Opini Terbaru

Between Facts and Norms, Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (2): Pengantar dari Jürgen Habermas

Gambar
PENGANTAR Jürgen Habermas  | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse

OPINI Berdesa: Serba-serbi Terbitnya 5 (Lima) Peraturan Menteri Desa



Peraturan Menteri Desa (Pemendesa) membuka seluas-luasnya ruang bagi masyarakat Desa, mulai dari penetapan kewenangan lokal, penyelenggaraan MusDes, pendirian BUM Desa dan unit-unit usahanya, pendampingan Desa di tingkat lokal sampai pusat, dan penggunaan dana desa sesuai prioritas kebutuhannya.

Masyarakat Desa diposisikan sebagai subjek penentu dan pengambil keputusan di skala lokal. Anda dapat bayangkan, masyarakat Desa yang tersebar pada 74 ribu Desa melakukan Musdes dengan program yang sederhana, membumi dan menguntungkan Desa itu sendiri.

Ini adalah bentuk self-governing community yang selama ini berupaya keras disosialisasikan oleh Marwan Ja’far Menteri Desa ketika “blusukan” dan rapat formal di Kementerian.

Secara garis besar, program unggulan sedang disusun dengan menimbang aspek deliberatif dan teknokratik, serta nomenklatur Ditjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, dan Ditjen Pembangunan Kawasan Perdesaan. Secara sederhana, dua ditjen di lingkungan KemenDesa ini mengkonsolidasikan “Desa Membangun” dan “Membangun Desa” dengan porosnya yakni kewenangan lokal berskala Desa dan kewenangan berdasarkan hak asal usul.

Permendesa No. 1/2015: Berawal dari Kewenangan Desa

Mari kita telusuri apa yang dimaksud dengan Kewenangan Desa. Kewenangan Desa adalah kewenangan yang dimiliki Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, Pembinaan Kemasyarakatan Desa, dan Pemberdayaan Masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan adat istiadat Desa.

Marwan Jafar Menteri Desa PDTT mendukung aspek kunci dari UU Desa yakni prakarsa masyarakat, hak asal usul dan adat istiadat Desa. Oleh karenanya, PermenDesa tentang Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa, prioritas untuk didahulukan terbit.

PermenDesa tentang Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa berisi tentang:

  1. hak yang merupakan warisan yang masih hidup dan prakarsa Desa atau prakarsa Masyarakat Desa sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat; dan 
  2. kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul karena perkembangan Desa dan prakarsa masyarakat Desa.

Konsisten dengan spirit UU Desa, Kewenangan lokal berskala Desa meliputi bidang pemerintahan Desa, pembangunan Desa, kemasyarakatan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa. Menurut saya, kita tetap harus memastikan kewenangan lokal berskala Desa itu secara utuh dalam peraturan menteri. Yang membedakan adalah, kewenangan lokal berskala Desa didalam PermenDesa membuka ruang bagi Desa untuk “menentukan dan menetapkan” isi Kewenangan Lokal-nya dengan Perdes.

Dilain pihak, Pemda memfasilitasi penyusunan dan penetapan daftar kewenangan lokal itu dengan menyusun tim pengkajian dan inventarisasi daftar kewenangan lokal. Lalu, bagaimana isi dan cara menyusun Perdes tersebut? Permendesa tidak mengatur hal itu, menurut saya, otoritas Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kemendagri yang lebih pas mengurusi hal teknik-legal drafting penyusunan Perdes. Disinilah, letak kerjasama 2 (dua) Kementerian dalam menjaga kewenangan lokal skala Desa.

Permendesa No. 2/2015: Musyawarah Desa sebagai "Forum Tertinggi"

Kewenangan lokal dan hak asal usul amatlah strategis. Oleh karenanya, perlu Musyawarah Desa untuk membahas dan menyepakati isinya. Permendesa tentang Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa, mengatur tentang hak dan kewajiban masyarakat Desa dalam pengambilan keputusan.  Musdes diselenggarakan oleh BPD dan difasilitasi oleh Pemerintah Desa.

Perwakilan kelompok masyarakat miskin harus dilibatkan dalam pemetaan aspirasi dan kebutuhannya, apalagi perwakilan kelompok perempuan. Mudah-mudahan Permendesa Musdes ini mampu memberi ruang bagi perwakilan kelompok dalam menentukan apapun yang strategis bagi Desa. Kita serahkan kepada Musdes untuk menentukan dan memutuskannya, entah itu urusan penataan Desa, perencanaan Desa, kerjasama Desa, rencana investasi masuk Desa, pembentukan BUM Desa, penambahan dan pelepasan aset Desa, dan kejadian luar biasa yang berada di Desa itu sendiri.

Desa melakukan penyusunan RPJM Desa dan RKP Desa. Tentu saja dibahas dan diputuskan melalui MusDes. Sedapat mungkin Desa memprioritaskan penggunaan dana desa dengan mengikuti panduan umum dalam Permenkeu dan Permendesa terkait tentang Dana Desa. Menurut amanat perundang-undangan, bulan April 2015 sudah mulai delivery ke daerah dan Desa.

Permendesa No. 3 sampai dengan No. 5 Tahun 2015: Pendampingan, Dana Desa dan BUM Desa

Permendesa tentang Pendampingan Desa sifatnya sederhana dan membuka ruang bagi kondisi dinamika lapangan. Pendamping Desa idealnya berkedudukan di kecamatan, Pendamping Teknis di kabupaten, Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat berkedudukan di Pusat dan Provinsi. Khusus untuk Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa, ia berkedudukan di Desa dan ditetapkan dengan keputusan Kepala Desa.

Permendesa tentang penetapan prioritas penggunaan Dana Desa dikoordinasikan dengan Permenkeu yang mengatur tentang Dana Desa. Kementerian Keuangan mengatur tentang lalu lintas sistemik Dana Desa dari pusat ke daerah dan desa, sedangkan Kementerian Desa berwenang menetapkan prioritas penggunaannya.

Misal, Dana Desa itu prioritas digunakan untuk Infrastruktur Desa. Tanpa menutup kemungkinan Desa mengembangkan potensi sumber daya alamnya, seperti pengelolaan batu alam Kalsedonia di suatu desa di Pacitan yang dapat menguntungkan Desa.

Pertanggungjawaban yang sifatnya administratif, tentu menjadi otoritas Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kemendagri c.q. urusan pengelolaan keuangan Desa. Justru, “pertanggungjawaban Desa” dalam aspek kegiatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang lebih penting. Misalnya, bagaimana peran pendamping Desa dalam membangun jaringan irigasi Desa, embung Desa, jalan Desa, lumbung Desa? Sejauhmana partisipasi dan pemberdayaan yang dilakukan dalam MusDes itu berlangsung? Inilah kiranya, pertanggungjawaban kualitatif yang menjadi otoritas Kemendesa.

Publik tidak cukup menerima informasi semisal  “20 juta dari Dana Desa untuk jalan Desa A, Kecamatan B, Kabupaten C”, tetapi informasi tentang siapa saja yang terlibat sejak perencanaan sampai pemanfaatan jalan desa yang dibangun dengan Dana Desa, itulah yang penting. Sambil guyonan, jangan sampai ketika melihat Papan Informasi di Desa tentang jalan desa yang sudah dibangun, kita terpaku dengan pertanyaan: “Lebih penting mana, informasi jalan desa, atau Papan Informasinya?” Lebih penting isi informasi dari Papan Informasi itu, bukan...

Permendesa tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran BUM Desa berupaya melakukan rekognisi terhadap usaha Desa yang telah dilakukan selama ini. Peraturan ini memudahkan pembentukan BUM Desa, bagi Desa yang belum membentuk BUM Desa. Bagi desa yang sudah membentuk BUM Desa maka diarahkan untuk membentuk unit-unit usaha berbadan hukum dalam skema strategi inkremental.

Dalam skala lokal, unit-unit bisnis dan/atau unit-unit usaha bentukan BUM Desa menjalankan bisnis sosial (social business) sederhana yang memberikan pelayanan umum (serving), misalnya usaha air minum Desa, usaha listrik Desa, lumbung pangan. BUM Desa juga dapat menjalankan unit-unit usaha jasa perantara (brokering) dan penyewaan. Misalnya, unit usaha BUM Desa tipe brokering yang menjalankan jasa pembayaran listrik, dan seterusnya pada tipe trading, financial business dan holding. Marwan Ja’far Menteri Desa PDTT concern juga terhadap BUM Desa yang dapat menjalankan bisnis skala besar produksi maupun perdagangan, misalnya pabrik es, sarana produksi pertanian, dan sumur bekas tambang BUMN baik dari Pertamina maupun ANTAM.

Strategi Inkremental BUM Desa dalam Permendesa No. 4/2015

BUM Desa dan unit-unit usaha bentukannya, mutlak didasari oleh prakarsa warga dan pemerintahan Desa, melalui Musyawarah Desa yang demokratis. Keberhasilan BUM Desa ditentukan oleh inisiatif dan prakarsa Desa, dan bukan dari pendekatan bantuan modal yang bersifat government driven. Unit-unit usaha Desa, apapun bentuk dan skala usahanya, lebih penting dikuatkan melalui Musyawarah Desa. Tanpa didahului oleh modal sosial dalam pembentukan BUM Desa melalui Musyawarah Desa, kemungkinan BUM Desa agak tersendat perkembangan bisnisnya. BUM Desa cenderung mengandalkan partisipasi warga dan pemerintahan Desa, ketimbang transaksi bisnis konvensional.

Menurut saya, bisnis yang dijalankan BUM Desa pada tahap awal (serving; brokering; trading) dapat diupayakan langsung untuk meningkatkan pendapatan Desa dan hasil usaha Desa tidak dilindas oleh mekanisme pasar. Dilain pihak, hasil program pemerintah sebelumnya, seperti PNPM Mandiri-Perdesaan yang membangun sarana air bersih di banyak Desa, penting untuk dirawat dan dikelola oleh unit-unit usaha BUM Desa tipe serving agar tidak terbengkalai di kemudian hari. Belum lagi ditambah dengan sumur bekas tambang BUMN baik dari Pertamina maupun ANTAM yang terbuka kemungkinannya untuk dikelola oleh BUM Desa secara kolektif.

Dana Desa harus ditujukan untuk Desa. Posisi pusat hanya menentukan besaran Dana Desa dengan indikator jumlah penduduk desa, angka kemiskinan desa, luas wilayah desa, dan tingkat kesulitan geografis kabupaten/kota yang bersangkutan. Besaran penggunaan Dana Desa untuk pendirian BUM Desa, dipersilahkan bagi warga Desa untuk memutuskannya sendiri dalam Musyawarah Desa tentang Pendirian BUM Desa. Ini dilandasi oleh masukan dari berbagai pihak, besaran modal bagi BUM Desa yang government driven justru kurang relevan dengan kewenangan lokal skala Desa dan pada akhirnya mematikan laju usaha ekonomi Desa dalam waktu singkat.

Peraturan Menteri tentang Desa: Antara Taat Asas dan Offside

Penerapan UU Desa harus taat asas. Antara lain, implementasi UU Desa dengan menghitung cermat aspek perubahan nomenklatur dan wewenang Kementerian yang menangani urusan Desa. Idealnya, urusan Desa diserahkan saja ke Kementerian Desa PDTT. Beres pasca pelantikan kabinet. Tapi, cuaca politik hukum sudah bergerak ke arah lain. Sejarah akan mencatat munculnya otoritas baru dan praksis kebijakan baru yang digotong bersama oleh Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kemendagri dan 2 (dua) Ditjen di Kementerian Desa yakni Ditjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Ditjen Pembangunan Kawasan Perdesaan.

Peraturan Menteri Desa, idealnya lebih dari 10 (sepuluh) Permen yang mencakup seluruh operasionalitas dari kaidah-kaidah dalam PP No. 43/2014 (sebut saja PP Desa). Tapi, kita mesti berhati-hati dengan kaidah-kaidah dalam PP Desa. PP Desa tidak semua isinya mencerminkan asas rekognisi dan asas subsidiaritas Desa. Tim Regulasi KemenDesa sudah menerima banyak masukan agar PP Desa itu direvisi.

Idealnya, norma delegasi dalam UU Desa mengamanatkan banyak PP yang spesifik. Tidak seperti sekarang, ketentuan UU Desa dituangkan begitu saja dalam 1 (satu) PP Desa dan 1 (satu) PP yang khusus mengatur Dana Desa. Kedepan nanti, PP Desa direvisi dengan memperhatikan aspirasi Desa. Contoh, tanah bengkok. PP Desa diprotes keras karena tanah bengkok seolah bukan lagi sebagai simbol perekat sosial, tapi masuk dalam rezim administratif yang justru mengurangi pendapatan Desa.

Pasca terbitnya Perpres No. 11/2015 Kemendagri dan Perpres No. 12/2015 Kemendesa PDTT, tidaklah mudah untuk menyusun PermenDesa. Harus hati-hati untuk tidak offside menerbitkan suatu Permen yang bertautan secara sistemik dengan Perpres, PP dan UU Desa. Contoh, Permendagri tentang Pembangunan Desa, disusun dengan tidak mencantumkan konsideran Perpres Kemendagri yang sebenarnya hanya mengatur tentang Ditjen Bina Pemerintahan Desa yang sifatnya administrasi reguler. Meski, isi dari Permendagri tentang Pembangunan Desa cukup ideal untuk diterapkan.

Era transisi saat ini membutuhkan disain PermenDesa yang sedapat mungkin otonom dari kepentingan politik dan perang tafsir yang kontraproduktif. PermenDesa berada dalam kuasa sub-kultur deliberatif yang melibatkan Desa dalam hal pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa. Dilain pihak, Permendagri tentang desa fokus kepada “aras atas” yakni sub-kultur kekuasaan administrasi pemerintahan desa.

Seringkali terjadi simplifikasi bahwa Kemendagri mengurus “pemerintahan desa” dan Kemendesa mengurus “pemberdayaan Desa”. Menurut saya, term yang tepat adalah Kemendagri mengurus “Administrasi Pemerintahan Desa” beserta turunannya, dilain pihak Kemendesa mengurus pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa beserta variannya dalam skala lokal Desa dan kawasan Perdesaan. 

Jadi, lingkup pengaturan PermenDesa jauh lebih luas. Konsisten dengan spirit UU Desa, isi-substantif dalam Permendesa tetap mencantumkan Pemerintahan Desa sebagai subjek dan mitra pembangunan dan pemberdayaan masyarakat skala lokal Desa dan kawasan perdesaan. Soal administrasi reguler pemerintahan Desa, Permendesa tidak perlu mengatur  hal ini.

Otoritas Kemenhukham tentu lebih memahami asas rekognisi dan asas subsidiaritas terhadap berbagai peraturan menteri yang fokus kebijakannya tertuju pada Desa. Menurut saya, penerbitan PermenDesa tidak dapat dikatakan terlambat, karena Kementerian Desa berupaya taat asas dengan menunggu Pepres Kemendesa PDTT. Barulah kemudian, dilakukan koreksi terhadap Rapermendesa (pasca terbitnya Perpres No. 12/2015 tentang Kemendesa PDTT), diajukan ke Kemenhukham dan akhirnya Permendesa terbit untuk publik.*

Penulis: Anom Surya Putra (tulisan ini pertama kali terbit pada tahun 2015)


Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

Day 2 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 1 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 15 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 12 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 13 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 7 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Permendagri No. 114/2014 tentang Pembangunan Desa Tidak Berlaku, Lex Posterior Derogat Legi Priori

Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (3): Memulihkan Sosiologi Hukum

Between Facts and Norms, Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (2): Pengantar dari Jürgen Habermas