Bahasa Hukum dalam UU No. 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu kaitan Covid-19 mesti hati-hati diinterpretasi. Pasal 72 ayat (2) UU Desa secara pengetahuan, historis dan pragmatis ialah dasar hukum dan spirit Dana Desa sebagai Hak Rakyat Desa. Bukan "bantuan dari pemerintah". Asas hukumnya jelas rekognisi dan subsidiaritas.
Asas hukum rekognisi adalah pengakuan terhadap hak asal usul Desa. Sedangkan Asas hukum subsidiaritas adalah penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa. Simpulannya, Dana Desa merupakan hak Desa untuk mengatur, mengurus dan membiayai hak asal Desa dan kewenangan lokal Desa.
Praksisnya, Desa menyusun daftar kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa terlebih dahulu dan Dana Desa digunakan untuk membiayai program atau kegiatan dalam daftar kewenangan tersebut.
Apa masalah hukumnya?
Pasal 28 angka (8) Lampiran UU No. 2/2020 a quo menyatakan, "ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa beserta penjelasannya DINYATAKAN TIDAK BERLAKU SEPANJANG...."
Benarkah Dana Desa dicabut oleh UU No. 2/2020?
Hukum dogmatik yang teoritis dan nomatif membedakan antara frasa "DINYATAKAN TIDAK BERLAKU" dengan frasa "MENCABUT..."
Pertama, pengetahuan tentang frasa "Dinyatakan tidak berlaku", dimaknai sebagai: KONDISI hukum tertentu, tapi akibat hukumnya masih diakui. Logika hukumnya: "jika dalam kondisi X, maka norma Y tidak berlaku."
Artinya, Dana Desa sebagaimana dalam UU Desa tidak berlaku semasa penanganan Covid-19 atas dasar kekuasaan PRESIDEN dan sudah diperkuat oleh kekuasaan DPR melalui UU ini. Produk kebijakan pragmatis dari pemerintahan dengan demikian dipahami dalam kondisi sementara yang nantinya juga akan berlalu.
Seperti kita lihat, contohnya seperti kebijakan BLT DD. Kebijakan DD dalam BLT DD tentu bertolakbelakang dengan asas hukum rekognisi-subsidiaritas dan Pasal 72 ayat (2) UU Desa (mohon jangan diperluas sebagai PENGKHIANATAN UU Desa). DD diterapkan dalam skema lain bernama BLT dan bersifat sementara, melalui kewenangan penugasan (dari pemerintah ke Desa) sepanjang masa penanganan Covid-19.
Selama Covid-19 belum selesai, Dana Desa diterapkan dengan gaya BLT, dan bukan sesuai asas hukum rekognisi-subsidiaritas. Dengan demikian secara normatif, Pasal 72 ayat (2) UU Desa untuk sementara hilang kekuatan daya ikatnya semasa pandemi Covid-19.
Kedua, frasa "Mencabut...," maknanya ialah pasal tertentu dalam UU tertentu dinyatakan tidak punya kekuatan daya ikat lagi. Kaidah hukum dalam Pasal 28 angka 8 UU No. 2 Tahun 2020 TIDAK MENCABUT kaidah hukum yang melandasi Dana Desa sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (2) UU Desa.
Kesimpulannya, kekuasaan negara sedang melanggar UU Desa khususnya kaidah hukum mengenai Dana Desa dalam UU Desa, selama pandemi Covid-19, tapi tidak mencabut kaidah hukum Dana Desa dalam Pasal 72 ayat (2) UU Desa.
Krisis hukum atas Desa akan terjadi apabila kekuasaan negara lupa mencabut UU urusan pandemi covid-19 ini dalam kondisi pasca pandemi. Tentu pencabutannya bisa pada 2 (dua) aras:
rasionalitas pemerintah dan parlemen, atas dasar pertimbangan epidemiologis dan aspek lainnya
rasionalitas Mahkamah Konstitusi atas pertimbangan normatif hukum tata negara
Lalu bagaimana kisah pengujian UU a quo ke hadapan Mahkamah Konstitusi?
Saya membaca risalah sidang awal melalui situs MK. Argumen pengujian "UU Covid-19" yang diajukan oleh penasihat hukum dan beberapa Kades, menarik dicermati.
Berikut kutipan argumen penutup dari pemohon:
"Bahwa berdasarkan argumentasi di atas, para Pemohon berkeyakinan jika Pasal 28 ayat (8) [sic!] Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan potensial merugikan para Pemohon;"
Pertama, saya sepemahaman dengan teman-teman Pemohon bahwa kaidah hukum dalam Pasal a quo Lampiran UU No. 2/2020 bertentangan dengan pasal yang mendasari kebijakan keuangan negara pada UUD'45, terlepas dari berbagai argumentasi doktrinal hukum yang diajukan.
Kedua, kebijakan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam UU Desa dinyatakan tidak berlaku oleh UU 2/2020 (beserta lampirannya), menurut saya, bertentangan dengan "pasal historis kewenangan Desa" dalam UUD'45 yakni Pasal 18 dan Pasal 18B ayat (2) UUD'45.
Klaim kebenarannya antara lain: Dana Desa dilandasi oleh asas hukum rekognisi-subsidiaritas. Asas hukum rekognisi-subsidiaritas bersumber dari pengakuan, penghormatan, pemuliaan Desa (atau istilah lainnya) sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 dan Pasal 18B ayat (2) UUD'45. Bukan dilandasi oleh klaim hak-hak individual dalam Pasal 28D ayat (1) UUD'45, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum." Hak, kewajiban, dan kewenangan Desa bersifat kolektif-organik, dan tidak bersifat individual di muka publik.
Namun, saya bisa memahami secara terbatas, mungkin argumentasi itu dilandasi hak individual dari pemohon (para kades). Sampai disini, kita petik pembelajaran, bukankah para kades yang berani mengajukan PUU ke MK merupakan representasi kolektif Desa, yang merasa tidak adanya kepastian hukum atas pernyataan normatif "Dana Desa sebagaimana menurut UU Desa dibatalkan oleh UU a quo?"
Sebagai contoh saja, para kades yang pemberani itu, salah satunya dari Desa Grudo Ngawi Jatim, mewakili kolektivitas Desa di Indonesia yang dipenuhi dengan spirit solidaritas. Bukan mewakili kepentingan individu. Sehingga, kaidah Pasal 28D ayat (1) UUD'45 yang sarat dengan hak individu kurang tepat sebagai argumentasi hukum yang utama.
Kurang lebihnya pendapat ini hanya sebagai pertimbangan untuk dunia hukum yang Berdesa ke depan nanti....
Selebihnya, dunia praktik hukum yang menentukan! *
Komentar