Opini Terbaru
OPINI Berdesa: Antara Dualisme Hukum dan Republik Desa
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Kini, melalui prinsip rekognisi dan subsidiaritas, UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan kewenangan bagi Desa untuk mengembangkan kualitas hidupnya. Sementara itu, kebijakan desentralisasi mempunyai banyak regulasi untuk melaksanakan administrasi Dana Desa secara lebih efisien.
Gagasan utama dalam tulisan ini adalah membangun suatu paradigma Berdesa melalui dualisme hukum dan diskursus Republik Desa. Sekaligus menyediakan prasyarat kelembagaan yang menjamin Desa sebagai lokus baru bagi paradigma kehidupan yang baru. Kerangka kerja hukum yang dibutuhkan adalah demokrasi deliberatif dan kepemimpinan kepala Desa. Musyawarah Desa akan menjadi arena untuk memutuskan suatu konsensus diantara warga Desa, dan disisi lain kepemimpinan kepala Desa akan terhubungkan dengan kelompok marjinal di wilayah Desa setempat.
Desa menyumbangkan paradigma kehidupan (paradigm of life) berupa paradigma “Hidup Berdesa”. Hidup Berdesa dikembangkan dari kajian ilmu pemerintahan dari Sutoro Eko yang mengenalkan istilah Berdesa sebagai hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Desa. Hal ini selanjutnya dikaji melalui referensi historis tentang “Republik Desa” (Dorpsrepublieken) dan paradigma Dualisme Hukum. Salah satu tantangannya terletak pada disiplin teoritik hukum yang belum mapan untuk mengadaptasi dan mengembangkan diskursus “Republik Desa” dan Dualisme Hukum (“Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata”) --yang kaya dengan praktik hidup bersama dan digali dari Desa itu sendiri.
Masalah yang dihadapi dalam merumuskan paradigma kehidupan tersebut dalam relasi Desa dan Negara adalah:
- Bagaimana paradigma hidup Berdesa untuk Indonesia dirumuskan melalui paradigma Dualisme Hukum dan diskursus Republik Desa?
- Apakah prasyarat kelembagaan yang menjamin Desa sebagai lokus baru yang menyumbangkan paradigma hidup Berdesa untuk Indonesia?
Koeksistensi Ilmu Hukum (jurisprudence) dan Ilmu Sosial Hukum (legal science), meminjam istilah Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, dikembangkan untuk menjawab pertanyaan tersebut melalui langkah sebagai berikut:
- paradigma Dualisme Hukum (Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata) difungsikan untuk menggali secara paradigmatik karakter ilmu hukum yang komunikatif dan empati terhadap hubungan Desa dan Negara. Dualisme Hukum mempelajari pertautan kehidupan kenegaraan yang ditangani aparatus negara dan kehidupan Desa yang diurus secara otonom oleh Desa. Desa sebagai badan hukum mempunyai potensi untuk mengatur dan mengurus sendiri urusannya, dengan tetap berkomunikasi dengan aparatus negara (supra-Desa).
- diskursus Republik Desa difungsikan untuk mendalami dan kritis terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang eksistensi dan otonomi-asli Desa. Van Vollenhoven, Ter Haar, dan Robert Wade menegaskan kondisi sosiologis bahwa Desa bukanlah sumber masalah bagi negara, tapi Desa mempunyai potensi untuk mengelola sumber daya bersama (common pool resources) untuk kepentingan kolektif.
- keseluruhan analisis menghasilkan rekomendasi kelembagaan baik bersifat preskriptif maupun sosiologis.
Penelusuran melalui paradigma Dualisme Hukum menunjukkan bahwa Pancasila bersumber dari teks kesejarahan Desawarnana/Negarakertagama dan relasional dengan hubungan kraton/negara (sebagai harimau) dan Desa (sebagai hutan). Nilai-nilai ideal dan hubungan Desa dan Negara tersebut selanjutnya ditopang oleh temuan faktual kalangan akademisi hukum masa kolonial dan pasca kolonial, melalui diskursus Republik Desa, serta ditransformasikan oleh Soekarno (representasi elit negara) menjadi rumusan ideologi negara yang relevan hingga saat ini. Pasca UU Desa berlaku, masih terlihat praktek penyerapan paradigma Dualisme Hukum dan diskursus Republik Desa kedalam kebijakan desentralisasi-residual.
Prasyarat kelembagaan yang menjamin Desa sebagai lokus baru yang menyumbangkan paradigma hidup Berdesa untuk Indonesia adalah kerangka kerja hukum (legal framework) yang mendekatkan sistem (kekuasaan pemerintah pusat/daerah dan Dana Desa) dan cara pandang hidup Desa (solidaritas, gotong royong, musyawarah, kepemimpinan kepala Desa, dan lainnya). Praktek dari Hidup Berdesa ini menyumbangkan perlunya konsensus berbasis kepentingan kolektif dan kepemimpinan yang integralistik antara elit dan kelompok kepentingan.*
Selengkapnya, silahkan unduh gratis tulisan ini.
Penulis: Anom Surya Putra
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar