Opini Terbaru
OPINI Berdesa: Menyudahi Debat Teoritis Status Badan Hukum BUM Desa
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Buku setebal 330 halaman ini disusun oleh Anom Surya Putra. Aktivis Perkumpulan Jarkom Desa.
Berawal dari Profit Fantastis BUM Desa
Buku ini terdiri atas 7 (tujuh) bagian ditambah bagian Penutup. Pada bagian pertama penulis buku menjelaskan capaian profit fantastis BUM Desa Tirta Mandiri. Pendekatan konstruktivistiknya mengemuka. Memunculkan isu Badan hukum BUM Desa. Dibalut diskursus Restorasi Desa dan cara kerja penelitian Hukum Non-Doktrinal.
Kemudian pada bagian kedua penulis menguraikan formasi diskursus Desa sebagai Badan Hukum yang dimulai dari Desa masa pra–sejarah. Berlanjut pada penyebutan keragaman Desa pada masa Negara–Kerajaan:
a. Desa masa Sriwijya (Vanua dan Deca)
b. Desa masa Bali Kuno (Banua dan Thani)
c. Desa masa Mataram Kuno (Wanua)
d. Desa masa majapahit (Deca, Thani, dan Dhapur)
e. Desa Pasca Majapahit (tata Caraning Desi).
Formasi diskursus Desa sebagai Badan Hukum mengalami pasang surut. Penulis buku mengupas kritis tentang formasi diskursus Desa sebagai Badan Hukum yang dikolonisasi pada masa kolonial. Pendekatan diskursusnya mirip Foucaultian daripada sejarah hukum normatif (tekstual). Terdiri dari fase (a) orientalis Desa, (b) Desa dilekati distribusi kekuasaan (Trias Politica), (c) Desa direkognisi formal melalui Negara Hukum (Rechtsstaat) Kolonial, dan (d) Desa sebagai Badan Hukum Pribumi.
Tarik menarik terjadi pada Desa yang dikolonisasi diskursus modernisasi Desa. Penulis menjelaskan formasi diskursus Desa sebagai badan hukum Desa pada masa pasca kemerdekaan. Ada beberapa fase, yakni (a) Fase Tata Negara berbasis Desa, (b) fase daerah ootonom Desa dan Modernisasi Desa, (c) Fase Badan Hukum Desa Praja, (d) Fase Badan Hukum Pemerintahan Desa, dan (e) Fase Badan hukum Desa.
Setelah menguraikan formasi diskursus desa yang berliku-liku bagian ketiga buku memuat uraian penulis yang menukik tentang formasi diskursus BUM Desa sebagai badan hukum.
Pembahasan pada bagian ini menjernihkan diskursus badan usaha dan badan hukum secara filsafat dan historis. Kata kunci filsafat untuk memahami buku ini adalah personalitas badan hukum, model korporasi–fiksi dan korporasi-organik. Sedangkan kata kunci historis terletak pada cara penulis mengupas badan usaha di Desa sebelum keberlakuan UU No. 6/2014 tentang Desa. Berbagai hasil risetnya bermanfaat bagi kita yang masih awam historisitas badan hukum yakni:
- badan usaha berstatus badan hukum pribumi (Inlands Rechtspersoon),
- badan–badan korporatif di Desa,
- lembaga kredit rakyat di Desa (volkskredietinstelligen) di Desa,
- Badan Usaha Unit Desa (BUUD) dan badan hukum Koperasi Unit Desa (KUD),
- BUM Desa bersatus Badan Hukum Lembaga Bisnis,
- BUM Desa dan Badan Hukum bercirikan Desa pasca keberlakuan UU Desa.
Fenomena Sosiologis Badan Hukum BUM Desa
Bagi pembaca yang penasaran dengan BUM Desa Tirta Mandiri sebaiknya langsung lompat pada halaman 199. Bagian ini mengisahkan strategi dan siasat BUM Desa Tirta Mandiri dalam menghadapi isu badan Hukum. Uniknya, pembahasan hasil wawancara itu langsung dikonstruksi dengan bacaan filsafat dan sejarah pada bagian sebelumnya.
Itulah alasan yang menjelaskan mengapa pada bagian keempat penulis menerangkan fenomena sosiologis status badan hukum BUM Desa. Ketimbang analisa yang berputar-putar pada pasal-pasal perundang-undangan saja. Meskipun kita yang awam hukum akan menjumpai analisa normatif seperti keberlakuan sosio-relatif: BUM Desa sebagai badan hukum lembaga bisnis. BUM Desa Tirta Mandiri dinilai penulis selama sepuluh tahun dipengaruhi oleh keberlakuan sosio-relatif dan siasat-siasat ekonomi dan politik. Perihal siasat, penulisnya melugaskan bahasannya bahwa isu badan hukum hanya muncul ketika BUM Desa akan menjalin kerjasama dengan pihak luar Desa.
Kerja politik tersirat pada bagian ini. Institusi BPD, Pemerintah Desa dan BUM Desa pada tahun 2018 pernah melakukan tindakan korektif dan komunikatif di Desa Ponggok. Kisah politik skala lokal Desa Ponggok tidak begitu nampak. Mungkin, penulisnya memilih jalur lain yakni melihat konflik secara optimis daripada terjebak pada analisis elite capture.
