Opini Terbaru
Fahrul Muzaqqi: "Revitalisasi BUM Desa dan Pembelajaran dari Klinik BUM Desa di Jawa Timur"
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Fahrul Muzaqqi mengirim tulisan menarik setelah merefleksikan pengalaman barunya dalam program Klinik BUM Desa di Jawa Timur: "Revitalisasi BUM Desa dan Pembelajaran dari Klinik BUM Desa di Jawa Timur."
Fahrul Muzaqqi, Dosen FISIP Universitas Airlangga
Keberadaan dan kiprah BUM Desa sebagai salah satu pondasi utama pembangunan Desa ternyata masih belum optimal. Akhir tahun lalu, Presiden Joko Widodo geram lantaran terdapat ribuan BUM Desa yang mangkrak. Sejumlah 2.188 BUM Desa yang tidak beroperasi dan 1.670 BUM Desa yang belum memberikan kontribusi bagi Pendapatan Asli Desa.
BUM Desa sejatinya bersemangatkan sebagai salah satu katalisator penting dalam mengakselerasi roda ekonomi di Desa. Namun faktanya tidak sepenuhnya demikian. Sebagian – bahkan patut diduga jumlahnya mayoritas – justru menampakkan kondisi laa yamutu wa laa yahya (hidup segan matipun enggan). Atau dalam ungkapan lebih sumir: tidak bermutu banyak biaya.
Kusutnya gambaran BUM Desa tidak dapat dilepaskan dari kompleksitas Desa sebagai Subjek. Otoritas Desa yang semakin besar pasca terbitnya UU No. 6/2014 tentang Desa telah mengubah paradigma pembangunan. Dari semula "Membangun Desa" menjadi "Desa Membangun". Dari Desa sebagai Objek, kini Desa menjadi subjek bagi dirinya sendiri. BUM Desa, dalam konteks ini, menjadi institusi ekonomi skala lokal Desa yang berfungsi terutama untuk mengorganisir usaha warga Desa (benefit) dan meningkatkan Pendapatan Asli Desa (profit).
Bukan Sekedar Positivisme-Statistik
Skema UU Desa itu tidak serta merta kita pahami secara positivistik kaitan dengan arus pemberdayaan masyarakat Desa.
Menurut penulis tidak terdapat korelasi signifikan (atau kalaupun ada masih lemah) antara kemajuan postur keuangan Desa dengan capaian BUM Desa. Hal ini terlihat terutama dari komposisi Dana Desa dari Kementerian Keuangan yang hendak diluncurkan pada Januari 2020. Jumlah total Dana Desa sebesar Rp. 72 triliun (djpk.kemenkeu.go.id). Terdapat satu item baru yang ditambahkan untuk mengapresiasi prestasi Desa, yakni alokasi kinerja. Hanya Desa yang berhasil mengoptimalkan pemanfaatan Dana Desa yang mendapatkan tambahan dana berupa alokasi kinerja tersebut.
Provinsi Jawa Timur, misalnya. Data perihal Dana Desa 2020 menunjukkan, alokasi kinerja terbesar terdapat di Lamongan (Rp. 5,9 miliar). Disusul Malang (Rp. 5,4 miliar) dan Bojonegoro (Rp. 5,3 miliar). Padahal apabila data tersebut disandingkan dengan data BUM Desa di Jawa Timur, jumlah BUM Desa berkategori berkembang dan maju terbanyak berada di Banyuwangi (93 BUM Desa), Trenggalek (41 BUM Desa) dan Malang (35 BUM Desa) (Data BUM Desa DPMD Jatim 2019).
Sekedar informasi, dari 5.432 BUM Desa di Jawa Timur diklasifikasikan menjadi BUM Desa tingkat dasar sejumlah 2.589 BUM Desa (47,66%), tingkat tumbuh 2.430 BUM Desa (44,73%), dan tingkat berkembang dan maju 413 BUM Desa (7,61%). Artinya, besarnya alokasi kinerja ke Desa yang menunjukkan keberhasilan pemanfaatan Dana Desa pada tahun sebelumnya mengindikasikan tidak selalu mengarah pada pemberdayaan BUM Desa. Melainkan kepada hal-hal lain, seperti pembangunan infrastruktur fisik, pemberdayaan kesehatan dan lain-lain.
Efek Kebijakan Teknokratis "Revitalisasi BUM Desa"
Ujung tembak sekaligus "ujung tombok" pembangunan di Desa bertumpu pada Kepala Desa. Termasuk dalam hal ini adalah inisiatif dan komitmen untuk tindakan teknokratis revitalisasi BUM Desa. Keberadaan dan maju-mundurnya BUM Desa dipengaruhi oleh Kepala Desa. Inisiatif dan komitmen tersebut akan sangat tegas apabila termaktub dalam penganggaran APB Desa.
Namun problemnya adalah kebijakan teknoratis revitalisasi BUM Desa kerapkali kurang membawa manfaat jangka pendek. Khususnya secara politis bagi Kepala Desa. Upaya untuk ini membutuhkan waktu yang cukup lama, termasuk trial and error. Belum lagi apabila BUM Desa tidak kunjung mampu mendongkrak Pendapatan Asli Desa atau malah merugi. Alih-alih akumulasi keuntungan, yang ada malah memakan banyak biaya (tombok).
Secara pragmatis, kebijakan teknokratis revitalisasi BUM Desa tertuju pada keberadaan BUM Desa yang potensial hanya menjadi wadah penampung bagi bantuan dan hibah dari pemerintah supra-desa maupun swasta. Selebihnya, yang tersisa hanya papan nama BUM Desa dengan nir-aktivitas.
Problem Klasik Profesionalitas BUM Desa
Problem klasik berupa profesionalitas BUM Desa seringkali terjumpai di lapangan, terutama pada lingkup kegiatan "Klinik BUM Desa di Jawa Timur". Persepsi yang beredar adalah BUM Desa dikelola sebagai lembaga yang setengah publik, yakni milik Desa dan setengah privat, yakni berorientasi pada akumulasi profit.
Implikasinya, pengelola BUM Desa terhimpit oleh ketidakpercayaan diri warga Desa mengelola BUM Desa. Regularitas pelembagaan (legal-administratif) kurang cermat melihat legitimasi legalitas Musyawarah BUM Desa, Perdes BUM Desa dan Keputusan Kades tentang AD/ART BUM Desa. Kami banyak temui persepsi tentang pembukuan BUM Desa mirip dengan laporan keuangan koperasi/UMKM. Dan belum adaptasi ke standar akuntansi keuangan yang relevan dengan BUM Desa.
Dari sisi manajemen, pengelola BUM Desa membutuhkan akurasi penentuan produk dan segmentasi pasar, media pemasaran dan branding, hingga tarikan-tarikan kepentingan politis di Desa. Kesemuanya itu berkelindan dan tentu membutuhkan multi-pendekatan yang tidak mudah dan tidak sebentar untuk dapat meningkatkan performa.
Revitalisasi BUM Desa Menjadi Musykil
Kerja-kerja pemerintah pusat hingga Desa, instansi akademis, swasta, hingga komunitas dan organisasi kemasyarakatan (quadripartit) secara integratif dan kontinyu sangat dibutuhkan. Hal ini terutama menyangkut kekhasan potensi Desa yang tidak dapat diseragamkan berikut kompleksitas problematika yang melingkupi. Revitalisasi BUM Desa menjadi musykil manakala quadripartit tersebut berjalan sendiri-sendiri atau malah saling berbenturan baik di tataran konseptual maupun di lapangan.
Disamping itu, kesadaran dan komitmen Kepala Desa sangatlah krusial. Karena bagaimanapun, pemangku kepentingan yang langsung bersinggungan dengan kondisi Desa tidak lain adalah Kepala desa. Hal itu dieksplisitkan dengan dukungan anggaran APBDesa, upaya-upaya pro-aktif untuk menjalin kerja sama (termasuk antar desa untuk mengembangkan potensi kerjasama antar Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaaan), hingga menyambungkan BUM Desa dengan pasar (market linkage) baik secara offline, online dan digital.
Kesemuanya ini tentu didasari dengan niat untuk memberdayakan masyarakat Desa. Sehingga semangat untuk mencipta Desa Mandiri bukan sebatas angan-angan yang jauh panggang dari api.
Wallahu A’lam, semoga.*
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar