Desa Sumber Kembar telah eksis sejak tahun 1885 di kaki Gunung Argopuro. Terbentuk mendahului Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tahun 1945. Eksistensi Desa Sumber Kembar di kawasan Pakuniran dapat kita lihat melalui peta digital pada situs Perpustakaan Universitas Leiden dengan nama Desa Soemberkembar.[1] Desa Sumber Kembar terhampar di kawasan perdesaan tipologi persawahan sejak akhir abad ke-19.
Pada akhir abad ke-19 infrastruktur jalan raya telah terbangun menghubungkan Desa Soemberkembar dengan Desa lainnya. Terhubung dengan Desa Pakoeniran dan Desa Bagoe (sebelah Selatan), Desa Botjor Koelon (sebelah Utara), Desa Soegahan (sebelah Barat) dan Desa Alaspandan (sebelah Timur).
Tanah yang subur di Desa Soemberkembar berdekatan pula dengan hamparan ilalang di kawasan perdesaan Pakuniran pada masa itu. Hingga awal tahun 1920-an nama Desa Soemberkembar tidak berubah.
Riwayat historis pembangunan infrastruktur di Desa Sumber Kembar tak terketahui selama hampir 100 (seratus) tahun sejak tahun 1885 sampai dengan tahun 1970. Dalam dokumen RPJM Desa Sumber Kembar (2011-2015) tidak terdapat data mengenai pembangunan infrastruktur pada masa Kepala Desa (Petinggi) Badrun yang kali pertama memimpin Desa (1936-1970). Lazimnya Petinggi di masa itu rumah Kepala Desa sekaligus menjadi pusat aktivitas Berdesa, tepatnya di Dusun Krajan. Masa kepemimpinan berikutnya dilanjutkan oleh kerabat Badrun yakni Dasuki (1970-1990) yang membangun Balai Desa Sumber Kembar dan infrastruktur plengsengan di Dusun Taman dan Dusun Derpoh. Desa Sumber Kembar aktif membangun infrastruktur lainnya pada masa kepemimpinan Petinggi Kusdari Hidayatullah (1990-2006) dan Misbahul Munir (2006-2015).
Keterhubungan antara Desa Sumber Kembar dengan Desa lainnya seperti halnya digambarkan melalui peta digital kolonial pada tahun 1885 masih bisa kita lihat jejaknya pada dokumen RPJM Desa Sumber Kembar (2011-2015). Data RPJM Desa Sumber Kembar menguraikan secara ringkas batas wilayah Desa Sumber Kembar dengan Desa lainnya:
- Sebelah Utara dengan Desa Bucor Kulon, kecamatan Pakuniran (pada tahun 1885 bernama Desa Botjor Koelon);
- Sebelah Timur dengan Desa Alaspandan, kecamatan Pakuniran (nama Desa Alaspandan tidak berubah sejak tahun 1885);
- Sebelah Selatan dengan Desa Pakuniran, kecamatan Pakuniran (pada tahun 1885 bernama Desa Pakoeniran);
- Sebelah Barat dengan Desa Sogaan, kecamatan Pakuniran (pada tahun 1885 bernama Desa Soegahan).
Eksistensi Desa Sumber Kembar sejak masa kolonial memberikan pemahaman kepada kita tentang hak asal usul Desa Sumber Kembar. Hak asal usul Desa Kembar meliputi sumberdaya bersama (common pool resources) mata air kembar yang tersebar di beberapa Dusun, tradisi permusyawaratan dan kultur petani.
Masa pembentukan Desa Sumber Kembar sulit diketahui secara pasti. Buku ini juga tidak ditulis melalui metode penelitian sejarah dan arkeologi. Oleh karenanya, buku ini lebih tepatnya sebagai pembuka jalan bagi penelitian lainnya terhadap Desa Sumber Kembar, baik penelitian arkeologi, sejarah, dan hukum pada masa negara-kerajaan, kolonial, dan pasca kemerdekaan.
Republik Desa
Robert Wade menulis buku penting tentang Republik Desa di India Selatan yang menegaskan air sebagai sumberdaya bersama (common pool resources) di Desa, organisasi masyarakat berpemerintahan yang ditopang oleh tradisi permusyawaratan (Panchayat), dan pengelolaan sumberdaya bersama untuk kepentingan bersama (collective action).[2] Pada skala pengetahuan yang lebih luas Desa Sumber Kembar merupakan salah satu sumber pengetahuan tentang Republik Desa.
Nama “Sumber Kembar” pada Desa Sumber Kembar berarti Desa yang mempunyai mata air kembar sebagai sumberdaya bersama (common pool resources). Mata air di Desa Sumber Kembar berkaitan erat dengan tradisi permusyawaratan, dan kultur petani di Desa Sumber Kembar. Desa Sumber Kembar bisa dikatakan bersinggungan dengan karakteristik Republik Desa sebagaimana diungkapkan oleh Robert Wade.
|
Gambar 2 Kolam Pemandian Dekat Sumber Mata Air Desa di Dusun Taman (Tahun 2016) |
Pertama, ada beberapa mata air di Desa Sumber Kembar dan seluruh aliran dari mata air tersebut menuju Sungai Pancarglagas:
- mata air kembar di Dusun Taman yang digunakan sebagai sumber pengairan sawah dan salah satu dari mata air ini digunakan sebagai sumber pengisian “wisata kolam pemandian” yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa);
- mata air di Dusun Derpo dan Dusun Kedungpawon yang digunakan sebagai tempat pemandian oleh sebagian warga Desa;
- mata air di Dusun Krajan untuk tempat menyepi atau meditasi dan direnovasi secara swadaya oleh Padepokan Siroth Banyu Bening;
Kedua, mata air mempunyai hubungan yang melekat erat dengan tradisi permusyawaratan dan kultur petani. Tradisi permusyawaratan berlangsung secara deliberatif. Perilaku penggunaan mata air diputuskan dalam perbincangan yang berlangsung bebas di Desa. Tindakan kolektif berupa penggunaan mata air untuk kepentingan bersama telah tertanam secara turun temurun. Setiap lokasi mata air disadari sebagai sumber penghidupan mayoritas warga Desa yang aktif sebagai petani.
Selain kita peroleh pengetahuan Republik Desa dari Sumber Kembar yang sebangun dengan diskursus Republik Desa menurut Robert Wade dimuka, Desa Sumber Kembar juga merupakan sumber pengetahuan Asas Rekognisi yang melandasi UU No. 6/2014 tentang Desa (selanjutnya disingkat UU Desa). Penting untuk dipahami bersama bahwa asas pengaturan utama dalam UU Desa adalah Asas Rekognisi. Makna dari Asas Rekognisi dalam UU Desa adalah pengakuan terhadap hak asal usul.[3]
Asas Rekognisi menjadi dasar moralistis bagi Kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul.[4] Kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul adalah kewenangan berdasarkan hak yang merupakan warisan yang masih hidup dan prakarsa Desa atau prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat, antara lain sistem organisasi masyarakat adat, kelembagaan, pranata dan hukum adat, tanah kas Desa, serta kesepakatan dalam kehidupan masyarakat Desa.
Desa Sumber Kembar mempunyai hak asal usul yakni prakarsa dan kesepakatan diantara warga Desa (Pemerintahan Desa dan Masyarakat Desa) untuk mengelola mata air dalam kehidupan masyarakat Desa. Pengelolaan mata air bukan untuk kelompok atau perorangan di Desa Sumber Kembar. Oleh karena itu, para pihak yang ingin mendampingi Desa Sumber Kembar secara mutlak harus menghormati hak Desa Sumber Kembar dalam mengatur dan mengurus mata air demi kepentingan masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat Desa.
Mitos Mata Air
Di wilayah Desa Sumber Kembar terdapat mata air kembar di Dusun Taman. Pada masa kepemimpinan Penjabat Kepala Desa Abdul Gani, sekitar tahun 2017, Desa Sumber Kembar mendirikan secara normatif BUM Desa “Taman Berseri”. Institusi ekonomi milik Desa ini mengemban amanat untuk mengelola salah satu mata air di Dusun Taman, Desa Sumber Kembar, sebagai lokasi wisata kolam pemandian. Menurut Agus Mulyanto (Pengawas BUM Desa), penamaan “Taman Berseri” awalnya identik dengan Dusun Taman sebagai lokasi mata air dan wisata kolam pemandian. Tetapi sebenarnya masih terdapat dusun lain yang juga membutuhkan sentuhan BUM Desa agar ikut berseri.