Restorasi BUM Desa
Tak berhenti pada konstruksi atas cara Ponggok mengatasi berbagai masalah aset BUM Desa dan isu badan hukum. Pada bagian kelima penulis menguraikan Restorasi BUMDesa Tirta Mandiri.
Alurnya sulit ditebak kecuali pembaca kembali membuka bagian filsafat dan kesejarahan badan hukum BUM Desa pada bagian sebelumnya. Pembaca akan dilempar pada situasi untuk memahami total dan radikal bahwa BUM Desa adalah institusi usaha bersama (holding) atas Unit Usaha BUM Desa.
Pemahaman baru itu ditujukan untuk memberikan kepastian hukum bagi BUM Desa sebagaiBadan Hukum Publik bercirikan Desa. Syarat-syarat yang diajukan penulis begitu kompleks: (i) Restorasi pengurusan dan pengelolaan BUM Desa, (ii) Restorasi Modal BUM Desa dan Unit Usaha BUM Desa (berbentuk PT, didirikan oleh BUM Desa), (iii) kategorisasi aset Desa dan aset BUM Desa, (iv) jenis-jenis usaha bersama, (v) Restorasi penggunaan Hasil Usaha BUM Desa, dan (vi) alasan singkat tentang pembubaran BUM Desa dan alasan kepailitan Unit Usaha BUM Desa.
Hal menarik yang disampaikan penulis pada bagian keenam adalah penulis memberikan rekomendasi tindakan strategis Menteri Desa. Hati-hati dalam membaca buku ini. Kita harus cermati benar-benar penegasan logika bergaya Hegel yakni pembedaan antara BUM Desa dengan Badan Hukum Privat.
Pembaca mesti beberapa kali melihat bagan sederhana tentang logika kontraris dan kontradiktif antara BUM Desa dengan Badan Hukum Privat (CV, PT, Koperasi, dll). Persis dengan alasan dalam Penjelasan Pasal 87 UU Desa. Yang terbaru adalah penulis menganjurkan Menteri Desa menyusun syarat-syarat objektif berupa kriteria kelayakan BUM Desa membentuk Unit Usaha (Badan Hukum Privat). Rekomendasi ini tak lepas dari hasil analisisnya terhadap situasi BUM Desa Tirta Mandiri yang punya pendapatan tinggi dan siap untuk mendirikan Unit Usaha Berbadan Hukum Privat.
Sehingga kita akan bisa memahami secara samar bahwa penulis membela otoritas Menteri Desa agar menggunakan wewenangnya untuk menerbitkan kebijakan hukum yang mengakui BUM Desa sebagai Badan Hukum Publik Bercirikan Desa. Menurut penulis, tindakan itu bisa dilakukan melalui pencabutan Peraturan Menteri Desa PDTT No. 4 tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa.
Targetnya jelas yakni melegitimasi perubahan mendasar kaitan BUM Desa diakui sebagai badan hukum publik bercirikan desa dan bisa mendirikan Unit–unit usaha berstatus badan hukum privat (perseroan terbatas).
Catatan Kritis
Buku ini memberikan solusi kepada pemangku kebijakan, pengelola BUM Desa dan para pegiat Desa dalam melakukan fasilitasi pengelolaan BUM Desa.
Sebelum buku ini hadir, penulis buku ini sudah menerbitkan buku berjudul BUM Desa Merpati. Seolah melanjutkan buku sebelumnya, penulis mencoba memberikan solusi–solusi kritis terhadap “legitimasi legalitas” BUM Desa pasca keberlakuan UU Desa. Bukan hanya “legalitas BUM Desa” yang berputar-putar pada perdebatan pasal tanpa kajian mendalam.
Pada sisi lain buku ini akan mampu memberikan solusi terhadap maraknya BUM Desa Pedati danBUM Desa Merpati yang sejauh ini tumbuh subur. Kedua tipe BUM Desa ini mengalami stagnasi. Asal berdiri dan tidak jelas arah kinerjanya.
Pertama, setelah membaca seluruh buku ini, maka pembaca akan sadar bahwa penulis menguraikan kritik tajam terhadap status legalitas BUM Desa pasca keberlakukan UU Desa. Hal itu akan membantu stakeholder Desa dalam merumuskan kebijakan penguatan Badan Usaha yang ideal dan bercirikan Desa.
Kedua, Buku ini merupakan hasil penelitian penulis dalam rangka memenuhi tugas akhir studi guna memperoleh gelar magister hukum. Akibatnya, buku ini terlihat serius dan didominasi oleh pandangan dan pendapat hukum, teori dan kritik teori. Pembaca akan mengenal pendekatan sosiologi hukum atas BUM Desa. Penulis belum mengkaji keseluruhan penjelasan terkait dinamika dan fenomena perjalanan BUM Desa Tirta Mandiri seperti latar belakang masalah dan hambatan–hambatannya. Gaya penulisannya tampak tidak memilih cara penulisan positivisme atau “sebab-akibat” seperti kita temui pada buku hukum. Bagi orang awam, akan perlu waktu dan keseriusan untuk memahami alur dari buku ini. Oleh karena itu, buku ini sangat layak untuk dibaca sambil didiskusikan langsung oleh pegiat desa dan dunia akademis.*
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar