menurunnya regulasi sosial berdasarkan status. Sementara status dianggap berasal dan ditentukan oleh hubungan dengan keluarga seseorang dan, oleh karena itu, stabil sejak lahir dan seterusnya, kontrak mencontohkan hasil negosiasi di antara individu yang bebas dan mandiri berdasarkan posisi dan kualitas yang mereka capai. Kontrak, dalam pengertian yang dipergunakan oleh Maine, oleh karena itu, tidak harus merupakan dokumen tertulis tertentu yang menetapkan kewajiban tertentu di antara para pihak, tetapi gagasan yang lebih umum tentang kesepakatan di antara individu-individu bebas yang, dalam konteks masyarakat, terlibat dalam berbagai hubungan sosial.
Wawasan yang dibagikan oleh para utilitarian dan ilmuwan hukum sejarah-komparatif adalah perhatian pada studi hukum terhadap sebagian besar tujuan praktis reformasi, yang, bagaimanapun, dilakukan sedemikian rupa sehingga juga memicu asal-usul dan perkembangan studi sistematis hukum dari sudut pandang yang lebih analitis dan ilmiah. Oleh karena itu, utilitarianisme dan aliran sejarah menawarkan filsafat politik dan hukum yang memiliki kualitas normatif yang kuat, utilitarianisme dan aliran sejarah juga mengandung pengamatan empiris tentang cara kerja hukum yang sebenarnya, terutama dalam konteks sejarah-komparatif, pada masyarakat dan zaman yang berbeda. Benih-benih refleksi antropologis dan historis yang belum sempurna ini nantinya akan lebih matang sepenuhnya menjadi disiplin akademis khusus. Sosiologi masa awal juga akan mendapat manfaat dari akar ilmu sosial abad ke-19 dan terutama mewarisi perspektif evolusioner dari pendahulunya. Karakteristik ini mungkin paling baik tercermin dalam tulisan-tulisan Karl Marx, yang karyanya dapat dianggap sebagai momen puncak dari penggabungan aspirasi normatif dan sistematis-analitis. Secara historis, evolusi sosiologi modern juga telah berkembang sedemikian rupa sehingga perhatian terpisah harus dicurahkan pada karya Marx, meskipun nilai karya Marx tentang sosiologi tetap diperdebatkan dengan hangat dan, seperti akan lebih jelas di bagian berikutnya, kontribusi nyata Marx terhadap studi hukum sangatlah minim. Bagaimanapun, sifat komprehensif dari karya Karl Marx dan dampaknya terhadap pemikiran sosial kontemporer layak diperlakukan secara terpisah.*
CATATAN KAKI:
[1] Karya de Montesquieu tentang hukum yang amat penting berjudul Spirit of Laws (Montesquieu 1748). Untuk diskusi dari titik-berdiri sosiologi hukum, lihat Ehrlich (1916).
[2] Tentang sejarah pemikiran kriminologi dan relevansi Mazhab Klasik, lihat Pasquino 1991 dan kontribusi-kontribusi dalam Becker dan Wetzell 2006.
[3] Karya Beccaria diterjemahkan dalam judul On Crimes and Punishments (Beccaria 1764). Lihat juga Beirne 1991.
[4] Karya utama Bentham yang berhubungan dengan hukum termasuk di antaranya adalah Introduction to the Principles of Morals (1789). Lihat juga diskusi yang relevan melalui Lyons 1991.
[5] Karya de Tocqueville yang sangat relevan tentang hukum dan kekuasaan adalah dua volume karyanya berjudul Democracy in America (Tocqueville 1835/1840). Lihat Goldberg 2001.
[6] Idea-idea utama Maine tentang hukum ditemukan dalam buku terobosannya, Ancient Law (Maine 1861). Lihat juga Cocks 1988; Hunt 2022.
Komentar