Opini Terbaru
Pilkades Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Awalnya, UU Desa menyatakan bahwa calon Kades wajib berasal dari Desa setempat agar tumbuh kaderisasi lokal. Ketentuan Pasal 33 huruf g UU Desa, calon Kades wajib memenuhi persyaratan ”terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di Desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran. Sedangkan Pasal 50 ayat (1) huruf c UU Desa menyatakan perangkat Desa diangkat dari warga Desa dengan syarat yang sama.
Para Pemohon dari Perwakilan Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Lampung Tengah mengajukan alasan judicial review atas UU Desa. Ketentuan Pasal 33 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf c UU Desa dinilai Pemohon tidak memberikan kesempatan yang adil kepada warga negara. Penduduk daerah Pemohon banyak yang bermigrasi, pindah, atau merantau ke daerah lain dengan tujuan mengembangkan diri. Hak perantau harus dijamin untuk mencalonkan diri sebagai Kades dan perangkat Desa di Desa asalnya. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 128/PUU/XIII/2015 menegaskan, Pasal 33 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf c UU Desa dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pengubah Hukum
Spirit UU Desa menempatkan Kades bukan sebagai kepanjangan tangan pemerintah, melainkan sebagai pemimpin masyarakat Desa. Kades harus mengakar dekat dengan masyarakat Desa, sekaligus melindungi, mengayomi dan melayani warga masyarakat Desa. Kades hadir sebagai pemimpin lokal (local leader) yang tumbuh dari skala lokal Desa itu sendiri. Inilah bentuk Revolusi Mental Berdesa dengan legitimasi Kades yang kuat (Sutoro Eko,2014;2016).
Faktor domisili calon Kepala Desa merupakan aspek pengubah hukum (proses, perbuatan, atau keadaan yang mengubah hukum) yang berpengaruh terhadap dinamika Pilkades. Legitimasi (keabsahan, kepercayaan, dan hak berkuasa) dari calon Kades merupakan dimensi paling dasar dalam kepemimpinan Kades. Seorang Kades yang tidak legitimate akan sulit mengambil langkah Revolusi Mental Berdesa, misalnya pendirian BUM Desa. BUM Desa Ponggok Klaten merupakan contoh Kades dan perangkat Desa yang legitimate, bersama masyarakat Desa mengelola ’umbul Desa” senilai 2 Milyar dan menyumbang Pendapatan Asli Desa (PADesa).
Putusan MK menjelaskan status Desa dalam UU Desa kembali dipertegas sebagai bagian tak terpisahkan dari struktur organisasi Pemda. Perdes ditegaskan sebagai bagian dari peraturan yang melaksanakan fungsi pemerintahan, sehingga Desa menjadi kepanjangan tangan terbawah dari fungsi pemerintahan negara secara resmi. Para Hakim MK menyatakan Pilkades analogis dengan Pilkada yang tidak memberikan batasan dan syarat domisili.
Fundasi filosofis Putusan MK itu tampaknya mengikuti pragmatisme Roscoe Pound. Linus J. McManaman (1958), mengingatkan fundasi filosofis dari teori hukum Pound adalah Hukum didefinisikan dalam lingkup “fungsi” (law is defined in terms of function). Teori hukum Pound secara radikal mengkritisi hukum alam (Thomistic) warisan abad ke-17 dan abad ke-18 yang menekankan otoritas terberikan (divined authority) dan bergeser pada norma sosial/budaya yang bercampur dengan norma yuridis. Penghapusan syarat domisili merupakan bukti norma sosial/budaya dan norma yuridis bercampur menjadi satu. Warga Desa yang mengalami migrasi atau rantau maupun warga yang bukan berasal dari luar Desa, bercampur dengan norma yuridis pelaksanaan Pilkada yang dianalogikan dengan Pilkades.
Substansi putusan MK melupakan Revolusi Mental Berdesa berbasis asas rekognisi (pengakuan atas hak asal usul Desa) dan asas subsidiaritas (kewenangan lokal skala Desa). Kedua asas utama UU Desa ini diturunkan dari Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 pada UU Desa. Akibat dari putusan MK, Desa menjadi kepanjangan tangan terbawah dari fungsi pemerintahan sehingga otonomi asli Desa menjadi sirna. Penglihatan MK atas Desa sebatas pragmatisme ”fungsi manajemen pemerintahan” yang sudah ”out of date” dari sisi rekognisi-subsidiaritas.
Revolusi Mental Berdesa
Filosofi pragmatisme manajemen pemerintahan menjerumuskan Pilkades terbuang dari kewenangan lokal berskala Desa. Perda Kabupaten/Kota yang mengatur tentang Pilkades dan perangkat Desa menjadi bentuk absolutisme Pemda dalam mengendalikan kepentingan masyarakat Desa untuk memilih pemimpin lokal. Dampak berikutnya, Musyawarah Desa tentang Pilkades dan perangkat Desa yang awalnya merupakan institusi tertinggi dalam pengambilan keputusan lokal, kini bergeser ke asas desentralisasi.
Kedepan nanti, kompromi harus dilakukan. Agenda politik hukum yang diusulkan adalah perubahan PP No. 43/2014 jo. PP No. 47/2015, Permendagri No. 112/2014 tentang Pemilihan Kepala Desa dan Permendagri yang mengatur syarat Perangkat Desa. Substansi hukum harus mengatur kompetensi calon Kades dan perangkat Desa.
Calon Kades dan Perangkat Desa harus paham Revolusi Mental Berdesa, gaya kepemimpinan yang sesuai karakter budaya setempat, bukan memerintah dan mengatur saja. Masyarakat Desa melalui BPD dan Musdes berhak tahu isi kampanye calon Kades yang menggerakkan potensi aset Desa. Tak semata pamer hasil rantau di kota besar yang kadang terjungkirbalik di Desa.*
Penulis: Anom Surya Putra
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar