Opini Terbaru
BKAD PNPM MPd dan organ UPK Bukan Badan Hukum Pasca Putusan Mahkamah Agung Oktober 2021
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Putusan MA ini penting sebagai pembelajaran berhukum dalam konteks transformasi organisasi eks proyek PNPM-Mandiri Perdesaan ke institusi kerjasama usaha antar-Desa, sehingga menarik untuk menelusuri pertimbangan para hakim agung dalam Putusan MAHKAMAH AGUNG Nomor 32 P/HUM/2021 antara PERKUMPULAN UNIT PENGELOLA KEGIATAN NEGARA KESATUAN RI (ASOSIASI UPK NKRI) VS PRESIDEN RI.
Argumen Hukum yang Ditolak
Para pembaca dipersilahkan untuk mengunduh naskah putusan MA tersebut melalui alamat ini. Dalam bahasa yang lebih mudah dipahami oleh pembaca yang tidak berlatarbelakang Ilmu Hukum (jurisprudence), Pemohon (UPK NKRI) berargumen bahwa kaidah hukum Pasal 73 PP No. 11/2021 tentang BUM Desa yang mengatur "transformasi" itu bertentangan dengan UU 12/2011 Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU Cipta Kerja jo. UU Desa, dan UU Keuangan jo. UU Perbendaharaan Negara.
Hakim menolak seluruh alasan Pemohon, setelah menimbang alasan Pemohon dan bantahan dari Termohon.
Pertimbangan hakim diringkas sebagai berikut:
- ketentuan hukum peralihan (baca; istilah populernya adalah "transformasi") bermaksud untuk mengatur penataan kelembagaan dan sama sekali tidak bermaksud atau tidak dapat ditafsirkan sebgai pembubaran yang berakibat pada "kehilangan pekerjaan dan penghasilan tetap" para pengelola BKAD PNPM Mandiri Perdesaan, BP UPK, Tim Penanganan Masalah dan Penyehatan Pinjaman, Tim Verifikasi dan Tim Pendanaan.
- perubahan pengelola BKAD PNPM MPd, dan organ-organ UPK itu menjadi BUM Desa Bersama justru memperjelas status badan hukumnya karena BUM Desa Bersama adalah badan hukum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 117 angka 1 UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja.
- ketentuan peralihan (atau transformasi) itu mempertegas kedudukan atau status hukum Aset Dana Bergulir Masyarakat eks PNPM MPd sebagai milik bersama masyarakat, yang dalam BUM Desa Bersama diakui sebagai modal masyarakat;
- kelembagaan pengelola kegiatan dana bergulir masyarakat eks PNPM MPd yang beralih fungsi atau peran dalam tata organisasi BUM Desa Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 PP No. 11/2021 BUM Desa, tidak menghilangkan hak partisipasi masyarakat antar-Desa dalam pengambilan keputusan dan tidak ada pengambilalihan peran dan fungsi.
- kelembagaan BKAD PNPM MPd, BP UPK, UPK, Tim Penanganan Masalah dan Penyehatan Pinjaman, Tim Verifikasi dan Tim Pendanaan bukanlah badan hukum yang didirikan oleh Desa dan/atau bersama Desa-desa, sehingga ketentuan Pasal 73 PP a quo ditujukan untuk menjamin kepastian hukum, penguatan kelembagaan dan keberlanjutan tujuan program penanggulangan kemiskinan.
- Kementerian Desa masih bertanggungjawab pada aspek kebijakan perencanaan dan penataan kelembagaan untuk pengakhiran PNPM MPD sehingga aturan hukum UU Desa, UU No. 11/2020 dan peraturan pelaksanaannya merupakan wujud pelaksanaan tanggung jawab pemerintah dalam pembinaan Desa, masyarakat Desa dan perdesaan, termasuk di dalamnya kelembagaan pengelola kegiatan dana bergulir masyarakat eks PNPM MPd.
Konsensus atau Anarki?
Beberapa waktu pada bulan Oktober 2022, hampir setahun pasca putusan MA a quo, saya berdialog bebas dengan beberapa pengurus UPK DBM. Pada saat berdiskusi, sedapat mungkin, pikiran tidak didominasi oleh perspektif internal hukum yang normatif. Selama diskusi, pikiran tertuju untuk menguji pikiran-pikiran tentang transformasi secara sosiologis, atau dalam istilah sosiologi hukum disebut perspektif eksternal hukum, yang menghasilkan informasi (dan bukan interpretasi yuridis-normatif).
Argumen yang berlangsung selama dialog bebas itu terinformasikan dalam suatu persoalan utama yakni "kecemasan pengelola eks BKAD dan eks UPK DBM ketika akan beralih ke BUM Desa Bersama".
Pertama, kecemasan akan kehilangan pekerjaan. Kecemasan ini secara fundamental disebabkan pengelola BKAD dan organ-organ UPK DBM itu jarang berkomunikasi dengan institusi Desa, kecuali komunikasi yang berada dalam lingkup interaksi individual. Misalnya, beberapa pengelola itu berhubungan baik dengan beberapa kepala Desa di wilayah kerjanya yang berskala satu kecamatan. Tetapi, sebagaimana kecemasan itu tersampaikan dalam bahasa-tutur (speech-act), kepala Desa dikhawatirkan tidak akan menjamin posisi mereka untuk terus bekerja sebagai Direktur, Manajer dan staf di BUM Desa Bersama, ketika terselenggara Musyawarah Antar Desa.
