Opini Terbaru
OPINI Berdesa: Perpres No. 12/2015 tentang Kementerian Desa, Ancangan Optimum?
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Ditengah hiruk pikuk KPK, terbit Peraturan Presiden No. 12/2015 tentang Kementerian Desa. Peraturan ini menjadi tanda bagi “kompromi politik” untuk otoritas kementerian yang mengurusi Desa. Konsekuensi dogmatik hukumnya, ketentuan mengenai (1) KPDT, Ditjen PMD Kemendagri, Ditjen P2KT dan Ditjen P2MKT Kemenakertrans; dan (2) Perpres No. 165/2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja (sepanjang mengatur mengenai Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Isi substantif Perpres Kementerian Desa memberikan kekuatan otoritatif bagi institusi baru ini untuk mengawal “Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa” dan “Pembangunan Kawasan Perdesaan”. Dilain pihak, konsekuensi dari Perpres ini adalah menyisakan otoritas “residu” yakni urusan administrasi pemerintahan umum” yang diurus oleh Kemendagri (cq. Ditjen Bina Pemerintahan Desa).
Matriks. Urusan Pemerintahan terkait Desa (KemenDesa dan Kemendagri)
Tak mudah untuk menjelaskan pembagian tugas 2 (dua) kementerian tersebut, karena idealnya penanganan urusan Desa hanya pada 1 (satu) menteri, yakni Menteri Desa. Mengapa KemenDesa powerful dalam implementasi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, sedangkan Kemendagri cukup menangani administrasi pemerintahan umum yang bersifat reguler?
Aspek kesejarahan birokrasi seringkali diwarnai tarik menarik kepentingan di masa lalu. Seorang teman pernah berseloroh, “Buku Agenda yang dibawa-bawa kala rapat itu selalu tebal“. Di masa lalu, pernah terdapat Kementerian BangDes yang mengurusi pembangunan masyarakat Desa. Seolah-olah murni tanpa urusan pemerintahan Desa, apalagi urusan pemberdayaan. Situasi kelembagaan itu selanjutnya berangsur-angsur tergabung dalam Kemendagri. Otoritasnya dilambari UU No. 5/1979 tentang Desa yang sentralistik, serba-kontrol atas Desa, Old Public Administration.
Rentang 20 (dua puluh) tahun kemudian, terbit UU No. 22/1999 tentang Pemda yang diiringi dengan penggabungan urusan pembangunan Desa, pemerintahan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa dalam institusi Ditjen PMD Kemendagri. Momentum UU Pemda itu menjadi titik pijak pertemuan arus birokrasi yang berupaya mengadaptasi urusan “pemberdayaan” dan “pemerintahan”.
Situasi hari ini menampakkan cakra manggilingan dimana rotasi waktu merujuk kembali situasi “terpisahnya” urusan pembangunan/pemberdayaan (KemenDesa) dan urusan administrasi pemerintahan (Kemendagri). Otoritas politik 2014-2019 tampaknya berupaya keras untuk mengatasi latensi diskursus pemerintahan yang Old Public Administration dan manuver-birokratik untuk mempertahankan praktek governmentality atas Desa. Menangani urusan diskursus pemerintahan semacam ini hampir-hampir sudah memfosil dan perlu spirit yang kuat untuk me-revolusi mental atas dasar spirit UU Desa.
Kedepan, KemenDesa lebih tepat untuk fokus mengikuti suara nurani Desa. Asas rekognisi (Desa lebih dahulu eksis sebelum NKRI) dan asas subsidiaritas (Desa mengurus dan mengatur dirinya sendiri; self-governing community) menjadi “ideologi hukum” bagi bekerjanya Ditjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (disingkat: Ditjen PPMD). Institusi Ditjen PPMD butuh pasukan-implementor dalam skema Pendampingan Desa yang kolaborasi dengan 74 ribu lebih Kepala Desa di Indonesia. Skema Pendampingan Desa ini menempatkan Kepala Desa sebagai “pemimpin rakyat”, bukannya “pemimpin administratif”. Konsentrasi gerakan Ditjen PPMD KemenDesa ada di teritorial skala lokal Desa, sehingga birokrat baru pada Ditjen PPMD KemenDesa lebih banyak di lapangan ketimbang menjadi tukang ketik surat di meja kantor.
Pendampingan Desa mutlak diurusi oleh Ditjen PPMD KemenDesa agar tidak terjadi mal-administration yang berujung pada kinerja buruk pengelolaan Dana Desa. Dilain pihak, tugas Ditjen Bina PemDes Kemendagri hanya terfokus pada pengelolaan keuangan desa yang sifatnya administratif, sehingga tidak akan mengalami benturan kewenangan yang berarti di lapangan nanti.
Saya membayangkan dalam 2-4 bulan kedepan, Desa sudah mulai bangkit dari efek-efek “mutilasi” atas hak-haknya selama ini. Era Jokowi-JK menjadi batu ujian terhadap praksis demokrasi deliberatif melalui Musyawarah Desa (bukan Musrenbangdes). Musyawarah Desa fokus pada kewenangan lokal berskala Desa dan kewenangan berdasarkan hak asal usul. Lingkup praksis demokrasi ini memberikan tenaga politik bagi Desa dan tentunya jauh panggang dari api dengan urusan administrasi pemerintahan yang umum/reguler.
Andai dalam 1 (satu) hari terdapat ribuan Musyawarah Desa berlangsung marak, dinamis, dan didampingi Pendamping Desa yang berspirit “rekognisi+subsidiaritas”, maka benar kiranya statement dari pegiat Desa bahwa Desa Membangun Indonesia.
Mudah-mudahan, spririt birokrasi KemenDesa masih diwarnai oleh jelajah desa oleh Hayamwuruk di masa keemasan Majapahit dan tertuliskan dalam Desa Warnana (Negarakretagama). Yang tak goyah oleh priyayisasi dan feodalisasi dari suatu rezim serba-kontrol atas tubuh-tubuh warga desa.*
Penulis: Anom Surya Putra (tulisan ini terbit pertama kali, tahun 2015)
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar