Opini Terbaru

Between Facts and Norms, Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (2): Pengantar dari Jürgen Habermas

Gambar
PENGANTAR Jürgen Habermas  | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse

Kujang, Dari Desa untuk Peradaban Dunia

Kujang tak asing dikenal di kalangan muda dan sesepuh di Indonesia. Bentuk Kujang mirip "pulau Jawa bagian barat atau bagian ujung timur", bila dipegang dalam posisi horisontal.

Basuki Teguh Yuwono, seorang peneliti, dosen ISI Surakarta, dan sekaligus "mpu" muda dari Karanganyar, Jawa Tengah, menerbitkan buku hasil penelitian tentang Kujang. Dalam keseharian, mas Basuki mengelola Padepokan dan Museum Keris "Brojobuwono", di Desa Wonosari, Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah.

Buku "Kujang, Jejak Pesona Budaya Sunda: Tinjauan Visual, Sejarah, Teknologi, Fungsi dan Perannya dalam Masyarakat", terbit tahun 2013. Wakil Gubernur Jawa Barat, Deddy Mizwar, memberikan kata pengantar yang apresiatif atas penelitian tentang Kujang ini ditengah perubahan sosial-global yang mengancam eksistensi situs budaya Indonesia.

Karakteristik Kujang 

Etimologi Kujang dicermati secara awal dalam buku ini. Kujang ditelusuri dari asal kata "kudi hyang", nama binatang "kud hyang", ungkapan "kukuh kujangji", istilah Sunda "ujang", sampai dengan istilah "kudhi jangkung". Keragaman asal muasal kata ini diungkap mas Basuki untuk mengadaptasi berbagai pendapat yang selama ini berada di lingkup bahasa sehari-hari masyarakat Sunda. Kajian etimologis Kujang dibandingkan dengan berbagai pandangan peneliti sebelumnya maupun karakteristik bentuk Kujang.

Foto: Kujang Naga.

Sumber: Basuki Teguh Yuwono (2013) 

Berbagai ilustrasi atas karakteristik bentuk Kujang dianalisis dalam pendekatan estetika dan spiritualitas. Sisi menarik buku ini adalah melakukan analisis Kujang sebagai pusaka dan simbol kekuatan magis bagi masyarakat Sunda. Kekuatan magis ini hidup di kalangan petani Desa (peladang; "mahuma") yang memposisikan Desa sebagai basis penghidupannya. Kujang menjadi alat perkakas, senjata, dan sekaligus pusaka yang menjaga diri, keluarga, teritori, dan generasi.

Menurut penulis, daya magis ini tidak begitu saja di-"vonis" sebagai animisme, karena animisme merupakan agenda kolonial untuk meredam agama asli Nusantara yang potensi untuk melawan kolonialisme. Tradisi magis Sunda terarah pada harmoni dengan alam semesta dan alam rohaniah, dan tidak seperti tudingan animisme yang mereduksi spiritualitas pada daya magis makhluk halus.

Sejarah Seni Tempa, Sastra, dan Kujang

Kujang mempunyai sejarah yang panjang dalam kebudayaan tembaga, perunggu, dan besi di Indonesia. Guru Teupa ("mpu" di Sunda) merupakan representasi dari klas intelektual-spiritual yang memajukan peradaban dan sejarah seni tempa. Data arkeologis tentang Kujang dalam relief Candi Sukuh dan candi lainnya menjadi bukti eksistensi Kujang sebagai peradaban dunia.

Karya sastra baik dalam budaya Sunda dan Jawa telah banyak menyebut Kujang dengan keindahan bahasanya. Mas Basuki menganalisis Serat Manik Maya, Serat Sanghyang Siksakandang Karesian, Berita Pantun bogor, dan Serat Tangtu Pangelaran, yang membuktikan eksistensi Kujang dalam kehidupan masyarakat Desa ("mahuma") maupun kerajaan.

Sisi menarik dari analisis karya sastra adalah Kujang disebut pula sebagai "kudi" yang dikenal sebagai senjata dan pusaka Jawa. Bentuk Kudi/Kujang ini muncul di Wayang Beber yang lebih dikenal di luar wilayah Sunda. Menurut penulis, Kujang telah meluas dikenal di wilayah Sunda dan luar Sunda, diakui sebagai budaya tinggi yang sarat simbol dan makna di pewayangan, sehingga Kujang tak-eksklusif sebagai budaya Sunda saja.

Peneliti era kolonial juga mengakui eksistensi Kujang di kalangan rakyat Desa. Tercatat, mulai GAA Hazeu, Snouck Hurgronje, GP Rouffaer, CM Pleyte, JE Jasper dan Mas Pierngadie, sampai dengan Thomas Stamford Raffles, memberikan liputan menarik tentang Kujang. Kujang selalu dibawa kemana-mana oleh petani, disimpan oleh elit kerajaan sebagai senjata dan pusaka, sampai dengan produktivitas Guru Teupa ("mpu), tak luput dari analisis para peneliti kolonial.

Tipologi Kujang

Keris sudah banyak dianalisis rinci baik dhapur, pamor, tangguh, maupun aksesorisnya (pendhok, mendak, jejer/deder, dan bentuk warangka ladrang atau gayaman). Buku ini melengkapi studi "Kerisologi" dengan tipologi bentuk Kujang yang variatif. Anda dapat mempelajari detail dari babagan (bagian-bagian Kujang) yang terdiri dari waruga (bagian bilah), kowak (warangka), dan gagang atau landean (hulu/tangkai). Tipologi bentuk Kujang (dhapur Kujang) dan warna pamor-nya menarik sebagai tuntunan (etik) dan tontonan (estetik).

Foto: Kujang Dewi Sri.

Sumber: Basuki Teguh Yuwono (2013)

Tipologi Kujang menentukan fungsi dan peran Kujang. Apakah Kujang itu kategori Kujang pusaka, Kujang pakarang (senjata, alat perang), atau kujang pamungkas (alat pertanian, perladangan). Buku ini memberikan ilustrasi Kujang pusaka, pakarang, dan pamungkas, yang jarang terdokumentasikan dengan baik.

Mayoritas penduduk Indonesia masih "phobia" dengan pusaka, entah karena alasan bid'ah atau ancaman keimanan. Fungsi Kujang dalam peran relijius tertuju pada "Dewi Kesuburan" atau "Dewi Sri" sebagai simbol "Desa melihat ekonomi". Para "mahuma" di Desa melihat ekonomi dalam hamparan kebercukupan, harmoni, dan tradisi. Tipologi Kujang "Dewi Sri" misalnya memberikan makna situasi panen kali ini sudah cukup untuk diri, keluarga, dan masyarakat Desa lainnya. Tak ada nafsu ekstraksi dan eksploitasi atas tanah dan sumberdaya lainnya, karena tindakan "ekonomi rasional" itu akan merusak harmoni alam.

Teknis Pembuatan, Perawatan, dan Tata Cara Membawa Kujang

Anda janganlah terlalu "percaya" dengan Kujang hasil "tarikan" dari alam ghaib. Kujang yang "asli" adalah Kujang yang dibuat Guru Teupa ('mpu') yang rendah hati, bertenaga kuat, tahan puasa, dan ikhlas dalam proses pembuatan Kujang. Buku ini memberikan makna atas kesucian empu atau Guru Teupa dalam pembuatan Kujang. Sayang sekali jika anda tidak pernah memesan langsung kepada Guru Teupa, tapi sibuk membeli minyak dan obrolan klenik tentang penarikan Kujang dari alam ghaib.