Fenomena ini memerlukan tindakan koordinasi sosial pada skala antar-Desa. Para Kepala Desa dan pengelola eks BKAD PNPM MPd dan eks UPK DBM belum duduk dan bernegosiasi untuk pemosisian masing-masing. Misalnya, proses negosiasi yang menyepakati bahwa eks-BKAD PNPM MPd bebas memilih untuk menjadi pengawas atau anggota dari Dewan Penasihat (ex-officio para Kepala Desa) ---yang menerima kuasa dari Dewan Penasihat itu.
Kedua, kecemasan bahwa Desa-desa tidak akan atau enggan untuk menyertakan modal untuk BUM Desa Bersama. Fenomena ini mungkin disebabkan secara psikis bahwa para Kepala Desa belum duduk bersama dan belum interaksi intens untuk menghitung jenis usaha gabungan antara jenis usaha eks-UPK DBM dan jenis usaha Desa-desa yang bersepakat melakukan kerjasama usaha antar Desa melalui BUM Desa Bersama.
Faktor lain pula, belum semua UPK DBM yang berafiliasi pada Pemohon (organisasi Asosiasi UPK NKRI), menyusun laporan aset, daftar kelompok pemanfaat dan lainnya, sebagai dokumen yang diserahkan kepada inspektorat untuk dilakukan audit reviu. Data hasil audit reviu ini secara teknokratik dan administrasi-pemerintahan sebenarnya hanya untuk memastikan kondisi keuangan UPK DBM yang akan tercatat sebagai ekuitas awal Neraca BUM Desa Bersama. Minimnya pengetahuan dan perbedaan cara pandang akuntansi keuangan turut menipiskan pemahaman timbal-balik antara eks BKAD dan eks UPK DBM dan Desa. Sehingga masing-masing pihak kurang mempunyai pemahaman timbal-balik untuk menyertakan modal dan membahas rencana penggunaan modal gabungan/bersama.
Fenomena keberatan dari Pemohon dan anggota organisasi asosiasinya tentu masih bisa bertambah panjang. Tergantung kepentingan yang tersimpan dalam dunia batin para pengurusnya. Selain itu, fenomena kekalahan Pemohon di ruang yudisial Mahkamah Agung sangat mungkin untuk bergeser ke alasan lain bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi atas proses formil UU Cipta dijadikan alasan untuk menunda tindakan-aktual proses transformasi. Dalam perspektif internal hukum, putusan MK itu berpotensi untuk diklaim sebagai pembenaran (justification) bahwa eks BKAD PNPM MPd dan eks UPK DBM tetap merupakan "badan hukum" melalui Musyawarah Antar Desa berdasar PTO proyek PNPM MPd di masa lampau. Meskipun, proyek PNPM MPd yang dilegitimasi perjanjian internasional itu sudah berakhir dan berubah menjadi berbagai program baru seiring dengan perubahan Sistem pasca keberlakuan UU Desa.
Berbagai interpretasi dan klaim-klaim pembenaran berdasar putusan MK tentang UU Cipta Kerja dan "penolakan terselubung" atas putusan MA itu tidak mengubah kondisi nyata eks BKAD PNPM MPd dan eks UPK DBM. Kedua organisasi itu berikut sub-bagiannya tetap "tidak diakui sebagai badan hukum" oleh kekuasaan negara.
Dalam kondisi politik lokal, eks BKAD PNPM MPd dan eks UPK DBM mungkin akan melegalkan status badan hukumnya melalui Musyawarah Antar Desa. Persoalannya, Musyawarah Antar Desa ini berbasis UU Desa atau berbasis Petunjuk Teknis Operasional program sebelumnya? Siapakah representasi Desa yang dimaksudkan dalam Musyawarah Antar Desa itu? Dan benarkah PTO PNPM MPd masih berkekuatan hukum? Perdebatan normatif semacam ini akan meluas hingga ke beberapa gaya pembenaran.
Putusan peradilan seperti putusan MA yang mengalahkan upaya Pemohon (UPK NKRI) itu patut direnungkan dan menjadi pertimbangan untuk memutus perselisihan atau reintegrasi sosial dalam skala luas.
Transformasi BKAD eks PNPM MPd dan UPK DBM, atau sebaliknya, mempertahankan BKAD eks PNPM MPd dan UPK DBM ala PTO-PNPM-MPd, bukanlah harga mati. Perdebatan sengit tentang transformasi justru membuka lembaran baru bahwa kerjasama usaha antar-Desa tidak cukup hanya transformasi lembaga eks proyek pemberdayaan secara normatif, tetapi membuka jalan bagi representasi Desa-desa untuk mengelola usaha bersama dengan komitmen demokrasi permusyawaratan Desa-desa, manajemen yang merepresentasikan kepentingan kolektif Desa-desa dan bukan berdebat sekedar soal uang, utang dan piutang.
Bila konsensus tidak bercokol di pikiran dan niatan untuk bertransformasi, termasuk semua tindakan silat lidah dan keras kepala anti-transformasi yang dijustifikasi dengan klaim "pemberdayaan masyarakat di Desa", maka pikiran, tindakan-tutur dan aksi penundaan transformasi hanya berujung pada anarki. *
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar