Opini Terbaru
Teori Hukum Deliberatif (1): Berawal dari Masa Kemunduran Filsafat Hukum
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Please cite as: Putra, Anom Surya Putra. "Teori Hukum Deliberatif (1): Berawal dari Masa Kemunduran Filsafat Hukum." Blog Anom Surya Putra, Juni 2022. https://anomsuryaputra.blogspot.com/2022/06/bagian-ke-1-teori-hukum-dimulai-dari.html
-------------------------------------------
Yunani Antik menjadi cermin gratisan bagi filsafat hukum. Keadilan menjadi objek pengetahuan filsafat hukum yang peletakannya difokuskan pada bangunan polis atau negara kota. Dalam sejarah gagasan, keadilan distributif maupun keadilan komutatif dari jazirah Yunani Antik itu tumbuh‐kembang di zaman Immanuel Kant. Keadilan menjadi proyek akal‐budi atau rasio. Beranjak dari sejarah gagasan itu dapatlah dipahami bahwa definisi hukum tersubordinasi pada wilayah moralitas dan akhirnya masuk dalam wilayah kajian filsafat moral atau Etika.
Di seberang keadilan terdapat fakta yang didalamnya terdapati praktek hukum. Fakta‐fakta itu terkondisikan berada di zona positivisme August Comte. Selayaknya mengikuti positivisme Comte maka agama menjadi sub‐ordinasi dari pemikiran sosiologi, ilmu hukum (jurisprudenz) dan struktur keilmuan lainnya. Kontradiksi antara keadilan dan praktek hukum selanjutnya menjadi latensi dan bahkan cenderung menjadi epiphenomena yang laten ‐‐ ibarat suatu gejala yang tak berujung pasti.
Bagian tulisan ini diawali dengan membincang‐ulang Positivisme yang dipahami dalam suatu masa kesejarahan tertentu yaitu masa kemunduran Filsafat Hukum. Masa ini diwarnai dengan kemunculan Ajaran Hukum Murni (Reine Rechtslehre) dari Hans Kelsen yang mendefinisikan Ajaran Hukum Murni sebagai Teori Hukum Positif. Objek Teori Hukum Positif adalah hukum positif.
Berbagai istilah digunakan oleh Hans Kelsen guna menamai Teori Hukum Positif yakni Ilmu Hukum Normatif maupun Teori Juristik yang sebangun struktur argumentasinya. Sikap yang diambil Teori Hukum Positif adalah pemurnian hukum dari kepentingan‐kepentingan di luar hukum seperti politik, keadilan, ideologi dan seterusnya. Hukum merupakan teknik sosial yang spesifik dengan objek hukum positif.
Sisi pengetahuan tersembunyi (tacit knowledge) dari Ajaran Hukum Murni adalah ketidakpercayaan terhadap filsafat positivisme, hukum alam, dan segala sesuatu yang menghubungkan norma dengan kenyataan sosial. Hans Kelsen menciptakan suatu Ajaran yang didefinisikannya sebagai Teori yang diringkas sebagai berikut:
- Ajaran Hukum Murni melakukan demarkasi terhadap Idealisme Kritis, Positivisme dan bahkan Filsafat dan Sosiologi;
- Ajaran Hukum Murni melakukan demarkasi terhadap hukum alam.
Ajaran Hukum Murni sebenarnya tidak memiliki kaitan langsung dengan kefilsafatan Idealisme Kritis dan Positivisme. Permainan bahasa dari Kelsen dalam memproduksi Ajaran Hukum Murni harus dicermati benar‐benar agar tidak membingungkan peminat filsafat dan peminat ilmu hukum. Kelsen tidak menggunakan Filsafat Ilmu untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan kefilsafatan Idealisme Kritis dan Positivisme. Idealisme Kritis dan Positivisme merupakan aliran baru pasca Kant yakni:
- Idealisme (Fichte, Schelling, Hegel) yang melanjutkan pikiran Kant dimana subjek memberi struktur pada realitas; seluruh realitas terletak dalam kesadaran (Idea) subjek dan bukan pada realitas itu sendiri;
- Positivisme (Comte dan JS Mill) yang melanjutkan pikiran Kant pula bahwa apa yang bisa diketahui hanyalah fenomen‐fenomen saja sebagai data‐data dari pengalaman empiris; di luar fakta‐fakta positif itu tidak bisa dihasilkan pengetahuan.
