Opini Terbaru

Between Facts and Norms, Pemikiran Hukum Jürgen Habermas (2): Pengantar dari Jürgen Habermas

Gambar
PENGANTAR Jürgen Habermas  | Penerjemah: Anom Surya Putra | Di Jerman, filsafat hukum telah lama tidak lagi menjadi materi pembahasan bagi para filsuf. Jika saya jarang menyebut nama Hegel dan lebih mengandalkan teori hukum Kantian, hal ini juga mengungkapkan keinginan saya untuk menghindari suatu model yang menetapkan standar yang tidak dapat dicapai bagi kita. Memang, bukan kebetulan bahwa filsafat hukum, dalam mencari kontak dengan realitas sosial, telah bermigrasi ke aliran-aliran (mazhab) hukum. [1] Namun, saya juga ingin menghindari ilmu hukum teknis yang terfokus pada fundasi-fundasi hukum pidana. [2] Apa yang dulunya dapat dianut secara koheren dalam konsep-konsep filsafat Hegelian saat ini menuntut pendekatan pluralistis yang menggabungkan perspektif teori moral, teori sosial, teori hukum, serta sosiologi dan sejarah hukum. Saya menyambut ini sebagai kesempatan untuk menampilkan pendekatan pluralistis yang sering tidak diakui/disadari teori tindakan komunikatif. Konsep-konse

OPINI Ilmu Hukum: Debat Capres-Cawapres Masih Tonjolkan Isu Pidana Pemilu Kepala Desa

 


Sekitar awal tahun 2019 saya menulis suatu isu sensitif yang berpotensi menanamkan persepsi bahwa Kepala Desa mudah terseret pidana Pemilu. 

Pidana pemilu Kepala Desa sekilas saja disebut dalam acara debat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres-Cawapres) pada bulan Januari 2019. Salah satu Capres mengajukan kritik bahwa kepala desa pendukungnya ditangkap dan diberi hukuman. 

Seolah berbalas pantun, Capres lainnya mengajukan pesan-pesan preskriptif mengenai penegakan hukum dan contoh terpidana hoax yang dekat dengan pihak lawan debat.

Saya sempat menduga akan muncul suasana debat yang menyoal mengapa pola penegakan hukum kepala Desa itu berlangsung pada hukum pidana dan tidak pada hukum administrasi. Namun  hal itu memang tak terjadi.

Kepala Desa yang dijadikan contoh kasus dalam debat memang fakta hukum, bukan hoax. Suhartono, sosok Kepala Desa yang mendukung salah satu pasangan Capres-Cawapres, dikenai sanksi pidana oleh kekuasaan peradilan karena terbukti melanggar  Pasal 490 juncto Pasal 282 UU RI No 7 tahun 2017 tentang Pemilu (Sumber: Kades Pendukung Sandiaga Cabut Nota Banding, Kenapa?). 

Kita coba refleksikan fakta hukum itu pada konteks bekerjanya hukum dalam masyarakat. Hukum pidana pemilu bekerja sebagai institusionalisasi norma-norma. Ia mengacu pada norma-norma hukum (dalam UU Pemilu). Norma-norma hukum larangan Kepala Desa ikut kampanye Pemilu dalam UU Pemilu menekankan kebutuhan justfikasi kekuasaan negara berdasar hubungan hukum pada moralitas. 

Melalui cara berhukum seperti ini, maka tindakan majelis hakim memberi sanksi pidana pada kepala Desa tersebut telah memberikan parameter bahwa setiap Kepala Desa yang melakukan tindakan menggalang massa di Desa untuk salah satu pasangan Capres-Cawapres merupakan tindakan yang tidak bermoral. 

Sampai disini kita berupaya jernih memahami bahwa suasana debat telah membentuk diskursus hukum sebagai institusi yang menekan kepercayaan politis sang Kepala Desa. Sanksi pidana yang legal itu telah menekan habis kepercayaan politis seorang Kepala Desa pada Capres-Cawapres yang didukungnya. 

Andai saya berada di panggung debat, mungkin saya akan menjawab kritik itu dengan cara lain bahwa "selama rezim pemerintahan empat tahun terakhir, tidak hanya UU Pemilu, UU Desa juga melegitimasikan larangan Kepala Desa dan Perangkat Desa ikut kampanye pemilu, sedangkan fakta hukum di Mojokerto itu berada pada wilayah hukum pidana Pemilu, maka sebagai Capres incumbent saya tidak bisa melakukan intervensi hukum".  

Selain hukum sebagai institusi, hukum juga  berfungsi sebagai suatu medium. Regulasi hukum beroperasi secara efektif melalui tujuan yang ditentukan oleh prosedur-prosedur yang spesifik. Ini bisa kita jumpai dalam hukum administrasi. Saya membandingkan perbuatan larangan  bagi Kepala Desa dan akibat hukumnya berupa sanksi administratif dalam UU Desa. 

Norma-norma preskriptif itu bisa kita cermati bersama dalam Pasal 29 huruf h, Pasal 30, dan Pasal 40 ayat (2) huruf d UU Desa. Kepala Desa dilarang ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilu. Demokratisasi prosedural sanksi administratifnya terletak pada Kepala Desa diberhentikan dari jabatannya dimana BPD akan menyelenggarakan Musyawarah Desa dengan agenda fungsinya pengawasan kinerja Kepala Desa. 

Bupati/Walikota hanya berwenang menetapkan pemberhentian Kepala Desa atas argumen-argumen dalam Musyawarah Desa bahwa sang Kepala Desa itu telah terbukti melanggar norma-norma hukum larangan. 

Andai norma-norma hukum dalam UU Desa itu bekerja dalam kehidupan sehari-hari di Desa, maka hukum bekerja sebagai medium integrasi sosial yang mengikat hubungan Desa dan negara hukum deliberatif. Hukum berlangsung memulihkan suasana berdesa pada skala lokal Desa dan tidak perlu penerapan sanksi pidana pemilu yang pada ujungnya menjadi konsumsi debat politis.

Kembali pada suasana debat tematik hukum Capres-Cawapres. Kedua kandidat sama-sama beranjak dari basis pemikiran yang sama yaitu Hukum sebagai institusi. Ini memang tak terhindarkan karena suasana debat sedang didukung oleh sub-sistem politik yang mengabsahkan perebutan kekuasaan. 

Tetapi bagi warga negara sudah selayaknya kita mulai berpikir secara refleksif agar terjadi legitimasi atas legalitas UU Desa itu sendiri, tak sekedar legitimasi atas legalitas UU Pemilu dan putusan peradilan yang memproduksi diskursus penerapan.

Jika Anda menemukan kepala Desa dan perangkat Desa terlibat aktif ikut kampanye pemilu, maka ajukanlah argumen-argumen (filsafat hukum) mengenai norma-norma hukum larangan dalam UU Desa bahwa Kepala Desa dan Perangkat Desa dilarang ikut kampanye pemilu. 

Dilengkapi pula dengan argumen-argumen (sosiologi hukum) mengenai kemampuan Desa untuk menyelesaikan persoalan politis nasional yang berdampak pada kehidupan sosialnya. Dengan cara berhukum demikian maka elit politisi yang sedang berkompetisi menuju panggung kekuasaan tidak mencerap kedaulatan Desa. 

Secara seksama pun kita pahami bersama bahwa Kepala Desa bukanlah Agent politisi yang bersifat individual atau mementingkan kepentingan kelompoknya sendiri, sehingga ia mudah diajak berasyik-masyuk dalam negosiasi politis. Kepala Desa merupakan subjek hukum atau Organ dari satu kesatuan masyarakat yang berkarakter organik. 

Kepala Desa merepresentasikan Desa sehingga takmudah begitu saja ia bebas meninggalkan warga Desanya atas dasar kepentingan politis sesaat. Apalagi kepentingan politis pada masa Pemilu kali ini dibombardir dengan hoax, disinformasi, dan populisme politis yang berpotensi merusak atau mengkoloni Dunia-Kehidupan (Lebenswelt) Desa semakin dalam.*

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Debat Capres-Cawapres Masih Tonjolkan Pidana Pemilu Kepala Desa", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/anomsuryaputra/5c433bc1677ffb6fe039cd37/debat-capres-cawapres-masih-tonjolkan-pidana-pemilu-kepala-desa?page=all#section1

Kreator: Anom Surya Putra

Komentar

Artikel Terpopuler

21-Days of Abundance Meditation Challenge Deepak Chopra

Konstitusionalisme Deliberatif dan Judicial Review

Day 10 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 16 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 6 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 4 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 8 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Day 7 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)

Sosiologi Hukum Mathieu Deflem (2): Pengantar Buku Sosiologi Hukum

Day 17 21-Day Meditation Challenge Creating Abundance (Deepak Chopra)