~ MUDRA DAN VANUA ~
Pagi hari ini Mudra terbangun di atas kasur bejana. Tangannya berkata kepada kaki: "kamu percaya hari ini jam 6 sore di permukaan bulan?" Mudra bergegas mengayun kaki ke langit ketujuh. Barang durjana bernama handphone bertalu-talu mengingatkan sang waktu dengan sederet pesan. "Hari ini jadwalku bersua dengan Vanua." Tangan Mudra beringsut menimbun kata pada besi titanium: "Kita akan bertemu secepatnya, kak Vanua."
Vanua baru kali pertama akan bertemu sosok lelaki yang didengarnya berkemampuan seperti Ant-Man. Manusia yang mampu membesar dan mengkerut di dalam kubangan masalah Desa. Semut bertengger di atas kelapa pun konon akan mengikuti derap kaki Mudra bila diperintah dengan senyuman.
Laksana pejabat yang tahu cara mengatur tapi alpa dalam mengurus rakyatnya, Mudra mengeja kalimat yang ditulisnya di atas buku agenda. Ratusan pohon telah ditebang menjadi kertas dan didaur ulang menjadi buku agenda kertas buram coklat. Apabila Mudra jujur kepada luka di kakinya, maka pikiran yang ditulis dengan jemari yang terluka oleh pohon sawit tahun lalu sungguh akan memberi pengertian-pengertian baru tentang kerumunan di Desa. "Kerumunan, neraka bagiku," tandas Mudra di dalam hati.
Pikirannya tentu sama sekali tidak otentik. Seorang filsuf pada awal abad XX sudah pernah bersabda tentang orang lain adalah neraka baginya. Di tangan Mudra, pikiran filsuf itu dibuang dan dikenang dalam perkara bongkar-muat urusan Desa yang tidak Berdesa. Vanua dianggapnya sebagai perempuan yang berlumur mantra, membuang duri dari mawar yang konon indah, dan handal sebagai tukang tiup warga yang meyakini ada arwah busuk yang menempel di tubuh. Meskipun Vanua didengarnya tak pernah mengutip uang, tapi semesta perdukunan di lntas-Desa, lintas-kecamatan, lintas-sanitasi, dan lintas-laba rugi, masih menghembuskan kesaktian Vanua.
Mudra bersukacita menumpuk kata demi kata yang bersih dari aroma celengan celeng. Buat faksi garis keras, untaian pikirannya tidak akan memuaskan hasrat melawan pepesan angin. Jantungnya berdegup kencang seperti balapan liar antara kuda dan motor RX-King di perbukitan Desa. Isi jantungnya adalah gas. Biaya gas yang tak murah. Senilai dengan Ethereum dan Bitcoin yang milyaran rupiah itu.
Beberapa bulan sabit lalu Vanua mengirimkan surat elektronik kepada Mudra. Sambil menjemur dedaunan sesajen yang telah ia petik dari hutan Desa, hutan yang dikuasai oleh monster berdarah dingin bernama negara. Isi suratnya membuncahkan perasaan cemas dan khawatir akan pagebluk. Vanua menulis surat yang padat pesan, panjang kata, berlumur garis-garis Times New Roman, dan dibayangi wajah senyum manis Kuntilanak yang tak pernah ia jumpa.
"Dear, Mudra. Salam kenal dari tebing jurang yang menganga di dekat sandal jepit. Saya terjepit persentuhan kulit antara kulit jempol dan kulit kuda. Di masa pagebluk ini pikiran saya risau. Warga Desa kalang kabut dihalau tongkat kayu petugas dari alam ghaib. Setiap kerumunan dibubarkan dengan teriakan megaphone yang dilekati semburan tipis ludah. Kepala Desa kami sibuk mengumpulkan emas dari perut bumi untuk ditukar dengan kenyamanan. Apa kabar Desa tempat tinggalmu? Apakah masih romantis seperti roman picisan yang erotis itu? Apakah erotis dan transgresif seperti Kuntilanak? Saya menjumpai berbagai rangkaian peristiwa di ujung tanduk. Napas kematian sewangi alkohol vodka. Orang mati mendadak. Saham gugur berjatuhan di pojok kursi pemodal. Manusia berjubah alien putih tanpa henti di hadapan hidungku. Aneh. Unik. Miris. Lucu. Gila. Kapan bisa bertemu? Berkabar lah ketika siap untuk bersua. Tanpa pori-pori yang melebar. Tanpa ingin melumatku dalam dekapan rayuan gombal."
Mudra tersenyum simpul mengingat isi surat elektronik itu. Kafe di ujung jalan Desa semakin ramai dikunjungi air hujan. Petir tak malu lagi mengirim anak-anaknya. Awan mengiringi perjalanan motor mahalnya yang dibeli dengan sisa harapan dan tumpukan utang. Bayangan tentang Vanua mendadak menggiurkan. Demikianlah tangan Mudra bergerak menyentuh celana. Merogoh uang di dekat bawah pusat perguliran keturunan. "Aku harus traktir Vanua, " kata Mudra kepada air hujan yang mengalir dari atap seng bocor. Hujan! Kau musuhku nomor satu. Kelak kutebas urat airmu dengan keris tolak angin. Ooo hujan, kau selalu dikutip puisi sastrawan dunia, yang sebasah apa pun, selalu membubarkan kerumunan di tengah jalan, tetapi mengumpulkan rasa dingin untuk saling memagut kehangatan dari neraka.
Next -->
Komentar