Opini Terbaru

Between Facts and Norms, Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (2): Pengantar dari Jürgen Habermas

Gambar
PENGANTAR Jürgen Habermas  | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse

Homo Accounticus, Ontologi Akuntansi


Seorang pengurus Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) sedang mencatat hasil penjualan barang dagangan di toko Desa. Tak jauh dari situ, seorang staf nampak sibuk mencatat hasil penjualan tiket masuk wisata ke umbul (mata air purba) di Desa. 

Fenomena sedehana ini sering saya jumpai ketika melakukan perjalanan di Desa, terutama Desa yang di dalamnya terdapat potensi alam untuk diolah menjadi tujuan wisata. Pertanyaan di dalam pikiran saya, bagaimana perilaku itu diinformasikan dalam diskursus filsafat akuntansi? 

Saya andaikan akuntansi sebagai salah satu ilmu pengetahuan sosial. Ilmu pengetahuan sosial yang terbuka untuk dikaji dalam diskursus filsafat. Pemikiran awal ini terbatasi dalam ontologi. Diskursus ontologi membuka cara berpikir mendasar tentang “ˆHomo Accounticus” atau “Manusia Akuntansi”. Bagaimana manusia mengada sebagai manusia akuntansi? Dalam contoh fenomena yang saya jumpai di Desa itu, bagaimana manusia di Desa mengada sebagai manusia akuntansi?

Kehidupan di Desa baik Desa yang tebal adatnya atau sebaliknya adatnya menipis karena efek modernisasi, pembangunanisme dan kapitalisme, berada dalam interaksi sosial yang kolektif, organik, komunal, komunitarian dan sebagainya. Manusia akuntansi di Desa tumbuh dari perilaku komunikasi satu sama lain dan setelahnya mereka mencatat uang yang diperoleh setelah melakukan usaha. Usaha itu dilakukan dalam lingkup sumber penghidupannya di Desa, bisa diperoleh dari arena wisata di mata air, pertanian, perikanan, kelautan hingga pengelolaan hutan. 

Sumber penghidupan itu selalu tak lepas dari sumber daya bersama (common pool resources). Berbeda halnya dengan tipe Desa yang ditinggalkan sebagian warganya ke luar Desa, seperti merantau, kerja menjadi buruh di kota, kerja menjadi pegawai negeri, atau berkarir sebagai politisi dan pejabat publik hasil peristiwa politis. Tipe Desa seperti ini bisa disebut sebagai Desa yang ditinggalkan warganya akibat urbanisasi yang sejatinya produk dari modernisme, pembangunanisme dan kapitalisme.

Akuntansi tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks sosial Desa. Akuntansi dibentuk oleh manusia akuntansi dari praktik-praktik berbahasa. Tradisi kuno telah mengajarkan beberapa manusia akuntansi di Desa untuk menghitung hari baik, hari buruk, hari yang tepat untuk melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu. Tradisi kuno di Jawa menyebutnya sebagai “pawukon”, sedangkan tradisi di Bali menyebutnya sebagai “pewarigaan”. Manusia akuntansi itu memperoleh hakikat mengada dari ritus-ritus penghitungan hari. Kaum modernis menyebutnya sebagai mitos. 

Kaum modernis mengganti mitos penghitungan hari yang selalu terpaut dengan denyut nadi kehidupan sehari-hari warga Desa itu dengan mitos baru yakni “tata buku”. Ilmu pengetahuan yang menghitung peruntungan nasib, peruntungan kerja, dan peruntungan takdir dalam ukuran ilmu pengetahuan modern. Dalam situasi pasca kolonial, mitos ilmu pengetahuan “tata buku” digantikan dengan mitos “ilmu akuntansi” yang mengusung cara berpikir Amerikanis daripada Eropa-Belanda kolonial.

Manusia akuntansi di Desa tak lagi menjalani kehidupan ontologisnya melalui penghitungan hari, waktu, sesajen, dan mantra-mantra, tetapi masuk ke mitos baru yakni menghitung arus kas masuk, arus kas keluar, dan beruntung bila sampai bisa menyusun laporan posisi keuangan neraca. Ilmu pengetahuan akuntansi dibangun dalam tindakan komunikasi yang berlangsung di antara pelaku usaha, pelaku penghitungan hari (yang dianggap klenik dan bid’ah oleh sebagian mitos lainnya), dan pelaku rasional birokratik seperti pelaku pemerintahan supra-Desa. 

Perubahan kemampuan berbahasa dari manusia akuntansi di Desa itu mengikuti proses interaksi sosial yang dilandasi oleh pemahaman timbal-balik (mutual understanding) di Desa maupun dalam lingkup interaksi sosial antara Desa dan luar Desa. Ilmu pengetahuan akuntansi tidak dibentuk dari “ontologi” dalam filsafat modern yang mana ontologi itu telah membuat perubahan warga Desa yang awalnya mengada dalam ritus-ritus spiritualistis menjadi mengada dalam percakapan, dialog, dan pencatatan uang masuk dan uang keluar. 

Ontologi ilmu pengetahuan akuntansi telah mengubah warga Desa yang semula melakukan “mimikri” (peniruan) atas semesta (jagad gedhe; makro-kosmos dan jagad cilik; mikro-kosmos) ke dalam dirinya ---dan mimikri itu menyatu dengan posisi pasar dalam penjuru mata angin (pasar kliwon di tengah, pasar legi di timur, pasar pon di barat, pasar wage di utara, dan pasar pahing di selatan)--- menjadi mengada dalam percakapan selama interaksi sosial terjadi.

Ontologi ilmu pengetahuan akuntansi yang dibentuk dalam interaksi sosial kemudian meluas melalui “medium”. Medium itu diwarnai oleh medium uang (money) dan medium kekuasaan (power). Manusia akuntansi di Desa mengada dalam pertimbangan uang yang dikalkulasi secara efisien dan pertimbangan kekuasaan negara dan kekuasaan korporasi yang pragmatis. Saya masih teringat beberapa teman pemerintah Desa harus mencatat laporan keuangan Desa dalam sistem aplikasi keuangan Desa dan teman pengurus BUM Desa mempersiapkan laporan keuangan BUM Desa (neraca, laba/rugi, arus kas, laporan perubahan ekuitas, dan seterusnya) untuk diperbincangkan di dalam Musyawarah Desa. 

Medium uang dan kekuasaan di satu sisi melakukan penjajahan (kolonialisasi) terhadap rasionalitas warga Desa yang komunikatif dalam berakuntansi, tetapi di sisi lain terdapat deliberasi untuk melegitimasi praksis akuntansi itu dalam dunia kehidupan sehari-hari.

Diskursus ontologi pengetahuan akuntansi di Desa menarik untuk diperbincangkan pembentukannya dalam percakapan yang naif (seperti percakapan tentang pencatatan uang masuk/keluar tanpa pusing memikirkan kode akun sambil menggosip penggelapan uang), percakapan rasional-instrumental (seperti percakapan mencatat uang masuk/keluar disertai rasionaliasi kode akun dan laporan keuangan yang sahih), hingga percakapan rasional-komunikatif (membawa laporan keuangan dalam forum permusyawaratan untuk memperoleh legitimasi sosial).

Begitulah kira-kira, catatan ini dibuat dalam situasi menyepi di tepi hutan dan telaga, di sebuah Desa yang dekat dengan sumber tenaga listrik tetapi lampu sering “giliran hidup”. Hutan kita kaya tapi rakyatnya melarat. 

Lalu, apa gerangan yang dipikirkan oleh Homo Accounticus modern di kota?

ASP.-


Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

Konstitusionalisme Deliberatif dan Judicial Review

Day 10 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 16 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 6 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 4 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 8 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 7 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (2): Pengantar Buku Sosiologi Hukum

Day 17 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)