Opini Terbaru

[Calon Buku] Hukum Komunikatif by Anom Surya Putra

Gambar
 Hukum Komunikatif Karya: Anom Surya Putra ~ Naskah (calon) buku yang ditulis dalam keadaan "chaotic", non-sistematis, sedikit mengandung aforis atau metafor, tidak bermanfaat bagi praktisi hukum, dan mungkin berguna bagi pemula yang hendak membaca "hukum" dengan cara rebahan, atau bacaan ringan bagi individu yang mati-langkah dengan dunia hukum yang digeluti selama ini ~ I. Bangun dari Tidur Panjang Secangkir kopi dan teh berdampingan di meja kecil. Gemericik air dari pahatan pancuran air menemani cairan yang tersimpan di dalam cangkir kopi dan teh. Mata sembab setelah menatap ribuan kalimat di layar komputer. Jemari bergerak secara senyap, memindahkan visual pikiran dan audio batin ke dalam rangkaian gagasan. Awal. Baru memulai. Chaotic. Bangun dari tidur yang panjang. Terlalu banyak minum kopi dan teh sungguh memicu asam lambung. Cinta yang mendalam terhadap kopi dan teh terganggu dengan asam lambung yang bergerak maraton di dalam tubuh. Kurang bijak meminum kopi...

6 Elemen Teori Whistleblowing Emanuela Ceva dan Michele Bocchiola


Teori Whistleblowing ini sangat menarik dipelajari secara cermat. Diterjemahkan oleh Anom Surya Putra dari tulisan Emanuela Ceva dan Michele Bocchiola, Theories of WhistleblowingPhilosophy Compass. 2020;15:e12642, 2019.  

Anom Surya Putra

Emanuela Ceva adalah profesor Teori Politik di Université de Genève, Swiss. Sebelum bergabung di Jenewa pada tahun 2019, ia adalah seorang profesor Filsafat Politik di Universitas Pavia, Italia. Sejak 2005, Ceva telah mengadakan fellowship dan kunjungan di berbagai institusi di seluruh dunia, termasuk Harvard, Princeton, Oxford, St Andrews, Montréal, KU Leuven, dan Universitas Hitotsubashi Tokyo. Pada tahun 2018, dia dianugerahi Fulbright Research Scholarship in Philosophy. Dia aktif pada isu-isu konflik nilai dan keadilan, demokrasi, dan korupsi. Dia adalah penulis Interactive Justice (Routledge 2016) dan rekan penulis Is Whistleblowing a Duty? ( (Polity 2018), serta banyak artikel yang telah muncul di jurnal seperti The Journal of Political Philosophy, Social Philosophy & Policy, Politics, Philosophy & Economics, Philosophy Compass, Social Theory and Practice, Journal of Social Philosophy, dan Journal of Applied Philosophy. Dia adalah associate editor Ethical Theory and Moral Practice.

Michele Bocchiola adalah peneliti di bidang Filsafat Politik di Universitas Pavia, Italia. Sebelumnya, dia memegang posisi penelitian di Universitas Luiss (Roma) dan Universitas Witwatersrand (Johannesburg), tempat ia mengajar etika dan filsafat politik. Keprihatinan penelitiannya meliputi filsafat politik kontemporer dan etika terapan. Publikasinya termasuk esai tentang etika whistleblowing, karya J. Rawls dan G.A. Cohen, masalah keragaman budaya dalam masyarakat Barat, dan landasan moral dan politik privasi. Dia adalah rekan penulis buku Is Whistleblowing a Duty? (Polity 2018).

Teori Whistleblowing

Emanuela Ceva (Université de Genève) dan Michele Bocchiola (University of Pavia)

Abstrak

Whistleblowing” telah memasuki perdebatan ilmiah dan perdebatan publik sebagai cara untuk menggambarkan pengungkapan oleh anggota organisasi mengenai episode korupsi, penipuan, atau penyalahgunaan kekuasaan secara umum dalam organisasi. Kami menawarkan survei kritis mengenai teori-teori normatif utama tentang whistleblowing dalam perdebatan terkini dalam filsafat politik, dengan bantuan ilustratif salah satu tokoh yang menjadi contoh (epitomicwhitleblower ("peniup-peluit") di zaman kita: Edward Snowden. Setelah secara konseptual memisahkan whistleblowing dari bentuk pengungkapan pelanggaran lainnya, kami memperkenalkan dan mendiskusikan dua kelompok pandangan normatif pada praktik whistleblowing: pandangan “Extrema Ratio” dan “Deontic”. Kami menunjukkan bagaimana kedua pandangan itu dapat dipertimbangkan secara bersama-sama untuk menawarkan penilaian yang menyeluruh (all-round) tentang pembenaran moral whistleblowing, sebagai tindakan konsientiasi/kesadaran individu yang luar biasa (an extraordinary individual conscientious act) maupun sebagai praktik tanggung jawab organisasi biasa yang memungkinkan kapasitas koreksi-diri suatu organisasi.


1. Pengantar

Saat bekerja untuk Central Intelligence Agency (CIA) dan, kemudian, sebagai subkontraktor untuk National Security Agency (NSA), Edward Snowden menemukan jaringan pengawasan global yang melaluinya Dinas Rahasia Amerika dan Inggris memantau sistem telekomunikasi di seluruh dunia. Setelah berbagi dengan rekan-rekan kerjanya tanpa hasil perihal perhatian-yang-menyita pikirannya (preoccupations) tentang pelanggaran hak yang merupakan dampak program itu, Snowden mengungkapkan sejumlah dokumen rahasia (diedit untuk meminimalkan dampak pada pihak-pihak yang terlibat) kepada wartawan The Guardian dan The Washington Post, sekaligus mengungkap pelanggaran massal hak privasi yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan pemerintah sekutu. Snowden didakwa melanggar Undang-Undang Spionase 1917 dan pencurian properti pemerintah. Untuk menghindari kemungkinan hukuman seumur hidup, dia meminta suaka sementara ke Rusia tempat Snowden masih tinggal.

Pengungkapan Snowden secara bertahap menjadi acuan utama dalam perdebatan ilmiah dan publik seputar praktik “whistleblowing”, laporan tentang beberapa kesalahan organisasi oleh anggota suatu organisasi. Studi tentang praktik ini telah menonjol di bidang etika bisnis dan teori hukum (legal theory). Baru-baru ini, para filsuf politik juga tertarik pada diskusi ini dengan fokus khusus pada pembenaran moral whistleblowing dan status normatifnya sebagai kewajiban (duty). Esai ini menawarkan diskusi kritis mengenai teori normatif terkini tentang whistleblowing dalam filsafat politik, sementara juga mengkaji pembenaran praktik whistleblowing sebagai komponen inisiatif biasa yang secara moral diperlukan organisasi untuk memastikan pertanggungjawabannya.

Setelah karakterisasi umum whistleblowing (Bagian 2), dua kelompok pandangan normatif tentang praktik whistleblowing diidentifikasi dalam perdebatan filsafat saat ini: pandangan "Alasan Ekstrem (Extrema Ratio)" dan "Deontik (Deontic; kewajiban berkelakuan sesuai filsafat moral atau Etika, pen.-)". Pandangan Extrema Ratio membingkai pembenaran whistleblowing sebagai tindakan individu tentang perbedaan pendapat (dissent) dan tuntutan (indictment), mirip dengan pembangkangan sipil, yang ditujukan terutama untuk mencegah beberapa marabahaya serius atau untuk menghindari keterlibatan seseorang dalam kesalahan organisasi (Bagian 3). Saat keterbataan pandangan Extrema Ratio muncul, pandangan Deontik diperkenalkan. Pandangan Deontik merenungkan pembenaran moral whistleblowing dalam istilah yang lebih umum, sebagai salah satu praktik biasa yang diperlukan untuk koreksi-diri organisasi vis-à-vis bentuk kesalahan yang merupakan ancaman bagi berfungsinya organisasi dengan baik (Bagian 4). Kedua pandangan tersebut saling melengkapi untuk penilaian normatif menyeluruh terhadap whistleblowing baik dalam keadaan darurat maupun sebagai bagian dari upaya biasa guna menjaga organisasi berada di jalur yang benar melalui tindakan yang saling terkait (interrelated action) dari para anggotanya (Bagian 5).

2. Praktik Whistleblowing

Sementara kasus resonansi whistleblowing seperti Snowden baru-baru ini memicu diskusi filsafat tentang pembenaran moral atas praktik whistleblowing, keprihatinan dalam membahas laporan pelanggaran dalam suatu organisasi bukanlah hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Istilah "whistleblowing" diperkenalkan dalam domain etika bisnis untuk menggambarkan tindakan para profesional yang menyuarakan keprihatinan mereka tentang kelemahan dan kesalahan dalam desain-artefak yang menimbulkan ancaman serius bagi keselamatan pelanggan (Vanderkerkeove 2006, Bab 1). Istilah ini secara bertahap menjadi perdebatan ilmiah dan publik untuk menunjukkan pengungkapan episode korupsi, penipuan, atau penyalahgunaan kekuasaan secara umum. Dengan tingkat abstraksi yang baik, kita dapat menelusuri kembali karakterisasi whistleblowing berikut pada berbagai penggunaan istilah whistleblowing.

Whistleblowing adalah praktik yang dilakukan oleh anggota dari suatu organisasi-yang-legitim (absah) yang melaporkan secara sukarela beberapa kesalahan, yang diduga terjadi di dalam organisasi itu, dengan maksud untuk memulai beberapa tindakan korektif untuk mengatasinya (Ceva & Bocchiola, 2018a, hlm. 21). 

Setelah dikarakterisasi atau dicirikan, maka whistleblowing didefinisikan oleh 6 (enam) elemen:

  1. Tindakan. Whistleblowing adalah jenis tindakan tertentu: laporan. Laporan dapat berupa pengungkapan terbuka—biasanya, suatu bentuk tuduhan publik (Jubb, 1999)—atau rahasia—melalui saluran khusus. Laporan juga dapat diotorisasi atau tidak, tergantung pada objek laporan berdasarkan aturan perundang-undangan khusus suatu negara (Delmas, 2015; Sagar, 2013, Bab 6).
  2. Objek. Pelapor melaporkan pelanggaran yang diduga terjadi dalam suatu organisasi. Pelanggaran yang relevan sangat luas karena dapat mencakup penyalahgunaan kekuasaan yang terkait dengan peran organisasi yang sistematis (misalnya, nepotisme) atau sesekali (misalnya, penggelapan). Kesalahan organisasi dapat berasal dari tindakan yang melanggar hukum (misalnya, penyuapan) atau kegiatan terlarang (misalnya, pelanggaran terhadap beberapa standar organisasi), atau juga tindakan yang tidak diizinkan secara moral—seperti rayuan seksual yang tidak diinginkan oleh rekan senior (Ceva & Bocchiola, 2018a, hlm. 30).
  3. Agen. Tidak semua orang yang memberikan peringatan tentang beberapa kesalahan organisasi disebut whistleblower. Laporan whistleblower berasal dari dalam organisasi tempat fakta yang dilaporkan terjadi (Miceli, Dreyfus, & Near, 2014; Miceli & Near, 1992). Keanggotaan organisasi dapat permanen (misalnya, karyawan) atau sementara (misalnya, subkontraktor), dan itu ditentukan oleh peran dan fungsi yang dilakukan orang untuk organisasi. Whistleblowing (bunyi-peluit) berbeda dengan “bunyi lonceng (bell-ringing)”, yang merupakan tindakan warga negara yang teliti melaporkan kejahatan dan pelanggaran (Miceli et al., 2014).
  4. Lokus (tempat; lokasi). Dari elemen Tindakan, Objek dan Agen, dapat disimpulkan bahwa organisasi adalah tempat terjadinya dugaan pelanggaran yang dilaporkan. Organisasi dipahami dalam istilah institusi yang luas, yaitu sebagai sistem yang mewujudkan peran yang diatur oleh aturan yang saling terkait (Miller, 2014). Organisasi itu mungkin organisasi publik atau organisasi privat (rumah sakit atau sekolah mungkin termasuk dalam salah satu kategori), pemerintah (kantor pemerintahan; state offices), atau non-pemerintah (asosiasi masyarakat kewargaan; civil society associations). Lazim merupakan kebiasaan dalam suatu perdebatan, untuk mengkualifikasi organisasi yang relevan sebagai organisasi yang “legitim” guna memisahkan diskusi tentang whistleblowing dari tindakan terhadap organisasi kriminal seperti mafia (Davis, 1996—dalam konteks itu seseorang berbicara lebih dari sekedar sebagai informan).
  5. Penerima. Whistleblowing dapat ditujukan kepada lawan bicara internal maupun eksternal (Davis, 2003; De George, 2010). Ini bersifat internal ketika ditujukan kepada atasan langsung whistleblower, tingkat manajemen yang lebih tinggi, atau ke kantor khusus (misalnya, Ombudsman), dan eksternal ketika ditujukan kepada entitas seperti otoritas nasional, polisi, atau media.
  6. Tujuan. Whistleblowing adalah tindakan yang bertujuan, yang bertujuan untuk memulai tindakan korektif mengenai kesalahan organisasi. Sementara niat/maksud subjektif whistleblower yang aktual  mungkin egois (untuk melemahkan atasan/bos yang menjengkelkan) atau altruistik (untuk melindungi kolega yang dilecehkan), tindakan whistleblower umumnya diambil guna mengekspresikan komitmen untuk membawa perubahan positif dari status quo (Miceli & Near, 1992, hlm. 28–30).

Enam elemen kunci itu secara individual diperlukan dan secara bersama-sama cukup untuk mengidentifikasi kasus whistleblowing dan mengisolasi positif-yang-dipalsukan (false positive; hasil pengujian yang keliru menunjukkan suatu konidisi, pen.-). Dalam hal ini, kita dapat menghargai relevansi pengungkapan Snowden sebagai contoh whistleblowing:

  1. Tindakan Snowden merupakan bagian esensial dari keterbukaan tetapi laporannya mengenai informasi rahasia program pengawasan massal (mass surveillance programs), tidak terotorisasi.
  2. Objek laporan Snowden adalah kesalahan organisasi yang terdiri dari penggunaan kekuasaan dinas rahasia oleh Secret Service dengan cara yang diduga melanggar hak dasar warga negara atas privasi.
  3. Snowden adalah anggota sementara NSA tetapi dia juga memperoleh akses ke kekhususan program pengawasan global sebagai anggota tetap CIA. Karena itu, dia adalah agen internal.
  4. Pelanggaran yang dilaporkan memiliki lokus dalam batas-batas organisasi publik yang legitim/absah (agen/badan pemerintah AS) yang mana Snowden menjadi anggotanya. Laporannya didasarkan pada dokumen rahasia yang Snowden akses berdasarkan posisinya sebagai anggota CIA dan NSA.
  5. Laporan Snowden awalnya bersifat internal, tetapi ketika jelas kiranya bahwa rekan-rekannya tidak bersedia mengambil tindakan, Snowden menemukan penerima eksternal (external addressee) dengan mengungkapkan laporannya kepada pers.
  6. Keputusan untuk go public dapat dipahami mengingat tujuan Snowden untuk memulai tindakan korektif mengenai kondisi status quo yang bermasalah moral, yang mana hak-hak banyak warga negara di seluruh dunia telah dilanggar.
Sementara kasus Snowden memberikan ilustrasi yang tepat tentang whistleblowing, positif-yang-dipalsukan (false positive) yang menarik adalah kasus Julian Assange, pendiri WikiLeakes. WikiLeakes adalah organisasi media multinasional yang mengkhususkan diri dalam "analisis dan publikasi kumpulan data besar dari materi resmi yang disensor atau dibatasi, mencakup materi perang, mata-mata dan korupsi" (https://wikileaks.org/What-is-WikiLeaks.html). Nama Assange sering dikaitkan dengan kasus whistleblowing (misalnya, Chelsea Manning, mantan Marinir AS yang membocorkan dokumen tentang pelanggaran hak asasi manusia oleh pasukan militer AS di Irak dan Afghanistan; lihat Leigh, Ball, Cobain, & Burke, 2011). Namun, analisis kami menunjukkan bahwa dia tidak dapat dianggap sebagai whistleblower karena beberapa elemen deskriptif utama—elemen ketiga dan keempat— tidak terpenuhi. Assange selalu bertindak dari luar organisasi tempat kesalahan yang dilaporkan terjadi, perannya adalah mengumpulkan informasi dari anggota beberapa organisasi yang kurang baik (defective) yang kemudian dia ekspos. Dengan demikian Assange telah menjadi penerima pelapor (the addressee of whistleblowing), tetapi bukan whistleblower itu sendiri.

Kapasitas untuk membedakan secara tepat kasus-kasus whistleblowing dari positif-yang-dipalsukan (false positvie) adalah tonggak analitis yang penting untuk menghindari inflasi konseptual dan membatasi berbagai tindakan yang status normatifnya telah coba dinilai oleh diskusi filsafat saat ini. Secara khusus, para filsuf politik baru-baru ini terlibat dalam menyelidiki pembenaran moral whistleblowing melawan kritik radikal praktik whistleblowing sebagai pelanggaran terhadap kesanggupan-tanpa-syarat (promissory) dan kewajiban-moral (obligation) dari peran (Sagar, 2013). Dengan demikian, filsuf politik telah berpihak pada apa yang kita sebut "Alasan Ekstrem (Extrema Ratio)" dan pandangan "Deontik" tentang whistleblowing.

3. Pandangan Alasan Ekstrem (The Extrema Ratio)

Interpretasi whistleblowing yang diterima dalam diskusi filsafat kami sebut sebagai pandangan Alasan Ekstrem (Extrema Ratio). Para pendukung pandangan ini menganggap whistleblowing sebagai respons individu yang luar biasa terhadap beberapa kesalahan organisasi yang serius; whistleblowing juga melebihi kewajiban standar keanggotaan organisasi. Ini adalah sebagai tindakan perbedaan pendapat individu yang dimotivasi baik oleh keadaan darurat atau sebagai upaya terakhir, setelah mekanisme pelaporan organisasi biasa terbukti tidak dapat dijalankan, tidak tersedia, atau tidak efisien. Dengan demikian, whistleblowing dipandang sebagai contoh pembangkangan sipil (Brownlee, 2016; Sheuerman, 2014). Perubahan Snowden, seperti yang disajikan pada bagian sebelumnya, tampaknya menggambarkan pandangan ini dengan cukup baik.

Pendukung pandangan Alasan Ekstrem (Extrema Ratio) melihat whistleblowing sebagai anggapan yang selalu salah (Boot, 2017; Davis, 1996). Ini mungkin dibenarkan secara moral hanya ketika semua mekanisme pelaporan organisasi biasa lainnya telah dicoba dan gagal dan, akibatnya, tidak ada tindakan korektif yang dapat diambil untuk menangani kesalahan organisasi yang serius. Untuk mengatakan bahwa whistleblowing adalah Alasan Ekstrem (Extrema Ratio) dari individu melawan kesalahan serius organisasi yang telah menetapkan kondisi ambang batas, yang mendiskriminasi antara laporan yang mengidentifikasi kerusakan nyata dan cukup besar pada-individu-dan-masyarakat dan keluhan belaka (misalnya, yang berasal dari pertengkaran sepele antara rekan kerja).

Dalam pandangan Alasan Ekstrem (Extrema Ratio), terjadinya kesalahan organisasi yang serius adalah kondisi yang diperlukan untuk membuat whistleblowing diperbolehkan secara moral. Namun, itu tidak cukup untuk membenarkannya sebagai masalah kewajiban. Hanya jika ada beberapa bukti substantif yang mendukung (aktual atau yang dapat diperkirakan) terjadinya kesalahan tersebut, dan pelaporannya memerlukan biaya minimal untuk whistleblower dan pihak lain yang terlibat (De George, 2010, Delmas, 2015; Boot 2019a, 2019b), para pendukung pandangan Alasan Ekstrem (Extrema Ratio) berpikir bahwa ada cukup alasan untuk menganggap whistleblowing sebagai kewajiban moral. Bukti substantif adalah setiap informasi yang mungkin tahan terhadap pengamanan yang tidak memihak (impartial scrutiny). De George (2010, p. 302), misalnya, menetapkan standar bukti ini sebagai bukti yang dapat meyakinkan pengamat yang tidak memihak (impartial observer). Davis (1996, p. 11), lebih radikal, mensyaratkan bahwa keyakinan tentang terjadinya kesalahan organisasi dibenarkan (justified) dan benar (true). Namun, dalam pandangan yang kami kemukakan, bukti substantif mungkin tidak membenarkan whistleblowing sebagai materi kewajiban apabila pelaksanaan kewajiban ini membutuhkan biaya lebih dari biaya minimal bagi whistleblower atau pihak lain yang terlibat. Biaya minimal itu apabila, diukur terhadap konsekuensi yang mungkin timbul dari pengungkapan whistleblower (misalnya, risiko pembalasan di tempat kerja atau isolasi dalam masyarakat atau membahayakan pihak ketiga), mereka melakukannya tidak melebihi keuntungan yang diharapkan dari pengungkapan, khususnya dalam hal membawa perubahan positif yang signifikan terhadap status quo.

Ketiga kondisi tersebut secara individual diperlukan dan secara bersama-sama cukup untuk membenarkan whistleblowing sebagai kewajiban moral dalam pandangan Alasan Ekstrem (Extrema Ratio). Dilihat dari sudut pandang ini, penilaian mengeai whistleblowing yang dilakukan Snowden adalah pengungkapan yang diizinkan secara moral (menghadapi kesalahan serius yang terkait dengan pelanggaran massal hak privasi individu), yang status normatifnya sebagai kewajiban sulit dipastikan. Sementara bukti yang dimiliki Snowden bersifat substantif (seperti yang ditunjukkan oleh dokumen yang dia bocorkan ke pers), keseimbangan biaya dan manfaat dari pengungkapannya tidaklah pasti. Snowden membayar biaya pribadi yang tinggi (dia kehilangan pekerjaannya dan, pada saat tulisan ini disusun, dia tinggal di pengasingan), tetapi apakah biaya ini sebanding dengan keuntungan dalam hal perlindungan hak-hak individu merupakan masalah kontroversi (misalnya, karena beberapa hal juga telah menunjukkan ancaman terhadap keamanan publik akibat laporan Snowden).

Kami akan meninjau kembali ketidakpastian ini. Namun, untuk melengkapi penjelasan mengenai pandangan Alasan Ekstrem (Extrema Ratio), kami menyajikan di bawah ini dua strategi pembenaran standar yang telah digunakan oleh para pembela pandangan whistleblowing untuk mendukung pembenarannya tentang whistleblowing secara substantif. Yang pertama mengacu pada kontribusi whistleblowing untuk menghentikan atau mencegah beberapa marabahaya serius yang cukup besar (Bowie 1982; De George, 2010), termasuk pelanggaran terhadap kepentingan publik (Bok 1982; Kumar & Santoro, 2017, 2018). Yang terakhir menghubungkan penilaian moral whistleblowing dengan kebutuhan untuk menghindari keterlibatan seseorang dalam beberapa kesalahan organisasi yang serius (Boot, 2017, 2018; Davis, 1996, 2003), sehingga melindungi integritas moral seseorang (Brenkert, 2010) dan kewajiban umum dari keadilan (Delmas, 2015).

3.1. Pembenaran Berbasis-Marabahaya (Harm-Based Justifications)

Pembenaran berbasis-marabaya mengenai whistleblowing bersikeras bahwa anggota suatu organisasi harus meniup peluit (to blow the whistle) ketika melakukan whistleblowing sehingga mungkin dapat mencegah atau menghentikan bahaya serius yang berasal dari beberapa perilaku atau praktik individu dalam suatu organisasi, dalam hal pelapor memiliki bukti substantif, dengan biaya yang masuk akal bagi dirinya sendiri (lihat Bowie 1982; De George, 2010). Kerugian serius adalah perilaku atau praktik yang menyebabkan kerusakan yang cukup besar, misalnya, pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat—termasuk ketidaknyamanan psikologis dan kerusakan fisik yang mungkin menimbulkan bahaya lingkungan, tetapi juga bertentangan dengan kepentingan publik sebagai kecurangan (frauds) dan korupsi (Kumar & Santoro, 2017). Dari perspektif ini, whistleblowing Snowden dapat dengan mudah dilihat sebagai hasil dari penalaran individual yang menggerakkannya untuk bertindak sebagai Alasan Ekstrem (Extrema Ratio) guna menghindari beberapa marabahaya serius dan cukup besar (seperti yang berasal dari pelanggaran hak individu banyak warga negara di seluruh dunia) meskipun terdapat implikasi biaya pribadi bagi dirinya sendiri.

Sementara pembenaran whistleblowing berbasis-marabahaya merupakan arus utama dalam perdebatan filsafat saat ini, hal itu telah menyedot sejumlah kritik juga (Davis, 1996, hlm. 8–10; Hoffman & Schwartz, 2015; Ceva & Bocchiola, 2018b, 2019). Banyak yang telah memperhatikan bahwa pembenaran whistleblowing berbasis-marabahaya itu terbatas dalam cakupannya, karena pemberanaran ini mencirikan objek whistleblowing dalam istilah konsekuensialis yang sangat sempit. Cukup jelas, ada tindakan organisasi yang mungkin bermasalah secara moral meskipun tidak menghasilkan konsekuensi marabahaya yang terukur. Pertimbangkan, misalnya, bentuk-bentuk kesalahan organisasi atau malpraktik profesional minor —misalnya, praktik perekrutan nepotistik, penipuan yang gagal (failed scams), atau korupsi tetapi barter kecil (quid pro quo; sesuatu-untuk-sesuatu) yang konsekuensi marabahayanya sepele. 

Selain itu, pandangan-pandangan yang mengacu pada konsekuensi negatif bagi kepentingan publik banyak mengandung ketidakpastian mengenai apa itu kepentingan publik dan bagaimana menjaga keseimbangan antara penjagaannya (apa pun artinya dan implikasinya) dan biaya yang dikenakan pada whistleblower (seperti yang disarankan dalam kasus Snowden). Tentu saja perhatian-yang-menyita pikiran (preoccupations) ini tidak cukup untuk meruntuhkan keseluruhan kemasukakalan (plausibility) dari pembenaran whistleblowing berbasis-marabahaya. Tetapi pandangan-konsekuensi-negatif bagi kepentingan publik  menunjukkan bagaimana pandangan itu sendiri tidak cukup untuk memberikan analisis normatif secara menyeluruh mengenai praktik whistleblowing.

3.2. Pembenaran Berbasis-Keterlibatan (Complicity-Based Justifications)

Varian kedua dari pandangan Alasan Ekstrem (Extrema Ratio) menyusun kembali pembenaran whistleblowing dengan menarik perhatian pada perlindungan moral dari agen laporan, integritasnya dan komitmen moralnya, daripada sifat dan konsekuensi dari objeknya. Jadi, dari perspektif ini, anggota suatu organisasi harus meniup peluit (to blow the whistle) ketika dia yakin bahwa hal itu dapat menghindari keterlibatannya dengan terjadinya beberapa perilaku atau praktik individu yang salah dalam organisasinya (Boot, 2018; Boot, 2019a; Brenkert, 2010; Davis, 1996, 2003).

Dari perspektif berbasis-keterlibatan ini, apa yang memicu kewajiban untuk meniup peluit (to blow the whistle) tidak tergantung pada jenis kesalahan yang telah terjadi (dan konsekuensi berbahaya yang sebenarnya atau yang diharapkan). Sejauh anggota suatu organisasi entah bagaimana terkait dengan terjadinya semacam kesalahan organisasi, whistleblowing dibenarkan secara moral. Bagi sebagian orang, pembenaran ini bergantung pada komitmen moral fundamental dari whistleblower yang potensial guna menghormati integritasnya, yang mana keterlibatan dengan kesalahan organisasi akan membahayakan (Boot, 2017; Brenkert, 2010). Bagi yang lain, standar epistemik yang lebih kuat harus dipenuhi sedemikian rupa sehingga keyakinan whistleblower potensial bahwa integritas mereka berisiko harus dibenarkan dan benar (Davis, 1996, 2003). Kesulitan moral ini dapat diilustrasikan sepenuhnya sekali lagi melalui situasi Snowden dan komitmennya untuk menghindari implikasinya berkaitan dengan pelanggaran hak-hak individu massal.

Namun, sementara pembenaran whistleblowing berbasis-keterlibatan menambahkan bagian penting dari teka-teki mengenai pembenaran praktik ini, pembenaran itu juga memiliki beberapa keterbatasan. Gagasan keterlibatan itu sendiri cenderung tidak pasti dan kontroversial (lihat Lepora & Goodin, 2013); tidak jelas, misalnya, jika untuk menjadi kaki tangan dalam suatu kesalahan, maka seseorang harus mengambil bagian aktif di dalamnya, atau apakah dorongan atau bantuannya cukup untuk menentukan keterlibatannya. Pikirkan, misalnya, seorang kolega Snowden, yang tidak terlibat dalam program pengawasan massal, katakanlah seseorang yang baru saja mulai bekerja untuk NSA, tetapi baru menyadari program tersebut karena Snowden memberitahunya. Sementara orang ini hampir tidak dapat dianggap terlibat dalam terjadinya dugaan kesalahan, kegagalannya untuk melaporkan mungkin memaafkan terjadinya praktik yang dipertanyakan secara moral. Pembenaran whistleblowing berbasis-keterlibatan berjuang untuk menawarkan jawaban yang pasti terhadap pertanyaan semacam ini dan, oleh karena itu, tampaknya tidak cukup untuk mengembangkan kumpulan-pendapat-normatif yang menyeluruh dari praktik whistleblowing yang dapat memandu tindakan anggota organisasi melalui banyak dilema yang mereka hadapi dalam kinerja fungsi berbasis peran sehari-hari mereka (lihat Ceva & Radoilska, 2018).

3.3. Pandangan Alasan Ekstrem (The Extrema Ratio): Inventarisasi Singkat

Melalui diskusi tentang pandangan Alasan Ekstrem (Extrema Ratio) tentang whistleblowing, yang diartikulasikan sepanjang dua strategi pembenaran yang didasarkan pada ide-ide normatif tentang marabahaya dan keterlibatan, kami telah menunjukkan beberapa aspek penting dari fenomenologi dan status normatif dari praktik whistleblowing. Namun, diskusi kami juga menunjukkan bahwa pandangan ini tidak cukup untuk menawarkan penilaian normatif secara menyeluruh tentang whistleblowing, yang mampu memandu tindakan anggota organisasi vis-à-vis kesalahan organisasi atas dasar prinsip.

Secara konotasinya sendiri, pandangan Alasan Ekstrem (Extrema Ratio) hanya mampu memaknai secara normatif puncak gunung es tentang apa itu whistleblowing dan apa yang dimaksud dari sudut pandang moral. Khususnya, pandangan Alasan Ekstrem (Extrema Ratio) cocok untuk membahas pembenaran whistleblowing dalam situasi darurat, dan ketika status normatif baik dari objek laporan (marabahaya aktual atau marabahaya-yang-diharapkan dihasilkan oleh praktik organisasi atau perilaku individu) atau agennya (tingkat implikasi dalam dugaan terjadinya kesalahan organisasi) telah jelas kiranya. Lebih banyak pekerjaan dapat dilakukan untuk menghargai pentingnya whistleblowing sebagai praktik-biasa (ordinary practice) guna memastikan organisasi berfungsi-dengan-baik (well-functioning) dalam kondisi yang kurang ideal.

4. Pandangan Deontik (The Deontic)

Kita telah melihat bahwa pandangan Alasan Ekstrem (Extrema Ratio) tentang whistleblowing berhasil memahami praktik whistleblowing sebagai tindakan individu yang luar biasa dalam keadaan luar biasa, yang dapat dibenarkan sebagai kewajiban hanya jika terdapat kondisi tertentu yang ketat tetapi pada akhirnya kondisi yang tidak meyakinkanlah yang berlangsung. Kesimpulan ini tidak sepenuhnya memuaskan karena dua alasan utama. Pertama, pandangan Alasan Ekstrem (Extrema Ratio) gagal menawarkan panduan prinsipnya sendiri yang jelas untuk anggota organisasi yang diberitahu tentang kesalahan organisasi, yang konsekuensinya tidak jelas, dan yang dalam kejadiannya whistleblower potensial tidak secara jelas terlibat. Kedua, pandangan Alasan Ekstrem (Extrema Ratio) menawarkan suatu penjelasan normatif parsial tentang whistleblowing sebagai tindakan yang melampaui moralitas biasa, sehingga tidak memperhitungkan potensi praktik whistleblowing dalam kehidupan sehari-hari organisasi. Keterbatasan ini penting karena, jika kita berhasil mengatasinya, maka implikasi-menarik akan menyusul guna memahami apa artinya memiliki organisasi yang berfungsi dengan baik dalam kondisi non-ideal dan kewajiban kantor apa yang dapat diturunkan bagi subjek-pemegang-peran (occupant) dengan organisasi. Mengatasi jangkauan dan ruang lingkup yang terbatas dengan hanya mempertimbangkan pandangan Alasan Ekstrem (Extrema Ratio) mengenai whistleblowing sangat krusial untuk pandangan Deontik, yang kami hadirkan sebagai penawaran kontribusi pelengkap yang penting (tetapi bukan alternatif) untuk diskusi filsafat tentang praktik whistleblowing.

Dalam pandangan Deontik, whistleblowing adalah praktik kepatuhan (bukan hanya tindakan hati nurani individu) yang berkaitan dengan serangkaian tindakan pertanggungjawaban biasa yang harus diterapkan oleh organisasi yang legitim/absah untuk memantau kinerjanya secara keseluruhan dan kontribusi yang diberikan anggotanya terhadap —atau menentang—kinerja tersebut (Ceva & Bocchiola, 2018a). Untuk melihat kemasukakalan (plausiblity) pandangan Deontik, pertimbangkan kembali kekhususan whistleblowing sehubungan dengan bentuk pelaporan lainnya (lihat Bagian 2). Whistleblowing secara berada dalam tiga hal utama: (a) sumber informasi yang diungkapkan adalah internal organisasi; (b) jenis kesalahan yang dilaporkan berkaitan dengan beberapa kegagalan yang berasal dari dalam suatu organisasi; dan (c) tujuan pengungkapan adalah untuk memulai tindakan korektif mengenai praktik atau perilaku organisasi yang gagal. Jadi, seperti yang diilustrasikan oleh Snowden, whistleblower mengungkapkan informasi yang mereka akses dalam kapasitasnya sebagai subjek-pemegang-peran (occupant) dalam suatu organisasi mengenai beberapa kesalahan organisasi yang biasanya terkait dengan penggunaan kekuasaan yang dipercayakan pada peran organisasi.

Berdasarkan keutamaan tiga ciri pembeda ini, kita dapat mulai menghargai bagaimana whistleblowing juga terkait erat dengan fungsi internal suatu organisasi dan dengan kewajiban biasa dari keanggotaan yang memiliki peran di dalamnya. Untuk memahami peran whistleblowing dalam konteks ini, kita harus mulai mengembangkan pemahaman yang jelas tentang apa itu organisasi, apa yang membuatnya berfungsi dengan baik (well-functioning), dan apa kewajiban keanggotaan organisasi bagi subjek-pemegang-peran (occupant) di dalamnya, yang secara umum juga menghadapi kesalahan organisasi.

Ingat kembali Bagian 2 (iv) bahwa organisasi, sebagai institusi, adalah sistem peran yang diatur oleh aturan yang saling terkait (Emmett 1966, Miller, 2014). Setiap peran organisasi diwujudkan dalam arti bahwa organisasi itu diperankan oleh seorang manusia yang, melalui fakta memasuki peran organisasi, memperoleh seperangkat kekuatan normatif khusus —hak dan kewajiban— yang biasanya tidak dimiliki oleh orang dalam kapasitas lain. Jadi tidak ada yang berhak menuntut untuk melihat surat-surat identitas milik saya, dan saya tidak memiliki kewajiban untuk menunjukkannya kepada orang lain dalam interaksi kita sehari-hari. Tetapi seseorang memperoleh hak itu dan saya menanggung kewajiban yang sesuai bila yang pertama adalah pejabat negara, dan kami berinteraksi dalam konteks prosedur peradilan.

Peran organisasi juga istimewa karena secara struktural saling terkait sedemikian rupa sehingga fungsi organisasi bergantung pada setiap subjek-pemegang-peran (role-occupant) yang menjalankan fungsinya sesuai dengan ketentuan mandat kekuasaannya (Bovens 1998, hlm. 9-20; Ceva & Ferretti, 2017). Mandat kekuasaan ditetapkan dengan pandangan untuk memastikan bahwa pekerjaan yang saling terkait dari subjek-pemegang-peran (role-occupant) organisasi dapat membuat organisasi melakukan fungsinya (Applbaum, 1999; Ceva & Ferretti, 2018; Guala, 2016). Karena peran organisasi itu saling terkait, kegagalan seorang subjek-pemegang-peran (role-occupant) untuk bertindak sesuai dengan mandat kekuasaannya merupakan ancaman tersendiri bagi seluruh tatanan normatif yang ditetapkan dengan pendirian organisasi; hal itu menjadi kegagalan organisasi secara keseluruhan (Ferretti, 2019). Dengan demikian kita dapat melihat bagaimana para anggota suatu organisasi berutang satu sama lain untuk memenuhi kewajiban-moral (obligation) dari peran mereka sebagaimana ditentukan oleh mandat yang sesuai. Ini adalah gagasan "akuntabilitas kantor", properti normatif dari organisasi yang berfungsi dengan baik (Ceva, 2019). Gagasan akuntabilitas kantor membuat organisasi yang berfungsi-dengan-baik memenuhi syarat sebagai organisasi yang mana pola normatif tertentu berlaku sedemikian rupa sehingga semua pemegang peran (role-occupant) melakukan kewajiban-moral (obligation) peran-spesifiknya (role-specific) di luar kewajiban dasar akuntabilitas kantor, suatu kewajiban utama mereka sebagai anggota organisasi.

Apa yang telah kita lihat sejauh ini datang dengan cukup rapi dari perspektif teori ideal tentang etika organisasi. Namun, kita harus mengharapkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari suatu organisasi, kondisi non-ideal juga terwujud ketika satu atau lebih pemegang-peran (occupants) organisasi gagal memenuhi kewajiban akuntabilitas kantor mereka. Dalam keadaan ini, kemungkinan kesalahan organisasi cukup banyak, karena mungkin termasuk penggunaan kekuasaan yang terlibat dalam kasus korupsi, ilegalitas, salah urus, kelalaian, atau pemborosan sumber daya. Menariknya, apa yang membuat bentuk-bentuk kesalahan organisasi tersebut relevan bukanlah fungsi aktual atau konsekuensi negatif yang diharapkan dari (misalnya, marabahaya yang disebabkan oleh) penggunaan kekuasaan tertentu. Alasan penggunaan kekuasaan itulah yang merupakan disfungsi organisasi, defisit akuntabilitas kantor, yang secara inheren salah karena hal itu membentuk (bukan menyebabkan) perubahan tatanan normatif yang ditetapkan oleh pendirian suatu organisasi.

