Opini Terbaru
OPINI Berdesa: Perda BPD, Antara Fungsi dan Tunjangan Operasional
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Kolaborasi Pemda dan masyarakat sipil penting untuk menjamin transisi BPD menuju demokrasi substantif. Politik hukum (ius constitutum) melalui PP No. 72/2005 tentang Desa sejak 15 (lima belas) tahun lalu diwarnai dengan BPD yang konflik dengan Kepala Desa atau perangkat Desa. Namun tak sedikit pula BPD yang inovatif menjalin mitra dengan Pemerintah Desa. Misalnya, Desa Julubori, Gowa, Sultra, mengadakan Jambore Kader Perencanaan Penganggaran Partisipatif (Sutoro Eko, 2014).
Regulasi Ambigu
Kedudukan BPD berada di persimpangan regulasi yang ambigu. UU Desa memerintahkan secara delegatif pembentukan Perda Kabupaten/Kota tentang BPD [vide Pasal 65 ayat (2) UU Desa]. Dilain pihak peraturan pelaksanaan UU Desa memerintahkan Permendagri tentang BPD [vide Pasal 79 PP No. 47/2015]. Menurut saya, politik hukum UU Desa mengarahkan agenda legislative drafting yang cepat melalui otonomi kabupaten/kota dan kewenangan Desa. Kehadiran Permendagri cenderung menunda implementasi kemandirian BPD (delay of implementation).
Dalam situasi regulasi yang ambigu, dibutuhkan politik hukum (ius constituendum) yang meramu perintah delegatif UU Desa dan PP No. 47/2015. Kedudukan Perda BPD mendesak untuk segera terbit (het noodzakelijkheidsbeginsel) sebagai dasar hukum dan legitimasi pengembangan BPD.
Kita perlu membongkar nalar hukum BPD pasca UU Desa. Pancasila terutama sila ke-4 menekankan perpaduan nilai “hikmat/kebijaksanaan” dalam “permusyawaratan/perwakilan”. Kedudukan BPD pasca UU Desa dilandasi nilai hikmat berdesa, otonomi asli Desa yang serba musyawarah. BPD menjelma sebagai lembaga Desa yang terlibat melaksanakan fungsi pemerintahan Desa, namun tak secara penuh ikut mengatur dan mengurus secara teknis. Kekuatan BPD terletak pada fungsi politik permusyawaratan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi, dan pengawasan kinerja Kepala Desa. Fungsi legislasi pun menginduk pada fungsi penyelenggaraan Musdes yang membahas dan menyepakati bersama rancangan Perdes. Ini berbeda tajam dengan BPD era PP No. 72/2005 yang dilandasi nilai kebijaksanaan (local wisdom) dalam ruang politik demokrasi perwakilan. Penulis pernah berdialog dengan BPD di Sumatra Barat, nalar BPD masih dilandasi nilai kebijaksanaan sebagai “DPRD di Desa”. Karakter demokrasi perwakilan dari regulasi pusat mewariskan praktik politik demokrasi prosedural. Tak pelak, sebagian besar BPD minim prakarsa, sekedar menjadi ”stempel” Perdes, atau terlibat konflik kepentingan dengan Pemerintah Desa.
Fungsi Politik dan Tunjangan
Perda tentang BPD sebaiknya mengembalikan BPD ke kewenangan Desa. Fungsi politik hikmat berdesa dalam permusyawaratan Desa merupakan substansi utama Perda tentang BPD.
Pertama, musyawarah BPD. Fungsi legislasi BPD dikuatkan melalui rapat BPD sebelum Musdes yang membahas rancangan Perdes. Aspirasi masyarakat dari wilayah yang diwakilinya harus dibahas terlebih dahulu dalam musyawarah/rapat BPD.
Kedua, fungsi aspirasi. BPD membuat saluran aspirasi melalui kotak aspirasi maupun sistem teknologi lain yang mendukung partisipasi warga Desa. Pelayanan publik di Desa terutama aspirasi warga atas pelayanan dasar (pendidikan dan kesehatan) skala lokal Desa merupakan prioritas BPD.
Ketiga, fungsi pengawasan atas kinerja Kepala Desa. BPD membuat sistem pengaduan dan penyelesaian masalah di Desa. Pengawasan berbeda dengan pemeriksaan. Pengawasan BPD dilakukan dari “jauh”, sedangkan pemeriksaan ala auditor dilakukan dari “dekat”. BPD dapat bekerjasama dengan organisasi kemasyarakatan Desa atau organisasi masyarakat sipil untuk menyusun sistem pemantauan dan evaluasi atas hasil kegiatan pelayanan dasar, administrasi pemerintahan desa, bina kemasyarakatan Desa, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Keempat, kelembagaan BPD. Fungsi BPD dapat diperkuat dengan Peraturan Tatib dan Kode Etik BPD yang disusun dan dipublikasikan terbuka agar masyarakat Desa tahu dasar kinerja BPD. Tatib/Kode Etik BPD bersifat khas sesuai budaya setempat dan tidak perlu meniru Tatib dan Kode Etik DPRD.
Kelima, anggaran BPD. Kewenangan BPD dalam penyelenggaraan Musdes mutlak harus dibiayai APB Desa. Selain itu, kinerja BPD yang fokus ke fungsi politik-deliberatif sudah saatnya didukung dengan tunjangan kedudukan, tunjangan operasional, dan tunjangan kehadiran. Misalnya, tunjangan kedudukan ketua BPD sebesar 40 persen dari penghasilan tetap Kades. Tunjangan operasional untuk transportasi dan komunikasi anggota BPD, dan tunjangan kehadiran untuk kehadiran anggota BPD dalam rapat BPD dan Musdes.
Terakhir, Perda tentang BPD mengatur kewenangan Pemda Kabupaten/kota. Pemda merumuskan agenda nyata seperti pendidikan dan pelatihan, pengembangan kerjasama BPD dan inspektorat/APIP, penghargaan atas prestasi BPD, pelayanan administrasi dan supervisi. Pengaturan tentang sanksi hanya diatur perihal penetapan sanksi pemberhentian terhadap anggota BPD yang melanggar larangan berdasarkan rekomendasi rapat BPD.*
Penulis: Anom Surya Putra
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar