Opini Terbaru

Between Facts and Norms, Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (2): Pengantar dari Jürgen Habermas

Gambar
PENGANTAR Jürgen Habermas  | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse

OPINI Berdesa: Perda BPD, Antara Fungsi dan Tunjangan Operasional



Salah satu amanat UU No. 6/2014 Desa yang paling mendesak diterbitkan di daerah adalah Perda tentang Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Bagian Hukum Kabupaten Ngawi sejak tahun 2015 telah mulai membahas Raperda BPD (Situs Ngawikab, 2/12/2015). Dilain pihak organisasi masyarakat sipil seperti Lakpesdam NU Ngawi menggagas forum komunikasi BPD agar fungsi BPD kian nyata di lapangan (situs Lakpesdam, 14/11/16).

Kolaborasi Pemda dan masyarakat sipil penting untuk menjamin transisi BPD menuju demokrasi substantif. Politik hukum (ius constitutum) melalui PP No. 72/2005 tentang Desa sejak 15 (lima belas) tahun lalu diwarnai dengan BPD  yang konflik dengan Kepala Desa atau perangkat Desa. Namun tak sedikit pula BPD yang inovatif menjalin mitra dengan Pemerintah Desa.  Misalnya, Desa Julubori, Gowa, Sultra, mengadakan Jambore Kader Perencanaan Penganggaran Partisipatif (Sutoro Eko, 2014).

Regulasi Ambigu

Kedudukan BPD berada di persimpangan regulasi yang ambigu. UU Desa memerintahkan secara delegatif pembentukan Perda Kabupaten/Kota tentang BPD [vide Pasal 65 ayat (2) UU Desa]. Dilain pihak peraturan pelaksanaan UU Desa memerintahkan Permendagri tentang BPD [vide Pasal 79 PP No. 47/2015]. Menurut saya, politik hukum UU Desa mengarahkan agenda legislative drafting yang cepat melalui otonomi kabupaten/kota dan kewenangan Desa. Kehadiran Permendagri cenderung menunda implementasi kemandirian BPD (delay of implementation).  

Dalam situasi regulasi yang ambigu, dibutuhkan politik hukum (ius constituendum) yang meramu perintah delegatif UU Desa dan PP No. 47/2015. Kedudukan Perda BPD mendesak untuk segera terbit (het noodzakelijkheidsbeginsel) sebagai dasar hukum dan legitimasi pengembangan BPD.

Kita perlu membongkar nalar hukum BPD pasca UU Desa. Pancasila terutama sila ke-4 menekankan perpaduan nilai “hikmat/kebijaksanaan” dalam “permusyawaratan/perwakilan”. Kedudukan BPD pasca UU Desa dilandasi nilai hikmat berdesa, otonomi asli Desa yang serba musyawarah. BPD menjelma sebagai lembaga Desa yang terlibat melaksanakan fungsi pemerintahan Desa, namun tak secara penuh ikut mengatur dan mengurus secara teknis. Kekuatan BPD terletak pada fungsi politik permusyawaratan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi, dan pengawasan kinerja Kepala Desa. Fungsi legislasi pun menginduk pada fungsi penyelenggaraan Musdes yang membahas dan menyepakati bersama rancangan Perdes. Ini berbeda tajam dengan BPD era PP No. 72/2005 yang dilandasi nilai kebijaksanaan (local wisdom) dalam ruang politik demokrasi perwakilan. Penulis pernah berdialog dengan BPD di Sumatra Barat, nalar BPD masih dilandasi nilai kebijaksanaan sebagai “DPRD di Desa”. Karakter demokrasi perwakilan dari regulasi pusat mewariskan praktik politik demokrasi prosedural. Tak pelak, sebagian besar BPD minim prakarsa, sekedar menjadi ”stempel” Perdes, atau terlibat konflik kepentingan dengan Pemerintah Desa.

Fungsi Politik dan Tunjangan

Perda tentang BPD sebaiknya mengembalikan BPD ke kewenangan Desa. Fungsi politik hikmat berdesa dalam permusyawaratan Desa merupakan substansi utama Perda tentang BPD.

Pertama, musyawarah BPD. Fungsi legislasi BPD dikuatkan melalui rapat BPD sebelum Musdes yang membahas rancangan Perdes. Aspirasi masyarakat dari wilayah yang diwakilinya harus dibahas terlebih dahulu dalam musyawarah/rapat BPD.

Kedua, fungsi aspirasi. BPD membuat saluran aspirasi melalui kotak aspirasi maupun sistem teknologi lain yang mendukung partisipasi warga Desa. Pelayanan publik di Desa terutama aspirasi warga atas pelayanan dasar (pendidikan dan kesehatan) skala lokal Desa merupakan prioritas BPD.

Ketiga, fungsi pengawasan atas kinerja Kepala Desa. BPD membuat sistem pengaduan dan penyelesaian masalah di Desa. Pengawasan berbeda dengan pemeriksaan. Pengawasan BPD dilakukan dari “jauh”, sedangkan pemeriksaan ala auditor dilakukan dari “dekat”. BPD dapat bekerjasama dengan organisasi kemasyarakatan Desa atau organisasi masyarakat sipil untuk menyusun sistem pemantauan dan evaluasi atas hasil kegiatan pelayanan dasar, administrasi pemerintahan desa, bina kemasyarakatan Desa, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa.

Keempat, kelembagaan BPD. Fungsi BPD dapat diperkuat dengan Peraturan Tatib dan Kode Etik BPD yang disusun dan dipublikasikan terbuka agar masyarakat Desa tahu dasar kinerja BPD. Tatib/Kode Etik BPD bersifat khas sesuai budaya setempat dan tidak perlu meniru Tatib dan Kode Etik DPRD.

Kelima, anggaran BPD. Kewenangan BPD dalam penyelenggaraan Musdes mutlak harus dibiayai APB Desa. Selain itu, kinerja BPD yang fokus ke fungsi politik-deliberatif sudah saatnya didukung dengan tunjangan kedudukan, tunjangan operasional, dan tunjangan kehadiran. Misalnya, tunjangan kedudukan ketua BPD sebesar 40 persen dari penghasilan tetap Kades. Tunjangan operasional untuk transportasi dan komunikasi anggota BPD, dan tunjangan kehadiran untuk kehadiran anggota BPD dalam rapat BPD dan Musdes.

Terakhir, Perda tentang BPD mengatur kewenangan Pemda Kabupaten/kota. Pemda merumuskan agenda nyata seperti pendidikan dan pelatihan, pengembangan kerjasama BPD dan inspektorat/APIP, penghargaan atas prestasi BPD, pelayanan administrasi dan supervisi. Pengaturan tentang sanksi hanya diatur perihal penetapan sanksi pemberhentian terhadap anggota BPD yang melanggar larangan berdasarkan rekomendasi rapat BPD.*

Penulis: Anom Surya Putra

Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

Konstitusionalisme Deliberatif dan Judicial Review

Day 10 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 6 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 16 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 7 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 4 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 8 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (2): Pengantar Buku Sosiologi Hukum

Day 17 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)