Opini Terbaru

Between Facts and Norms, Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (2): Pengantar dari Jürgen Habermas

Gambar
PENGANTAR Jürgen Habermas  | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse

Revolusi Mental dan Keris Pusaka

Pada tahun 2014 banyak sekali gagasan yang muncul di publik. Misalnya, Revolusi Mental. Inti gagasannya kurang lebih menawarkan suatu teknik psikologis untuk mengatasi hambatan ditingkat individu, masyarakat dan skala lebih luas yakni negara dan bangsa. 

Sebagai kaum muda yang belajar tentang budaya keris, saya memahami isi gagasan Revolusi Mental itu dari aspek dhapur dan pamor keris.

Di tingkat individu, penyakit sosial yang dikritisi oleh Revolusi Mental adalah malas, bebal, dan tidak berkarakter. Budaya keris di nusantara mempunyai kekayaan simbolik, misalnya tentang pamor Sulur Ringin dan teknik wosing wutah.

Seorang empu yang membuat pusaka keris dengan teknik wosing wutah memberikan pelajaran bagi kaum muda agar ke-aku-an yang masih dimiliki itu dapat dilebur bersamaan dengan penempaan besi, baja dan bahan pamor (nikel atau meteor). Teknik wosing wutah bermakna bagi terbentuknya karakter baru yang pasrah terhadap kehendak Tuhan, giat bekerja, dan berpikir cerdas.

Prosesi pembuatan pusaka bagi kaum muda dapat digali pemaknaannya. Misalnya, mengapa kaum muda melepas burung tekukur ke langit untuk mengiringi suatu upacara wiwitan pembuatan pusaka. Maknanya adalah wawasan kaum muda diharapkan semakin luas dan dapat melihat dengan cermat seperti burung tekukur yang terbang ke langit.

Revolusi Mental juga berdimensi kemasyarakatan. Revolusi Mental mengkritisi ketimpangan sosial, kecemburuan sosial dan gangguan keamanan atau kenyamanan hidup. Salah satu dhapur keris yang banyak dimiliki oleh masyarakat adalah dhapur Brojol. Serat Centhini mengungkapkan agar pemilik keris ini untuk senantiasa berhati-hati dalam berbicara. Nilai-nilai luhur ini bersifat praksis dan mengarahkan agar kita senantiasa berhati-hati dalam dialog dengan orang lain.

Begitupula halnya mengapa keris Brojol berpasangan dengan burung perkutut. Burung perkutut cenderung tidak mudah untuk berbunyi, tapi “manggung”. Ia “manggung” dalam waktu tertentu, sesuai dengan kehendak dirinya. Saya kira, ajaran leluhur tentang keris dhapur Brojol yang dikaitkan dengan pemeliharaan burung perkutut, memberikan makna hablum min an-naas yang harmoni. 

Ajaran leluhur ini berada dalam lingkup budaya, dan sudah move on meninggalkan aspek klenik. Sekalipun ajaran leluhur dan Revolusi Mental bersifat deskriptif, menurut saya, tantangannya terletak pada kemampuan diri untuk menggali makna-makna simbolik yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.

Revolusi Mental juga berdimensi nation state atau skup negara dan bangsa. Revolusi Mental mengkritisi sikap lemah, tidak bermartabat, produktivitas minim, dan daya saing rendah. Sebagai kaum muda yang baru belajar keris, saya memaknai kekayaan simbolik dari dhapur Karno Tinandhing. Serat Centhini mengungkapkan spirit Karno Tinandhing untuk berkompetisi secara produktif, kuat mental dan tetap bermartabat. 

Dhapur Nagasasra juga memberikan mitos-mitos yang penting tentang kepemimpinan nasional.  Keris dhapur nagasasra mengajarkan aspek kepemimpinan seperti simbol kijang dalam ricikannya. Kijang berarti pemimpin tidak boleh adigang adigung adiguna. Kijang juga berarti sifat untuk waspada, cekatan atau blusukan.

Nah, wacana revolusi mental, secara keseluruhan, hendak menggerakkan manusia Indonesia agar berkepribadian cerdas, cekatan dan tetap waspada.*

Penulis: Anom Surya Putra


Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

Konstitusionalisme Deliberatif dan Judicial Review

Day 10 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 16 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 6 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 4 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 8 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 7 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (2): Pengantar Buku Sosiologi Hukum

Day 17 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)