Proses pembuatan Kujang mensyaratkan patokan waktu (istilah lain: pawukon, ilmu menghitung hari), kesucian empu, ketersediaan bahan, tempat pembuatan kujang (paneupaan, gosali), dan prosesi teknis. Bahan pembuatan Kujang terdiri dari logam, non logam, racun, dan "tuah". Kesucian empu/Guru Teupa yang bertemu dengan rotasi "patokan waktu" akan menghasilkan karya yang estetik dan menenangkan sang pemegang Kujang. Tempat pembuatan Kujang (paneupaan, gosali) menjadi lokus bagi Guru Teupa untuk terus menempa (sambil tapa raga, tapa batin) sesuai dengan perjalanan spiritual sang pemesan Kujang.

Sisi menarik dari buku ini adalah penjelasan mendalam tentang makna SESAJI. Mengapa sesaji Kujang itu nasi, buah, dan piranti lainnya? Sesaji Jongkong atau jajan pasar, berupa buah-buahan, umbi-umbian, dan makanan-makanan kecil tradisional. Jongkong merupakan suatu simbolisasi atas keselarasan dan keharmonisan alam. Sirih, yang terdiri dari tembakau, 3-9 lembar daun sirih, kapur sirih, dan gambir, simbol penghormatan atas segala zat-zat kehidupan pada alam semesta.

Bunga setaman, ditaruh di dalam sebuah wadah yang diisi air, simbol keharmonisan alam semesta dengan segala kehidupannya. Arang dan kemenyan, sebagai sarana wewangian untuk menambah kekhusukan dalam berdoa. Simbol penghormatan kepada leluhur dan seluruh mahluk Tuhan baik yang tampak ataupun yang tidak tampak.


Foto: Kujang Wayang.

Sumber: Basuki Teguh Yuwana (2013)

Masih banyak terminologi atas tata cara sesaji perkerisan dan Kujang, tetapi makna simbolisnya hampir sama yakni memuliakan leluhur, harmoni dengan semesta, dan memuja Tuhan. Seringkali sesaji dianggap sebagai "makanan makluk halus", padahal setahu penulis, para pemesan keris selalu bersama-sama makan nasi sesaji dan laukpauknya secara normal dan justru menjalin keakraban dengan sesama.

Terakhir, Kujang yang telah selesai dibuat akan berbeda-beda dalam cara pembawaannya. Buku ini memberikan ilustrasi tentang nyandang Kujang atau Ngindit Kujang dalam keseharian, saat perang, saat upacara, dan tata cara penyimpanannya. Jangan sampai misalnya, Anda membawa Kujang "puthut" (yang biasa dipakai pengembara/pencari ilmu pengetahuan di pinggang kiri depan) malah diletakkan di belakang. Alhasil, para sesepuh akan "tertegun" melihat generasi penerus sudah tidak paham tata cara pembawaan Kujang.

Simpulan

Jejak historis, proses pembuatan sampai dengan tata cara pembawaan Kujang sehari-hari memperlihatkan Kujang sebagai "tradisi asli" masyarakat Desa, khususnya bagi petani atau peladang/mahuma. Berbeda dengan keris yang berasal dari lingkungan keraton, sehingga fungsi Keris lebih pada senjata dan pusaka, ketimbang perkakas sehari-hari.

Kujang mempunyai potensi untuk dikembangkan dalam kehidupan perkakas sehari-hari, souvenir yang multi-guna, sampai dengan bentuk Kujang sebagai pusaka yang mencegah "tragedi impor beras" di negeri ini.

Jika Anda tertarik untuk melihat Kujang di Museum Brojobuwono, silahkan meluangkan waktu untuk berkunjung ke Desa Wonosari, Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah. Perjalanan darat dari Terminal Surakarta ke Desa Wonosari hanya memakan waktu 30-45 menit. Selamat ber-Wisata Desa...*

Penulis: Anom Surya Putra


Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

Konstitusionalisme Deliberatif dan Judicial Review

Day 10 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 16 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 6 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 4 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 8 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 7 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (2): Pengantar Buku Sosiologi Hukum

Day 17 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)