Dalam keadaan ini, hal esensial untuk berfungsinya organisasi dengan baik bahwa praktik-praktik pertanggungjawaban ada di dalam suatu tempat yang mana tindakan korektif tentang defisit akuntabilitas kantor dapat dimulai. Praktik-praktik ini esensial untuk memungkinkan kapasitas koreksi-diri organisasi dengan membuat anggotanya saling-memanggil untuk menanggapi dugaan kegagalan dalam penggunaan kekuasaan mereka. Dengan kata lain, di samping kewajiban utama untuk menggunakan kekuasaan jabatan mereka sesuai dengan ketentuan mandatnya, pemegang peran (role-occupant) organisasi juga memiliki kewajiban turunan untuk terlibat dalam praktik kontrol timbal-balik atas tindakan mereka dalam batas-batas organisasi guna mencegah pekerjaan bersama mereka keluar jalur atau mengambil tindakan korektif untuk menentanngya ketika kegagalan tetap terjadi. Khususnya, untuk tujuan kita dalam esai ini, para anggota organisasi yang mengetahui atau hanya mencurigai suatu kesalahan organisasi harus membuat sesama anggota yang gagal bertanggung jawab atas perilakunya. Kewajiban bertanggungjawab ini umumnya dibenarkan terlepas dari konsekuensi kesalahan organisasi (tidak seperti dalam pembenaran berbasis-marabahaya yang ditinjau di Bagian 3.1), dan tingkat implikasi seseorang di dalamnya (tidak seperti pembenaran berbasis-keterlibatan yang ditinjau dalam Bagian 3.2), karena hal itu berasal dari hubungan struktural akuntabilitas kantor yang diperoleh di antara anggota organisasi. Garis penalaran ini mengarah pada inti pandangan Deontik tentang whistleblowing sebagai kewajiban tanggung jawab yang penting guna berfungsinya organisasi dengan baik.

Dari sudut pandang ini, laporan Snowden kepada rekan-rekannya di NSA dapat dilihat dengan benar —dalam contoh pertama—seperti yang didasarkan pada kewajiban semacam ini, yang jatuh pada Snowden sama seperti rekan-rekannya yang lain terlepas dari tingkat keterlibatan pribadi mereka dalam realisasi program pengawasan massal (hal ini salah sejauh menyiratkan penggunaan kekuasaan pemerintah di luar batas mandatnya). Dari sudut pandang Deontik, tidak ada yang luar biasa dalam laporan Snowden kepada rekan-rekannya. Ajakannya untuk bertindak terhadap rekan-rekannya secara moral dapat dibenarkan secara melalui keuataman tentang kewajiban biasa keanggotaan organisasi (ordinary duty of membership) yang bertujuan untuk memungkinkan sumber daya koreksi-diri organisasinya. Namun masih lebih banyak yang bisa kita lihat dari perspektif ini.

Melihat whistleblowing dari sudut pandang Deontik juga berarti membenarkannya secara pertama dan terutama sebagai kewajiban organisasi yang mendasar. Pelaksanaan kewajiban ini, yang umumnya mengikat semua organisasi yang sah, memerlukan: pembentukan mekanisme pelaporan internal yang aman dan efektif (misalnya, situs web yang aman untuk mengajukan laporan) dan eksternal (misalnya, beberapa otoritas khusus yang bertanggung jawab untuk memberikan nasihat hukum kepada whistleblower) yang mana kesalahan organisasi yang relevan dapat terungkap dan, akibatnya, tindakan korektif dapat dimulai. Melihat perubahan Snowden dari perspektif ini menunjukkan dengan tepat fitur/ciri khas masalah moral dari kasus ini di tingkat struktural organisasinya: defisit akuntabilitas kantor di dalam CIA dan NSA muncul bersamaan dengan kegagalan organisasi-organisasi ini untuk melaksanakan kewajiban tanggung jawabnya dengan memulai tindakan korektif mengenai defisit tersebut dari dalam, melalui mekanisme pelaporan internal yang aman dan efektif. Fitur/ciri khas masalah moral ini mudah diabaikan bila kita hanya berkonsentrasi pada tindakan individu Snowden, sesuai dengan pandangan Alasan Ekstrem (Extrema Ratio).

Ketika mekanisme pertanggungjawaban internal tersedia, anggota organisasi memiliki kewajiban untuk mengungkapkan pengetahuan atau atau tentang orang-yang-dicurigai oleh mereka perihal kesalahan organisasi melalui saluran tersebut. Ketika ukuran pertanggungjawaban organisasi tidak tersedia, tidak dapat dipertahankan, atau ketika terbukti tidak mencukupi (seperti dalam kasus Snowden), anggota organisasi mungkin masih dibenarkan untuk pergi keluar dan mencari dukungan dari lembaga lain untuk menarik perhatian terhadap kesalahan organisasi yang mereka ketahui atau mereka curigai. Sementara pandangan Deontik umumnya memandu tindakan anggota organisasi dalam kinerja biasa dari fungsi mereka dalam kondisi yang tidak ideal, dalam keadaan luar biasa ini, pandangan Alasan Ekstrem (Extrema Ratio) dapat memberikan wawasan penting (dalam batas-batas yang dibahas sebelumnya). Dalam hal ini, dua pandangan yang telah kami kemukakan secara penting saling melengkapi untuk menawarkan penilaian normatif menyeluruh tentang whistleblowing.

5. Kesimpulan

Dalam esai ini, kami telah menawarkan survei kritis teori saat ini tentang pembenaran moral whistleblowing dalam perdebatan dalam filsafat politik. Survei kritis kami telah mengidentifikasi dua kelompok utama teori normatif tentang whistleblowing, yaitu Alasan Ekstrem (Extrema Ratio) dan pandangan Deontik. Pandangan-pandangan ini, kami sampaikan, berguna untuk dilihat dalam suatu kombinasi guna menawarkan penilaian moral menyeluruh dari praktik whistleblowing. Kita telah melihat bahwa pandangan Alasan Ekstrem (Extrema Ratio) dapat berhasil menjelaskan alasan moral yang seharusnya menginformasikan keputusan anggota individu suatu organisasi untuk melaporkan kesalahan organisasi dalam situasi darurat, kegagalan mekanisme institusi biasa mengenai koreksi-diri.

Kami juga telah menunjukkan bagaimana pandangan Deontik dapat menawarkan penjelasan normatif yang lebih struktural tentang whistleblowing yang berguna untuk melengkapi apa yang dapat dicapai oleh pandangan Alasan Ekstrem (Extrema Ratio) dengan sendirinya. Dari sudut pandang Deontik, whistleblowing adalah contoh kewajiban tanggung jawab organisasi, yang memerlukan pembentukan mekanisme pelaporan yang aman dan efektif yang mana tindakan korektif dapat dimulai setiap kali defisit akuntabilitas kantor terjadi-dari-dalam suatu organisasi, sehingga mengancam berfungsinya organisasi dengan baik. 

Kombinasi dari pandangan-pandangan ini menawarkan pandangan yang beragam tentang whistleblowing dalam etika jabatan yang lebih luas, yang memaksimalkan potensi praktik whistleblowing sambil meminimalkan potensi risiko bagi pihak-pihak yang terlibat.

Ucapan Terima Kasih

Versi sebelumnya dari artikel ini disajikan pada Association for Social and Political Philosophy Conference di LUISS G. Carli University of Roma pada tahun 2018. Kami berterima kasih kepada para peserta atas komentar mereka yang bermanfaat. Para Penulis juga berterimakasih atas dukungan dari Cariplo Foundation and Regione Lombardia, proyek penelitian "La corruzione delle relazioni [Korupsi hubungan politik]," grant 2017-1583.

ORCID. Open Researcher and Contributor ID adalah kode gabungan angka dan nomor yang secara unik menidentifikasi penulis ilmiah dan saintifik serta kontribusi lainnya.

Emanuela Ceva https://orcid.org/0000-0002-4422-7667

Michele Bocchiola https://orcid.org/0000-0001-8185-1429

KARYA YANG DIKUTIP

Applbaum, A. (1999). Ethics for adversaries. The morality of roles in public and professional life. Princeton: Princeton University Press.

Boot, E. (2017). Classified public whistleblowing: How to justify a pro tanto wrong. Social Theory and Practice, 43, 541–567.

Boot, E. (2018). No right to classified public whistleblowing. Ratio Juris, 31, 70–85.

Boot, E. (2019a). Obligatory whistleblowing: Civil servants and the complicity-based obligation to disclose government wrongdoing. Journal of Moral Philosophy, 16, 131–159.

Boot, E. (2019b). The ethics of whistleblowing. London: Routledge.

Brenkert, G. G. (2010). Whistle-blowing, moral integrity, and organizational ethics. In G. G. Brenkert, & T. L. Beauchamp (Eds.), Oxford handbook of business ethics (pp. 563–601). New York: Oxford University Press.

Brownlee, K. (2016). The civil disobedience of Edward Snowden. Philosophy and Social Criticism, 42, 965–970.

Ceva, E. (2019). Political corruption as a relational injustice. Social Philosophy & Policy, 35(2), 118–137.

Ceva, E., & Bocchiola, M. (2018a). Is whistleblowing a duty? Cambridge: Polity Press.

Ceva, E., & Bocchiola, M. (2018b). Personal trust, public accountability, and the justification of whistleblowing. Journal of Political Philosophy, 27(2), 187–206. https://doi.org/10.1111/jopp.12170.

Ceva, E., & Ferretti, M. P. (2017). Political corruption. Philosophy Compass, 12, 1–10.

Ceva, E., & Ferretti, M. P. (2018). Political corruption, individual behaviour and the quality of institutions. Politics, Philosophy & Economics, 17, 216–231.

Ceva, E., & Radoilska, L. (2018). Responsibility for reason-giving: The case of individual tainted reasoning in systemic corruption. Ethical Theory and Moral Practice, 21(4), 789–809.

Davis, M. (1996). Some paradoxes of whistleblowing. Business and Professional Ethics Journal, 15(1), 3–19.

Davis, M. (2003). Whistleblowing. In H. LaFollette (Ed.), Oxford handbook of practical ethics (pp. 539–563). New York: Oxford University Press.

De George, R. T. (2010). Whistle blowing. In Business ethics (7th ed.) (pp. 298–318). New York: Macmillan.

Delmas, C. (2015). The ethics of government whistleblowing. Social Theory and Practice, 41, 77–105.

Ferretti, M. P. (2019). A taxonomy of institutional corruption. Social Philosophy and Policy, 35(2), 242–263.

Guala, F. (2016). Understanding institutions. Princeton: Princeton University Press.

Hoffman, W. M., & Schwartz, M. S. (2015). The morality of whistleblowing: A commentary on Richard. T. De George. Journal of Business Ethics, 127(4), 771–781.

Jubb, P. (1999). Whistleblowing: A restrictive definition and interpretation. Journal of Business Ethics, 21(1), 77–94.

Kumar, M., & Santoro, D. (2017). A justification of whistleblowing. Philosophy and Social Criticism, 43(7), 669–684.

Kumar, M., & Santoro, D. (2018). Speaking truth to power. A theory of whistleblowing. Cham: Springer.

Leigh, D., Ball, J., Cobain, I., & Burke, J. (2011). Guantánamo leaks lift lid on world's most controversial prison. The Guardian: Retrieved from. https://www.theguardian.com/world/2011/apr/25/guantanamo-files-lift-lid-prison.

Lepora, C., & Goodin, R. E. (2013). On complicity and compromise. Oxford University Press.

Miceli, M. P., Dreyfus, S., & Near, J. P. (2014). Outsider ‘whistleblowers’: Conceptualizing and distinguishing ‘bell-ringing’ behavior. In A. J. Brown, D. Lewis, R. Moberly, & W. Vandekerckhove (Eds.), International handbook on whistleblowing research (pp. 71–94). Cheltenham: Edward Elgar.

Miceli, M. P., & Near, J. P. (1992). Blowing the whistle: The organizational and legal implications for companies and employees. New York: Lexington Books.

Miller, S. (2014), “Social institutions,” in E. Zalta (ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy, https://plato.stanford.edu/ archives/win2014/entries/social-institutions.

Sagar, R. (2013). Secrets and leak: The dilemma of state secrecy. Princeton: Princeton University Press.

Sheuerman, W. E. (2014). Whistleblowing as civil disobedience. The case of Edward Snowden. Philosophy and Social Criticism, 40, 609–628.

Vandekerckhove, W. (2006). Whistleblowing and organizational social responsibility. Aldershot: Ashgate.







Komentar

Miftahul Huda mengatakan…
Terima kasih pencerahannya
Anom Surya Putra mengatakan…
Kehormatan bagi saya telah dikunjungi aktivis sekaliber mas Miftahul Huda.

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

[Calon Buku] Hukum Komunikatif by Anom Surya Putra

OPINI Filsafat Hukum: Bagian Ke-2 Menziarahi Ius, Lex dan Codex

Day 12 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 13 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 11 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Hukum dalam Teori Tindakan Komunikatif Habermas

Ensiklopedi Filsafat Jürgen Habermas

OPINI Filsafat Hukum: Bagian Ke-3 Filsafat Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum

OPINI Filsafat Hukum: Bagian Ke-1 Berawal dari Sophia, Cinta Mendalam Yang Bijaksana