Prakarsa pendirian BUM Desa “Taman Berseri” pada tahun 2017 berlangsung praktis, tanpa perencanaan bisnis, dan berjalan secara naluri. Mata air di Dusun Taman, Desa Sumber Kembar, sebelumnya pernah dibangun sebagai embung Desa. Pada akhir tahun 2017 mata air tersebut direnovasi ala kadarnya oleh Pemerintah Desa sebagai wisata kolam pemandian agar segera dikelola oleh BUM Desa. Kolam pemandian itu diberi nama “Taman Sumber Kembar”. Dibangun diatas tanah kas Desa.
|
Gambar 3 Renovasi Kolam Pemandian (Tahun 2017) |
Angga Fajar, pengurus BUM Desa, menuturkan, “Mata air kembar di Dusun Taman mempunyai dua sumber, yang satu bernama sumber laki-laki, dan yang satunya lagi bernama sumber perempuan, dan ada mitos dua ular penunggu sumber mata air.”
BUM Desa “Taman Berseri” mengelola sumber perempuan sebagai tempat wisata kolam pemandian “Taman Sumber Kembar”. Aliran dari mata air sumber perempuan digunakan untuk pengisian kolam pemandian. Kurang lebih 200 (dua ratus) meter sebelah barat dari sumber perempuan terdapat sumber laki-laki yang tetap digunakan untuk pengairan sawah.
Dalam percakapan sehari-hari, mata air kembar tersebut memang lebih mudah disebut sebagai sumber laki-laki dan sumber perempuan. Simbol laki-laki seperti dikisahkan oleh Angga Fajar menunjuk pada simbol Lingga, sedangkan simbol perempuan menunjuk pada Yoni. Pada masa Majapahit, sebagian besar Desa di Jawa, termasuk di wilayah Probolinggo, mayoritas berkeyakinan Shiwa atau Budha,[5] sehingga warga Desa telah mengenal pengetahuan Lingga dan Yoni.
Pengetahuan ini secara praktis dikenali dalam bahasa sehari-hari sebagai simbol laki-laki dan perempuan. Keduanya sebenarnya merupakan simbol kesuburan (kesatuan antara laki-laki dan perempuan) pada konteks hubungan antara warga Desa dengan mata air. Selain itu mata air merupakan prasyarat untuk membangun tempat peribadatan suci Shiwa di Desa setempat dan sekaligus sumber pengairan ke sawah. Atas dasar spiritualitas yang berlangsung di Desa tersebut negara-kerajaan Majapahit memberikan penghormatan kepada Desa (wanua) yang subur dan mampu menghidupi dirinya sendiri. Negara-kerajaan tidak mencampuri urusan Desa.
Kisah ular penunggu mata air sebenarnya bukan kisah alam ghaib yang tidak jelas arahnya, tetapi simbol dari pembangkitan chakra (titik-titik energi pada tubuh). Mata air berfungsi sebagai tempat meditasi untuk membangkitkan kesadaran murni (awareness) melalui proses pembukaan chakra pada tubuh (dari tulang ekor sampai kepala). Proses meditasi tersebut secara visual mirip “ular” yang melingkar-lingkar di seluruh titik chakra agar tubuh sehat, pikiran jernih, dan batin yang hening. Pengetahuan ini mengajarkan kepada kita agar kepala (kesadaran murni; awareness), dada (keinginan warga) dan perut (kepentingan ekonomi) senantiasa selaras dengan alam. Mitos ular penunggu mata air merupakan simbol olah batin yang menyatukan warga dengan mata air, ikatan warga dengan tanahnya, hubungan pola nafkah warga dengan sawahnya, dan hubungan komunikatif antara warga dengan pemimpinnya.
Pada pemahaman yang lebih luas, mitos ular penunggu mata air merupakan kesadaran simbolis dari warga Desa Sumber Kembar agar warga selalu menjaga kelestarian mata air dan sawah. Pemerintahan Desa dan masyarakat Desa secara naluri selalu menyatu dengan semesta dan tunduk pada hukum moral (larangan atas tindakan pengrusakan alam).
Perbincangan mitos tersebut terakumulasi sedemikian rupa dan menjadi inspirasi bagi BUM Desa untuk mengelola kolam pemandian tanpa kaporit. Pengelolaan berlangsung secara naluri, tanpa ada bimbingan teknis dari Pemerintah Desa dan pemerintah supra-Desa (kecamatan dan kabupaten). Sejak awal tahun 2018 BUM Desa mulai aktif merawat kolam pemandian dan menerima kunjungan dari warga Desa lainnya.
|
Gambar 4 Hasil Renovasi Kolam Pemandian (Akhir Tahun 2017) |
BUM Desa “Taman Berseri” berganti nama menjadi BUM Desa “Plalangan” pada akhir tahun 2019 untuk menghormati nama pendiri Desa Sumber Kembar yakni “Plalangan”. Sepanjang tahun 2018-2020 BUM Desa mulai menyadari pentingnya hak asal usul Desa Sumber Kembar sebagai spirit usaha kolektif. Cakupan kinerja BUM Desa “Plalangan”, Desa Sumber Kembar, mulai menjangkau lebih luas daripada pengelolaan mata air dan wisata kolam pemandian, seperti kolaborasi dengan usaha batik, makanan ringan, dan lainnya.
|
Gambar 5 Rerimbunan Pohon Sekitar Kolam Pemandian (Tahun 2018) |
Pada awal tahun 2020 pandemi Covid-19 melanda seluruh wilayah di Indonesia. Protokol kesehatan diterapkan kepada seluruh lokasi wisata di Desa. Tepat pada tanggal 24 Maret 2020 BUM Desa mengumumkan penutupan lokasi wisata kolam pemandian tanpa batas waktu yang ditentukan. Pendapatan BUM Desa “Plalangan” semakin merosot. Strategi yang dilakukan benar-benar hanya merawat sumber mata air dan wisata kolam pemandian “Taman Sumber Kembar”. Mata air kembar di “Taman Sumber Kembar” pun kembali sunyi.*
Catatan Kaki:
[1] Lihat peta digital pada Situs Leiden University Libraries diakses pada tanggal 1 Juni 2020.
[2] Robert Wade, Village Republics: Economic Conditions for Collective Action in South India, (San Fransisco, California: Institute for Contemporary Studies, 1994).
[3] Pasal 3 huruf a UU No. 6/2014 tentang Desa, “Pengaturan Desa berasaskan …rekognisi”.
[4] Pasal 19 huruf a UU No. 6/2014 tentang Desa beserta penjelasan.
[5] Kerajaan Majapahit memiliki seksi kearsipan khusus untuk mendata sekitar 27 (dua puluh tujuh) catatan mengenai tanah sima swatantra yang bebas pajak dan dikuasai komunitas keagamaan Shiwa-Buddha. Tanah lain yang otonom dinamakan tanah milik bebas (dharma lepas). Hubungan elit kraton dan rohaniawan berjalan mesra. Tetapi kerja rodi dan pajak diterapkan kepada desa-desa biasa yang berada dibawah kekuasaan kraton. Kondisi Desa (deça) di Jawa secara hipotesis merupakan kelanjutan dari Deça pada masa Sriwijaya. Posisi Deça dipisahkan secara fungsional dengan Vanua. Teritorial dan organ Deça diposisikan oleh kekuasaan negara-kerajaan sebagai Deça administratif. Dikembangkan dari Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu, Bagian III: Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris, diterjemahkan Winarsih Partaningrat Arifin (et.al), dari judul asal Le Carrefour Javanis: Essai d’histoire globale, III. L’heritage des royaumes concentriques, Cetakan Ketiga, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Forum Jakarta-Paris dan École Française d'Extrême-Orient, 2005), hlm. 16.
Komentar