Ajaran Hukum Murni juga memberikan demarkasi terhadap Filsafat dan Sosiologi karena Kelsen mempersepsikan keduanya berkarakter positivistik. Kelsen menyatakan bahwa Ajaran Hukum Murni adalah pelanjut Austin yang dikenali sebagai intelektual Utilitarian dan Ilmu Hukum Analitik. Pernyataan ini menegaskan Ajaran Hukum Murni untuk menyingkirkan aspek di luar hukum lainnya yaitu fakta psikologis atas aturan. Oleh karenanya, tak heran jika ruang pengembangan Ajaran Hukum Murni terasa hambar karena ia tidak mengenali fakta psikologis dan semata merancang struktur keilmuannya pada kapasitas sistematisasi‐logis (skillful yang bertumpu pada logika atas hukum positif).
Demarkasi Ajaran Hukum Murni terhadap hukum alam dapat kita ikuti pada argumentasinya yang menolak metafisika atas hukum positif. Alasannya adalah doktrin hukum alam pada saat tertentu dapat bersifat konservatif, reformatif atau revolusioner. Doktrin hukum alam suatu saat dapat menjustifikasi hukum positif karena hukum positif itu sesuai dengan tata ketuhanan yang diyakni. Di saat lain, doktrin hukum alam dapat berbalik arah dengan mempertanyakan validitas hukum positif dan bahkan menyatakan hukum positif ini bertentangan dengan nilai‐nilai dalam doktrin hukum alam yang absolut.
Jalan lain yang ditempuh Kelsen adalah Ajaran Hukum Murni yang mencari landasan validitas pada suatu ancangan nonmetafisis dan nonmetayuridis yaitu hipotesis yuridis yang disebutnya Grundnorm. Nawiasky kerapkali disebut sebagai sosok intelektual yang menjustifikasi pengetahuan Grundnorm tersebut, meskipun beberapa ilmuwan hukum pembela Paradigma Normatif sebenarnya sudah menanggalkan Grundnorm dalam eksemplar analisisnya.
Scholten menyatakan Ilmu Hukum sebagai ilmu dengan menoleh ke pendekatan lain yaitu Ilmu Bahasa (Ferdinand de Saussure).[1] Pendekatan filsafat ilmu sengaja dihindari Scholten demi menghindari watak spekulatif. Selain itu, di penghujung karirnya, Scholten menawarkan pengetahuan baru tentang eschaton untuk menunjukkan struktur ilmu hukum yang ilmiah. Puncak dari eschaton adalah Tuhan dalam pengertian Pascal yang filosofis dan religius. Scholten menyusun struktur ilmu hukum berbasis metafisika yang justru ditolak Ajaran Hukum Murni. Dalam perkembangan keilmuan hukum perihal eschaton ini nyaris tidak ada yang mengembangkan lagi secara ilmiah, akademis dan pragmatis.
Visser ‘t Hooft menjelaskan Ilmu Hukum sebagai ilmu dengan sikap kehati‐hatian terhadap penggunaan Epistemologi sebagai pendekatan atas Ilmu Hukum.[2] Filsafat Ilmu Hukum, menurut Hooft, membedakan Ilmu Hukum Normatif dan Ilmu Hukum Empirik tetapi pembedaan itu dibuka lagi perdebatannya oleh Hooft yang dipengaruhi pendekatan filosofis Jürgen Habermas yang kritis terhadap modernitas. Dalam kepentingan pragmatik, argumentasi hukum mensyaratkan rasionalitas komunikatif agar argumentasi dari hakim dan otoritas lainnya dapat diuji di ruang publik.
Hipotesis yuridis Grundnorm diurai oleh Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at.[3] Pertanyaan yang Jimly dan Safa’at ajukan adalah: apakah pembukaan UUD’45 merupakan staatsfundamentalnorm di Indonesia? Bila dijawab iya, posisinya terpisah dengan batang tubuh UUD’45 karena dalam term Kelsen, Pembukaan UUD’45 adalah yang mempresuposisikan validitas UUD’45. Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at menjawabnya dalam bentuk lain. Sebagai salah seorang editor amandemen UUD’45 Jimly menegaskan ketentuan Aturan Tambahan dalam UUD’45 bahwa UUD terdiri dari Pembukaan dan pasal‐pasal. Pembukaan UUD’45 dan pasal‐pasal UUD’45 merupakan staatsverfassung yang mengikat dalam satu tindakan hukum.
Pembukaan UUD’45 menempati posisi sebagai norma abstrak yang dapat dijadikan sebagai standar valuasi konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah. Bahkan juga dapat digunakan sebagai prinsip‐prinsip dalam menafsirkan konstitusi. Dengan posisi Pembukaan UUD’45 sebagai bagian dari UUD’45, yang didalamnya terkandung sila‐sila Pancasila, maka Pembukaan UUD’45 menjadi cita hukum (rechtsidee) dalam pembangunan tata hukum Indonesia.
Lantas apa staatsfundamentalnorm kita? Proklamasi 17 Agustus 1945. Karena naskah Proklamasi pada saat itu bukan tindakan hukum dan tindakan organ hukum tertentu atau buah dari prosedur hukum tertentu. Proklamasi adalah norma dasar negara yang berimplikasi pada pembentukan NKRI dan tata hukum baru. Seterusnya, proklamasi merupakan dasar pemberlakuan UUD’45 sebagai konstitusi NKRI serta presuposisi validitas tata hukum Indonesia berdasarkan UUD’45.
Hal penting untuk digarisbawahi adalah hipotesis yuridis Grundnorm yang diagungkan dalam kajian akademik hanya bisa dipahami dalam jalan berpikir paradoks:[4] normatif atau positivistik. Otak dibayangkan sebagai cermin yang selalu mampu merekam tata aturan atau sebaliknya otak dibayangkan sebagai cermin yang merekam kenyataan secara memadai. Dengan jalan berpikir paradoks, pengertian tentang hipotesis yuridis Grundnorm dan Ilmu Hukum itu sendiri akhirnya menjadi nihilis, bagaikan sumur tanpa dasar, dan hanya akan lahir di ujung penjelajahan akademik. Hal ini sekalipun berjalan wajar di belahan dunia Eropa namun dalam dunia praksis hukum Indonesia penjelajahan akademik tersebut selalu berjalin terbalik.
Kerangka gagasan Hans Kelsen ditranslasikan sebagai teori dan bukan ajaran. Hal ini dapat kita setujui bila merujuk pada judul edisi Inggris yang bermakna Teori Hukum Murni (The Pure Theory of Law), sedangkan dalam edisi Jerman bertajuk Reine Rechtslehre (Ajaran Hukum Murni). Definisi dari Ajaran Hukum Murni adalah Teori Hukum Positif, sehingga Teori berada dalam konteks sub‐ordinasi dari Ajaran itu sendiri. Selayaknya ajaran maka konstruksi epistemis hukum dari Ajaran Hukum Murni berisi petuah atau mantra‐mantra yang universal. Ilmuwan hukum yang mengutip teori politik dan administrasi publik dalam analisisnya kemungkinan besar akan dianggap tidak murni teori hukumnya.
Dalam kondisi teori akademik yang terbalik‐balik itu masih terdapat peluang untuk mengembangkan gagasan Teori Hukum sebagai disiplin keilmuan yang mandiri dan terbuka dengan ilmu humaniora lain. Hal ini setidaknya mulai marak dilakukan sejak Guru Besar yang saya hormati B. Arief Sidharta melakukan penelusuran paradigmatik terhadap ilmu hukum pada akhir tahun 1990‐an. Penghampiran Teori Hukum memberikan model analisis yang dapat menjalin keterkaitan antara fakta‐fakta, norma‐norma dan kerangka teoritik yang luas dalam Ilmu Hukum.*
[1] Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, terjemahan bahasa Indonesia dari ”De Structuur der Rechtswetenschap” oleh B. Arief Sidharta, (Bandung: Alumni, 2003).
[2] Visser ‘t Hooft, “Filsafat Ilmu Hukum”, terjemahan bahasa Indonesia dari “Filosofie van de Rechtswetenschap” oleh B. Arief Sidharta, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parayangan Bandung, 2002, hlm. 45.
[3] Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Konstitusi Press dan Syaamil Cipta Media, 2006).
[4] Emmanuel Subangun, Negara Anarkhi, Yogyakarta: LKíS, 2004, hlm. 16‐ 17.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar